ASMARA SI PEDANG TUMPUL
DAFTAR ISI
Garis puncak-puncak gunung di barat itu nampak jelas, seolah ada Tangan Ajaib yang membuat goresan tebal. Bahkan rimbun daun pohon-pohonan di sekitar puncak nampak, juga lembah dan ngarai, tonjolan bukit dan lekuk jurang. Makin ke bawah, hutan-hutan itu nampak semakin nyata dan semakin hijau, berbeda dengan yang di dekat puncak, yang berwarna kebiruan dan terkadang disembunyikan di balik tirai awan tipis. Matahari senja yang mendatangkan kecerahan pada puncak-puncak gunung itu, seolah sang matahari sebelum menghilang di balik sana untuk menunaikan tugas di belahan bumi yang sana, ingin meninggalkan kesan yang indah.
Permainan sinar matahari yahg dipantulkan awan basah di udara melukiskan lengkung pelangi di sebelah utara. Lengkung setengah lingkaran, mengingatkan kita pada dongeng kuno bahwa lengkung pelangi itu merupakan tangga para bidadari yang hendak turun ke bumi! Kadang-kadang nampak serombongan burung melintasi langit, bergerak-gerak membentuk garis yang aneh, ada kalanya nampak seperti bentuk seekor naga yang sedang melayang-layang. Dari barat nampak mahluk terbang yang bukan burung, namun yang terbangnya demikian laju, menuju ke timur, menyongsong kegelapan di timur. Kalau segala macam burung beterbangan pulang ke sarang mereka setelah sehari penuh bekerja mencari makan, binatang kelelawar itu sebaliknya meninggalkan sarang untuk mulai bekerja! Mereka bekerja di malam hari dan tidur di siang hari.
Pria muda yang berdiri di lereng itu menghadap ke barat, seperti terpesona, seolah merasa dirinya tenggelam ke dalam suasana yang hening dan indah itu, suasana yang agung dan dalam. Seluruhnya merupakan kesatuan yang tak terpisahkan bahkan dirinya menjadi sebagian dari pada kebesaran alam itu. Tidak ada satupun yang kurang, tidak ada pula yang lebih. Sudah pas, sebuah keadaan sempurna tanpa kemarin tanpa esok. Semua menuju ke mulut kegelapan yang sudah siap untuk menelan segala yang nampak, kegelapan sang malam.
Pemuda ltu menghela napas panjang dan terdengar suaranya seperti rintihan lirih, bersama helaan napasnya.
"Tuhan Maha Besar........!" dan dipejamkan kedua matanya sejenak dengan hati penuh haru dan rasa syukur kepada Sang Maha Kuasa atas segala kurniah yang telah dirasakannya sampai saat itu. Kemudian dia teringat bahwa dia harus melanjutkan perjalanan, menuju ke puncak di depan itu, yaitu di Pek-in-kok (Lembah Awan Putih) di pegunungan Ho-lan-san ini.
Sebelum melanjutkan langkahnya, dia menoleh ke timur dan nampaklah sungai Kuning (Huang-ho) yang panjang seperti seekor ular naga. Nampak pula genteng rumah-rumah pedesaan sepanjang lereng dan kaki bukit, juga samar-samar nampak pula kota Yin-coan di tepi sungai itu. Kembali, dia menghela napas panjang. Baru dua tahun lebih dia meninggalkan tempat ini, dan waktu yang hampir seribu hari lamanya itu kini terasa seperti baru kemarin dulu saja. Betapa cepatnya sang waktu terbang lalu kalau tidak diperhatikan. Teringat dia akan nasihat mendiang ibunya tentang waktu.
"Waktu lewat dengan cepatnya, hidup adalah waktu yang cepat berlalu, oleh karena itu, isilah waktu yang singkat itu dengan perbuatan yang bermanfaat bagi manusia dan dunia, anakku."
Kembali dia menghela napas, lalu melanjutkan mendaki lereng menuju Lembah Awan Putih di depan.
Kalau ada orang melihatnya pada waktu itu, dia tentu akan terkejut dan heran melihat ada orang dapat mendaki lereng sedemikian cepatnya. Nampaknya dia melangkah biasa saja, namun tubuhnya meluncur cepat ke depan seperti terbang! Sekali melangkah, tubuhnya meluncur sampai dua tiga meter. Karena pemuda itu mahir ilmu berlari cepat seperti terbang, sebelum malam tiba dia sudah sampai di tempat yang dituju. Lembah Awan Putih! Tempat yang amat dikenalnya, pernah menjadi kampung halamannya selama bertahun-tahun. Dan kini dia berdiri di depan sebuah pondok yang reyot karena tidak terpelihara. Pondok itu dikepung tumbuhah-tumbuhan yang lebat, bahkan tumbuh-tumbuhan merayap sampai memenuhi gentengnya.
"Suhu (guru)......," pemuda itu mengeluh, hatinya kecewa karena keadaan pondok itu jelas menunjukkan bahwa gurunya tidak kembali ke pondok itu, bahwa dia tidak akan bertemu gurunya di tempat itu seperti yang diharapkannya semula. Kini semakin yakin hatinya bahwa kekecewaan menjadi ekor dari keinginan dan harapan. Hanya dia yang tidak mempunyai keinginan dan harapan apapun, akan bebas dari pada kekecewaan. Akan tetapi, mungkinkah manusia hidup tanpa keinginan dan harapan?
Dia meninggalkan pondok tanpa mencoba untuk membuka daun pintu yang reyot itu. Dengan langkah cepat diapun menuju ke utara di mana dahulu jenazah dua orang gurunya yang lain dimakamkan. Dia ingin melihat kuburan itu sebelum gelap, dan untuk menghormati makam kedua orang gurunya, diperjalanan mendaki bukit tadi dia telah mengumpulkan banyak bunga, terutama mawar. Dia tidak dapat meniru kebiasaan orang Han yang menghormati makam leluhur dengan upacara sembahyang dan penyuguhan korban berupa masakan-masakan dan makanan. Ibunya mengajarkan kepadanya bahwa yang wajib dipuja dan disembah hanya Tuhan Yang Maha Esa.
Berkunjung ke makam hanya untuk membuktikan bahwa dia selalu masih teringat akan kebaikan guru-gurunya, masih menghormati mereka yang sudah tiada, dan perasaan sayang itu dinyatakan dengan penaburan bunga dan membersihkan makam, dan doa-doa yang disampaikan adalah doa permohonan kepada Tuhan agar roh dua orang gurunya mendapat pengampunan dari Tuhan Yang Maha Pengampun.
Diapun maklum bahwa sembahyangan di depan makam dengan mengorbankan masakan-masakan itupun mungkin memiliki tujuan yang sama, untuk menyatakan rasa kasih sayang mereka kepada yang mati. Akan tetapi hal itu dianggapnya berlebihan, karena pada akhirnya mereka yang menyuguhkan makanan itu yang akan menghabiskan makan itu sendiri. Sungguh merupakan bentuk prihatin yang amat aneh baginya, bertentangan dengan perasaannya, oleh karena itu, dia tidak sanggup menirunya.
Kini dia berdiri di depan dua buah makam itu dan dia terbelalak, wajahnya berubah pucat. Jelas nampak betapa dua buah makam itu telah dibongkar orang!
Agaknya perbuatan itu belum lama dilakukan orang. Tanah yang digali itu masih baru. Dan kedua buah peti mati itupun sudah terbuka! Dia menghampiri dan menjenguk isi peti. Tulang-tulang berserakan, akan tetapi yang amat mengejutkan hatinya, kedua peti mati itu hanya berisi tu lang-tulang saja, tidak ada tengkoraknya! Tengkorak kedua orang gurunya telah lenyap!
"Ya Allah, siapa yang melakukan perbuatan terkutuk ini? Kejam benar........," Dia berlutut dan menutupkan kembali kedua buah peti itu, akan tetapi tidak menimbunkan tanah kembali karena dia akan mencari dulu dua tengkorak suhunya untuk dikembalikan ke tempat semula, di dalam peti mereka. Akan tetapi ke mana dia harus mencari?
Malam mulai datang menyelimuti bumi. Dia teringat bahwa nanti bulan akan muncul dan melihat iangit demikian terang, malam nanti amat cerah. Dia akan melakukan penyelidikan kalau bulan telah bersinar nanti.
Dengan langkah gontai pemuda itu kembali ke pondok. Di dalam keremangan cuaca senja, tubuhnya nampak tinggi tegap dan gagah. Langkahnya gontai, lentur seperti langkah seekor harimau. Tubuhnya yang tegak dengan bahu yang bidang. Di punggungnya terikat sebuah buntalan pakaian yang bentuknya agak panjang, memudahkan orang menduga bahwa dalam buntalan itu terdapat pula sebatang pedang dengan sarungnya. Pakaiannya sederhana sekali, dari kain tebal yang awet berwama biru, sepatu hitam, dan kepalanya tertutup sebuah caping lebar seperti yang biasa dipakai para petani di daerah Sin-kiang.
Kini dia tiba di depan pondok. Dibukanya pintu itu. agak sukar karena macet. Dia mengerahkan sedikit tenaga dan daun pintu itu terbuka. Cuaca belum gelap benar sehingga di masih dapat melihat keadaan dalam pondok. Wajahnya cerah. Ternyata, keadaan dalam pondok itu cukup bersih dan perabot rumah yang dahulu masih lengkap. Ada bangku, ada meja, bahkan dipan kayu di situ, lima buah banyaknya, masih ada.
Seolah baru ditinggal kemarin saja, dia menghampiri sudut di mana terdapat sebuah meja besar dan ternyata di situ masih terdapat banyak lilin. Juga alat pembuat api masih ada. Segera dinyalakannya tiga batang lilin dan ditaruh di atas meja di tengah ruangan. Kini, cahaya tiga batang lilin besar itu cukup terang, menyinari Wajahnya ketika dia duduk termenung di atas bangku, menghadap lilin di atas meja setelah membersihkan debu dari bangku dan meja dengan sebuah sapu bulu ayam.
Dia seorang laki-laki yang masih muda. Duapuluh dua atau dua puluh tiga tahun usianya. Kulit muka, leher dan tangannya gelap, akan tetapi tidak hitam sekali, seperti kulit petani yang setiap hari ditimpa sinar matahari. Wajahnya tampan dan .gagah. Dahinya lebar, alisnya hitam tebal berbentuk golok, matanya tidak sipit, lebar bersinar aneh. Hidungnya tinggi, agak besar, bersama mulutnya yang berbibir tebal membayangkan keteguhan hati. Dagunya juga berlekuk dan keras. Muka itu bersih, tidak ditumbuhi jenggot dan kumis karena selalu dicukurnya. Wajah seorang pemu da yang jantan.
Namanya Sin Wan. Sin Wan begitu saja, tanpa nama keturunan karena mendiang ayahnya adalah seorang Uighur Kasak bemama Abdullah, dan ibu kandungnya seorang wanita cantik berbangsa Uighur pula, beragama lslam, bernama Jubaedah. Ayah kandungnya terbunuh oleh seorang datuk sesat bernama Se Jit Kong yang berjuluk Si Tangan Api, seorang Kasak yang sakti dan jahat.
Ketika ayah kandungnya terbunuh, dia masih dalam kandungan ibunya dan untuk menyelamatkan kandungannya itulah ibunya yang cantik jelita, rela diperisteri Si Tangan Api. Setelah menjadi isteri datuk itu. Jubaedah disebut Ju Bi Ta. Agaknya Se Jit Kong yang berdarah campuran itu ingin mengangkat namanya dl dunia kang-ouw, maka dia menggunakan nama bangsa Han.
Se Jit Kong yang ingin menonjolkan kesaktiannya, telah melakukan perbuatan yang berlebihan. Tidak saja dia menantang dan mengalahkan banyak tokoh pendekar di dunia persilatan, juga dia bahkan mencuri banyak pusaka istana kaisar. Hal ini menggegerkan dunia kangouw dan para tokoh kangouw, juga kaisar sendiri, minta pertolongan Sam-sian, tiga orang datuk besar dunia persilatan, untuk mencari Se Jit Kong dan merampas kembali pusaka-pusaka istana itu.
Sam-sian (Tiga Dewa) berhasil merampas kembali pusaka-pusaka itu dan Se Jit Kong yang dikalahkan Sam-sian, membunuh diri. Setelah Se Jit Kong tewas, barulah Jubaedah membuka rahasia kepada Sin Wan. Anak laki-laki yang sampai usia sepuluh tahun menganggap Se Jit Kong sebagai ayah kandungnya itu baru tahu bahwa Se Jit Kong sama sekali bukan ayahnya, bahkan pembunuh ayah kandungnya! Dan setelah membuka rahasia ini, Jubaedah juga membunuh diri di depan mayat suaminya.
Sem"a kenangan ini terbayang dalam benak Sin Wan ketika dia duduk termenung memandangi api lilin. Setelah Se Jit Kong dan ibu kandungnya tewas, dia menjadi yatim piatu dan menjadi murid Sam-sian yang terdiri dari tiga orang, yaitu Ciu Sian (Dewa Arak) Tong Kui, Kiam-sian (Dewa Pedang) Low Sun, dan Pek-mau-sian (Dewa Rambut Putih) Thio Ki. Dia diajak Sam-sian menyerahkan pusaka-pusaka kepada kaisar. Ketika diberi hadiah, Kiam-sian memilih pedang tumpul yang kemudian diberikan kepada Sin Wan.
Dan di kota raja inilah, Sam-sian mendapatkan murid baru, seorang anak perempuan bernama Lim Kui Siang, yatim piatu karena orang, tuanya yang bangsawan pengurus gudang pusaka dibunuh Se Jit Kong ketika datuk ini mencuri pusaka. Sam-sian merasa kasihan dan menerima Kui Siang menjadi murid mereka.
Sin Wan menghela napas panjang ketika dia teringat akan semua itu. Ketika bertanding melawan Bi-coa Sianli (Dewi Ular Cantik) Cu Sui In, seorang tokoh sesat wanita yang amat lihai, Kiam-sian dan Pek-mau-sian tewas, dan wanita cantik itu terluka parah. Ciu Sian tidak membunuhnya dan membiarkannya pergi. Semenjak itu, Ciu Sian menggembleng Sin Wan dan Kui Siang dengan ilmu simpanan, yang dirangkai oleh Sam-sian, dan dinamakan Sam-sian Sin-ciang (Tangan Sakti Tiga Dewa). Kemudian, Ciu Sian menyuruh kedua orang muridnya turun gunung setelah menyatakan keinginannya agar kedua orang murid berjodoh.
"Sumoi (adik seperguruan)........," Sin Wan mengeluh ketika dia teringat kepada Kui Siang. Mereka saling mencinta, akan tetapi kemudian tanpa disengaja, gadis itu mengetahui bahwa dia adalah anak tiri dan juga murid mendiang Se Jit Kong, musuh besar gadis itu yang telah menghancurkan keluarganya.
Kui Siang marah dan meninggalkannya, memutuskan perhubungan di antara mereka. Gadis itu tentu kini telah menjadi pengawal pribadi Pangeran Yung Lo di Peking, seperti yang ditawarkan oleh pangeran itu kepadanya. Dia telah kehilangan sumoinya, gadis dan wanita pertama yang dicintanya.
Dan dia kehilangan pula gurunya yang terakhir, biarpun guru tak resmi. Juga seorang yang amat dihormati dan dikasihinya, yaitu Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki. Dia ditinggalkan kakek itu yang merasa tidak senang pula mendengar bahwa dia adalah putera tiri mendiang Se Jit Kong yang amat jahat. Dia telah kehilangan segalanya dan dalam keadaan patah hati itu dia berkunjung ke lembah ini, Lembah Awan Putih, untuk mencari gurunya yang tinggal seorang, seorang di antara Sam-sian, yaitu Dewa Arak.
Semua pengalaman itu terbayang dalam ingatan Sin Wan, membuat dia termenung. Akan tetapi ketika bayangan itu tiba pada waktu dia berkunjung ke depan makam mendiang Kiam-sian dan Pek-mau-sian, dia segera sadar dari lamunannya. Kuburan kedua orang gurunya tercinta itu dibongkar orang, dan tengkorak mereka dicuri orang! Dia sadar sepenuhnya kini, telah meninggalkan dunia lamunannya. Seketika lenyap pula semua kedukaan yang tadi menggerogoti hati dan pikirannya.
Dan bagaikan sinar terang yang mengusir kegelapan yang tadi menyelubungi batinnya, kini nampaklah jelas olehnya bahwa semua kesedihan, semua rasa duka hanya merupakan permainan dari pikirannya sendiri belaka. Pikiran yang mengenang masa lalu, menghubungkan dengan bayangan masa depan, menimbulkan kemuraman dari iba diri, dan muncullah rasa duka nestapa. Seolah-olah di dunia ini hanya dia seorang yang hidup menderita kedukaan. Duka timbul akibat kecewa, akibat iba diri, dan semua ini hanyalah ulah pikiran yang mengenang masa lalu.
Masa lalu telah lewat, telah mati! Demikian dia berbisik sambil mengepal tinju. Masa depan hanya bayangan! Yang penting sekarang, saat ini! Hidup adalah saat demi saat yang harus dihadapi dengan tabah, yang harus dihadapi dengan waspada, menempuh segala macam tantangan dan tantangan, berusaha sedapat mungkin untuk mengatasinya! Itulah hidup. Bukan membiarkan diri tenggelam ke dalam kenangan pahit masa lalu dan bayangan menggelisahkan masa depan.
Hidup merupakan perjuangan menghadapi setiap tantangan. Tidak lari dari kenyataan, melainkan menghadapi tantangan dan berusaha menanggulanginya, mengatasinya, itulah seni kehidupan! Didasari penyerahan kepada Yang Maha Kuasa, maka segala sesuatu dapat dihadapinya dengan tabah. Segala hal hanya dapat terjadi atas kehendak Tuhan! Sesal dan duka tiada gunanya. Berusaha sedapat mungkin, akan tetapi menyerahkan keputusan terakhir kepada Allah Maha Kasih.
Sin Wan bangkit dari bangkunya, melangkah ke pintu depan. Dia membuka daun pintu dan angin berembus masuk, memadamkan tiga batang lilin yang menyala di atas meja. Kegelapan karena padamnya lilin justeru mempertajam cahaya bulan yang sudah muncul. Sin Wan memasuki kembali pondok yang kini remang-remang, mengeluarkan sebatang pedang dari dalam buntalan pakaian yang tadi dia letakkan di atas meja dan mengikatkan sarung pedang di punggungnya. Pedang itu merupakan pedang yang sarung dan gagangnya nampak butut dan jelek, walaupun bersih dan terpelihara. Sebatang pedang yang butut, dan kalau dihunus, orang akan mentertawakannya. Bukan hanya sarung. dan gagangnya yang butut, akan tetapi pedang itu sendiripun jelek dan sama sekali tidak meyakinkan.
Selain buatannya kasar seperti pedang yang belum jadi, belum matang ditempa, juga pedang itu tidak tajam dan tdak runcing, melainkan tumpul. Pedang tumpul! Namun pemiliknya merawatnya degan hati-hati, menganggapnya sebagai sebuah pusaka yang ampuh, dan memang kenyataannya, pedang yang tumpul dan buruk rupanya itu adalah sebatang pusaka kuno yang ampuh. Sin Wan mendapatkannya dari mendiang Kiam-sian, sebagai hadiah dari Kaisar Thai Cu karena Sam-sian telah berhasil merampas kembali pusaka-pusaka istana yang dicuri mendiang Se Jit Kong.
Sin Wan keluar dari pondok, menutupkan kembali daun pintu dan mulailah dia melakukan penyelidikan di bawah sinar bulan yang cukup terang. Sinar bulan sepotong di langit bersih mendatangkan cahaya yang kehijauan, redup akan tetapi cukup terang, nyaman dan sejuk. Ujung daun-daun pohon nampak berseri bermandikan cahaya bulan. Dia segera menuju ke makam kedua orang gurunya. Begitu dia tiba di situ, tiba-tiba dia mendengar suara berciutan sambung menyambung. Suara apakah itu?
Dia menoleh ke kiri karena dari sanalah datangnya suara itu. Seperti suara burung mencuit-cuit nyaring. Akan tetapi, malam-malam begini mana ada burung berkicau? Dia sudah mengenal suara burung malam, burung hantu, dan tidak ada burung malam yang suaranya seperti itu.
"Culiiiiiit.......! Cuiiiiittt.........!!"
Suara itu berulang terus dan Sin Wan cepat menghampiri ke arah suara. Suara itu semakin nyaring dan kini dia dapat menangkap suara desir angin pukulan yang dahsyat! Tentu saja dia terkejut dan heran. Dia kini menyelinap dan menyusup di antara pohon dan semak belukar, menghampiri tempat itu dan mengintai.
Apa yang dilihatnya membuat Sin Wan terbelalak. Banyak pohon roboh seperti ditebang di tempat itu, dan pohon-pohon itu berserakan. Tempat itu kini terbuka seluas tidak kurang dari limabelas tombak kali duapuluh tombak, dan tempat itu cukup terang karena tidak terhalang sinar bulan. Di sudut kanan dan kiri, terpisah antara sepuluh tombak, nampak tumpukan tengkorak! Ada puluhan buah tengkorak manusia besar kecil tertumpuk di situ, menjadi dua tumpukan bukit kecil dan di atas masing-masing bukit tengkorak itu duduk bersila seorang kakek dan seorang nenek!
Sungguh amat menyeramkan keadaan di situ walaupun kakek dan nenek itu wajahnya tidak menyeramkan. Bahkan kakek itu masih memiliki wajah yang tampan, dan nenek itupun masih cantik walaupun usia mereka sudah sekitar enampuluh tahun. Tubuh kakek itu masih tinggi tegap dengan pakaian serba putih, juga nenek itu masih ramping dalam pakaian yang serba putih pula. Pakaian mereka terbuat dari sutera halus yang mengkilat tertimpa sinar bulan yang redup. Yang aneh dan menyeramkan hanya wama muka mereka. Kakek itu mukanya merah seperti dicat atau dilumuri darah, sedangkan muka wanita itu putih pucat seperti muka mayat.
Sin Wan memandang dengan jantung berdebar. Bukan keadaan kakek dan nenek itu yang membuat hatinya tegang, akan tetapi cara mereka berlatih. Kedua orang itu duduk di atas tumpukan tengkorak, seperti patung. Akan tetapi, kedua tangan kedua mereka bergerak saling dorong dari jarak jauh dan dari kedua telapak tangan mereka itulah keluar suara bercuitan tadi! Dan angin pukulan menyambar dari tangan mereka. Kiranya mereka itu sedang latihan ilmu pukulan jarak jauh yang amat kuat dan ampuh.
Teringatlah Sin Wan akan keterangan Pek-sim Lo-kai (Pengemis Tua Hati Putih) Bu Lee Ki bahwa di dunia kang-ouw terdapat banyak tokoh yang amat lihai. Banyak terdapat para datuk yang memiliki ilmu kepandalan tinggi. Dan di antara mereka memang terdapat dua aliran, yaitu aliran putih dan aliran hitam, atau mereka yang menjadi pendekar dan mereka yang menjadi penjahat. Bahkan sifat-sifat ilmu merekapun dapat dijadikan tanda apakah tokoh itu termasuk golongan sesat ataukan golongan pendekar. Dia pernah mendengar pula tentang ilmu pukulan yang mengandung hawa beracun, dan melihat cara kedua orang ini berlatih, dia dapat menduga bahwa mereka tentulah termasuk golongan sesat yang lihai sekali!
Agaknya kedua orang itu telah menghentikan latihan saling pukul dari jarak jauh. Sin Wan melihat ke arah tengkorak-tengkorak itu dan teringatlah dia akan dua buah tengkorak mendiang Kiam-sian dan Pek-mau-sian. Kedua buah tengkorak itu lenyap. Siapalagi kalau bukan dua manusia iblis ini yang telah mengambilnya? Tentu dua buah tengkorak guru-gurunya berada di antara tumpukan tengkorak itu. Hatinya terasa panas. Kurang ajar, pikimya. Dua orang itu sungguh tidak memiliki prikemanusiaan. Mempelajari ilmu dengan cara merusak kuburan orang, bahkan mengambil tengkorak orang untuk dijadikan tempat latihan. Keji sekali!
Terdengar suara tawa yang sungguh menyeramkan. Tawa yang tinggi merdu, melengking nyaring seperti bukan suara manusia. Ketika Sin Wan memandang, dia bergidik. Wanita itulah yang bersuara karena ia menggerak-gerakkan kepala dan pundaknya, akan tetapi anehnya, mulut dan muka yang pucat itu sama sekali tidak bergerak, seolah muka itu tersembunyi di balik topeng.
"Hi..hi..hi..hik, Ang-ko (kakak Merah), ternyata engkau tidak dapat melebihi aku dalam penggunaan ilmu Toat-beng Tok-ciang (Tangan Beracun Pencabut Nyawa)! Jangan katakan bahwa engkau lebih unggul, Ang-ko!"
Kakek itu tidak tertawa, juga wajahnya yang merah darah itu sama sekali tidak bergerak, seperti topeng. Mulutnya juga tidak bergerak ketika terdengar suaranya,
"Huh, Pek-moi (adik Putih), kita sedang memperdalam ilmu untuk menghadapi musuh-musuh dan merebut kedudukan tertinggi di dunia persilatan, tidak perlu kita saling mengungguli. Kita maju bersama, hidup berdua dan mati bersama. Agaknya Toat-beng Tok-ciang yang kita latih sudah cukup dapat diandalkan, hanya ilmu kita Touw-kut-ci (Jari penembus tulang) yang belum memuaskan hatiku. Kita harus latih lagi dengan tekun."
Keduanya tidak nampak bergerak, akan tetapi tahu-tahu tubuh mereka melayang turun dari atas tumpukan tengkorak dan dalam keadaan masih bersila mereka kini pindah ke atas tanah. Diam-diam Sin Wan terkejut. Kedua orang itu agaknya tidak hanya lihai dalam ilmu pukulan jarak jauh, akan tetapi juga telah memiliki ginkang tingkat tinggi sehingga dalam keadaan duduk bersila, tubuh mereka mampu melayang dan berpindah tempat!
Kini keduanya mengambil tengkorak satu demi satu, dan melempar setiap tengkorak ke atas Ketika tengkorak itu melayang turun, mereka menyambut dengan tusukan jari tangan mereka. Jari mana saja yang mereka pergunakan untuk menyambut, tentu dapat menembus tengkorak sehingga seluruh lima jari tangan dipergunakan semua. Setelah tangan kanan, lalu latihan itu diganti dengan tangan kiri. Kedua orang itu seperti berlumba dan ternyata keduanya sama tangkas dan sama kuat.
Kini mengertilah Sin Wan mengapa tengkorak-tengkorak itu berlubang-lubang. Kiranya dipergunakan untuk latihan ilmu menotok dengan jari yang amat lihai. Dia mengerutkan alisnya, membayangkan betapa tengkorak kedua orang gurunya juga dijadikan bulan-bulan latihan jari tangan itu. Sungguh kasihan sekali, sudah mati masih diganggu oleh golongan sesat!
Tiba-tiba terdengar wanita itu mengeluarkan pekik aneh dan sebuah tengkorak yang tadi disambut tusukan jari tangannya, tidak tertembus dan menggelinding di dekat kakinya.
"Huh, engkau gagal, Pek-moi? Sungguh memalukan sekali!" kakek itu menegur ketika dia melihat rekannya itu gagal menembus tengkorak itu dengan jari tangannya.
Wanita itu memungut tengkorak tadi dengan tangan kirinya, lalu diperiksanya dengan teliti.
"Heei, Ang-ko. Tengkorak ini belum ada lubangnya, berarti masih baru. Dan keadaannya sungguh berbeda dengan tengkorak biasa. Keras bukan main sehingga tidak tertembus jari tanganku!"
"Masih baru? Hemm, dari mana kita memperoleh tengkorak paling akhir?" tanya Ang Bin Moko (Iblis Muka Merah) sambil menyambut tengkorak yang dilemparkan kepadanya oleh Pek Bin Moli (Iblis Betina Muka Putih).
"Bukankah dari dua buah makam di Lembah Awan Putih sebelah itu? Baru tiga hari kita membongkar makam dan mengambil tengkorak dari sana.
"Huh, benar! Aku ingat sekarang. Ada dua buah tengkorak kita ambil. Coba cari yang sebuah lagi, Pek-moi!"
Pek Bin Moli segera mencari tengkorak kedua di antara tumpukan tengkorak itu. Tidak sukar menemukannya karena tengkorak baru ini belum berlubang seperti tengkorak-tengkorak lainnya.
"Ini dia! Wah, yang ini juga keras sekali, dan tentunya agak aneh, menonjol ke belakang!" teriak wanita itu tanpa menggerakkan bibir.
Sin Wan yang mengintai, mendengarkan dengan jantung berdebar. Tak salah lagi. Dua tengkorak Yang mereka anggap aneh dan keras itu pastilah tengkorak kedua orang gurunya, dan tengkorak yang bagian belakangnya menonjol pastilah tengkorak mendiang Pek-mau-sian (Dewa Rambut Putih). Dia melihat betapa kakek dan nenek itu berulang-ulang mengerahkan tenaga dan mencoba untuk melubangi tengkorak itu dengan jari tangan mereka, akan tetapi agaknya usaha mereka sia-sia belaka.
"Aih, Ang-ko, kenapa kita tidak berhasil melubangi tengkorak-tengkorak ini? Apakah latihan kita selama ini kurang berhasil?" nenek itu berseru, suaranya mengandung kekecewaan.
"Tidak, Pek-moi. Buktinya, tengkorak yang lain dengan mudah.dapat kita tembusi dengan jari tangan kita. Dua buah tengkorak ini memang istimewa. Aku dapat menduga bahwa dua buah tengkorak ini tentu milik dua orang yang sakti, dan latihan tenaga sakti telah meresap ke dalam tengkorak ini sehingga menjadi keras. Ini menguntungkan sekali, Pek-moi. Kita masak dua buah tengkorak ini sampai hancur menjadi bubur dan ini merupakan obat kuat yang luar biasa, dapat menguatkan tulang-tulang kita!"
Mendengar ini, Sin Wan tidak dapat menahan hatinya lagi. Tengkorak kedua orang gurunya sudah dicuri, kini malah akan dimasak dan dijadikan obat kuat! Dia keluar dari tempat persembunyiannya.
"Harap ji-wi (anda berdua) tidak mengganggu tengkorak orang-orang yang sudah meninggal dunia."
Dua orang kakek dan nenek itu terkejut dan menoleh, memandang kepada Sin Wan dengan sinar mata mengandung keheranan. Bagaimana mungkin ada seorang pemuda bersembunyi di dekat situ dan mereka sampai tidak mengetahuinya? Dari kenyataan ini saja mereka berdua yang sudah berpengalaman dapat mengetahui bahwa pemuda itu bukan orang lemah. Bagaimanapun juga, mereka berdua menjadi marah.
"Hei, orang muda! Siapakah engkau berani lancang menganggu kami?"
"Ang-ko, darahnya dapat kita pergunakan untuk menyempunakan Toat-beng Tok-ciang kita, dan. tengkoraknya yang masih basah dapat kita pergunakan pula untuk memperkuat Touw-kut-ci kita!" terdengar nenek itu melengking,
Sin Wah menjura kepada dua orang yang masih bersila di dekat tumpukan tengkorak dan terpisah cukup jauh itu.
"Harap ji-wi locianpwe (dua orang tua gagah) suka memaafkan. Saya bukan datang mengganggu, melainkan hendak mohon agar jiwi mengembalikan dua buah tengkorak mendiang guru-guru saya itu. Kalau mengembalikannya agar saya dapat mengubumya kembali, saya akan melupakan bahwa ji-wi pernah membongkar makam mereka dan mengambil tengkorak mereka."
,Kakek dan nenek itu saling pandang, kemudian si nenek mengeluarkan suara tawanya yang menyeramkan.
"Hi..hi..hi..hi..hik, Ang-ko, dia minta dua buah tengkorak ini. Kenapa tidak kita berikan kepadanya?"
"Huh, engkau menghendaki tengkorak-tengkorak ini, orang muda? Nah, terimalah dan mampuslah!" Kakek itu melontarkan tengkorak di tangannya. Dua buah tengkorak itu menyambar bagaikan peluru meriam saja ke arah Sin Wan dari kanan kiri! Terdengar suara bersiut nyaring ketika dua buah tengkorak itu melayang.
Dari luncuran dua buah tengkorak itu, Sin Wan dapat menilai bahwa tenaga luncuran itu dahsyat bukan main. Kalau dia mengelak atau menangkis, mungkin tengkorak-tengkorak itu akan hilang atau rusak, dan kalau dia menyambut dengan tangan, mungkin dia tidak akan mampu menahan tenaga luncuran dari kanan kiri yang amat dahsyat itu. Dia dapat berpikir cepat dan tubuhnya sudah mencelat ke atas, berjungkir balik dan dengan tubuh di atas, kedua tangannya menyambut dua buah tengkorak yang meluncur ke arahnya tadi.
Seperti telah diduganya, tenaga luncuran itu kuat bukan main sehingga biarpun kedua tangannya mampu menangkap tengkorak-tengkorak itu, tenaga luncuran membuat tubuhnya terpental ke atas! Sin Wan memang sudah memperhitungkan hal ini. Dia membiarkan tubuhnya terpental ke atas, lalu membuat gerakan jungkir balik untuk mematahkan tenaga luncuran itu, kemudian dengan tenang dia melayang turun di tempat semula. Dengan sikap tenang seolah tidak pernah terjadi sesuatu, dia lalu mengeluarkan saputangan, mengikat kedua tengkorak itu dan menalikannya tergantung di lehernya. Dua buah tengkorak itu tergantung di depan dada.
Ang Bin Moko dan Pek Bin Moli terbelalak. Mereka memang sudah menduga bahwa pemuda itu memiliki kepandaian pula, akan tetapi sama sekali tidak mengira bahwa dia selihai itu. Mereka tadi sudah yakin bahwa sambitan tengkorak itu akan membuat pemuda itu tewas!
Melihat pemuda itu sama sekali tidak tewas bahkan berhasil menerima dua buah tengkorak itu, Ang Bin Moko menjadi penasaran dan marah sekali. Dia menggerakkan kedua tangannya dan terdengar bunyi bercuitan. Itulah ilmu pukulan jarak jauh Toat-beng Tok-ciang yang tadi dilatih bersama Pek Bin Moli. Melihat ini, Pek Bin Moli seperti diingatkan saja dan nenek inipun dari tempat ia duduk bersila, menggerakkan kedua tangan memukul dengan ilmu itu.
Ada baiknya bahwa tadi Sin Wan telah melihat kedua orang itu berlatih ilmu Toat-beng Tok-ciang, maka diapun tidak berani memendang rendah. Dia segera mengelak dengan geseran kaki yang membuat dia melangkah ke sana sini berputar-putar, kadang meloncat dan gerakannya cepat seperti burung saja.
Dia telah menggunakan langkah ajaib yang terkandung dalam ilmunya Sam-sian (Tangan Sakti Tiga Dewa), yang bersumber dari ilmu Hui-niauw-soan (Langkah Berputar Burung Terbang). Dengan gerakannya yang aneh dan gesit ini, semua sambaran hawa pukulan Toat-beng Tok-ciang luput dari sasaran, apalagi kedua tangan pemuda itu mengebut ke sana sini dengan pukulan yang bersumber dari Ciu-san Pek-ciang (Tangan Putih Dewa Arak) dari kedua tangannya itu menyambar tenaga sakti yang beruap putih dan yang dapat menangkis hawa pukulan yang menyambar terlalu dekat.
Kakek dan nenek iblis itu terkejut. Sungguh sukar dipercaya betapa seorang pemuda mampu menghindarkan diri dari serangan mereka yang menggunakan ilmu baru mereka itu! Saking kaget, heran dan penasaran, kini keduanya tidak lagi memandang rendah dan seperti tadi, tanpa nampak menggerakkan tubuh, keduanya telah melayang dan tahu-tahu. mereka berdua sudah berdiri berhadapan dengan Sin Wan, hanya dalam jarak tiga meter!
Sin Wan memberi hormat, dengan mengangkat ke dua tangan depan dada,
"Banyak terima kasih atas petunjuk ji-wi locianpwe. Sekarang perkenankan saya untuk pergi mengubur kembali peti mati kedua orang guru saya."
"Tidak begitu mudah, orang muda. Katakan, siapa guru-gurumu itu!" kata kakek iblis muka merah.
"Mereka adalah mendiang suhu Kiam-sian dan mendiang suhu Pek-mau-sian," jawab Sin Wan sejujurnya.
Nenek iblis itu mengeluarkan teriakan melengking.
"Iihhhhhh........!" Ia memandang Sin Wan penuh perhatian.
"Dua di antara Sam-sian?"
"Benar, locianpwe."
"Huh-huh, kalau begitu, pantas saja tengkorak mereka demikian keras. Bukan hanya tengkorak mereka yang amat berguna, juga semua tulang mereka. Orang muda, kami membutuhkan tengkorak dan tulang-tulang mereka. Berikan kepada kami dan kami akan mengampuni dan membiarkanmu pergi."
Sin Wan mengerutkan alisnya.
"Ji-wi locianpwe sungguh keterlaluan. Apakah kesalahan kedua orang guruku sehingga sampai mereka telah wafat dan menjadi tulang, jiwi masih ingin mengganggu mereka? Saya adalah murid mereka, sudah menjadi kewajiban saya untuk menjaga dan melindungi makam dan kehormatan mereka. Saya tidak akan menyerahkan dua buah tengkorak ini kepada ji-wi, juga tidak membolehkan mengambil tulang kerangka kedua orang suhu saya."
"Bocah sombong, agaknya engkau sudah bosan hidup!" teriak nenek itu dan ia sudah menerjang Sin Wan dengan kedua tangan terbuka. Tangan kirinya mencengkeram ke arah dua buah tengkorak yang tergantung di dada Sin Wan, sedangkan,tangan kanannya mencengkeram ke arah kepala. Sin Wan maklum betapa setiap batang jari tangan dari nenek itu mengandung kekuatan dahsyat, bukan saja kerasnya seperti baja dan dapat menembus tengkorak kepalanya, akan tetapi juga mengandung hawa beracun yang amat berbahaya.
Dengan kelincahan gerakannya, dia mengelak dan tubuhnya bergeser ke kiri sehingga terkaman lawan ke arah dadanya untuk merampas tengkorak itu luput: Akan tetapi, tangan yang mencengkeram ke arah kepalanya mengikuti gerakan kepalanya dan melanjutkan serangannya. Melihat ini, Sin Wan mengerahkan tenaga Thian-te Sin-kang (Tenaga Sakti Langit Bumi) dan menangkis dari samping. Pergelangan tangannya bertemu dengan pergelangan tangan wanita itu.
"Dukkkk!" Keduanya tergetar dan nenek itu mengeluarkan seruan kaget. Tak disangkanya bahwa pemuda itu memiliki tenaga yang dapat mengimbangi tenaganya sendiri, bahkan hawa beracun dari tangannya tidak mempengaruhinya. Kini ia menyerang lagi bertubi-tubi dengan totokan-totokan maut dari jari-jari tangannya yang mengandung ilmu Touw-kut-ci.
Namun, Sin Wan sudah siap siaga. Dia mengelak, menangkis dan membalas serangan nenek itu sambil memainkan ilmu andalannya, yaitu Sam-sian Sin-ciang. Dengan permainan ilmu hebat ini, dia dapat mengimbangi si nenek sakti, bahkan mampu mendesaknya.
"Huh-huh, bocah ini akan berbahaya kelak kalau tidak dibunuh sekarang!" tiba-tiba kakek, muka merah berkata dan ketika dia bergerak, ada angin menyambar dahsyat. Sin Wan cepat melompat, ke belakang dan tangan kakek itu meluncur lewat dalam serangan totokan yang ganas sekali.
Kini Sin Wan terpaksa harus menghadapi pengeroyokan dua orang itu. Dia masih bertahan dengan Sam-sian Sin-ciang, akan tetapi tidak mendapat kesempatan untuk membalas, dan perlahan-lahan dia terdesak. Dia teringat akan ilmu yang baru saja dia pelajari dari kakek Bu Lee Ki, maka dia mengeluarkan suara melengking dan tiba-tiba saja tubuhnya berubah menjadi gasing yang berputar cepat seperti angin puyuh! Inilah ilmu Langkah Angin Puyuh yang dia pelajari dari Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki.
Menghadapi gerakan aneh yang membuat tubuh pemuda itu berpusing seperti itu, kakek dan nenek iblis itu menjadi tercengang dan kehilangan sasaran. Mereka sedang memainkan Touw-kut-ci, yaitu semacam ilmu menotok dengan jari tangan, membutuhkan sasaran yang tepat. Kini tubuh itu berpusing seperti gasing, membuat mereka tidak tahu ke arah mana mereka harus menujukan serangan mereka.
Dua orang itu lalu melolos senjata mereka dari pinggang. Ternyata kakek muka merah itu memiliki sebuah senjata golok yang punggungnya seperti gergaji, tipis dan berkilauan saking tajamnya. Begitu dia menggerakkan goloknya, terdengar bunyi nyaring berdesing dan nampak kilat menyambar.
Juga nenek Pek Bin Moli mengeluarkan senjatanya yang berbentuk seekor ular! Ular yang sudah mati, panjangnya ada dua meter dan besarnya seperti lengan tangannya. Ular itu agaknya telah direndam semacam racun yang membuat ular itu tetap lemas seperti hidup, ulet dan kuat dapat menahan bacokan senjata tajam, dan dari pangkal sampai ke ujung mengandung racun berbahaya. Ketika ia memutar senjatanya ini, nampak gulungan sinar hitam dan tercium bau amis yang memuakkan.
Melihat dua orang lawannya telah, menggunakan senjata yang amat berbahaya, Sin Wan juga cepat menghunus pedangnya sambil meloncat jauh ke belakang. Dua orang itu memandang kepadanya, dan melihat pedang di tangan Sin Wan, mereka tak dapat menahan tawa ejekan mereka.
"Hi..hi..hi..hik, Ang-ko. Lihat, anak itu sudah gila rupanya, menghadapi kita dengan sebatang pedang rombengan!"
"Huh-huh, bocah ini lumayan juga, Pek-moi. Tentu darahnya amat baik untuk kita, dan ingat, jangan pandang rendah pedang itu. Dia murid Sam-sian, tentu tidak akan menggunakan pedang sembarangan."
Keduanya lalu menyerang dengan ganas. Sin Wan menggerakkan pedangnya untuk melindungi tubuhnya, memainkan Jit-kong Kiam-sut (Ilmu Pedang Sinar Matahari) yang pernah dipelajarinya dari mendiang Kiam-sian. Ilmu pedang ini pernah mengangkat nama Si Dewa Pedang Louw Sun dan merupakan ilmu pedang pilihan. Apalagi Sin Wan mempergunakan pedang tumpul yang ampuh, maka dirinya seperti dilindungi benteng baja yang amat kuat.
Golok di tangan Ang Bin Moko dan sabuk ular di tangan Pek 8in Moli tak mampu menembus lingkaran sinar bergulung di sekeliling tubuh Sin Wan. Kedua senjata ampuh itu selalu membalik seperti tertolak perisai yang selain amat kuat, juga mengandung tenaga atau daya tolak yang luar biasa.
Akan tetapi, tentu saja Sin Wan berada dalam keadaan yang terdesak dan terancam. Dalam sebuah pertandingan, tidak mungkin seseorang hanya mengandalkan pertahanan belaka, tanpa mampu balas menyerang. Apalagi dia dikeroyok oleh dua orang yang amat lihai. Dia sama sekali tidak mampu membalas karena serangan kedua orang lawannya itu datang bertubi-tubi dan sambung menyambung, yang berikut lebih dahsyat dari pada yang lalu. Kalau hanya mengelak dan menangkis terus, tanpa mampu membalas sedikitpun, akhimya setelah kekurangan tenaga dia akan terkena juga oleh senjata lawan.
Dua orang manusia iblis itu diam-diam kagum bukan main. Tak pernah mereka bermimpi bahwa hari ini mereka akan bertemu dengan seorang pemuda sehebat itu. Masih begitu muda, akan tetapi mampu menandingi pengeroyokan mereka berdua. Padahal, tadinya mereka hampir yakin bahwa mereka berdua akan mampu mengalahkan tokoh-tokoh persilatan lain dan akah berhasil merebut kedudukan sebagai jagoan nomor satu di dunia persilatan!
Yang amat mengherankan mereka adalah bahwa Sam-sian sendiri dahulu belum tentu akan mampu mengalahkan mereka. Kenapa sekarang muridnya yang masih begini muda mampu bertahan sampai seratus jurus lebih terhadap pengeroyokan mereka? Mereka tidak tahu bahwa seperti juga mereka, Sam-sian telah bersama-sama merangkai iimu silat baru, yaitu Sam-sian Sin-ciang yang telah dikuasai Sin Wan sehingga dibandingkan dengan kepandaian guru-gurunya dahulu, pemuda itu kini lebih tangguh dari pada mereka.
Dengan penasaran, Ang Bin Moli dan Pek Bin Moli sekarang menambahi serangan mereka dengan selingan pukulan jarak jauh mereka yang baru dilatih, yaitu Toat-beng Tok-ciang. Setiap kali mereka meloncat ke belakang, mereka melontarkan pukulan jarak jauh dan disusul oleh serangan senjata mereka dari jarak yang dekat.
Kombinasi serangan ini ternyata merepotkan Sin Wan. Suara bercuitan yang menyambar-nyambar itu bahkan lebih berbahaya dibandingkan sambaran kedua senjata itu. Dia memutar pedang tumpul dan juga mengerahkan tenaga Thian-te Sin-kang pada tangan kiri untuk menangkis hawa pukulan beracun yang menyambar-nyambar itu. Biarpun demikian, beberapa kali dia sempat terhuyung dan keadaan gawat. Agaknya takkan lama lagi pemuda perkasa ini akan roboh juga, tidak kuat menahan gelombang serangan Iblis Muka Merah dan Iblis Betina Muka Putih.
"Siiing........!" untuk kesekian kalinya, sinar golok menyambar dahsyat ke arah leher Sin Wan. Pemuda ini yang tadinya terhuyung ketika menangkis serangan pukulan jarak jauh Pek Bin Moli, tidak sempat menangkis dan cepat merendahkan tubuh sehlngga golok itu menyambar ke atas kepalanya, nyaris membabat rambutnya. Dan pada saat itu, terdengar bunyi bersiut keras dan senjata ular panjang di tangan Pek 8in Moli menyambar ke arah pinggang pemuda itu. Sin Wan nampaknya tak mampu menghindar dan ular itu bagaikan hidup, telah melilit pinggang Sin Wan.
"Hi..hi..hik......!" Pek Bin Moli tertawa dan menarik senjatanya yang telah membelit pinggang yang sudah nampak tidak berdaya itu. Tubuh Sin Wan tertarik, akan tetapi alangkah kaget rasa hati wanita itu ketika tiba-tiba Sin Wan yang nampak tak berdaya dan tubuhnya terbetot tadi menggerakkan pedang ke arah pergelangan tangannya yang memegang ujung sabuk ular!
"Ihh.......!" Ia menarik tangannya.
"Brett!" Pedang tumpul menyambar ke arah sabuk itu dan ular itu terpotong menjadi dua! Gerakan pemuda itu sungguh tak pernah disangka lawan. Dia telah menggunakan ilmu yang baru saja dia pelajari dari Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki, yaitu mempergunakan tenaga "mengalah untuk menang". Nenek itu meloncat ke belakang dan wajahnya yang putih pucat itu menjadi agak kemerahan. Kemudian ia mengeluarkan suara melengking tinggi dan menggunakan sabuk yang tinggal satu meter lebih itu untuk menyerang lagi.
Kembali Sin Wan terdesak. Pada saat itu, terdengar suara orang tertawa dan disusul ucapan yang gembira.
"Heh..heh..ho..ho..ho! Kiranya sepasang iblis tanpa malu-malu mengeroyok seorang muda. Kulihat kemajuan kalian hanya dalam kecurangan saja, dan dengan modal ini kalian ingin merajai dunia persilatan? Ha..ha..ha!"
Sin Wan meloncat ke belakang dan wajahnya berseri. Belum melihat orangnya saja dia sudah mengenal suara itu. Dan kini, pemilik suara itu berada di situ. Seorang kakek berusia kurang lebih enampuluh lima tahun, mukanya merah segar seperti orang mabok, perutnya gendut seperti anak-anak berpenyakit cacingan, pakaiannya tambal-tambalan dan sikapnya ugal-ugalan, mulutnya tersenyum nakal.
"Suhu.....!!" Sin Wan berseru gembira sekali. Kakek itu memang gurunya, orang yang sedang dicari-carinya, Ciu-sian (Dewa Arak) Tong Kui, seorang di antara Sam-sian!
Ciu Sian tertawa bergelak.
"Ha..ha..ha..ha, lihat mereka lari terbirit-birit. Dasar licik, biar mereka sudah memiliki ilmu kepandaian setinggi langit, kalau melihat keadaan tidak menguntungkan, mereka akan lari."
"Suhu, terima kasih, suhu. Tadi hampir saja teecu sudah tidak kuat bertahan lagi. Kalau suhu tidak cepat datang....."
"Ha..ha..ha, mereka memang berbahaya sekali, Sin Wan. Akan tetapi kulihat tadi, pertandingan itu berat sebelah. Pertama, engkau dikeroyok dua. Ke dua, kalau mereka menyerang dengan ganas untuk membunuh engkau hanya bertahan saja, sama sekali tidak mempunyai niat merobohkan mereka. Sin Wan, aku khawatir, kelak sikapmu yarg suka mengalah itu akan mencelakai dirimu sendiri. Akan tetapi, mengapa engkau berkelahi dengan sepasang iblis itu?"
Sin Wan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kakek itu.
"Suhu, apakah selama ini suhu baik-baik saja? Teecu datang ke sini mencari suhu, karena teecu merindukan suhu. Dan di sini teecu bertemu dengan mereka dan........."
"Ehh? Tengkorak siapa itu yang tergantung di dadamu?"
"Ini adalah tengkorak mendiang suhu Kiam-Sian dan suhu Pek-mau-sian."
"Eh? Kenapa begitu? Apa yang terjadi? Aku baru saja tiba dan melihat bekas lilin di atas meja di pondok, maka aku mencarimu ke sini."
"Suhu, ketika teecu datang ke sini untuk mencari suhu, teecu langsung menuju ke makam kedua suhu. Ternyata kedua makam itu telah dibongkar orang dan bahkan peti matinya dibuka, dan tengkorak di dalamnya lenyap. Teecu menanti sampai malam tiba dan bulan muncul, dan teecu melakukan penyelidikan. Ketika teecu mendengar suara, teecu menghampiri tempat ini dan melihat kedua orang itu sedang melatih ilmu pukulan jarak jauh sambil duduk di atas tumpukan tengkorak itu. Dan di antara tengkorak-tengkorak itu, terdapat dua tengkorak ini yang menurut mereka.adalah tengkorak dari suhu Kiam-sian dan suhu Pek-mau-sian. Teecu segera minta dikembalikannya tengkorak-tengkorak ini. Mereka menyerang teecu dan terjadi perkelahian tadi."
"Siancai......! Sungguh, untuk mencapai tujuan, orang sesat tidak pantang mempergunakan cara apapun juga. Tengkorak yang berserakan di sisi berlubang-lubang, tentu mereka melatih diri dengan ilmu sesat."
"Menurut pendengaran teecu, mereka tadi melatih ilmu Toat-beng Tok-ciang dan Touw-kut-ci."
"Ahhh! Kalau kedua ilmu itu sudah mereka latih sempurna. akan sukar menandingi mereka. Marl, kita urus dulu kerangka dan tengkorak kedua orang gurumu. Kasihan sekali kalian, Kiam-sian dan Pek-mau-sian, sampai sudah matipun tubuh kalian masih diganggu orang jahat!" Mereka berdua lalu meninggalkan tempat itu dan pergi ke makam dua orang anggauta Sam-sian.
Dengan hati-hati Sin Wan mengembalikan dua buah tengkorak itu ke peti masing-masing. Hanya kepala yang menonjol ke belakang dari satu di antara dua tengkorak itu yang menjadi pegangannya bahwa itu adalah tengkorak Pek-mau-sian.
Di bawah sinar bulan yang sudah berada di atas kepala, Ciu Sian melihat dua buah peti mati yang terbuka itu dan sejenak dia tertegun. Lalu dia menarik napas panjang.
"Kiam-sian dan Pek-mau-sian, kalau kalian sudah menjadi seperti ini, siapalagi yang mengenali kalian? Tidak perduli kerangka kalian ini kerangka dua orang datuk persilatan yang ternama, atau kerangka raja, atau kerangka seorang jembel miskin yang papa; siapa yang akan mengetahuinya? Semua kalau sudah mati akan sama saja, tidak ada gunanya kecuali untuk menakut-nakuti anak kecil. Bersama daging kulit yang membentuk rupa berbeda-beda, lenyap pula segaia macam martabat, kedudukan, kehormatan, kekayaan dan kepandaian. Kiam-sian dan Pek-mau-sian, tidakkah lebih baik kalau sisa-sisamu ini dilenyapkan saja sama sekali agar tidak meninggalkan pemandangan yang tidak sedap ini?"
Sin Wan membiarkan gurunya bicara sendiri kepada kerangka dalam dua buah peti mati itu. Setelah suhunya berhenti bicara, baru dia bertanya,
"Suhu, apa yang akan suhu lakukan dengan kerangka kedua suhu ini? Menguburkan mereka kembali?"
"Untuk kemudian kalau tidak terjaga dibongkar orang pula? Atau digerogoti tikus, cacing atau semut sehingga akan habis sedikit demi sedikit? Tidak, Sin Wan. Kita perabukan saja mereka dan aku yakin mereka tidak akan keberatan kalau mereka masih dapat melihat betapa sisa-sisa mereka diperabukan."
"Akan tetapl, suhu, teecu pernah mendengar dari mendiang ibu bahwa orang matl harus dikubur, dikembalikan kepada bumi dari mana jasad ini berasal. Berasal dari tanah dan dikembalikan kepada tanah, bukankah itu sudah tepat sekali?"
"Bukan hanya unsur tanah yang membentuk tubuh manusia, Sin Wan. Ada empat unsur, yaitu tanah, air, api dan udara. Nah, kalau kita bakar menjadi abu, itupun berarti kembali ke asalnya. Dikembalikan ke tanah menjadi debu, dikembalikan ke api menjadi abu, apa bedanya? Setelah mati, jasmani tidak ada artinya lagi, tidak perlu diributkan. Kalau jiwa masih berada di dalam badan, nah, barulah jasmani perlu diperhatikan dan dirawat baik-baik, dijaga baik-baik dalam keadaan bersih karena badan merupakan anugerah bagi jiwa, memungkinkan jiwa hidup di dunia ini. Akan tetapi aneh. Selagi hidup, badan tidak diperhatikan, dirusak malah karena hendak menuruti segala perintah nafsu daya rendah, kalau sudah mati, badan tidak dihuni jiwa lagi, diributkan. Sungguh lucu!"
Sin Wan tidak dapat membantah pendapat Ciu Sian. Dia menurut saja dan membantu suhunya membakar dua kerangka dan tengkorak itu sampai menjadi abu.
"Sewaktu kami tinggal di sini, Kiam-sian dan Pek-mau-sian amat menyenangi tempat ini. Karena itu, kita biarkan sisa mereka, yaitu abu ini agar menikmati tempat ini sebebasnya."
Setelah berkata demikian, Ciu Sian mengajak muridnya ke puncak Pek-in-kok dan mereka berdua menaburkan kedua abu kerangka yang tidak banyak itu ke udara. Angin malam menyambar abu itu dan membawanya bertebaran di seluruh lembah.
Hampir pagi hari keduanya kembali ke pondok, karena bulanpun sudan surut ke barat. Sin Wan menyalakan lilin dan merekapun duduk berhadapan di atas bangku, terhalang meja.
"Nah, sekarang ceritakanlah semua pengalamanmu, Sin Wan. Di mana sumoimu sekarang dan mengapa ia tidak ikut denganmu ke sini?" Ciu Sian bertanya setelah meneguk arak dari guci araknya.
Guci araknya itu indah dan antik karena benda itu hadiah dari Kaisar Thai-cu kepadanya. Dia mendapatkan hadiah guci arak berikut arak tua yang sudah lama habis, mendiang Kiam-sian mendapatkan hadiah Pedang Tumpul yang kini menjadi millk Sin Wan, sedangkan mendiang Pek-mau-sian menerima hadiah sebuah kitab kamus dan suling perak. Kitab kamus itu kini disimpan Sin Wan dan suling peraknya disimpan Kui Siang.
Dengan singkat Sin Wan menceritakan pengalamannya selama dia dan sumoinya, Lim Kui Siang, berpisah meninggalkan gurunya ini setahun lebih yang lalu setelah Ciu Sian menggembleng mereka selama setahun dalam sebuah hutan di puncak bukit yang terpencil. Dia dan Kui Siang bertemu dengan kakek sakti Pek-Sim Lo-kai Bu Lee Ki, bahkan menjadi tamu undangan Pangeran Yung Lo di Peking bersama kakek itu.
Kemudian mereka berdua menerima petunjuk dalam ilmu silat dari kakek Bu Lee Ki, membantu kakek itu menertibkan kembali para pimpinan kai-pang (perkumpulan pengemis), juga membantu Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki untuk memenangkan perebutan kedudukan pemimpin besar sekalian kai-pangcu (ketua perkumpulan pengemis). Juga dia menceritakan betapa dia dan sumoinya telah diberi anugerah kedudukan oleh Pangeran Yung Lo. Dia akan dijadikan seorang panglima muda sedangkan Kui Siang diangkat menjadi pengawal pribadi sang pangeran.
"Ha..ha, bagus sekali kalau begitu!" Ciu-sian tertawa bangga mendengar murid-muridnya mendapatkan pengharagaan dari Pangeran Yung Lo yang menjadi raja muda di Peking.
"Pangeran Yung Lo adalah seorang pangeran yang gagah perkasa, menjadi raja muda yang berkuasa di daerah utara. Beliau yang berjasa besar membendung para pengacau dari utara, dan beliau yang bekerja keras membersihkan orang-orang Mongol yang masih ingin merebut kembali kekuasaan di negeri ini."
"Memang beliau seorang pangeran yang gagah dan bijaksana, suhu."
"Kalau begitu, kenapa engkau berada di sini mencariku? Dan di mana Kui Siang sekarang? Kenapa kalian berpisah?"
Sin Wan menghela napas panjang. Kalau pertanyaan suhunya ini diajukan beberapa pekan yang lalu, mungkin saja dia akan menangis saking sedihnya. Akan tetapi, luka itu sudah hampir mengering, kedukaan itu sudah kehilangan sengatnya. Dia hanya merasa nelangsa, tidak terbenam duka yang menekan.
"Suhu, locianpwe Bu Lee Ki dan sumoi, dua orang yang selama ini akrab dengan teecu, telah menjauhkan diri dari teecu. Tanpa disengaja, mereka berdua mendengar bahwa teecu adalah anak tiri mendiang Se Jit Kong. Mendengar itu, Bu-locianpwe yang kini menjadi thai-pangcu merasa tidak semestinya bergaul dengan teecu, kecuali kalau kelak teecu dapat membuktikan bahwa teecu tidaklah jahat seperti mendiang ayah tiri teecu itu. Adapun sumoi........."
Dewa Arak mengerutkan alisnya.
"Bagaimana dengan Kui Siang?"
Sin Wan termenung.
"Suhu, teecu sama sekali tidak dapat menyalahkan sumoi. Suhu tahu bahwa keluarga sumoi hancur oleh Se Jit Kong. Kalau ia mendengar teecu anak tiri Se Jit Kong kemudian ia memisahkan diri, hal itu sudah sepantasnya. Mereka telah meninggalkan teecu agar jangan tercemar oleh nama busuk teecu yang berlepotan dosa Se.Jit Kong. Bahkan mungkin saja Pangeran Yung Lo akan bersikap lain kalau mendengar teecu anak tiri Se Jit Kong. Teecu sudah kehilangan segalanya, maka teecu teringat kepada suhu dan mencari ke sini......"
Mendengar ucapan yang menyedihkan itu, Dewa Arak tertawa bergelak! Kalau orang lain yang berhadapan dengan Cui-sian, dia pasti akan tersinggung, setidaknya akan penasaran dan heran. Mendengar kesengsaraan muridnya malah tertawa bergelak seperti orang kegirangan! Akan tetapi Sin Wan sudah mengenal watak suhunya ini dengan baik, maka diapun tidak merasa heran. Dia tahu bahwa suhunya ini amat sayang kepadanya, akan tetapi kakek ini tidak pernah mau memperlihatkan apa yang dirasakannya.
"Ha..ha..ha..ha, sepatutnya engkau bersyukur karena telah merasakan banyak kekecewaan dan kepahitan. Itulah pengalaman terbaik dalam kehidupan ini. Bagaikan orang berlayar di samudera, betapa akan menjemukan kalau lautan itu selalu tenang saja, tak pernah bergelombang. Justeru menempuh gelombang itulah yang membuat kita sadar bahwa kita ini hidup! Engkau harus berani menghadapinya dan mengatasinya. Jangan sembunyi dalam kecengengan. Manusia hidup matang dalam tempaan pengalaman hidup yang serba pahit. Orang akan menjadi besar oleh gemblengan kepahitan hidup, sebaliknya orang akan menjadi dungu dan malas oleh maboknya kemanisan hidup. Kesusahan dan keprihatinan membuat orang bijaksana, sebaliknya kesenangan dan kemakmuran membuat orang menjadi tumpul dan lengah."
Sin Wan menghela napas panjang.
"Teecu mengerti apa yang suhu maksudkan. Akan tetapi, suhu, bagaimana teecu tidak akan bersedih? Antara teecu dan sumoi telah terjalin hubungan batin yang amat akrab, kami saling mencinta dan sekarang hubungan itu putus begitu saja. Teecu merasa seperti sehelai daun kering yang rontok, terjatuh ke dalam air, terbawa arus air tanpa daya......."
Kembali kakek itu tertawa bergelak.
"Ha..ha..ha..ha, ucapanmu itu membikin malu guru-gurumu yang telah menggemblengmu, Sin Wan. Menjadi daun kering membusuk terbawa arus air sungai. Phuah! Pendekar macam apa ini? Berkeluh kesah, menangis .dan cengeng! Duka itu hanya permainan pikiran saja, Sin Wan. Pikiran yang sudah dicengkeram nafsu hanya memikirkan kesenangan bagi diri sendiri. Nafsu selalu mengejar kesenangan, selalu menjauhi ketidak senangan. Kesenangan itu tersembunyi di mana-mana, kadang mengenakan jubah bersih, seperti musang berbulu ayam. Nafsu mendorong kita untuk menonjolkan diri dan penonjolan diri inipun bukan lain hanyalah kesenangan. Kita menginginkan kekayaan, kedudukan, kepandaian, ke mashuran melalui perbuatan baik atau melalui karya-karya mengagumkan, semua itupun menjadi tempat persembunyian kesenangan. Dan kalau pengejaran kesenangan itu gagal, maka datanglah kecewa, nelangsa dan iba diri yang membawa duka. Engkau merasakan kesenangan dalam hubungan kasihmu dengan sumoimu, merasakan kesenangan dalam hubungan baikmu dengan Bu Lee Ki si jembel tua itu. Ketika mereka memisahkan diri menjauhimu, engkau kehilangan kesenangan itu dan menjadi kecewa, iba diri dan berduka. Engkau menyiksa diri dan menjadi cengeng dan itu suatu perbuatan yang sama sekali keliru."
JILID 01
Garis puncak-puncak gunung di barat itu nampak jelas, seolah ada Tangan Ajaib yang membuat goresan tebal. Bahkan rimbun daun pohon-pohonan di sekitar puncak nampak, juga lembah dan ngarai, tonjolan bukit dan lekuk jurang. Makin ke bawah, hutan-hutan itu nampak semakin nyata dan semakin hijau, berbeda dengan yang di dekat puncak, yang berwarna kebiruan dan terkadang disembunyikan di balik tirai awan tipis. Matahari senja yang mendatangkan kecerahan pada puncak-puncak gunung itu, seolah sang matahari sebelum menghilang di balik sana untuk menunaikan tugas di belahan bumi yang sana, ingin meninggalkan kesan yang indah.
Permainan sinar matahari yahg dipantulkan awan basah di udara melukiskan lengkung pelangi di sebelah utara. Lengkung setengah lingkaran, mengingatkan kita pada dongeng kuno bahwa lengkung pelangi itu merupakan tangga para bidadari yang hendak turun ke bumi! Kadang-kadang nampak serombongan burung melintasi langit, bergerak-gerak membentuk garis yang aneh, ada kalanya nampak seperti bentuk seekor naga yang sedang melayang-layang. Dari barat nampak mahluk terbang yang bukan burung, namun yang terbangnya demikian laju, menuju ke timur, menyongsong kegelapan di timur. Kalau segala macam burung beterbangan pulang ke sarang mereka setelah sehari penuh bekerja mencari makan, binatang kelelawar itu sebaliknya meninggalkan sarang untuk mulai bekerja! Mereka bekerja di malam hari dan tidur di siang hari.
Pria muda yang berdiri di lereng itu menghadap ke barat, seperti terpesona, seolah merasa dirinya tenggelam ke dalam suasana yang hening dan indah itu, suasana yang agung dan dalam. Seluruhnya merupakan kesatuan yang tak terpisahkan bahkan dirinya menjadi sebagian dari pada kebesaran alam itu. Tidak ada satupun yang kurang, tidak ada pula yang lebih. Sudah pas, sebuah keadaan sempurna tanpa kemarin tanpa esok. Semua menuju ke mulut kegelapan yang sudah siap untuk menelan segala yang nampak, kegelapan sang malam.
Pemuda ltu menghela napas panjang dan terdengar suaranya seperti rintihan lirih, bersama helaan napasnya.
"Tuhan Maha Besar........!" dan dipejamkan kedua matanya sejenak dengan hati penuh haru dan rasa syukur kepada Sang Maha Kuasa atas segala kurniah yang telah dirasakannya sampai saat itu. Kemudian dia teringat bahwa dia harus melanjutkan perjalanan, menuju ke puncak di depan itu, yaitu di Pek-in-kok (Lembah Awan Putih) di pegunungan Ho-lan-san ini.
Sebelum melanjutkan langkahnya, dia menoleh ke timur dan nampaklah sungai Kuning (Huang-ho) yang panjang seperti seekor ular naga. Nampak pula genteng rumah-rumah pedesaan sepanjang lereng dan kaki bukit, juga samar-samar nampak pula kota Yin-coan di tepi sungai itu. Kembali, dia menghela napas panjang. Baru dua tahun lebih dia meninggalkan tempat ini, dan waktu yang hampir seribu hari lamanya itu kini terasa seperti baru kemarin dulu saja. Betapa cepatnya sang waktu terbang lalu kalau tidak diperhatikan. Teringat dia akan nasihat mendiang ibunya tentang waktu.
"Waktu lewat dengan cepatnya, hidup adalah waktu yang cepat berlalu, oleh karena itu, isilah waktu yang singkat itu dengan perbuatan yang bermanfaat bagi manusia dan dunia, anakku."
Kembali dia menghela napas, lalu melanjutkan mendaki lereng menuju Lembah Awan Putih di depan.
Kalau ada orang melihatnya pada waktu itu, dia tentu akan terkejut dan heran melihat ada orang dapat mendaki lereng sedemikian cepatnya. Nampaknya dia melangkah biasa saja, namun tubuhnya meluncur cepat ke depan seperti terbang! Sekali melangkah, tubuhnya meluncur sampai dua tiga meter. Karena pemuda itu mahir ilmu berlari cepat seperti terbang, sebelum malam tiba dia sudah sampai di tempat yang dituju. Lembah Awan Putih! Tempat yang amat dikenalnya, pernah menjadi kampung halamannya selama bertahun-tahun. Dan kini dia berdiri di depan sebuah pondok yang reyot karena tidak terpelihara. Pondok itu dikepung tumbuhah-tumbuhan yang lebat, bahkan tumbuh-tumbuhan merayap sampai memenuhi gentengnya.
"Suhu (guru)......," pemuda itu mengeluh, hatinya kecewa karena keadaan pondok itu jelas menunjukkan bahwa gurunya tidak kembali ke pondok itu, bahwa dia tidak akan bertemu gurunya di tempat itu seperti yang diharapkannya semula. Kini semakin yakin hatinya bahwa kekecewaan menjadi ekor dari keinginan dan harapan. Hanya dia yang tidak mempunyai keinginan dan harapan apapun, akan bebas dari pada kekecewaan. Akan tetapi, mungkinkah manusia hidup tanpa keinginan dan harapan?
Dia meninggalkan pondok tanpa mencoba untuk membuka daun pintu yang reyot itu. Dengan langkah cepat diapun menuju ke utara di mana dahulu jenazah dua orang gurunya yang lain dimakamkan. Dia ingin melihat kuburan itu sebelum gelap, dan untuk menghormati makam kedua orang gurunya, diperjalanan mendaki bukit tadi dia telah mengumpulkan banyak bunga, terutama mawar. Dia tidak dapat meniru kebiasaan orang Han yang menghormati makam leluhur dengan upacara sembahyang dan penyuguhan korban berupa masakan-masakan dan makanan. Ibunya mengajarkan kepadanya bahwa yang wajib dipuja dan disembah hanya Tuhan Yang Maha Esa.
Berkunjung ke makam hanya untuk membuktikan bahwa dia selalu masih teringat akan kebaikan guru-gurunya, masih menghormati mereka yang sudah tiada, dan perasaan sayang itu dinyatakan dengan penaburan bunga dan membersihkan makam, dan doa-doa yang disampaikan adalah doa permohonan kepada Tuhan agar roh dua orang gurunya mendapat pengampunan dari Tuhan Yang Maha Pengampun.
Diapun maklum bahwa sembahyangan di depan makam dengan mengorbankan masakan-masakan itupun mungkin memiliki tujuan yang sama, untuk menyatakan rasa kasih sayang mereka kepada yang mati. Akan tetapi hal itu dianggapnya berlebihan, karena pada akhirnya mereka yang menyuguhkan makanan itu yang akan menghabiskan makan itu sendiri. Sungguh merupakan bentuk prihatin yang amat aneh baginya, bertentangan dengan perasaannya, oleh karena itu, dia tidak sanggup menirunya.
Kini dia berdiri di depan dua buah makam itu dan dia terbelalak, wajahnya berubah pucat. Jelas nampak betapa dua buah makam itu telah dibongkar orang!
Agaknya perbuatan itu belum lama dilakukan orang. Tanah yang digali itu masih baru. Dan kedua buah peti mati itupun sudah terbuka! Dia menghampiri dan menjenguk isi peti. Tulang-tulang berserakan, akan tetapi yang amat mengejutkan hatinya, kedua peti mati itu hanya berisi tu lang-tulang saja, tidak ada tengkoraknya! Tengkorak kedua orang gurunya telah lenyap!
"Ya Allah, siapa yang melakukan perbuatan terkutuk ini? Kejam benar........," Dia berlutut dan menutupkan kembali kedua buah peti itu, akan tetapi tidak menimbunkan tanah kembali karena dia akan mencari dulu dua tengkorak suhunya untuk dikembalikan ke tempat semula, di dalam peti mereka. Akan tetapi ke mana dia harus mencari?
Malam mulai datang menyelimuti bumi. Dia teringat bahwa nanti bulan akan muncul dan melihat iangit demikian terang, malam nanti amat cerah. Dia akan melakukan penyelidikan kalau bulan telah bersinar nanti.
Dengan langkah gontai pemuda itu kembali ke pondok. Di dalam keremangan cuaca senja, tubuhnya nampak tinggi tegap dan gagah. Langkahnya gontai, lentur seperti langkah seekor harimau. Tubuhnya yang tegak dengan bahu yang bidang. Di punggungnya terikat sebuah buntalan pakaian yang bentuknya agak panjang, memudahkan orang menduga bahwa dalam buntalan itu terdapat pula sebatang pedang dengan sarungnya. Pakaiannya sederhana sekali, dari kain tebal yang awet berwama biru, sepatu hitam, dan kepalanya tertutup sebuah caping lebar seperti yang biasa dipakai para petani di daerah Sin-kiang.
Kini dia tiba di depan pondok. Dibukanya pintu itu. agak sukar karena macet. Dia mengerahkan sedikit tenaga dan daun pintu itu terbuka. Cuaca belum gelap benar sehingga di masih dapat melihat keadaan dalam pondok. Wajahnya cerah. Ternyata, keadaan dalam pondok itu cukup bersih dan perabot rumah yang dahulu masih lengkap. Ada bangku, ada meja, bahkan dipan kayu di situ, lima buah banyaknya, masih ada.
Seolah baru ditinggal kemarin saja, dia menghampiri sudut di mana terdapat sebuah meja besar dan ternyata di situ masih terdapat banyak lilin. Juga alat pembuat api masih ada. Segera dinyalakannya tiga batang lilin dan ditaruh di atas meja di tengah ruangan. Kini, cahaya tiga batang lilin besar itu cukup terang, menyinari Wajahnya ketika dia duduk termenung di atas bangku, menghadap lilin di atas meja setelah membersihkan debu dari bangku dan meja dengan sebuah sapu bulu ayam.
Dia seorang laki-laki yang masih muda. Duapuluh dua atau dua puluh tiga tahun usianya. Kulit muka, leher dan tangannya gelap, akan tetapi tidak hitam sekali, seperti kulit petani yang setiap hari ditimpa sinar matahari. Wajahnya tampan dan .gagah. Dahinya lebar, alisnya hitam tebal berbentuk golok, matanya tidak sipit, lebar bersinar aneh. Hidungnya tinggi, agak besar, bersama mulutnya yang berbibir tebal membayangkan keteguhan hati. Dagunya juga berlekuk dan keras. Muka itu bersih, tidak ditumbuhi jenggot dan kumis karena selalu dicukurnya. Wajah seorang pemu da yang jantan.
Namanya Sin Wan. Sin Wan begitu saja, tanpa nama keturunan karena mendiang ayahnya adalah seorang Uighur Kasak bemama Abdullah, dan ibu kandungnya seorang wanita cantik berbangsa Uighur pula, beragama lslam, bernama Jubaedah. Ayah kandungnya terbunuh oleh seorang datuk sesat bernama Se Jit Kong yang berjuluk Si Tangan Api, seorang Kasak yang sakti dan jahat.
Ketika ayah kandungnya terbunuh, dia masih dalam kandungan ibunya dan untuk menyelamatkan kandungannya itulah ibunya yang cantik jelita, rela diperisteri Si Tangan Api. Setelah menjadi isteri datuk itu. Jubaedah disebut Ju Bi Ta. Agaknya Se Jit Kong yang berdarah campuran itu ingin mengangkat namanya dl dunia kang-ouw, maka dia menggunakan nama bangsa Han.
Se Jit Kong yang ingin menonjolkan kesaktiannya, telah melakukan perbuatan yang berlebihan. Tidak saja dia menantang dan mengalahkan banyak tokoh pendekar di dunia persilatan, juga dia bahkan mencuri banyak pusaka istana kaisar. Hal ini menggegerkan dunia kangouw dan para tokoh kangouw, juga kaisar sendiri, minta pertolongan Sam-sian, tiga orang datuk besar dunia persilatan, untuk mencari Se Jit Kong dan merampas kembali pusaka-pusaka istana itu.
Sam-sian (Tiga Dewa) berhasil merampas kembali pusaka-pusaka itu dan Se Jit Kong yang dikalahkan Sam-sian, membunuh diri. Setelah Se Jit Kong tewas, barulah Jubaedah membuka rahasia kepada Sin Wan. Anak laki-laki yang sampai usia sepuluh tahun menganggap Se Jit Kong sebagai ayah kandungnya itu baru tahu bahwa Se Jit Kong sama sekali bukan ayahnya, bahkan pembunuh ayah kandungnya! Dan setelah membuka rahasia ini, Jubaedah juga membunuh diri di depan mayat suaminya.
Sem"a kenangan ini terbayang dalam benak Sin Wan ketika dia duduk termenung memandangi api lilin. Setelah Se Jit Kong dan ibu kandungnya tewas, dia menjadi yatim piatu dan menjadi murid Sam-sian yang terdiri dari tiga orang, yaitu Ciu Sian (Dewa Arak) Tong Kui, Kiam-sian (Dewa Pedang) Low Sun, dan Pek-mau-sian (Dewa Rambut Putih) Thio Ki. Dia diajak Sam-sian menyerahkan pusaka-pusaka kepada kaisar. Ketika diberi hadiah, Kiam-sian memilih pedang tumpul yang kemudian diberikan kepada Sin Wan.
Dan di kota raja inilah, Sam-sian mendapatkan murid baru, seorang anak perempuan bernama Lim Kui Siang, yatim piatu karena orang, tuanya yang bangsawan pengurus gudang pusaka dibunuh Se Jit Kong ketika datuk ini mencuri pusaka. Sam-sian merasa kasihan dan menerima Kui Siang menjadi murid mereka.
Sin Wan menghela napas panjang ketika dia teringat akan semua itu. Ketika bertanding melawan Bi-coa Sianli (Dewi Ular Cantik) Cu Sui In, seorang tokoh sesat wanita yang amat lihai, Kiam-sian dan Pek-mau-sian tewas, dan wanita cantik itu terluka parah. Ciu Sian tidak membunuhnya dan membiarkannya pergi. Semenjak itu, Ciu Sian menggembleng Sin Wan dan Kui Siang dengan ilmu simpanan, yang dirangkai oleh Sam-sian, dan dinamakan Sam-sian Sin-ciang (Tangan Sakti Tiga Dewa). Kemudian, Ciu Sian menyuruh kedua orang muridnya turun gunung setelah menyatakan keinginannya agar kedua orang murid berjodoh.
"Sumoi (adik seperguruan)........," Sin Wan mengeluh ketika dia teringat kepada Kui Siang. Mereka saling mencinta, akan tetapi kemudian tanpa disengaja, gadis itu mengetahui bahwa dia adalah anak tiri dan juga murid mendiang Se Jit Kong, musuh besar gadis itu yang telah menghancurkan keluarganya.
Kui Siang marah dan meninggalkannya, memutuskan perhubungan di antara mereka. Gadis itu tentu kini telah menjadi pengawal pribadi Pangeran Yung Lo di Peking, seperti yang ditawarkan oleh pangeran itu kepadanya. Dia telah kehilangan sumoinya, gadis dan wanita pertama yang dicintanya.
Dan dia kehilangan pula gurunya yang terakhir, biarpun guru tak resmi. Juga seorang yang amat dihormati dan dikasihinya, yaitu Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki. Dia ditinggalkan kakek itu yang merasa tidak senang pula mendengar bahwa dia adalah putera tiri mendiang Se Jit Kong yang amat jahat. Dia telah kehilangan segalanya dan dalam keadaan patah hati itu dia berkunjung ke lembah ini, Lembah Awan Putih, untuk mencari gurunya yang tinggal seorang, seorang di antara Sam-sian, yaitu Dewa Arak.
Semua pengalaman itu terbayang dalam ingatan Sin Wan, membuat dia termenung. Akan tetapi ketika bayangan itu tiba pada waktu dia berkunjung ke depan makam mendiang Kiam-sian dan Pek-mau-sian, dia segera sadar dari lamunannya. Kuburan kedua orang gurunya tercinta itu dibongkar orang, dan tengkorak mereka dicuri orang! Dia sadar sepenuhnya kini, telah meninggalkan dunia lamunannya. Seketika lenyap pula semua kedukaan yang tadi menggerogoti hati dan pikirannya.
Dan bagaikan sinar terang yang mengusir kegelapan yang tadi menyelubungi batinnya, kini nampaklah jelas olehnya bahwa semua kesedihan, semua rasa duka hanya merupakan permainan dari pikirannya sendiri belaka. Pikiran yang mengenang masa lalu, menghubungkan dengan bayangan masa depan, menimbulkan kemuraman dari iba diri, dan muncullah rasa duka nestapa. Seolah-olah di dunia ini hanya dia seorang yang hidup menderita kedukaan. Duka timbul akibat kecewa, akibat iba diri, dan semua ini hanyalah ulah pikiran yang mengenang masa lalu.
Masa lalu telah lewat, telah mati! Demikian dia berbisik sambil mengepal tinju. Masa depan hanya bayangan! Yang penting sekarang, saat ini! Hidup adalah saat demi saat yang harus dihadapi dengan tabah, yang harus dihadapi dengan waspada, menempuh segala macam tantangan dan tantangan, berusaha sedapat mungkin untuk mengatasinya! Itulah hidup. Bukan membiarkan diri tenggelam ke dalam kenangan pahit masa lalu dan bayangan menggelisahkan masa depan.
Hidup merupakan perjuangan menghadapi setiap tantangan. Tidak lari dari kenyataan, melainkan menghadapi tantangan dan berusaha menanggulanginya, mengatasinya, itulah seni kehidupan! Didasari penyerahan kepada Yang Maha Kuasa, maka segala sesuatu dapat dihadapinya dengan tabah. Segala hal hanya dapat terjadi atas kehendak Tuhan! Sesal dan duka tiada gunanya. Berusaha sedapat mungkin, akan tetapi menyerahkan keputusan terakhir kepada Allah Maha Kasih.
Sin Wan bangkit dari bangkunya, melangkah ke pintu depan. Dia membuka daun pintu dan angin berembus masuk, memadamkan tiga batang lilin yang menyala di atas meja. Kegelapan karena padamnya lilin justeru mempertajam cahaya bulan yang sudah muncul. Sin Wan memasuki kembali pondok yang kini remang-remang, mengeluarkan sebatang pedang dari dalam buntalan pakaian yang tadi dia letakkan di atas meja dan mengikatkan sarung pedang di punggungnya. Pedang itu merupakan pedang yang sarung dan gagangnya nampak butut dan jelek, walaupun bersih dan terpelihara. Sebatang pedang yang butut, dan kalau dihunus, orang akan mentertawakannya. Bukan hanya sarung. dan gagangnya yang butut, akan tetapi pedang itu sendiripun jelek dan sama sekali tidak meyakinkan.
Selain buatannya kasar seperti pedang yang belum jadi, belum matang ditempa, juga pedang itu tidak tajam dan tdak runcing, melainkan tumpul. Pedang tumpul! Namun pemiliknya merawatnya degan hati-hati, menganggapnya sebagai sebuah pusaka yang ampuh, dan memang kenyataannya, pedang yang tumpul dan buruk rupanya itu adalah sebatang pusaka kuno yang ampuh. Sin Wan mendapatkannya dari mendiang Kiam-sian, sebagai hadiah dari Kaisar Thai Cu karena Sam-sian telah berhasil merampas kembali pusaka-pusaka istana yang dicuri mendiang Se Jit Kong.
Sin Wan keluar dari pondok, menutupkan kembali daun pintu dan mulailah dia melakukan penyelidikan di bawah sinar bulan yang cukup terang. Sinar bulan sepotong di langit bersih mendatangkan cahaya yang kehijauan, redup akan tetapi cukup terang, nyaman dan sejuk. Ujung daun-daun pohon nampak berseri bermandikan cahaya bulan. Dia segera menuju ke makam kedua orang gurunya. Begitu dia tiba di situ, tiba-tiba dia mendengar suara berciutan sambung menyambung. Suara apakah itu?
Dia menoleh ke kiri karena dari sanalah datangnya suara itu. Seperti suara burung mencuit-cuit nyaring. Akan tetapi, malam-malam begini mana ada burung berkicau? Dia sudah mengenal suara burung malam, burung hantu, dan tidak ada burung malam yang suaranya seperti itu.
"Culiiiiiit.......! Cuiiiiittt.........!!"
Suara itu berulang terus dan Sin Wan cepat menghampiri ke arah suara. Suara itu semakin nyaring dan kini dia dapat menangkap suara desir angin pukulan yang dahsyat! Tentu saja dia terkejut dan heran. Dia kini menyelinap dan menyusup di antara pohon dan semak belukar, menghampiri tempat itu dan mengintai.
Apa yang dilihatnya membuat Sin Wan terbelalak. Banyak pohon roboh seperti ditebang di tempat itu, dan pohon-pohon itu berserakan. Tempat itu kini terbuka seluas tidak kurang dari limabelas tombak kali duapuluh tombak, dan tempat itu cukup terang karena tidak terhalang sinar bulan. Di sudut kanan dan kiri, terpisah antara sepuluh tombak, nampak tumpukan tengkorak! Ada puluhan buah tengkorak manusia besar kecil tertumpuk di situ, menjadi dua tumpukan bukit kecil dan di atas masing-masing bukit tengkorak itu duduk bersila seorang kakek dan seorang nenek!
Sungguh amat menyeramkan keadaan di situ walaupun kakek dan nenek itu wajahnya tidak menyeramkan. Bahkan kakek itu masih memiliki wajah yang tampan, dan nenek itupun masih cantik walaupun usia mereka sudah sekitar enampuluh tahun. Tubuh kakek itu masih tinggi tegap dengan pakaian serba putih, juga nenek itu masih ramping dalam pakaian yang serba putih pula. Pakaian mereka terbuat dari sutera halus yang mengkilat tertimpa sinar bulan yang redup. Yang aneh dan menyeramkan hanya wama muka mereka. Kakek itu mukanya merah seperti dicat atau dilumuri darah, sedangkan muka wanita itu putih pucat seperti muka mayat.
Sin Wan memandang dengan jantung berdebar. Bukan keadaan kakek dan nenek itu yang membuat hatinya tegang, akan tetapi cara mereka berlatih. Kedua orang itu duduk di atas tumpukan tengkorak, seperti patung. Akan tetapi, kedua tangan kedua mereka bergerak saling dorong dari jarak jauh dan dari kedua telapak tangan mereka itulah keluar suara bercuitan tadi! Dan angin pukulan menyambar dari tangan mereka. Kiranya mereka itu sedang latihan ilmu pukulan jarak jauh yang amat kuat dan ampuh.
Teringatlah Sin Wan akan keterangan Pek-sim Lo-kai (Pengemis Tua Hati Putih) Bu Lee Ki bahwa di dunia kang-ouw terdapat banyak tokoh yang amat lihai. Banyak terdapat para datuk yang memiliki ilmu kepandalan tinggi. Dan di antara mereka memang terdapat dua aliran, yaitu aliran putih dan aliran hitam, atau mereka yang menjadi pendekar dan mereka yang menjadi penjahat. Bahkan sifat-sifat ilmu merekapun dapat dijadikan tanda apakah tokoh itu termasuk golongan sesat ataukan golongan pendekar. Dia pernah mendengar pula tentang ilmu pukulan yang mengandung hawa beracun, dan melihat cara kedua orang ini berlatih, dia dapat menduga bahwa mereka tentulah termasuk golongan sesat yang lihai sekali!
Agaknya kedua orang itu telah menghentikan latihan saling pukul dari jarak jauh. Sin Wan melihat ke arah tengkorak-tengkorak itu dan teringatlah dia akan dua buah tengkorak mendiang Kiam-sian dan Pek-mau-sian. Kedua buah tengkorak itu lenyap. Siapalagi kalau bukan dua manusia iblis ini yang telah mengambilnya? Tentu dua buah tengkorak guru-gurunya berada di antara tumpukan tengkorak itu. Hatinya terasa panas. Kurang ajar, pikimya. Dua orang itu sungguh tidak memiliki prikemanusiaan. Mempelajari ilmu dengan cara merusak kuburan orang, bahkan mengambil tengkorak orang untuk dijadikan tempat latihan. Keji sekali!
Terdengar suara tawa yang sungguh menyeramkan. Tawa yang tinggi merdu, melengking nyaring seperti bukan suara manusia. Ketika Sin Wan memandang, dia bergidik. Wanita itulah yang bersuara karena ia menggerak-gerakkan kepala dan pundaknya, akan tetapi anehnya, mulut dan muka yang pucat itu sama sekali tidak bergerak, seolah muka itu tersembunyi di balik topeng.
"Hi..hi..hi..hik, Ang-ko (kakak Merah), ternyata engkau tidak dapat melebihi aku dalam penggunaan ilmu Toat-beng Tok-ciang (Tangan Beracun Pencabut Nyawa)! Jangan katakan bahwa engkau lebih unggul, Ang-ko!"
Kakek itu tidak tertawa, juga wajahnya yang merah darah itu sama sekali tidak bergerak, seperti topeng. Mulutnya juga tidak bergerak ketika terdengar suaranya,
"Huh, Pek-moi (adik Putih), kita sedang memperdalam ilmu untuk menghadapi musuh-musuh dan merebut kedudukan tertinggi di dunia persilatan, tidak perlu kita saling mengungguli. Kita maju bersama, hidup berdua dan mati bersama. Agaknya Toat-beng Tok-ciang yang kita latih sudah cukup dapat diandalkan, hanya ilmu kita Touw-kut-ci (Jari penembus tulang) yang belum memuaskan hatiku. Kita harus latih lagi dengan tekun."
Keduanya tidak nampak bergerak, akan tetapi tahu-tahu tubuh mereka melayang turun dari atas tumpukan tengkorak dan dalam keadaan masih bersila mereka kini pindah ke atas tanah. Diam-diam Sin Wan terkejut. Kedua orang itu agaknya tidak hanya lihai dalam ilmu pukulan jarak jauh, akan tetapi juga telah memiliki ginkang tingkat tinggi sehingga dalam keadaan duduk bersila, tubuh mereka mampu melayang dan berpindah tempat!
Kini keduanya mengambil tengkorak satu demi satu, dan melempar setiap tengkorak ke atas Ketika tengkorak itu melayang turun, mereka menyambut dengan tusukan jari tangan mereka. Jari mana saja yang mereka pergunakan untuk menyambut, tentu dapat menembus tengkorak sehingga seluruh lima jari tangan dipergunakan semua. Setelah tangan kanan, lalu latihan itu diganti dengan tangan kiri. Kedua orang itu seperti berlumba dan ternyata keduanya sama tangkas dan sama kuat.
Kini mengertilah Sin Wan mengapa tengkorak-tengkorak itu berlubang-lubang. Kiranya dipergunakan untuk latihan ilmu menotok dengan jari yang amat lihai. Dia mengerutkan alisnya, membayangkan betapa tengkorak kedua orang gurunya juga dijadikan bulan-bulan latihan jari tangan itu. Sungguh kasihan sekali, sudah mati masih diganggu oleh golongan sesat!
Tiba-tiba terdengar wanita itu mengeluarkan pekik aneh dan sebuah tengkorak yang tadi disambut tusukan jari tangannya, tidak tertembus dan menggelinding di dekat kakinya.
"Huh, engkau gagal, Pek-moi? Sungguh memalukan sekali!" kakek itu menegur ketika dia melihat rekannya itu gagal menembus tengkorak itu dengan jari tangannya.
Wanita itu memungut tengkorak tadi dengan tangan kirinya, lalu diperiksanya dengan teliti.
"Heei, Ang-ko. Tengkorak ini belum ada lubangnya, berarti masih baru. Dan keadaannya sungguh berbeda dengan tengkorak biasa. Keras bukan main sehingga tidak tertembus jari tanganku!"
"Masih baru? Hemm, dari mana kita memperoleh tengkorak paling akhir?" tanya Ang Bin Moko (Iblis Muka Merah) sambil menyambut tengkorak yang dilemparkan kepadanya oleh Pek Bin Moli (Iblis Betina Muka Putih).
"Bukankah dari dua buah makam di Lembah Awan Putih sebelah itu? Baru tiga hari kita membongkar makam dan mengambil tengkorak dari sana.
"Huh, benar! Aku ingat sekarang. Ada dua buah tengkorak kita ambil. Coba cari yang sebuah lagi, Pek-moi!"
Pek Bin Moli segera mencari tengkorak kedua di antara tumpukan tengkorak itu. Tidak sukar menemukannya karena tengkorak baru ini belum berlubang seperti tengkorak-tengkorak lainnya.
"Ini dia! Wah, yang ini juga keras sekali, dan tentunya agak aneh, menonjol ke belakang!" teriak wanita itu tanpa menggerakkan bibir.
Sin Wan yang mengintai, mendengarkan dengan jantung berdebar. Tak salah lagi. Dua tengkorak Yang mereka anggap aneh dan keras itu pastilah tengkorak kedua orang gurunya, dan tengkorak yang bagian belakangnya menonjol pastilah tengkorak mendiang Pek-mau-sian (Dewa Rambut Putih). Dia melihat betapa kakek dan nenek itu berulang-ulang mengerahkan tenaga dan mencoba untuk melubangi tengkorak itu dengan jari tangan mereka, akan tetapi agaknya usaha mereka sia-sia belaka.
"Aih, Ang-ko, kenapa kita tidak berhasil melubangi tengkorak-tengkorak ini? Apakah latihan kita selama ini kurang berhasil?" nenek itu berseru, suaranya mengandung kekecewaan.
"Tidak, Pek-moi. Buktinya, tengkorak yang lain dengan mudah.dapat kita tembusi dengan jari tangan kita. Dua buah tengkorak ini memang istimewa. Aku dapat menduga bahwa dua buah tengkorak ini tentu milik dua orang yang sakti, dan latihan tenaga sakti telah meresap ke dalam tengkorak ini sehingga menjadi keras. Ini menguntungkan sekali, Pek-moi. Kita masak dua buah tengkorak ini sampai hancur menjadi bubur dan ini merupakan obat kuat yang luar biasa, dapat menguatkan tulang-tulang kita!"
Mendengar ini, Sin Wan tidak dapat menahan hatinya lagi. Tengkorak kedua orang gurunya sudah dicuri, kini malah akan dimasak dan dijadikan obat kuat! Dia keluar dari tempat persembunyiannya.
"Harap ji-wi (anda berdua) tidak mengganggu tengkorak orang-orang yang sudah meninggal dunia."
Dua orang kakek dan nenek itu terkejut dan menoleh, memandang kepada Sin Wan dengan sinar mata mengandung keheranan. Bagaimana mungkin ada seorang pemuda bersembunyi di dekat situ dan mereka sampai tidak mengetahuinya? Dari kenyataan ini saja mereka berdua yang sudah berpengalaman dapat mengetahui bahwa pemuda itu bukan orang lemah. Bagaimanapun juga, mereka berdua menjadi marah.
"Hei, orang muda! Siapakah engkau berani lancang menganggu kami?"
"Ang-ko, darahnya dapat kita pergunakan untuk menyempunakan Toat-beng Tok-ciang kita, dan. tengkoraknya yang masih basah dapat kita pergunakan pula untuk memperkuat Touw-kut-ci kita!" terdengar nenek itu melengking,
Sin Wah menjura kepada dua orang yang masih bersila di dekat tumpukan tengkorak dan terpisah cukup jauh itu.
"Harap ji-wi locianpwe (dua orang tua gagah) suka memaafkan. Saya bukan datang mengganggu, melainkan hendak mohon agar jiwi mengembalikan dua buah tengkorak mendiang guru-guru saya itu. Kalau mengembalikannya agar saya dapat mengubumya kembali, saya akan melupakan bahwa ji-wi pernah membongkar makam mereka dan mengambil tengkorak mereka."
,Kakek dan nenek itu saling pandang, kemudian si nenek mengeluarkan suara tawanya yang menyeramkan.
"Hi..hi..hi..hi..hik, Ang-ko, dia minta dua buah tengkorak ini. Kenapa tidak kita berikan kepadanya?"
"Huh, engkau menghendaki tengkorak-tengkorak ini, orang muda? Nah, terimalah dan mampuslah!" Kakek itu melontarkan tengkorak di tangannya. Dua buah tengkorak itu menyambar bagaikan peluru meriam saja ke arah Sin Wan dari kanan kiri! Terdengar suara bersiut nyaring ketika dua buah tengkorak itu melayang.
Dari luncuran dua buah tengkorak itu, Sin Wan dapat menilai bahwa tenaga luncuran itu dahsyat bukan main. Kalau dia mengelak atau menangkis, mungkin tengkorak-tengkorak itu akan hilang atau rusak, dan kalau dia menyambut dengan tangan, mungkin dia tidak akan mampu menahan tenaga luncuran dari kanan kiri yang amat dahsyat itu. Dia dapat berpikir cepat dan tubuhnya sudah mencelat ke atas, berjungkir balik dan dengan tubuh di atas, kedua tangannya menyambut dua buah tengkorak yang meluncur ke arahnya tadi.
Seperti telah diduganya, tenaga luncuran itu kuat bukan main sehingga biarpun kedua tangannya mampu menangkap tengkorak-tengkorak itu, tenaga luncuran membuat tubuhnya terpental ke atas! Sin Wan memang sudah memperhitungkan hal ini. Dia membiarkan tubuhnya terpental ke atas, lalu membuat gerakan jungkir balik untuk mematahkan tenaga luncuran itu, kemudian dengan tenang dia melayang turun di tempat semula. Dengan sikap tenang seolah tidak pernah terjadi sesuatu, dia lalu mengeluarkan saputangan, mengikat kedua tengkorak itu dan menalikannya tergantung di lehernya. Dua buah tengkorak itu tergantung di depan dada.
Ang Bin Moko dan Pek Bin Moli terbelalak. Mereka memang sudah menduga bahwa pemuda itu memiliki kepandaian pula, akan tetapi sama sekali tidak mengira bahwa dia selihai itu. Mereka tadi sudah yakin bahwa sambitan tengkorak itu akan membuat pemuda itu tewas!
Melihat pemuda itu sama sekali tidak tewas bahkan berhasil menerima dua buah tengkorak itu, Ang Bin Moko menjadi penasaran dan marah sekali. Dia menggerakkan kedua tangannya dan terdengar bunyi bercuitan. Itulah ilmu pukulan jarak jauh Toat-beng Tok-ciang yang tadi dilatih bersama Pek Bin Moli. Melihat ini, Pek Bin Moli seperti diingatkan saja dan nenek inipun dari tempat ia duduk bersila, menggerakkan kedua tangan memukul dengan ilmu itu.
Ada baiknya bahwa tadi Sin Wan telah melihat kedua orang itu berlatih ilmu Toat-beng Tok-ciang, maka diapun tidak berani memendang rendah. Dia segera mengelak dengan geseran kaki yang membuat dia melangkah ke sana sini berputar-putar, kadang meloncat dan gerakannya cepat seperti burung saja.
Dia telah menggunakan langkah ajaib yang terkandung dalam ilmunya Sam-sian (Tangan Sakti Tiga Dewa), yang bersumber dari ilmu Hui-niauw-soan (Langkah Berputar Burung Terbang). Dengan gerakannya yang aneh dan gesit ini, semua sambaran hawa pukulan Toat-beng Tok-ciang luput dari sasaran, apalagi kedua tangan pemuda itu mengebut ke sana sini dengan pukulan yang bersumber dari Ciu-san Pek-ciang (Tangan Putih Dewa Arak) dari kedua tangannya itu menyambar tenaga sakti yang beruap putih dan yang dapat menangkis hawa pukulan yang menyambar terlalu dekat.
Kakek dan nenek iblis itu terkejut. Sungguh sukar dipercaya betapa seorang pemuda mampu menghindarkan diri dari serangan mereka yang menggunakan ilmu baru mereka itu! Saking kaget, heran dan penasaran, kini keduanya tidak lagi memandang rendah dan seperti tadi, tanpa nampak menggerakkan tubuh, keduanya telah melayang dan tahu-tahu. mereka berdua sudah berdiri berhadapan dengan Sin Wan, hanya dalam jarak tiga meter!
Sin Wan memberi hormat, dengan mengangkat ke dua tangan depan dada,
"Banyak terima kasih atas petunjuk ji-wi locianpwe. Sekarang perkenankan saya untuk pergi mengubur kembali peti mati kedua orang guru saya."
"Tidak begitu mudah, orang muda. Katakan, siapa guru-gurumu itu!" kata kakek iblis muka merah.
"Mereka adalah mendiang suhu Kiam-sian dan mendiang suhu Pek-mau-sian," jawab Sin Wan sejujurnya.
Nenek iblis itu mengeluarkan teriakan melengking.
"Iihhhhhh........!" Ia memandang Sin Wan penuh perhatian.
"Dua di antara Sam-sian?"
"Benar, locianpwe."
"Huh-huh, kalau begitu, pantas saja tengkorak mereka demikian keras. Bukan hanya tengkorak mereka yang amat berguna, juga semua tulang mereka. Orang muda, kami membutuhkan tengkorak dan tulang-tulang mereka. Berikan kepada kami dan kami akan mengampuni dan membiarkanmu pergi."
Sin Wan mengerutkan alisnya.
"Ji-wi locianpwe sungguh keterlaluan. Apakah kesalahan kedua orang guruku sehingga sampai mereka telah wafat dan menjadi tulang, jiwi masih ingin mengganggu mereka? Saya adalah murid mereka, sudah menjadi kewajiban saya untuk menjaga dan melindungi makam dan kehormatan mereka. Saya tidak akan menyerahkan dua buah tengkorak ini kepada ji-wi, juga tidak membolehkan mengambil tulang kerangka kedua orang suhu saya."
"Bocah sombong, agaknya engkau sudah bosan hidup!" teriak nenek itu dan ia sudah menerjang Sin Wan dengan kedua tangan terbuka. Tangan kirinya mencengkeram ke arah dua buah tengkorak yang tergantung di dada Sin Wan, sedangkan,tangan kanannya mencengkeram ke arah kepala. Sin Wan maklum betapa setiap batang jari tangan dari nenek itu mengandung kekuatan dahsyat, bukan saja kerasnya seperti baja dan dapat menembus tengkorak kepalanya, akan tetapi juga mengandung hawa beracun yang amat berbahaya.
Dengan kelincahan gerakannya, dia mengelak dan tubuhnya bergeser ke kiri sehingga terkaman lawan ke arah dadanya untuk merampas tengkorak itu luput: Akan tetapi, tangan yang mencengkeram ke arah kepalanya mengikuti gerakan kepalanya dan melanjutkan serangannya. Melihat ini, Sin Wan mengerahkan tenaga Thian-te Sin-kang (Tenaga Sakti Langit Bumi) dan menangkis dari samping. Pergelangan tangannya bertemu dengan pergelangan tangan wanita itu.
"Dukkkk!" Keduanya tergetar dan nenek itu mengeluarkan seruan kaget. Tak disangkanya bahwa pemuda itu memiliki tenaga yang dapat mengimbangi tenaganya sendiri, bahkan hawa beracun dari tangannya tidak mempengaruhinya. Kini ia menyerang lagi bertubi-tubi dengan totokan-totokan maut dari jari-jari tangannya yang mengandung ilmu Touw-kut-ci.
Namun, Sin Wan sudah siap siaga. Dia mengelak, menangkis dan membalas serangan nenek itu sambil memainkan ilmu andalannya, yaitu Sam-sian Sin-ciang. Dengan permainan ilmu hebat ini, dia dapat mengimbangi si nenek sakti, bahkan mampu mendesaknya.
"Huh-huh, bocah ini akan berbahaya kelak kalau tidak dibunuh sekarang!" tiba-tiba kakek, muka merah berkata dan ketika dia bergerak, ada angin menyambar dahsyat. Sin Wan cepat melompat, ke belakang dan tangan kakek itu meluncur lewat dalam serangan totokan yang ganas sekali.
Kini Sin Wan terpaksa harus menghadapi pengeroyokan dua orang itu. Dia masih bertahan dengan Sam-sian Sin-ciang, akan tetapi tidak mendapat kesempatan untuk membalas, dan perlahan-lahan dia terdesak. Dia teringat akan ilmu yang baru saja dia pelajari dari kakek Bu Lee Ki, maka dia mengeluarkan suara melengking dan tiba-tiba saja tubuhnya berubah menjadi gasing yang berputar cepat seperti angin puyuh! Inilah ilmu Langkah Angin Puyuh yang dia pelajari dari Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki.
Menghadapi gerakan aneh yang membuat tubuh pemuda itu berpusing seperti itu, kakek dan nenek iblis itu menjadi tercengang dan kehilangan sasaran. Mereka sedang memainkan Touw-kut-ci, yaitu semacam ilmu menotok dengan jari tangan, membutuhkan sasaran yang tepat. Kini tubuh itu berpusing seperti gasing, membuat mereka tidak tahu ke arah mana mereka harus menujukan serangan mereka.
Dua orang itu lalu melolos senjata mereka dari pinggang. Ternyata kakek muka merah itu memiliki sebuah senjata golok yang punggungnya seperti gergaji, tipis dan berkilauan saking tajamnya. Begitu dia menggerakkan goloknya, terdengar bunyi nyaring berdesing dan nampak kilat menyambar.
Juga nenek Pek Bin Moli mengeluarkan senjatanya yang berbentuk seekor ular! Ular yang sudah mati, panjangnya ada dua meter dan besarnya seperti lengan tangannya. Ular itu agaknya telah direndam semacam racun yang membuat ular itu tetap lemas seperti hidup, ulet dan kuat dapat menahan bacokan senjata tajam, dan dari pangkal sampai ke ujung mengandung racun berbahaya. Ketika ia memutar senjatanya ini, nampak gulungan sinar hitam dan tercium bau amis yang memuakkan.
Melihat dua orang lawannya telah, menggunakan senjata yang amat berbahaya, Sin Wan juga cepat menghunus pedangnya sambil meloncat jauh ke belakang. Dua orang itu memandang kepadanya, dan melihat pedang di tangan Sin Wan, mereka tak dapat menahan tawa ejekan mereka.
"Hi..hi..hi..hik, Ang-ko. Lihat, anak itu sudah gila rupanya, menghadapi kita dengan sebatang pedang rombengan!"
"Huh-huh, bocah ini lumayan juga, Pek-moi. Tentu darahnya amat baik untuk kita, dan ingat, jangan pandang rendah pedang itu. Dia murid Sam-sian, tentu tidak akan menggunakan pedang sembarangan."
Keduanya lalu menyerang dengan ganas. Sin Wan menggerakkan pedangnya untuk melindungi tubuhnya, memainkan Jit-kong Kiam-sut (Ilmu Pedang Sinar Matahari) yang pernah dipelajarinya dari mendiang Kiam-sian. Ilmu pedang ini pernah mengangkat nama Si Dewa Pedang Louw Sun dan merupakan ilmu pedang pilihan. Apalagi Sin Wan mempergunakan pedang tumpul yang ampuh, maka dirinya seperti dilindungi benteng baja yang amat kuat.
Golok di tangan Ang Bin Moko dan sabuk ular di tangan Pek 8in Moli tak mampu menembus lingkaran sinar bergulung di sekeliling tubuh Sin Wan. Kedua senjata ampuh itu selalu membalik seperti tertolak perisai yang selain amat kuat, juga mengandung tenaga atau daya tolak yang luar biasa.
Akan tetapi, tentu saja Sin Wan berada dalam keadaan yang terdesak dan terancam. Dalam sebuah pertandingan, tidak mungkin seseorang hanya mengandalkan pertahanan belaka, tanpa mampu balas menyerang. Apalagi dia dikeroyok oleh dua orang yang amat lihai. Dia sama sekali tidak mampu membalas karena serangan kedua orang lawannya itu datang bertubi-tubi dan sambung menyambung, yang berikut lebih dahsyat dari pada yang lalu. Kalau hanya mengelak dan menangkis terus, tanpa mampu membalas sedikitpun, akhimya setelah kekurangan tenaga dia akan terkena juga oleh senjata lawan.
Dua orang manusia iblis itu diam-diam kagum bukan main. Tak pernah mereka bermimpi bahwa hari ini mereka akan bertemu dengan seorang pemuda sehebat itu. Masih begitu muda, akan tetapi mampu menandingi pengeroyokan mereka berdua. Padahal, tadinya mereka hampir yakin bahwa mereka berdua akan mampu mengalahkan tokoh-tokoh persilatan lain dan akah berhasil merebut kedudukan sebagai jagoan nomor satu di dunia persilatan!
Yang amat mengherankan mereka adalah bahwa Sam-sian sendiri dahulu belum tentu akan mampu mengalahkan mereka. Kenapa sekarang muridnya yang masih begini muda mampu bertahan sampai seratus jurus lebih terhadap pengeroyokan mereka? Mereka tidak tahu bahwa seperti juga mereka, Sam-sian telah bersama-sama merangkai iimu silat baru, yaitu Sam-sian Sin-ciang yang telah dikuasai Sin Wan sehingga dibandingkan dengan kepandaian guru-gurunya dahulu, pemuda itu kini lebih tangguh dari pada mereka.
Dengan penasaran, Ang Bin Moli dan Pek Bin Moli sekarang menambahi serangan mereka dengan selingan pukulan jarak jauh mereka yang baru dilatih, yaitu Toat-beng Tok-ciang. Setiap kali mereka meloncat ke belakang, mereka melontarkan pukulan jarak jauh dan disusul oleh serangan senjata mereka dari jarak yang dekat.
Kombinasi serangan ini ternyata merepotkan Sin Wan. Suara bercuitan yang menyambar-nyambar itu bahkan lebih berbahaya dibandingkan sambaran kedua senjata itu. Dia memutar pedang tumpul dan juga mengerahkan tenaga Thian-te Sin-kang pada tangan kiri untuk menangkis hawa pukulan beracun yang menyambar-nyambar itu. Biarpun demikian, beberapa kali dia sempat terhuyung dan keadaan gawat. Agaknya takkan lama lagi pemuda perkasa ini akan roboh juga, tidak kuat menahan gelombang serangan Iblis Muka Merah dan Iblis Betina Muka Putih.
"Siiing........!" untuk kesekian kalinya, sinar golok menyambar dahsyat ke arah leher Sin Wan. Pemuda ini yang tadinya terhuyung ketika menangkis serangan pukulan jarak jauh Pek Bin Moli, tidak sempat menangkis dan cepat merendahkan tubuh sehlngga golok itu menyambar ke atas kepalanya, nyaris membabat rambutnya. Dan pada saat itu, terdengar bunyi bersiut keras dan senjata ular panjang di tangan Pek 8in Moli menyambar ke arah pinggang pemuda itu. Sin Wan nampaknya tak mampu menghindar dan ular itu bagaikan hidup, telah melilit pinggang Sin Wan.
"Hi..hi..hik......!" Pek Bin Moli tertawa dan menarik senjatanya yang telah membelit pinggang yang sudah nampak tidak berdaya itu. Tubuh Sin Wan tertarik, akan tetapi alangkah kaget rasa hati wanita itu ketika tiba-tiba Sin Wan yang nampak tak berdaya dan tubuhnya terbetot tadi menggerakkan pedang ke arah pergelangan tangannya yang memegang ujung sabuk ular!
"Ihh.......!" Ia menarik tangannya.
"Brett!" Pedang tumpul menyambar ke arah sabuk itu dan ular itu terpotong menjadi dua! Gerakan pemuda itu sungguh tak pernah disangka lawan. Dia telah menggunakan ilmu yang baru saja dia pelajari dari Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki, yaitu mempergunakan tenaga "mengalah untuk menang". Nenek itu meloncat ke belakang dan wajahnya yang putih pucat itu menjadi agak kemerahan. Kemudian ia mengeluarkan suara melengking tinggi dan menggunakan sabuk yang tinggal satu meter lebih itu untuk menyerang lagi.
Kembali Sin Wan terdesak. Pada saat itu, terdengar suara orang tertawa dan disusul ucapan yang gembira.
"Heh..heh..ho..ho..ho! Kiranya sepasang iblis tanpa malu-malu mengeroyok seorang muda. Kulihat kemajuan kalian hanya dalam kecurangan saja, dan dengan modal ini kalian ingin merajai dunia persilatan? Ha..ha..ha!"
Sin Wan meloncat ke belakang dan wajahnya berseri. Belum melihat orangnya saja dia sudah mengenal suara itu. Dan kini, pemilik suara itu berada di situ. Seorang kakek berusia kurang lebih enampuluh lima tahun, mukanya merah segar seperti orang mabok, perutnya gendut seperti anak-anak berpenyakit cacingan, pakaiannya tambal-tambalan dan sikapnya ugal-ugalan, mulutnya tersenyum nakal.
"Suhu.....!!" Sin Wan berseru gembira sekali. Kakek itu memang gurunya, orang yang sedang dicari-carinya, Ciu-sian (Dewa Arak) Tong Kui, seorang di antara Sam-sian!
Ciu Sian tertawa bergelak.
"Ha..ha..ha..ha, lihat mereka lari terbirit-birit. Dasar licik, biar mereka sudah memiliki ilmu kepandaian setinggi langit, kalau melihat keadaan tidak menguntungkan, mereka akan lari."
"Suhu, terima kasih, suhu. Tadi hampir saja teecu sudah tidak kuat bertahan lagi. Kalau suhu tidak cepat datang....."
"Ha..ha..ha, mereka memang berbahaya sekali, Sin Wan. Akan tetapi kulihat tadi, pertandingan itu berat sebelah. Pertama, engkau dikeroyok dua. Ke dua, kalau mereka menyerang dengan ganas untuk membunuh engkau hanya bertahan saja, sama sekali tidak mempunyai niat merobohkan mereka. Sin Wan, aku khawatir, kelak sikapmu yarg suka mengalah itu akan mencelakai dirimu sendiri. Akan tetapi, mengapa engkau berkelahi dengan sepasang iblis itu?"
Sin Wan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kakek itu.
"Suhu, apakah selama ini suhu baik-baik saja? Teecu datang ke sini mencari suhu, karena teecu merindukan suhu. Dan di sini teecu bertemu dengan mereka dan........."
"Ehh? Tengkorak siapa itu yang tergantung di dadamu?"
"Ini adalah tengkorak mendiang suhu Kiam-Sian dan suhu Pek-mau-sian."
"Eh? Kenapa begitu? Apa yang terjadi? Aku baru saja tiba dan melihat bekas lilin di atas meja di pondok, maka aku mencarimu ke sini."
"Suhu, ketika teecu datang ke sini untuk mencari suhu, teecu langsung menuju ke makam kedua suhu. Ternyata kedua makam itu telah dibongkar orang dan bahkan peti matinya dibuka, dan tengkorak di dalamnya lenyap. Teecu menanti sampai malam tiba dan bulan muncul, dan teecu melakukan penyelidikan. Ketika teecu mendengar suara, teecu menghampiri tempat ini dan melihat kedua orang itu sedang melatih ilmu pukulan jarak jauh sambil duduk di atas tumpukan tengkorak itu. Dan di antara tengkorak-tengkorak itu, terdapat dua tengkorak ini yang menurut mereka.adalah tengkorak dari suhu Kiam-sian dan suhu Pek-mau-sian. Teecu segera minta dikembalikannya tengkorak-tengkorak ini. Mereka menyerang teecu dan terjadi perkelahian tadi."
"Siancai......! Sungguh, untuk mencapai tujuan, orang sesat tidak pantang mempergunakan cara apapun juga. Tengkorak yang berserakan di sisi berlubang-lubang, tentu mereka melatih diri dengan ilmu sesat."
"Menurut pendengaran teecu, mereka tadi melatih ilmu Toat-beng Tok-ciang dan Touw-kut-ci."
"Ahhh! Kalau kedua ilmu itu sudah mereka latih sempurna. akan sukar menandingi mereka. Marl, kita urus dulu kerangka dan tengkorak kedua orang gurumu. Kasihan sekali kalian, Kiam-sian dan Pek-mau-sian, sampai sudah matipun tubuh kalian masih diganggu orang jahat!" Mereka berdua lalu meninggalkan tempat itu dan pergi ke makam dua orang anggauta Sam-sian.
Dengan hati-hati Sin Wan mengembalikan dua buah tengkorak itu ke peti masing-masing. Hanya kepala yang menonjol ke belakang dari satu di antara dua tengkorak itu yang menjadi pegangannya bahwa itu adalah tengkorak Pek-mau-sian.
Di bawah sinar bulan yang sudah berada di atas kepala, Ciu Sian melihat dua buah peti mati yang terbuka itu dan sejenak dia tertegun. Lalu dia menarik napas panjang.
"Kiam-sian dan Pek-mau-sian, kalau kalian sudah menjadi seperti ini, siapalagi yang mengenali kalian? Tidak perduli kerangka kalian ini kerangka dua orang datuk persilatan yang ternama, atau kerangka raja, atau kerangka seorang jembel miskin yang papa; siapa yang akan mengetahuinya? Semua kalau sudah mati akan sama saja, tidak ada gunanya kecuali untuk menakut-nakuti anak kecil. Bersama daging kulit yang membentuk rupa berbeda-beda, lenyap pula segaia macam martabat, kedudukan, kehormatan, kekayaan dan kepandaian. Kiam-sian dan Pek-mau-sian, tidakkah lebih baik kalau sisa-sisamu ini dilenyapkan saja sama sekali agar tidak meninggalkan pemandangan yang tidak sedap ini?"
Sin Wan membiarkan gurunya bicara sendiri kepada kerangka dalam dua buah peti mati itu. Setelah suhunya berhenti bicara, baru dia bertanya,
"Suhu, apa yang akan suhu lakukan dengan kerangka kedua suhu ini? Menguburkan mereka kembali?"
"Untuk kemudian kalau tidak terjaga dibongkar orang pula? Atau digerogoti tikus, cacing atau semut sehingga akan habis sedikit demi sedikit? Tidak, Sin Wan. Kita perabukan saja mereka dan aku yakin mereka tidak akan keberatan kalau mereka masih dapat melihat betapa sisa-sisa mereka diperabukan."
"Akan tetapl, suhu, teecu pernah mendengar dari mendiang ibu bahwa orang matl harus dikubur, dikembalikan kepada bumi dari mana jasad ini berasal. Berasal dari tanah dan dikembalikan kepada tanah, bukankah itu sudah tepat sekali?"
"Bukan hanya unsur tanah yang membentuk tubuh manusia, Sin Wan. Ada empat unsur, yaitu tanah, air, api dan udara. Nah, kalau kita bakar menjadi abu, itupun berarti kembali ke asalnya. Dikembalikan ke tanah menjadi debu, dikembalikan ke api menjadi abu, apa bedanya? Setelah mati, jasmani tidak ada artinya lagi, tidak perlu diributkan. Kalau jiwa masih berada di dalam badan, nah, barulah jasmani perlu diperhatikan dan dirawat baik-baik, dijaga baik-baik dalam keadaan bersih karena badan merupakan anugerah bagi jiwa, memungkinkan jiwa hidup di dunia ini. Akan tetapi aneh. Selagi hidup, badan tidak diperhatikan, dirusak malah karena hendak menuruti segala perintah nafsu daya rendah, kalau sudah mati, badan tidak dihuni jiwa lagi, diributkan. Sungguh lucu!"
Sin Wan tidak dapat membantah pendapat Ciu Sian. Dia menurut saja dan membantu suhunya membakar dua kerangka dan tengkorak itu sampai menjadi abu.
"Sewaktu kami tinggal di sini, Kiam-sian dan Pek-mau-sian amat menyenangi tempat ini. Karena itu, kita biarkan sisa mereka, yaitu abu ini agar menikmati tempat ini sebebasnya."
Setelah berkata demikian, Ciu Sian mengajak muridnya ke puncak Pek-in-kok dan mereka berdua menaburkan kedua abu kerangka yang tidak banyak itu ke udara. Angin malam menyambar abu itu dan membawanya bertebaran di seluruh lembah.
Hampir pagi hari keduanya kembali ke pondok, karena bulanpun sudan surut ke barat. Sin Wan menyalakan lilin dan merekapun duduk berhadapan di atas bangku, terhalang meja.
"Nah, sekarang ceritakanlah semua pengalamanmu, Sin Wan. Di mana sumoimu sekarang dan mengapa ia tidak ikut denganmu ke sini?" Ciu Sian bertanya setelah meneguk arak dari guci araknya.
Guci araknya itu indah dan antik karena benda itu hadiah dari Kaisar Thai-cu kepadanya. Dia mendapatkan hadiah guci arak berikut arak tua yang sudah lama habis, mendiang Kiam-sian mendapatkan hadiah Pedang Tumpul yang kini menjadi millk Sin Wan, sedangkan mendiang Pek-mau-sian menerima hadiah sebuah kitab kamus dan suling perak. Kitab kamus itu kini disimpan Sin Wan dan suling peraknya disimpan Kui Siang.
Dengan singkat Sin Wan menceritakan pengalamannya selama dia dan sumoinya, Lim Kui Siang, berpisah meninggalkan gurunya ini setahun lebih yang lalu setelah Ciu Sian menggembleng mereka selama setahun dalam sebuah hutan di puncak bukit yang terpencil. Dia dan Kui Siang bertemu dengan kakek sakti Pek-Sim Lo-kai Bu Lee Ki, bahkan menjadi tamu undangan Pangeran Yung Lo di Peking bersama kakek itu.
Kemudian mereka berdua menerima petunjuk dalam ilmu silat dari kakek Bu Lee Ki, membantu kakek itu menertibkan kembali para pimpinan kai-pang (perkumpulan pengemis), juga membantu Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki untuk memenangkan perebutan kedudukan pemimpin besar sekalian kai-pangcu (ketua perkumpulan pengemis). Juga dia menceritakan betapa dia dan sumoinya telah diberi anugerah kedudukan oleh Pangeran Yung Lo. Dia akan dijadikan seorang panglima muda sedangkan Kui Siang diangkat menjadi pengawal pribadi sang pangeran.
"Ha..ha, bagus sekali kalau begitu!" Ciu-sian tertawa bangga mendengar murid-muridnya mendapatkan pengharagaan dari Pangeran Yung Lo yang menjadi raja muda di Peking.
"Pangeran Yung Lo adalah seorang pangeran yang gagah perkasa, menjadi raja muda yang berkuasa di daerah utara. Beliau yang berjasa besar membendung para pengacau dari utara, dan beliau yang bekerja keras membersihkan orang-orang Mongol yang masih ingin merebut kembali kekuasaan di negeri ini."
"Memang beliau seorang pangeran yang gagah dan bijaksana, suhu."
"Kalau begitu, kenapa engkau berada di sini mencariku? Dan di mana Kui Siang sekarang? Kenapa kalian berpisah?"
Sin Wan menghela napas panjang. Kalau pertanyaan suhunya ini diajukan beberapa pekan yang lalu, mungkin saja dia akan menangis saking sedihnya. Akan tetapi, luka itu sudah hampir mengering, kedukaan itu sudah kehilangan sengatnya. Dia hanya merasa nelangsa, tidak terbenam duka yang menekan.
"Suhu, locianpwe Bu Lee Ki dan sumoi, dua orang yang selama ini akrab dengan teecu, telah menjauhkan diri dari teecu. Tanpa disengaja, mereka berdua mendengar bahwa teecu adalah anak tiri mendiang Se Jit Kong. Mendengar itu, Bu-locianpwe yang kini menjadi thai-pangcu merasa tidak semestinya bergaul dengan teecu, kecuali kalau kelak teecu dapat membuktikan bahwa teecu tidaklah jahat seperti mendiang ayah tiri teecu itu. Adapun sumoi........."
Dewa Arak mengerutkan alisnya.
"Bagaimana dengan Kui Siang?"
Sin Wan termenung.
"Suhu, teecu sama sekali tidak dapat menyalahkan sumoi. Suhu tahu bahwa keluarga sumoi hancur oleh Se Jit Kong. Kalau ia mendengar teecu anak tiri Se Jit Kong kemudian ia memisahkan diri, hal itu sudah sepantasnya. Mereka telah meninggalkan teecu agar jangan tercemar oleh nama busuk teecu yang berlepotan dosa Se.Jit Kong. Bahkan mungkin saja Pangeran Yung Lo akan bersikap lain kalau mendengar teecu anak tiri Se Jit Kong. Teecu sudah kehilangan segalanya, maka teecu teringat kepada suhu dan mencari ke sini......"
Mendengar ucapan yang menyedihkan itu, Dewa Arak tertawa bergelak! Kalau orang lain yang berhadapan dengan Cui-sian, dia pasti akan tersinggung, setidaknya akan penasaran dan heran. Mendengar kesengsaraan muridnya malah tertawa bergelak seperti orang kegirangan! Akan tetapi Sin Wan sudah mengenal watak suhunya ini dengan baik, maka diapun tidak merasa heran. Dia tahu bahwa suhunya ini amat sayang kepadanya, akan tetapi kakek ini tidak pernah mau memperlihatkan apa yang dirasakannya.
"Ha..ha..ha..ha, sepatutnya engkau bersyukur karena telah merasakan banyak kekecewaan dan kepahitan. Itulah pengalaman terbaik dalam kehidupan ini. Bagaikan orang berlayar di samudera, betapa akan menjemukan kalau lautan itu selalu tenang saja, tak pernah bergelombang. Justeru menempuh gelombang itulah yang membuat kita sadar bahwa kita ini hidup! Engkau harus berani menghadapinya dan mengatasinya. Jangan sembunyi dalam kecengengan. Manusia hidup matang dalam tempaan pengalaman hidup yang serba pahit. Orang akan menjadi besar oleh gemblengan kepahitan hidup, sebaliknya orang akan menjadi dungu dan malas oleh maboknya kemanisan hidup. Kesusahan dan keprihatinan membuat orang bijaksana, sebaliknya kesenangan dan kemakmuran membuat orang menjadi tumpul dan lengah."
Sin Wan menghela napas panjang.
"Teecu mengerti apa yang suhu maksudkan. Akan tetapi, suhu, bagaimana teecu tidak akan bersedih? Antara teecu dan sumoi telah terjalin hubungan batin yang amat akrab, kami saling mencinta dan sekarang hubungan itu putus begitu saja. Teecu merasa seperti sehelai daun kering yang rontok, terjatuh ke dalam air, terbawa arus air tanpa daya......."
Kembali kakek itu tertawa bergelak.
"Ha..ha..ha..ha, ucapanmu itu membikin malu guru-gurumu yang telah menggemblengmu, Sin Wan. Menjadi daun kering membusuk terbawa arus air sungai. Phuah! Pendekar macam apa ini? Berkeluh kesah, menangis .dan cengeng! Duka itu hanya permainan pikiran saja, Sin Wan. Pikiran yang sudah dicengkeram nafsu hanya memikirkan kesenangan bagi diri sendiri. Nafsu selalu mengejar kesenangan, selalu menjauhi ketidak senangan. Kesenangan itu tersembunyi di mana-mana, kadang mengenakan jubah bersih, seperti musang berbulu ayam. Nafsu mendorong kita untuk menonjolkan diri dan penonjolan diri inipun bukan lain hanyalah kesenangan. Kita menginginkan kekayaan, kedudukan, kepandaian, ke mashuran melalui perbuatan baik atau melalui karya-karya mengagumkan, semua itupun menjadi tempat persembunyian kesenangan. Dan kalau pengejaran kesenangan itu gagal, maka datanglah kecewa, nelangsa dan iba diri yang membawa duka. Engkau merasakan kesenangan dalam hubungan kasihmu dengan sumoimu, merasakan kesenangan dalam hubungan baikmu dengan Bu Lee Ki si jembel tua itu. Ketika mereka memisahkan diri menjauhimu, engkau kehilangan kesenangan itu dan menjadi kecewa, iba diri dan berduka. Engkau menyiksa diri dan menjadi cengeng dan itu suatu perbuatan yang sama sekali keliru."
"Teecu mengerti, suhu. Akan tetapi, teecu tidak dapat membohongi diri sendiri. Hati teecu memang terasa nyeri dan perih, bagaimana teecu dapat melenyapkannya? Apakah teecu narus memaksa diri untuk menghilangkan duka ini yang amat menyiksa? Harus menekan perasaan dan melupakan semua kenangan lama?"
"Sin Wan, tidak ada hubungannya sama sekali antara peristiwa yang terjadi di luar diri dengan keadaan batin yang berduka. Peristiwa itu suatu kenyataan, suatu kejadian yang wajar saja sebagai akibat dari suatu sebab tertentu. Adapun duka di hati itu adalah karena ulah nafsu dalam pikiran sendiri. Suatu peristiwa terjadi. Titik. Apakah hal itu menimbulkan duka atau tidak, tergantung dari cara engkau menerima dan menghadapinya! Kalau engkau kini hendak berusaha melenyapkan duka itu, coba renungkan, siapakah engkau yang kini hendak menghilangkan duka? Bukankah itu juga engkau yang berduka sekarang ini? Keinginan untuk tidak berduka sama saja dengan si duka itu sendiri. Setelah melihat bahwa duka mendatangKan kesengsaraan, maka pikiran kini mencari jalan untuk melepaskan diri dari ketidak senangan itu, tentu saja agar menjadi senang! Engkau terseret dalam lingkaran setan kalau begitu, Sin Wan."
Pemuda itu tertegun. Bingung.
"Lalu, apa yang harus teecu lakukan untuk menghilangkan duka ini, suhu?"
JILID 02
"Kalau engkau masih ingin mengubah keadaan, berarti engKau masih terseret dalam lingkungan itu. Yang ingin mengubah itu adalah si keadaan itu sendiri, masih dalam satu ruangan yang dikuasai nafsu. Kalau aku menjawab bahwa engkau jangan melakukan apa-apa, maka jangan melakukan apa-apa inipun masih sama saja, masih satu usaha untuk mengubah keadaan."
"Wah, teecu menjadi bingung, Suhu."
Kakek itu tertawa lagi, dan meneguk arak dari guci araknya. Setelah tiga kali tegukan, barulah dia bicara.
"Sin Wan, dahulu ketika ibumu meninggal dunia, engkau mengucapkan sebaris kalimat dari agama ibumu yang sampai sekarang masih teringat olehku. Kalimat itu berbunyi: Dari Allah kembali kepada Allah. Nah, kenapa engkau lupakan itu? Kenapa engkau tidak mengembalikan dan menyerahkan saja kepada Tuhan? Serahkan segalanya dengan penuh kepasrahan, penuh keikhlasan, penuh kesabaran. Dengan bekal penyerahan total dan mutlak ini, amatilah dirimu sendiri, amatilah duka dalam dirimu itu tanpa ingin mengubah, tanpa ingin menghilangkannya. Hanya kekuasaan Tuhan sajalah yang akan menertibkan semua bentuk nafsu yang menguasai dirimu."
Wajah Sin Wan berseri.
"Terima kasih, suhu! Ya Allah. ya Tuhan, dengan adanya Tangan Tuhan yang membimbing, kenapa hamba melupakan ini dan menjadi lemah, cengeng dan putus asa? Terima kasih, suhu!"
Melihat betapa muridnya seketika dapat terbebas dari cengkeraman duka, Dewa Arak tertawa lagi dengan senangnya.
"Ha..ha..ha, itu baru benar! Sin Wan, tadi aku melihat ketika engkau menghadapi sepasang iblis. Kepandaianmu sudah maju pesat dan engkau pasti akan mampu mengalahkan mereka kalau saja Sam-sian Sin-ciang sudah kau kuasai dengan sempurna. Sayang engkau belum matang. Biarlah kita menggunakan waktu beberapa bulan di sini untuk mematangkan ilmu yang kau kuasai itu, karena ada tugas penting yang akan kuserahkan kepadamu!"
"Tugas apakah, suhu?" tanya Sin Wan penuh semangat. Dan pada saat itu, tidak ada sedikitpun bekas kedukaannya yang tadi. Memang, duka hanyalah sebuah kenangan belaka. Kalau tidak dikenang, tidak diingat, dukapun tidak ada!
"Sin Wan, baru-baru ini aku berkunjung ke kota raja dan sempat bertemu dengan Sribaginda Kaisar. Beliau merasa khawatir melihat keadaan di dalam negeri. Kerajaan Beng yang baru ini masih menghadapi banyak ancaman, terutama sekali dari bangsa Mongol yang selalu berusaha keras untuk merebut kembali kekuasaan di selatan, dan para bajak laut Jepang yang merupakan gangguan di sepanjang pantai timur. Beliau khawatir sekali kalau-kalau pengaruh Mongol yang mungkin akan mengirim orang pandai, akan membuat beberapa orang pejabat berkhianat. Pasukan keamanan tidak dapat berbuat banyak menghadapi penyusupan mata-mata Mongol yang pandai. Selain itu, juga berita tentang akan diadakannya pemilihan bengcu (pemimpin) bagi dunia persilatan, cukup menimbulkan kekhawatiran kaisar karena pertandingan antara datuk-datuk besar di dunia persilatan dapat saja mendatangkan pertempuran besar dan kekacauan."
"Lalu apa yang dapat teecu lakukan, suhu?" tanya Sin Wan, merasa dirinya kecil menghadapi permasalahan negara yang demikian gawat dan besar.
"Kaisar minta bantuanku untuk melakukan penyelidikan terhadap semua itu, terutama sekali terhadap gerakan mata-mata Mongol, juga aku diminta untuk mengadakan pendekatan kepada semua calon bengcu dan membujuk agar mereka melakukan pemilihan bengcu dengan cara yang damai, tidak sampai menimbulkan pertempuran. Aku tidak berani dan tidak tega menolak permintaan Sribaginda, akan tetapi akupun menyadari bahwa aku sudah tua dan tidak ada kegairahan lagi dalam hatiku untuk bertualang. Oleh karena itu, aku teringat kepadamu dan aku datang ke sini dengan harapan akan menantimu tahu engkau sewaktu-waktu akan datang. Eh, tidak tahunya kedatangan kita di sini bersamaan waktunya. Ini namanya jodoh. Sin Wan. Agaknya Tuhan menghendaki bahwa engkaulah yang akan menunaikan tugas itu, mewakili aku."
Sin Wan mengerutkan alisnya, diam-diam merasa gentar.
"Akan tetapi, bagaimana mungkin teecu dapat melakukan tugas itu, suhu? Teecu hanya seorang berkebangsaan Uighur yang yatim piatu dan miskin, mana mungkin teecu memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas yang demikian besar dan penting? Bahkan teecu hanya anak tiri seorang penjahat besar........."
"Ha..ha..ha, memang baik sekali untuk berendah hati Sin Wan, akan tetapi jangan sekali-kali berendah diri! Engkau memiliki kemampuan itu, aku percaya, asal engkau sudah mematangkan semua ilmumu. Nah, aku akan membantumu mematangkan ilmumu. Dan tentang nama yang berlepotan dosa Se Jit Kong, justeru inilah kesempatan baik bagimu untuk mencuci bersih noda yang mencemarkan namamu. Nah, sanggupkah engkau?"
Tergugah semangat Sin Wan.
"Teecu mentaati semua perintah dan petunjuk suhu!"
Kakek itu tertawa girang dan mulailah dia membuka rahasia ilmu-ilmu yang telah dipelajari Sin Wan, memberi petunjuk sehingga dalam waktu singkat, pemuda yang tingkat kepandaiannya memang sudah menyamai guru-gurunya itu, memperoleh kemajuan pesat sekali. Setelah dia menguasai benar Sam-sian Sin-ciang dengan sempurna, baru dia menyadari bahwa dengan ilmu itu, apalagi ditambah bantuan Pedang Tumpul, dia akan sanggup menghadapi dan mengatasi lawan-lawan seperti sepasang iblis tempo hari.
Rombongan berkuda itu terdiri dari duabelas orang berpakaian seragam yang mengawal seorang pemuda dan seorang setengah tua yang dari pakaiannya dapat diduga bahwa mereka berdua adalah bangsawan-bangsawan kerajaan Bhutan. Juga selosin perajurit itu adalah perajurit Bhutan dengan baju perang yang berkilauan. Pemuda itu sendiri bertubuh jangkung, wajahnya tampan seperti wanita, juga gerak-geriknya lembut, tidak jantan.
Dia adalah seorang pangeran Bhutan dari selir, bernama Pangeran Ramamurti, berusia duapuluh lima tahun. Sedangkan laki-laki setengah tua itu adalah pamannya dari ibu, bernama Balkan. Rombongan kuda itu nampak lelah, tanda bahwa mereka telah melakukan perjalanan jauh. Mereka memang datang dari Kerajaan Bhutan dan kini mereka mendaki Bukit Ular, sebuah di antara bukit-bukit di pegunungan Himalaya.
Matahari sudah naik tinggi dan hari itu cerah. Namun, tidak ada orang nampak di lereng bukit itu, bahkan dusun hanya terdapat di kaki bukit. Bukit Ular ini memang merupakan bukit yang terkenal di daerah itu, tidak ada orang berani mendaki bukit itu tanpa ijin dari penghuni. Siapakah penghuni bukit itu yang amat ditakuti orang?
Di puncak Bukit Ular terdapat sebuah bangunan besar seperti istana. Di situ tinggal See-thian Coa-ong (Raja Dunia Barat) Cu Kiat, seorang di antara para datuk besar dunia persilatan di waktu itu. Raja Ular itu berusia sekitar enampuluh delapan tahun, tubuhnya tinggi kurus, matanya tajam seperti mata harimau, alisnya tebal dan matanya sipit seperti mata orang Mongol aseli, sipit dengan kedua ujungnya menurun. Kumis dan jenggotnya tebal dan mulutnya selalu dihias senyum mengejek.
Biarpun See-thian Coa-ong Cu Kiat mempunyai banyak isteri, namun dia hanya mempunyai seorang anak saja, seorang wanita bernama Cu Sui In yarig kini telah berusia empatpuluh tiga tahun dan tidak menikah. Seperti juga ayahnya, Cu Sui In yang merupakan anak tunggal ini memiiiki ilmu kepandaian yang hebat, bahkan ia telah membuat nama besar di dunia kangouw dan mendapat julukan Bi-Coa Sianli (Dewi Ular Cantik).
Biarpun usianya sudah empatpuluh tiga tahun, akan tetapi ia cantik dan kelihatan jauh lebih muda, seperti baru tigapuluh tahun saja. Pakaiannya selalu mewah dan pesolek, alisnya melengkung hitam dan matanya tajam seperti mata ayahnya. Wajahnya cantik, hidung mancung dan mulutnya menggairahkan. Tubuhnya padat ramping penuh daya tarik.
Selain ayah dan anak yang ditakuti orang di dunia kangouw itu, masih ada seorang gadis lagi yang menjadi penghuni gedung itu. Ia seorang gadis berusia duapuluh dua tahun, wajahnya manis, dengan lesung pipit menghias mulutnya yang selalu dihias senyum. Mukanya bulat dan kulitnya putih kemerahan, hidungnya lucu dapat kembang kempis.
Gadis ini bernama Tang Bwe Li dan biasa dipanggil Lili di rumah itu, tentu saja dengan sebutan nona kalau yang memanggil para pelayan. Ia tadinya merupakan murid dari Bi-Coa Sianli Cu Sui In, akan tetapi akhirnya karena ia diambil murid pula oleh See-thian Coa-ong, ia lalu memanggll Suci (kakak seperguruan) kepada Cu Sui In, hal yang menyenangkan hati Dewi Ular itu.
Selain mereka bertiga ditambah belasan orang selir See-thian Coa-ong, di puncak itu tinggal pula tigapuluh orang laki-laki yang menjadi anak buah dan pelayan See-thian Coa-ong. Puncak itu ditakuti orang bukan hanya karena penghuninya akan tetapi juga karena di daerah puncak itu terdapat banyak ular-ular berbisa. Ular-ular ini memang sengaja dikumpulkan dan dibiarkan hidup di situ oleh See-thian Coa-ong yang merupakan pawang ular yang lihai sehingga tepatlah kalau puncak itu disebut Puncak Bukit Ular, sesuai pula dengan penghuninya yang berjuluk Raja Ular dan puterinya, Dewi Ular.
Rombongan berkuda itu berhenti di lereng dekat puncak, di depan sebuah pintu gerbang yang merupakan batas tempat tinggal dan wilayah kekuasaan See-thian Coa-ong.
"Kenapa berhenti di sini, paman?" tanya Pangeran Ramamurti kepada pamannya.
"Penghuni puncak adalah seorang datuk besar, dan nama bukit ini Bukit Ular, kita harus berhati-hati. Pula, sebagai tamu kita harus sopan karena di gapura ini tidak nampak penjaga." Balkan yang berpengalaman itu lalu memerintahkan pasukan untuk menyembunyikan terompet yang terbuat dari pada tanduk. Segera terdengar bunyi sasangkala memecah kesunyian tempat itu.
Pada saat itu, See-thian Coa-ong sedang menghadapi meja makan, sedang makan siang ditemani puterinya, Bi-coa Sianli, dan dilayani para selirnya yang masih muda-muda dan cantik-cantik. Tang Bwe Li atau Lili tidak nampak karena gadis itu memang selalu ingin makan sendiri, tidak beramai-ramai bersama sucinya dan gurunya. Bi-coa Sianli Cu Sui In yang telah selesai makan, ketika mendengar bunyi sasangkala ltu, segera bangkit berdiri.
"Kurasa mereka sudah datang, ayah. Aku akan menyambut mereka dulu di ruang tamu. Nanti setelah segalanya beres, akan kuhadapkan mereka kepada ayah."
See-thian Coa-ong hanya mengangguk saja tanpa menjawab, agaknya hatinya tidak tertarik dan dia lebih mencurahkan perhatian kepada masakan di atas meja.
Cu Sui In lalu meninggalkan ruangan makan dan menyuruh anak buah di situ pergi menyambut para tamu dan membawa mereka ke ruangan tamu, sedangkan ia sendiri mencari Lili. Gadis itu berada di kamarnya, sedang membaca kitab sejarah.
"Lili, cepat engkau berdandan," kata Cu Sui In.
Lili melepaskan bukunya dan memandang kepada wanita cantik itu dengan mata dilebarkan. Wanita ini dahulu gurunya sejak ia masih kecil, kemudian menjadi sucinya. Hubungan antara mereka akrab sekali dan Lili merasa amat sayang kepada gurunya atau sucinya itu.
"Suci, kenapa aku harus berdandan?" tanyanya heran.
"Kita akan menyambut tamu agung dan aku ingin engkau kelihatan cantik."
"Aih, siapa sih tamu agung itu, suci? Aku jadi ingin sekali tahu."
"Dia seorang pangeran. Hayo cepatlah, akupun mau bertukar pakaian baru," kata Sui In yang meninggalkan sumoinya, memasuki kamarnya sendiri untuk berganti pakaian.
Lili bersungut-sungut setelah Sui In pergi. Ia seorang gadis yang wataknya jujur dan galak, wajar dan tidak pesolek seperti sucinya. Ia paling tidak suka untuk mencari muka, dan sekarang pun, mendengar bahwa ia harus bersolek karena akan menyambut tamu agung, seorang pangeran, hatinya memberontak.
Akan tetapi, iapun segan dan tidak berani membangkang terhadap perintah sucinya yang juga gurunya itu, maka dengan uring-uringan iapun berganti pakaian. Akan tetapi ia membiarkan wajahnya tanpa bedak dan gincu, hal yang sebetuInya juga tidak ada gunanya karena kulit mukanya sudah putih kemerahan tanpa bedak, dan bibirnya sudah terlalu merah basah tanpa gincu. Rambutnya yang sedikit kusut itu bahkan menambah kemanisan wajahnya.
Rombongan Pangeran Ramamurti sudah disambut oleh anak buah See-thian Coa-ong dan diajak naik ke puncak. Kemudian, pangeran itu bersama pamannya dipersilakan menunggu di ruangan tamu, sedangkan duabelas orang pengawal mereka dijamu oleh anak buah Bukit Ular dengan ramah dan hormat seperti diperintahkan Dewi Ular.
Ramamurti dan Balkan menanti di ruangan tamu yang luas itu dengan hati berdebar. Kedatangan mereka memang telah dijanjikan dua bulan yang lalu mereka bertemu dengan Bi-coa Sianli Cu Sui In yang sedang berkunjung ke daerah Bhutan. Bahkan wanita cantik yang lihai ini menyelamatkan Pangeran Ramamurti dan Balkan yang sedang berburu binatang dan dikepung oleh belasan orang pemberontak yang menjadi pelarian. Cu Sui In yang menjadi penolong, itu diundang ke istana dan dijamu dengan hormat.
Kemudian, ketika mendengar bahwa Cu Sui In mempunyai seorang sumoi yang masih gadis. Balkan mengusulkan agar sumoinya itu dijodohkan dengan Pangeran Ramamurti yang juga belum menikah. Tentu saja usul ini sudah dipertimbangkan masak-masak oleh Balkan dan disetujui oleh sang pangeran.
Dan usul inipun mengandung pamrih tertentu, yaitu mereka mengharapkan bahwa dengan adanya dukungan seorang isteri yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka kedudukan Pangeran Ramamurti akan menjadi semakin kuat. Pada waktu itu memang terjadi semacam persaingan di antara para pangeran Bhutan yang hendak hendak memperebutkan kekuasaan.
Dan Sui In juga menyatakan persetujuannya! Tentu saja Sui In menerima usul itupun tidak sembarangan saja, melainkan sudah dipertimbangkannya baik-baik. Dia melihat kedudukan pemuda itu cukup kuat, sebagai seorang pangeran Kerajaan Bhutan dan siapa tahu, kelak dapat dengan bantuan Lili menjadi raja di Bhutan! Itulah sebabnya ia menyatakan persetujuannya, dan minta agar mereka datang mengajukan pinangan secara sah pada hari itu.
Ketika Sui In memberitahukan ayahnya tentang usul perjodohan dengan pangeran Bhutan, See-thian Coa-ong menanggapinya dengan acuh saja. Sui In juga belum memberitahu kepada Lili. Biasanya, gadis itu selalu taat kepadanya, maka sekali inipun ia merasa yakin bahwa Lili akan mentaatinya. Apalagi, Pangeran Ramamurti bukan seorang pemuda yang buruk rupa. Dia cuKup tampan, terpelajar, kaya raya, berkedudukan tinggi masih muda. Mau apalagi?
Ketika dari pintu sebelah dalam muncul dua orang wanita cantik, Balkan dan Ramamurti cepat bangkit berdiri dan membungkuk dengan hormat sambil merangkap kedua tangan di depan dada sebagai salam.
"Cu-lihiap (pendekar wanita Cu)!" kata mereka sambil memberi hormat dan pandang mata Ramamurti melekat kepada gadis yang berdiri di sebelah kiri Cu Sui In. Betapa cantik jelita dan manisnya gadis itu, pikirnya dengan hati berdebar girang. Gadis secantik bidadari ini yang diusulkan menjadi isterinya? Seribu kali dia setuju!
"Saudara Balkan, dan Pangeran Ramamurti, selamat datang dan silakan duduk. Perkenalkan, ini adalah sumoiku bernama Tang Bwe Li atau yang biasa kami panggil Lili."
"Tang-siocia (nona Tang)!" kata Balkan memberi hormat yang segera dibalas sambil lalu oleh Lili.
"Nona Lili? Ah, kiranya nona adalah seorang puteri yang cantik jelita seperti bidadari......" kata Pangeran Ramamurti. Lili tersenyum geli karena merasa lucu. Sikap pangeran itu mengingatkan ia akan pertunjukan sandiwara di panggung yang pernah ditontonnya ketika ia bersama Sui In merantau ke daerah timur yang ramai.
"Apakah engkau ini seorang pangeran sungguhan? Seorang pangeran aseli?" ia bertanya.
"Lili!" bentak sucinya.
"Jangan main-main di depan pangeran!"
"Aih, suci, aku tidak main-main. Aku hanya bertanya karena dia mengingatkan aku akan pangeran yang kita lihat bermain di panggung sandiwara itu. Betul tidak, suci?"
Mau tidak mau Sui In tersenyum geli. Lili memang gadis lincah jenaka yang jujur dan tak pernah mengenal takut.
"Hushh, jangan sembarangan saja. Dia ini adalah seorang pangeran sejati, Pangeran Ramamurti dari Kerajaan Bhutan."
"Ah, kiranya begitu? Maaf, karena yang membedakan antara orang biasa dan pangeran hanya pakaiannya, dan yang dipanggung itupun memakai pakaian seperti itu. Selamat datang pangeran dan silakan duduk," kata Lili dengan sikap wajar sehingga Pangeran Ramamurti tidak tersinggung, bahkan merasa gembira sekali. Saking girangnya, dia menoleh kepada pamannya dan berkata dalam bahasanya sendiri, bahasa Bhutan,
"Paman, aku mau, Paman, mau sekali..... aku setuju......!"
Tiba-tiba Lili bertanya,
"Engkau mau apa, pangeran? Mau sekali apa? Dan apa yang kau setujui tadi?"
Pangeran Ramamurti menjadi kaget setengah mati. Mukanya berubah kemerahan. Tak disangkanya bahwa Lili mengerti bahasa Bhutan! Gadis ini memang seorang kutu buku, suka mempelajari bahasa-bahasa. Bukan saja bahasa Bhutan, Nepal, juga bahasa Tibet dan bahasa daerah lainnya ia pelajari.
"Eh..... ah.... mau anu...... mau duduk, aku...... aku setuju untuk duduk dan bicara......." jawab pangeran itu gagap. Lili mengerutkan alis dan tertawa geli karena ia sendiri sama sekali tidak tahu apa maksud kunjungan ini, sama sekali tidak mengira bahwa yang dimaksudkan pangeran itu adalah mau dan setuju sekali menikah dengannya!
Akan tetapi di dalam kagetnya, pangeran itu menjadi semakin kagum dan suka mendengar gadis itu pandai pula berbahasa Bhutan. Sungguh sukar dicari keduanya gadis seperti ini. Cantik jelita, pandai ilmu silat dan tentu boleh diandalkan sebagai sumoi dari Cu Sui In yang telah dia lihat sendlri kelihaiannya, ditambah pandai berbahasa Bhutan pula.
"Pangeran Ramamurti, dan saudara Balkan, sebelum kita membicarakan urusan mari kupersilakan menghadap ayahku dulu, kemudian menerima sambutan kami dengan jamuan makan. Setelah itu; baru kita bicara."
Tentu saja pihak tamu, pangeran dan pamannya itu hanya dapat menerima, apalagi perjalanan jauh membuat mereka lelah, haus dan lapar. Sambutan dengan jamuan makan, tentu saja akan menyenangkan sekali. Mereka lalu diantar memasuki ruangan dalam di mana See-thian Coa-ong telah menanti dengan sikap acuh.
Lili yang belum mengetahui bahwa kunjungan itu bermaksud melamar dirinya, mengikuti dari belakang sambil tersenyum-senyum. Ia masih merasa lucu melihat betapa sucinya demikian menghormati seorang pangeran yang dianggapnya terlalu banyak lagak itu. Apakah Sucinya yang sejak kecil diketahuinya sebagai seorang wanita yang memandang rendah kaum pria itu kini tiba-tiba tertarik dan jatuh cinta kepada pangeran ini? Hampir ia terkekeh dan menahan tawa sambil menutupi mulutnya dengan tangan. Betapa lucunya kalau sucinya jatuh cinta kepada pangeran yang dianggapnya masih kekanak-kanakan ini!
Dewi Ular yang mengajak dua orang tamunya masuk, segera memperkenalkan mereka kepada ayahnya. See-thian Coa-ong duduk di kursinya dengan sikap angkuh berwibawa. Jelas bahwa datuk ini tidak mau memperlihatkan kerendahan diri terhadap pangeran itu.
"Ayah, inilah Pangeran Ramamurti dan pamannya, saudara Balkan seperti yang pernah kuceritakan itu," kata Bi-coa Sianli dengan nada suara bangga.
"Locianpwe, terimalah hormat kami," kata Balkan dan pangeran itupun memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di depan dada, agak membungkuk akan tetapi tidak berkata apapun.
"Hemm, duduklah!" kata See-thian Coa-ong, mempersilakan dua orang itu duduk seperti mempersilakan dua orang tamu biasa saja. Jelas terbayang pada wajah dua orang tamu itu betapa mereka menjadi salah tingkah, bingung oleh sikap acuh kakek itu. Lili tidak mampu menahan tawanya.
"Suhu, dia itu adalah seorang pangeran tulen, pangeran dari negara Bhutan. Hebat, bukan?" katanya.
"Apanya yang hebat?" See-thian Coa-ong bertanya sambil menoleh kepada muridnya itu, alisnya berkerut.
"Haiii, tidak banggakah suhu menerima tamu seorang pangeran? Ingat, suhu tidak setiap hari ada pangeran datang berkunjung. Pangeran itu putera raja, suhu, masih panas-panas keluar dari istana kerajaan!" Lili yang semakin geli melihat sikap suhunya, menambahkan.
"Hem, apa anehnya raja dan pangeran? Sudah sering aku dijamu raja-raja di istana mereka. Raja-raja juga manusia biasa seperti kita, apa bedanya?
"Bagaimana bisa sama, suhu? Dalam sebuah negara, raja hanya ada seorang saja, dan pangeran juga hanya beberapa orang. Tentu berbeda dengan orang-orang biasa seperti kita."
Pangeran Ramamurti tidak begitu pandai berbahasa Han, akan tetapi dia paham apa yang dibicarakan. Dia merasa gembira bukan main mendengar gadis yang dicalonkan menjadi jodohnya dan yang sekaligus telah membuatnya jatuh bangun dalam cinta itu, membuatnya tergila-gila, memuji-mujinya dan berkeras mengatakan bahwa pangeran adalah manusia luar biasa, lain dari pada yang lain. Ini saja sudah merupakan lampu hijau baginya. Diapun kurang enak mendengar kakek itu agaknya memandang rendah pangeran, akan tetapi untuk memperlihatkan bahwa dia cukup rendah hati, diapun berkata sambil tersenyum ramah.
"Aih, nona Lili. Apa yang diucapkan locianpwe ini benar sekali. Biarpun aku seorang pangeran yang mungkin kelak menjadi raja, akan tetapi aku adalah manusia biasa yang tidak ada bedanya dengan orang lain. Lihat, hidungku satu, mata dan telingaku dua, mulutku satu, jari tanganku masing-masing lima. Sama, bukan?" Pangeran itu menunjuk hidung, telinga, mata dan mulut, lalu membuka sepuluh jari tangannya, memperlihatkannya kepada Lili. Gadis ini tidak dapat menahan tawanya sampai terpingkal-pingkal.
"Lili, bersikaplah yang pantas di depan tamu!" Cu Sui In menegur sumoinya.
Lili adalah seorang gadis yang sejak kecil digembleng oleh tokoh-tokoh seperti Dewi Ular kemudian Raja Ular yang merupakan orang-orang aneh di dunia kangouw. Ia sendiripun ketularan watak aneh mereka yang tidak sudi dikekang oleh peraturan apapun juga. Oleh karena itu, ketika tertawa tadi, Lili juga tidak menahan diri dan tertawa lepas-lepas dengan mulut ternganga, hal yang bagi wanita Han pada umumnya dianggap tidak bersusila!
"Ehh, mengapa, suci? Apakah aku bersikap tidak pantas? Apanya yang tidak pantas?" Lili membantah. Jangankan sekarang wanita itu telah menjadi kakak seperguruannya, ketika masih disebut subo (ibu guru) sekalipun, ia suka membantah kalau memang dianggap ia yang benar. Ia memang taat dan segan, akan tetapi tidak membuta.
"Engkau tertawa tanpa terkendali!" tegur sucinya.
"Ahh? Aku merasa senang dan geli, ingin tertawa lalu aku tertawa, kenapa tidak pantas? Kalau aku ingin tertawa lalu kutahan dan kusembunyikan, barulah tidak pantas. Bukankah begitu, pangeran? Tolong katakan, apakah aku tadi bersikap tidak pantas di depan pangeran?" Lili mendekatkan mukanya, dicondongkan ke depan, ke arah pangeran itu.
Pangeran Ramamurti menggosok-gosok hidungnya, nampak senang sekali.
"Aih, tidak, sama sekali......."
"Maksudmu tidak pantas?"
"Pantas....... pantas.......!!" jawab pangeran itu berulang-ulang sehingga Lili menjadi semakin geli dan.tertawa lagi.
Cu Sui In sudah tahu akan watak nakal dan lincah suka menggoda orang dari sumoinya, dan pada saat itu, kebetulan pelayan datang melapor bahwa hidangan untuk menjamu tamu sudah tersedia di meja ruangan makan.
"Silakan, Pangeran Ramamurti dan Saudara Balkan. Mari silakan makan minum dulu, baru kita nanti bicara." Cu Sui In mempersilakan.
"Mari kita temani tamu-tamu kita, Lili."
"Akan tetapi aku sudah makan, suci."
"Biarlah, kita minum-minum saja sekedar menemani mereka. Akupun sudah makan tadi."
See-thian Coa-ong yang bersikap acuh, hanya mengangguk ketika dua orang tamu itu permisi. Mereka pergi ke ruangan makan dan untuk mencegah agar sumoinya yang nakal itu tidak menggoda lagi tarrunya, Cu Sui In sendiri yang melayani mereka dengan suguhan arak, anggur dan masakan-masakan yang lezat, dibantu oleh para pelayan wanita.
"Sambil makan minum, kami hendak memperlihatkan tarian yang khas dari tempat tinggal Pangeran," kata Cu Sui In dan sang pangeran mengangguk-angguk girang. Sui In memberi isyarat kepada para pelayan dan terdengarlah suara dua buah yang-kim (kecapi) ditabuh dengan suara melengking merdu, lalu disusul suara suling. Sehelai tirai sutera diangkat perlahan-lahan dan nampaklah tiga orang wanita cantik yang bermain suling dan dua yang-kim itu.
Kemudian, dari kamar bagian dalam, muncul lima orang gadis. Mereka berlari-lari kecil di atas jari-jari kaki mereka seolah meluncur saja, dan kelima orang gadis itu muda-muda dan cantik-cantik, mengenakan pakaian serba tipis yang menggairahkan. Kemudian, setelah mereka memberi hormat ke arah tamu, mulailah mereka menari mengikuti suara yang-kim dan suling.
Dan Pangeran Ramamurti terpesona. Di negerinya juga banyak terdapat penari yang pandai menari perut, akan tetapi gerakan lima orang penari ini lain sekali. Tubuh mereka yang ramping berlenggang-lenggok seperti tubuh ular!
Lengking suling itu makin meninggi dan tiba-tiba saja Lili bangkit, dari tempat duduknya dan diapun menari dengan gerakan yang berlenggang lenggok seperti ular pula. Lima orang penari itu tersenyum dan mereka menari-nari mengelilingi Lili, merupakan paduan yang serasi.
Pangeran Ramamurti semakin terpesona dan tiada hentinya mulutnya mengeluarkan suara pujian. Lili memang suka sekali menari. Setiap kali melihat tarian, apalagi mendengar suara yang-kim dan suling memainkan lagu yang amat dikenalnya itu, lagu ular, ia tidak dapat menahan dirinya untuk tidak ikut menari!
Para pemain musik dan penari itu sudah tahu akan kesukaan Lili, maka mereka tersenyum dan tiba-tiba peniup suling itu memainkan lagu lain. Sulingnya melengking-lengking dan mengandung getaran aneh. Lili juga mengubah gerakan tarinya dan lima orang penari itu kini duduk mengellingi dan bersimpuh, bertepuk tangan mengiringi musik dan tarian.
"Ular...... ular......!!" seru Ramamurti dan Balkan sambil mengangkat kaki tinggi-tinggi ke atas kursi ketika mereka melihat puluhan ular memasuki ruangan itu dari segala penjuru.
"Harap kalian tenang, tidak apa-apa," Cu Sui In sambil tersenyum.
Dua orang tamu itu lupa makan. Kini mereka terbelalak dengan heran, kagum bercampur khawatir melihat betapa lima orang penari itu sudah bangkit lagi menari di sekeliling Lili dan seperti juga Lili yang memainkan dua ekor ular putih yang nampak ganas, lima orang penari itu menari dengan ular-ular bergantungan di tubuh.
Ini baru benar-benar tari ular, pikir pangeran itu dengan kagum. Di negerinya juga ada tari ular, ada pula pawang ular. Akan tetapi biasanya, dalam tarian, ular itu, si penari menggunakan ular-ular yang sudah dijinakkan dan tidak dapat menyerang atau menggigit lagi. Akan tetapi enam orang penari ini mempermainkan ular-ular liar yang agaknya tadi tertarik dan berdatangan setelah mendengar tiupan suling istimewa itu.
Setelah suara suling mengusir pergi ular-ular itu dan tarian dihentikan, Pangeran Ramamurti dan Balkan bertepuk tangan memuji. Kemudian, setelah dua orang tamu itu selesai makan, mereka diajak menghadap lagi ke ruangan dalam di mana See-thian Coa-ong masih duduk.
"Nah, sekarang harap ji-wi (kalian berdua) beritahukan maksud kunjungan ji-wi kepada kami," kata Cu Sui In kepada dua orang tamunya, Para pelayan sudah disuruh keluar dari ruangan itu dan disitu hanya ada dua orang tamu itu dan di pihak tuan rumah tiga orang. Sikap See-thian Coa-Ong masih acuh saja. Kalau Sui In merasa setuju dan bangga sekali menyambut usul perjodohan antara Lili dan Pangeran Bhutan, ayahnya tidak demikian. See-thian Coa-ong tidak menolak, akan tetapi jaga tidak gembira dan acun saja, menyerahkan urusan itu kepada puterinya dan kepada Lili sendiri.
"Locianpwe dan Cu-lihiap, kunjungan kami ini bermaksud untuk menyambung persesuaian pendapat di antara kami dan Cu-lihiap ketika lihiap berkunjung ke negeri kami dua bulan yang lalu, yaitu kami datang untuk meminang nona Tang Bwe Li agar menjadi jodoh Pangeran Ramamurti....."
"Gila......! Lancang.....!!" Tiba-tiba Lili meloncat bangun dari kursinya, mukanya merah, matanya mencorong memandang ke arah dua orang tamu itu membuat mereka terkejut.
Lili, hentikan itu!" Cu Sui In membentak, juga marah.
"Sikapnya tidak patut dan memalukan!"
"Tapi....... tapi, suci..... mereka ini kurang ajar kepadaku!" bantah Lili.
"Engkau yang kurang ajar! Sudah jamaknya gadis dewasa seperti engkau dilamar orang, dan tidak seperti itu sikap seorang gadis yang menerima lamaran. Kau diamlah, ini urusan orang-orang tua!"
"Tidak suci. Aku tidak mau! Aku tidak sudi berjodoh dengan dia!"
"Lili, ini sudah keterlaluan!" Cu Sui In juga bangkit dan mukanya berubah merah karena marah dan malu.
"Suci katakan aku keterlaluan? Suci sendiri sampai sekarang tidak mau menikah dan malah hendak memaksaku menikah, itu baru namanya keterlaluan! Kenapa tidak suci saja yang berjodoh dengan pangeran ini?" Setelah berkata demikian, Lili mengepal tinju hendak menyerang kedua orang tamu itu, membuat Pangeran Ramamurti menjadi pucat ketakutan.
"Lili, mundur kau!" bentak See-thian Coa-ong dan mendengar bentakan gurunya ini, Lili mengendur, matanya menjadi merah dan basah. Ia membanting kakinya dan lari keluar dari ruangan itu, ke kamarnya.
Setelah gadis itu pergi, sejenak dalam ruangan itu sunyi. Sunyi yang menegangkan hati. Kemudian terdengar Pangeran Ramamurti berkata dalam bahasanya sendiri kepada Balkan.
"Paman, mari kita, pulang saja. Kalau lamaran kita ditolak, untuk apa kita lama di sini?"
Mendengar ini, Sui In cepat berkata.
"Harap ji-wi memaafkan sumoiku. Ia memang keras hati dan tentu saja ia merasa malu. Kami harap ji-wi suka bersabar. Aku yang akan membujuknya. Sekarang ini kami belum dapat mengambil keputusan mengenai pinangan ji-wi. Baiklah, nanti bulan depan saja kami akan mengirim berita keputusan kami. Sekali lagi, harap maafkan."
Ucapan itu merupakan permintaan maaf dan juga pengusiran secara halus. Memang Sui In yang merasa tidak enak sekali oleh sikap Lili tadi, merasa bahwa lebih baik kalau dua orang tamunya itu, pergi saja dulu.
Balkan dan pangeran itu lalu berpamit. Lebih dulu mereka berpamit kepada See-thian Coa-ong dan kakek ini yang sejak tadi diam saja dan acuh, tiba-tiba bertanya kepada Pangeran Ramamurti,
"Engkau ini seorang pangeran, kenapa tidak mencari jodoh seorang puteri bangsawan? Orang seperti engkau ini bagaimana mungkin kelak dapat mengendalikan seorang isteri seperti Lili?" Dia tertawa bergelak dan seperti biasa, senyum dan tawa kakek ini selalu mengandung ejekan dan memandang rendah orang lain.
Pangeran Ramamurti tidak menjawab. Dia dan pamannya lalu berpamit kepada Sui In dan meninggalkan puncak Bukit Ular, diikuti pasukan kecil pengawal mereka.
"Berhenti......" Lili yang berdiri di tengah jalan itu mengangkat tangan kanan ke atas, memberi isyarat kepada pasukan berkuda itu untuk berhenti. Pangeran Ramamurti dan Balkan menahan kendali kuda mereka, demikian pula duabelas orang pengawal mereka.
Melihat bahwa yang menghentikan mereka adalah Lili yang nampak demikian gagah dan cantik, berdiri tegak di tengah jalan, kedua kaki terpentang, tangan kiri di pinggang dan tangan kanan diangkat ke atas, wajah Pangeran Ramamurti yang tadinya murung itu menjadi gembira sekali. Dia meloncat turun dari atas kudanya, wajahnya yang tampan tersenyum.
"Aih, kiranya nona Lili! Nona, apakah engkau menghadang di sini untuk mengucapkan selamat jalan kepadaku?" Dalam suaranya terkandung penuh harapan.
"Pangeran Ramamurti, engkau telah menghinaku dan sekarang masih mengharapkan aku untuk mengucapkan selamat jalan kepadamu? Aku menghadang untuk memberi hajaran kepada kalian yang telah menghinaku!"
Melihat sikap gadis itu dan mendengar ucapannya, wajah pangeran itu menjadi pucat dan dia melangkah mundur. Pamannya, Balkan, sudah melompat turun pula dari atas kudanya dan dia menghadapi gadis itu dengan sikap tenang.
"Maaf, nona Tang Bwe Li, kami sungguh tidak mengerti kenapa nona marah kepada kami? Kami datang dengan baik-baik dan dengan sikap hormat untuk meminang diri nona. Bagaimana nona dapat mengatakan bahwa kami telah menghinamu?"
"Tidak menghinaku, ya? Bagus! Kalian datang melamarku begitu saja, tanpa lebih dulu memberi tahu aku, tidak menyelidiki dulu apakah aku suka atau tidak. Memangnya aku ini sebuah boneka yang tidak mempunyai pikiran sendiri? Atau aku ini seekor kuda saja yang boleh kalian tawar dan hendak membeliku dengan kedudukan dan hartamu? Kalian telah membikin aku malu!"
Balkan adalah seorang dari golongan rakyat biasa, akan tetapi karena kakaknya perempuan menjadi isteri raja Bhutan, maka dia merasa dirinya besar dan telah menjadi seorang bangsawan tinggi paman dari Pangeran Ramamurti. Kini, melihat sikap Lili yang sama sekali tidak memandang sebelah mata kepada keponakannya dan kepadanya, timbullah kemarahannya. Gadis ini terlalu menghina, pikirnya.
"Nona Tang Bwe Li, ingatlah bahwa yang meminangmu adalah seorang pangeran kerajaan Bhutan! Biasanya, di Bhutan, kalau pangeran menghendaki seorang wanita, cukup dengan melambaikan tangan saja dan setiap orang wanita akan datang menyerahkan diri dengan bangga, karena mengingat bahwa nona adalah bangsa lain, maka kami mempergunakan cara yang sopan dan lajim, melakukan pinangan dengan resmi. Bahkan sebelum kami datang meminang, kami telah membicarakannya dengan lihiap Cu Sui In dan ia telah menyetujuinya. Sepatutnya nona merasa terhormat dan bangga, bukan merasa terhina. Ini sungguh tidak adil sekali!"
Mendapat jawaban seperti ini, kemarahan Lili bagaikan api disiram minyak, makin berkobar.
"Bagus! Kalian sudah menghinaku, masih menyalahkan aku. Kalian harus dihajar agar tidak berani muncul lagi ke sini, tidak lagi menyinggung urusan perjodohan!"
Balkan juga marah. Gadis ini terlalu menghina, sepantasnya kalau ditawan dan dibawa ke Bhutan, dipaksa menikah dengan Pangeran Ramamurti! Dia memberi isyarat kepada pasukan pengawal.
"Tangkap nona yang lancang mulut ini!"
Duabelas orang pengawal itu sudah berloncatan turun dari atas kuda dan seperti segerombolan anjing pemburu mengeroyok seekor kelinci, mereka sudah menerjang ke arah Lili dengan tangan terjulur panjang. Melihat kecantikan gadis itu, mereka bergairah dan seolah berlumba untuk memperebutkan gadis itu, agar mereka dapat lebih dulu menerkam, memeluk dan menangkapnya. Mereka berlumba untuk dapat meraba tubuh yang padat itu, atau setidaknya bersentuhan lengan.
Akan tetapi, mereka itu bukan seperti segerombolan anjing pemburu memperebutkan seekor kelinci, melainkan segerombolan anjing pemburu bertemu dengan seekor harimau betina yang galak dan kuat! Lili menyambut mereka dengan terjangan kaki tangannya. Gerakannya demikian tangkas, cepat dan Kuat sekali sehingga duabelas orang pengawal yang merupakan pengawal pilihan itu terpelanting ke kanan kiri! Mereka terbanting dan mengaduh-aduh, mengalami patah tulang, babak belur dan benjol-benjol.
Dan bagaikan seekor burung walet, tubuh Lili sudah menyambar ke arah Balkan dan Pangeran Ramamurti. Dua orang bangsawan ini terkejut dan hendak melarikan diri, akan tetapi sebuah tendangan membuat Balkan tersungkur dan sekali Lili menjulurkan tangan, ia telah mencengkeram pundak pangeran itu.
"Nona, apa kesalahanku, lepaskan!" kata pangeran itu meronta-ronta.
"Engkau lancang berani meminangku, ya?" Lili membentak dan tangannya menampar beberapa kali. Kedua pipi pangeran itu menjadi merah membengkak. Lili mendorongnya dan diapun terjengkang.
"Engkau harus dihajar agar jangan berani lagi, datang ke sini!" kakinya menendang dan pangeran yang sedang merangkak bangun itu terlempar lagi.
"Lili, tahan!" terdengar bentakan nyaring dan Lili yang sudah hendak menggerakkan kakinya, menahan tendangannya. Ia menoleh dan ternyata Sui In telah berdiri di situ dengan sikap marah. Sementara itu, Balkan yang sudah bangkit, menolorg Pangeran Ramamurti, memapahnya dan bersama anak buah mereka yang sudah bangkit pula, mereka mencari kuda mereka, menunggang kuda dan rombongan itu pergi meninggalkan tempat itu tanpa pamit.
"Lili, engkau sungguh keterlaluan sekali! Apakah engkau sudah mulai berani menentang aku? Katakan, apakah engkau hendak menantang aku?" Cu Sui In marah sekali, matanya mencorong dan kedua tangannya bertolak pinggang.
Melihat ini, Lili menjatuhkan diri berlutut menghadap wanita yang pernah menjadi gurunya dan kini menjadi sucinya ini. Ia berlutut dan kedua matanya basah, akan tetapi ia mengeraskan hatinya sehingga tidak sampai menangis. Ia bukan takut walaupun ia tahu bahwa ia tidak akan mampu menandingi sucinya, akan tetapi ia berduka sekali melihat sucinya demikian marah kepadanya dan sorot matanya seperti membencinya.
"Suci, sejak aku dapat mengingat, sejak kecil sekali suci memeliharaku, merawat dan mendidik aku. Suci sayang kepadaku dan akupun amat sayang kepadamu. Bagaimana mungkin aku tidak akan mentaatimu? Suci, apapun yang suci perintahkan, akan kutaati, dan aku akan membela suci dengan taruhan nyawa sekalipun. Akan tetapi,........ mengenai perjodohanku...... bagaimana aku dapat melempar diriku ke dalam nasib yang akan menentukan selama hidupku? Suci, kalau aku menikah, berarti aku berpisah dari suci, dan hidup selamanya di samping seorang laki-laki yang tidak kucinta. Bagaimana mungkin ini? Suci, kalau aku bersalah dan suci hendak menghukumku, silakan. Biar dihukum matipun aku rela, dan aku tetap tidak akan mau dijodohkan dengan laki-laki yang tidak kucinta."
Sui In tersenyum mengejek.
"Huh, cinta? Mana ada cinta dalam hati kaum pria? Kalau sudah melampiaskan nafsu mereka, mereka akan bosan dan tidak memperdulikan kita lagi. Cinta? Cinta laki laki adalah palsu, rayuan kosong hanya untuK memikat. Laki-laki seperti laba-laba yang memikat kupu-kupu terperangkap di sarangnya, kalau sudah dihisap sampai kering, bangkai kupu-kupu akan di campakkan begitu saja. Aku menjodohkan engkau dengan seorang pangeran, itu berarti hidupmu akan terjamin, mulia, terhormat, kecukupan sampai semua keturunanmu kelak. Namamu terjunjung tinggi, namaku dan nama ayahku ikut terangkat. Seorang pangeran, apalagi kalau kelak menjadi raja, tidak akan mencampakkan isterinya begitu saja. Paling banyak dia menambah selir, akan tetapi isterinya akan tetap dimuliakan orang. Aku menyetujui perjodohan itu demi kebaikanmu, kenapa engkau menolak?"
"Maaf, suci. Bagaimanapun juga, hati ini tidak merelakan kalau badan ini kuserahkan kepada orang yang tidak kucintai. Aku siap menerima hukuman asal suci jangan marah lagi kepadaku."
Sui In tersenyum, lalu menarik napas panjang.
"Kalau aku marah, sejak tadi sudah kubunuh engkau! boleh saja engkau menolak lamaran, akan tetapi tidak perlu bersikap kasar, apalagi menyakiti rombongan pangeran itu. Sudahlah, apa engkau sudah mempunyai pilihan hati, seorang pria yang kaucinta dan kauharapkan menjadi jodohmu?"
Karena besar dalam lingkungan orang aneh, Lili juga menjadi seorang gadis yang berwatak aneh. Yang oleh wanita pada umumnya dianggap sebagai hal yang memalukan, mungkin baginya sama sekali tidak memalukan, dan sebaliknya. Ia menjunjung kegagahan, wajar dan jujur, walaupun seringkali mengandalkan kekuatan dan kekerasan.
"Sudah, suci," jawabnya tegas.
Sui In mengerutkan alisnya, merasa penasaran dan heran mengapa ia tidak tahu bahwa Lili mempunyai seorang pacar! "Siapa dia? Pemuda dekat sini?"
"Dia orang jauh dan suci juga sudah mengenalnya."
"Kau amat cinta padanya?"
"Aku cinta padanya, kagum, dan juga penasaran dan benci."
"Ehh? Siapa pria aneh itu?"
"Dia Sin Wan, suci."
"Sin Wan......? Seperti pernah kudengar nama itu."
"Tentu saja. Dia murid dan putera mendiang Tangan Api Se Jit Kong."
"Aih, benar. Dia murid pula dari Sam-sian, bukan? Aihh, dia yang pernah memukuli pantatmu ketika engkau kecil itu?"
"Benar, akan tetapi aku sudah membalas memukuli pantatnya berikut bunganya. Aku.... aku hanya mau berjodoh dengan dia, suci."
"Sudahlah. Engkau bilang selalu taat kepadaku. Sekarang aku akan memberimu sebuah tugas, maukah engkau melakukannya untuk aku?"
"Katakan apa tugas itu, suci. Akan kulakukan walau dengan pengorbanan nyawa sekalipun."
"Mungkin saja engkau akan berkorban nyawa, karena orang yang kuingin agar kau bunuh ini memiliki ilmu kepandaian yang lihai sekali."
"Suci ingin aku membunuh orang? Boleh saja, akan tetapi aku harus tahu lebih dulu apa kesalahannya dan mengapa pula suci hendak membunuhnya."
"Dia seorang pendekar yang perkasa, seorang tokoh Butong-pai yang sukar dicari tandingannya, terutama sekali ilmu pedangnya amat ditakuti orang. Akan tetapi, aku yakin engkau akan mampu menandinginya dan mengalahkannya. Namanya Bhok Cun Ki berjuluk Sin-kiam-eng (Pendekar Pedang Sakti), usianya sekitar empatpuluh lima tahun. Dia seorang pendekar perantau, tidak tentu tempat tinggalnya. Akan tetapi kalau engkau pergi ke Butong-pai dan mencari keterangan di markas Butong-pai, tentu engkau akan dapat memperoleh keterangan di mana adanya Sin-kiam-eng Bhok Cun Ki."
"Hal itu mudah dilakukan, suci. Akan tetapi suci belum mengatakan mengapa suci hendak membunuhnya dan apa pula kesalahannya."
"Hemm, engkau bilang selalu taat kepadaku, kenapa sekarang kuberi tugas engkau ribut-ribut mendesak aku agar menceritakan sebab-sebabnya."
"Suci, aku tidak melupakan nasihat suhu. Kita tidak perlu berpihak kepada golongan manapun, akan tetapi kita harus bertanggung-jawab atas semua perbuatan kita. Itu namanya baru gagah. Setiap perbuatan kita harus dilandasi alasan kuat sehingga kita tidak ragu-ragu melaksanakannya. Nah, karena itu, aku ingin agar aku mengetahui apa alasannya maka aku harus membunuh Sin-kiam-eng Bhok Cun Ki itu."
Bi-coa Sianli (Dewi Ular Cantik) Cu Sui In biasanya berwatak keras, galak dan tidak sabar terhadap orang lain. Akan tetapi terhadap Lili ia tak pernah memperlihatkan sikap kerasnya itu. Ia terlalu sayang kepada muridnya yang kini menjadi sumoinya itu dan kini mendengar ucapannya Lili, ia bahkan tersenyum.
Lili sendiri terpesona kalau melihat sucinya tersenyum. Senyum sucinya itu belum tentu ia lihat seminggu sekali! Kalau sucinya, yang biasanya berwajah dingin itu tersenyum, ia benar-benar pantas disebut dewi karena nampak cantik jelita dan anggun. Betapa senyum seseorang dapat membuat wajahnya menjadi hidup dan cerah, bagaikan matahari muncul dari balik awan hitam.
"Lili, engkau ingin tahu sebabnya? Sebabnya adalah karena Bhok Cun Ki itu adalah kekasihku......."
Lili memandang sucinya dengan mata dibelalakkan lebar-lebar, dan kini Cu Sui In yang terpesona penuh kagum. Sumoinya ini memang cantik jelita, akan tetapi kalau matanya dibelalakkan seperti itu, sepasang mata itu menjadi besar dan bercahaya seperti bintang, sehingga wajah itu manis bukan main.
"Aihhn, suci. Ini namanya puncak keanehan! Kalau dia itu kekasih suci, kenapa harus dibunuh?"
"Duapuluh tiga tahun yang lalu, ketika aku berusia duapuluh tahun dan dia berusia duapuluh dua tahun, kami saling mencinta dan kami saling bersumpah untuk sehidup semati. Aku bahkan telah menyerahkan segala-galanya yang ada padaku kepadanya, menyerahkan jiwa ragaku kepadanya, akan tetapi..... setelah dia mengetahui bahwa aku adalah puteri See-thian Coa-ong, dia yang menganggap dirinya seorang pendekar Butong-pai lalu mundur dan meninggalkan aku, memutuskan hubungan. Padahal, aku telah menyerahkan segalanya. Dia telah mengkhianatiku dan kemudian menikah dengan seorang puteri bangsawan."
Wajah Lili berubah merah karena marah.
"Suci! Kenapa sekian lamanya suci diam saja? Laki-laki pengkhianat seperti itu sudah selayaKnya dibunuh. Kenapa dahulu suci tidak mencarinya dan membunuhnya? Dia tidak pantas hidup!"
Cu Sui In menggeleng kepala dengan wajah sedih dan beberapa kali ia mengnela napas, panjang.
"Sudah kucoba untuk mengeraskan hati, namun sia-sia, Lili. Aku,..... aku tidak tega membununnya, aku tetap mencintanya, sampai sekarang. Karena itu aku minta bantuanmu......."
"Suci, engkau membikin aku bingung. Kalau suci sampai sekarang tetap mencintanya, kenapa suci melepaskannya begitu saja? Kenapa suci tidak bunuh saja perempuan yang merampasnya dan paksa dia menjadi suami suci?"
Sepasang mata Dewi ular Cantik itu mencorong marah.
"Tidak! Aku tidak sudi mengemis cintanya! Tidak usah banyak komentar. Mau atau tidak engkau melaksanakan tugas yang kuberikan padamu?"
"Tentu saja, suci. Aku siap melaksanakannya aku siap membelamu biar harus mempertaruhkan nyawaku."
"Lili....... Sui In merangkul dan mencium kedua pipi gadis itu.
"Engkau memang anak baik, engkau sumoi yang baik. Pergilah, Lili, cari dia sampai dapat, kemudian bunuh dia, bunuh isterinya, bunuh anak mereka kalau ada. Lakukan itu untuk aku yang menderita selama duapuluh tiga tahun ini."
"Baik, suci. Jangan khawatir. Aku akan mencarinya, aku akan membunuhnya berikut anak isterinya. Pengorbanan suci yang selama duapuluh tiga tahun ini harus ditebus dengan nyawa mereka. Suci selama puluhan tahun menderita, tidak mau berdekatan dengan pria, semua itu demi cinta suci kepadanya. Akan tetapi dia malah meninggalkan suci dan menikah dengan perempuan lain!" Lili mengepal tinju.
"Nah, berangkatlah, Lili. Dengan ilmu pedangmu Pek-coa Kiam-sut, aku yakin engkau akan mampu mengalahkan ilmu pedangnya dari Butong-pai."
Ketika Lili berpamit kepada gurunya, dan menceritakan tugas yang diberikan Cu Sui In kepadanya, See-thian Coa-ong menggeleng-gelengkan kepala.
"Manusia bisa gila karena cinta. Sui In mengubur dendam selama duapuluh tahun lebih dalam hatinya dan sekarang menghendaki engkau yang mewakilinya. Bahkan ketika aku hendak turun tangan, ia selalu melarang. Sekarang aku tahu, kiranya ia menanti sampai engkau dewasa dan memiliki kemampuan untuk mewakilinya. Kiranya selama ini ia menanam dendamnya karena ia sendiri tidak tega meiakukannya, ha..ha..ha!"
Setelah Lili hendak berangkat, Cu Sui In mengantarnya sampai ke bawah puncak. Lili, kalau sudah selesai tugasmu, jangan pulang ke sini. Tahun depan aku dan ayah akan pergi ke Thai-san, di mana akan diadakan pemilihan bengcu sebagai pemimpin seluruh dunia persilatan dan merupakan jago nomor satu. Nah, di sanalah kita bertemu, tahun depan sebulan sesudah Perayaan Musim Semi atau Sin-cia. Kalau engkau kembali ke sini, aku khawatir kita tidak akan dapat saling bertemu. Kalau kita bertemu di sana, engkau dapat memperkuat rombongan ayah."
"Baik, suci." Mereka berangkulan dan saling berciuman, lalu Lili menggunakan ilmu berlari cepat menuruni Puncak Bukit Ular, diikuti pandang mata Cu Sui In yang kini nampak tersenyum, akan tetapi kedua matanya basah air mata!
Malam itu gelap sekali. Di langit tidak ada bulan, tidak ada bintang karena semua bintang tertutup oleh awan hitam. Gelap gulita dan hawa udara amat dinginnya. Musim salju mendekati akhir, namun justeru hawa udara dingin sampai menusuk tulang. Semua air membeku dan gerimis salju hampir tidak pernah berhenti.
Karena malam demikian gelap dan dingin, maka kota Peking, walaupun merupakan ibu kota ke dua setelah Nan-king, malam itu sunyi sekali. Orang-orang lebih suka berada di dalam rumah yang dihangatkan perapian. Kalaupun terpaksa keluar rumah karena keperluan penting, mereka mengenakan pakaian kapas atau bulu yang tebal, menutupi kepala dan muka. Namun, tetap saja hawa dingin menyusup ke dalam badan, bibir pecah-pecah dan pernapasan terasa sesak.
Di dalam istana Raja Muda Yung-Lo sendiri nampak sunyi. Para penjaga mengaman dan menyamankan diri di dalam gardu-gardu penjagaan yang dihangatkan dengan perapian. Yang terpaksa melakukan perondaan, berpakaian tebal dan melakukan perondaan cepat-cepat agar dapat segera kembali ke gardu yang hangat. Pula, dalam udara sedingin itu, malam segelap itu, siapa sih orang yang usil dan mencari penyakit melakukan kejahatan di dalam istana yang terjaga ketat?
Para petugas jaga itu agaknya lupa bahwa orang-orang Mongol tidak pernah melepaskan segala kesempatan baik. Mereka adalah orang-orang yang selalu masih merasa penasaran ketika Kerajaan Mongol runtuh demikian mudahnya setelah bangsa Mongol menguasai Cina hampir seabad lamanya (1170- 1260).
Para Pangeran Mongol yang berhasil menyelamatkan diri ke utara segera membentuk suatu jaringan dalam usaha mereka menegakkan kembali kerajaan Mongol untuk menguasai Cina. Mereka menyusun jaringan mata-mata, mengirim banyak orang pandai yang menyusup ke sebelah selatan Tembok Besar. Bahkan ada pangeran yang mengirim rombongan mata-mata yang pandai, melakukan penyusupan tidak melalui Tembok Besar di utara yang terjaga ketat, melainkan mengambil jalan memutar dari arah barat.
Malam yang sunyi dan dingin itu, yang membuat para penjaga dan pengawal di istana Raja Muda Yung Lo menjadi lengah dan malas, tidak lepas dari pengamatan para mata-mata Mongol. Dalam kegelapan malam itu, di waktu sebagian besar penduduk kota sudah meringkuk di dalam kamar masing-masing berselimut tebal, nampak tiga sosok bayangan berkelebatan di atas pagar tembok istana dan melayang turun di sebelah dalam! Dengan gerakan ringan dan cepat, mereka menyelinap dalam taman, menghampiri bangunan istana yang megah dengan hati-hati sekali.
Gerakan mereka yang tanpa ragu-ragu itu, dan dalam menghindar gardu-gardu penjagaan, membuktikan bahwa mereka bertiga itu mengenal baik sekali keadaan di situ dan semua gerakan mereka penuh dengan perhitungan yang matang.
Sementara itu, di sebelah dalam istana, seorang wanita cantik berpakaian ringkas. Sebatang pedang menempel di punggungnya, dan di ikat pinggangnya terselip sebatang suling perak. Wanita ini berusia kurang lebih duapuluh tiga tahun, wajahnya bulat telur dengan dagu meruncing. Di dagu kanannya terdapat hiasan bawaan lahir, yaitu setitik tahi lalat yang membuat wajahnya nampak semakin manis. Matanya lembut akan tetapi kadang-kadang mencorong penuh wibawa. Bibirnya merah segar dengan bentuk menggairahkan. Pembawaannya tenang dan anggun, namun langkah kakinya menunjukkan bahwa ia memiliki tenaga dan kegesitan.
Ketika wanita melewati gardu penjagaan di dekat kolam ikan, di bagian paling dalam dari istana itu, di taman bunga kecil yang berada paling dalam, tempat bermain para wanita istana, ia menghampiri gardu. Melihat tiga orang perajurit pengawal wanita melenggut hampir pulas di bangku panjang, ia mengerutkan alisnya dan jari tangannya mengetuk dinding gardu.
"Tok-tok-tokk!" Tiga orang penjaga itu terkejut dan berloncatan bangun sambil menyambar pedang mereka. Mereka terbelalaK ketika melihat bahwa yang mengejutkan mereka itu adalah atasan mereka.
Dengan alis berkerut wanita itu menegur.
"Beginikah caranya melakukan penjagaan? Kalian telah lengah! Seorang petugas yang baik tidak gentar menghadapi hawa dingin dan kesukaran apapun!"
"Maafkan kami, Lim-lihiap (pendekar wanita Lim)," kata seorang di antara mereka sambil berdiri tegak dan memberi hormat.
"Baiklah, untung tidak terjadi apa-apa. Dalam keadaan yang dingin dan sunyi seperti ini, ketika para penjaga dalam keadaan lengah dan mengantuk, para penjahat dapat mempergunakan kesempatan untuk bergerak. Lakukan penjagaan dengan ketat dan waspada!" Setelah berkata demikian, wanita itu meninggalkan mereka untuk melakukan perondaan dan pemeriksaan terhadap anak buahnya yang bertugas jaga di lingkungan istana itu.
Wanita muda yang perkasa ini adalah Lim Kui Siang yang kini oleh raja muda Yung Lo dipercaya untuk menjadi kepaia pengawal keluarga Raja Muda itu. Gadis perkasa ini memiliki ilmu kepandaian tinggi karena ia adalah murid Sam-sian pula. Ia adalan sumoi dari Sin Wan. Sebetulnya, antara Lim Kui Siang dan Sin Wan yang saudara seperguruan itu terjalin hubungan cinta kasih yang mendalam
JILID 03
Bahkan guru-guru mereka pernah mengusulkan agar kedua orang murid yang saling mencinta itu menjadi suami isteri. Keduanya menerima dengan baik dan Kui Siang memang sejak kecil kagum kepada Sin Wan. Biarpun Sin wan seorang yang berbangsa Uighur, bukan pribumi, dan ia sendiri puteri bangsawan karena mendiang ayahnya keturunan atau kebangsawanan.Ketika Sin Wan melamarnya kepada para paman dan bibinya sebagai wakil ayah bunda yang telah tiada, mereka menolak dan tidak menyetujui perjodohan itu. Bahkan mereka menghina Sin Wan yang dikatakan keturunan bangsa biadab! Kui Siang marah dan mengusir para paman dan bibinya yang hanya mendekatinya karena menginginkan harta peninggalan ayahnya. Kemudian dengan sepenuh hati ia hendak menghibur Sin Wan dan nekat melangsungkan perjodohan dengan suhengnya itu.
Akan tetapi, pada saat terakhir ia mendapatkan kenyataan yang amat pahit baginya, yaitu bahwa Sin Wan adalah anak tiri dari mendiang Se Jit Kong, yaitu Iblis Tangan Api yang telah membunuh ayahnya! Biarpun Sin Wan hanya anak tiri, namun kenyataan ini membuat Kui Siang terpukul. Hancur rasa hatinya dan ia tidak mau mendekati suhengnya lagi, ia meninggaikan suhengnya itu dengan perasaan hancur. Ia amat mencinta suhengnya, akan tetapi bagaimana mungkin ia berjodoh dengan anak angkat orang yang telah membunuh ayahnya dan menghancurkan keluarga ayahnya? la akan merasa durhaka terhadap orang tuanya.
Dengan membawa hati yang remuk, dari tempat tinggal orang tuanya di kota raja Nan-king, Kui Siang pergi ke Peking untuk memenuhi permintaan Raja Muda Yung Lo, menjadi kepala pasukan pengawal keluarga pangeran atau raja muda itu. Kui Siang bekerja, dengan tekun dan penuh pengabdian, bahkan ia mengganti pasukan thai-kam (laki-laki kebiri) dengan pasukan wanita yang digemblengnya.
Melihat ketekunan Kui Siang, Raja Muda Yung Lo semakin kagum Raja Muda Yung Lo sejak mengundang dan menjamu Pek-sim lo-kai (Penggmis Tua Hati Putih) Bu Lee Ki yang datang bersama Sin Wan dan Kui Siang, dan melihat Kui Siang, raja muda itu kagum dan tertarik sekali. Dia mendukung Bu Lee Ki untuk menjadi pemimpin besar para kai-pang (perkumpulan pengemis), menawarkan kedudukan panglima kepada Sin Wan, dan kedudukan kepala pengawal keluarga istana kepada Kui Siang. Sin Wan yang patah hati karena penolakan Kui Siang yang memutuskan hubungan cinta di antara mereka, tidak kembali ke Peking, dan Kui Siang yang juga menderita duka itu, untuk menghibur hatinya, kembali ke Peking dan menerima penawaran kedudukan itu
Selama berada di istana dan bertugas sebagai kepala pengawal keluarga, Kui Siang melihat kenyataan betapa sikap, raja muda itu terhadap dirinya amatlah baiknya. Dari pandang mata raja muda itu ia tahu bahwa pria itu jatuh hati kepadanya. Akan tetapi, biarpun ia sendiri kagum kepada raja muda ini, ia masih tidak mampu melupakan Sin Wan dan karena itu ia bersikap dingin saja sehingga Raja Muda Yung Lo belum berkenan menyatakan isi hatinya.
Pada malam yang sunyi, gelap dan dingin itu, seperti biasa Kui Siang melakukan perondaan untuk memeriksa anak buahnya agar mereka melakukan penjagaan dengan sebaiknya. Ketika ia melakukan pemeriksaan ke bagian belakang, tiba-tiba ia melihat berkelebatnya bayangan ke arah gardu penjagaan di belakang dan terdengar jerit seorang wanita pengawal. Kui Siang cepat meloncat ke tempat itu dan mendengar suara seorang berkelahi. Dilihatnya betapa seorang anak buahnya menggeletak mandi darah, dan dua orang pengawal lain sedang berkelahi melawan dua orang berpakaian hitam dan mukanya ditutup sutera hitam yang memiliki kepandaian amat lihai.
Kui Siang cepat mengeluarkan suling peraknya dan meniupkan isyarat. Suling itu mengeluarkan suara melengking tinggi yang dapat terdengar oleh semua anak buah yang sedang melakukan penjagaan. Ia merasa yakin bahwa sebentar lagi, ditempat itu akan dipenuhi anak buahnya yang berjumlah duapuluh orang lebih. Ia sendiri tidak membantu anak buahnya menghadapi dua orang lawan yang lihai melainkan cepat sekali ia meloncat ke dalam dan menuju ke arah ruangan di mana dapat kamar Raja Muda Yung Lo dan keluarganya. Kui Siang maklum bahwa dalam keadaan bahaya, maka ia dapat memastikan bahwa sasaran utama musuh tentulah sang raja muda. Oleh karena itu, ia membiarkan anak buahnya yang menghadapi penyerbu, sedangkan ia sendiri harus menjaga keselamatan raja muda dan keluarganya.
Perhitungannya ternyata tepat. Baru saja ia tiba di depan kamar sang raja muda, tiba-tiba nampak bayangan hitam berkelebat seperti seekor burung besar melayang turun ke dalam ruangan yang nampaknya sunyi itu.
"Penjahat keji, menyerahlah engkau!" bentak Kui Siang sambil meloncat keluar menghadapi bayangan hitam itu. Bayangan itu memakai pakaian serba hitam, mukanya dari hidung ke bawah tertutup kain sutera hitam. Yang nampak hanya sepasang matanya yang mencorong tajam. Tubuh itu tinggi kurus dan gerakannya tadi ringan dan gesit.
Bayangan itu agaknya kaget melihat Kui Siang. Tadinya dia mengira bahwa dua orang kawannya yang memancing keributan di gardu penjagaan belakang itu tentu akan menarik semua pengawal ke sana sehingga dia akan leluasa bergerak membunuh raja muda. Siapa kira, pemimpin pasukan pengawal yang dia dengar memiliki ilmu kepandaian tinggi ini bahkan tiba-tiba muncul di situ. Tanpa banyak cakap lagi bayangan itu mencabut pedangnya dan menyerang dengan dahsyat, menusuk ke dada Kui Siang.
"Singgg........" saking kuatnya tusukan itu, pedang mengeluarkan suara berdesing ketika lewat di samping tubuh Kui Siang yang mengelak dengan gerakan cepat. Namun pedang yang luput dari sasaran itu membalik, kini menyambar dan membacok ke arah leher!
Kui Siang terkejut juga. Ternyata penyerang ini memang lihai dan memiliki gerakan pedang yang cepat dan kuat. Iapun meloncat ke belakang sambil mencabut Jit-kong-kiam (Pedang Sinar Matahari) peninggalan mendiang Kiam-sian (Dewa Pedang). Nampak sinar menyilaukan mata ketika pedang itu tercabut. Ketika Kui Siang memutar pedangnya, lenyaplah bentuk pedang berubah menjadi gulungan sinar yang membuat ruangan itu nampak lebih terang. Itulah ilmu pedang Sinar Matahari yang amat hebat.
"Ihh......" Si kedok hitam itu mengeluarkan seruan kaget, akan tetapi diapun sama sekali bukan orang lemah. Pedangnya berkelebatan, menangkis dan balas menyerang sehingga dalam waktu singkat saja keduanya telah saling serang dengan mati-matian!
Setelah mereka bertanding selama duapuluh lima jurus, tahulah Kui Siang bahwa lawannya bukan orang sembarangan. Pembunuh ini adalah seorang ahli pedang yang tangguh, maka iapun mengimbangi permainan pedangnya dengan bantuan tangan kirinya yang kini ikut menyerang dengan tebasan-tebasan tangan miring. Setiap kali tangan kirinya menyambar, terdengar suara bersiut dan tangan itu amat berbahaya karena ia telah mempergunakan ilmu Kiam-ci (Jari Pedang) yang menotok seperti tusukan pedang..
Pintu kamar besar keluarga raja muda itu terbuka dan muncullah Raja Muda Yung Lo dengan pedang di tangan. Juga dari kanan kiri bermunculan para pengawal pribadi, akan tetapi ketika para pengawal itu hendak mengeroyok si kedok hitam, Raja Muda Yung Lo memberi isyarat dengan tangan agar mereka tidak bergerak. Agaknya raja muda yang juga memiliki kepandaian lumayan itu dapat melihat betapa Kui Siang tidak kalah oleh si kedok hitam, maka dia ingin menonton pertandingan hebat itu! Para pengawal itu hanya mengepung ruangan itu, tidak memberi jalan kepada lawan untuk lolos
Agaknya si kedok hitam maklum bahwa dirinya berada dalam bahaya, maka dia berlaku nekat, menyerang dengan lebih gencar dengan maksud agar kalau dia tewaspun dia akan mampu membunuh lawannya ini.
Akan tetapi Kui Siang juga maklum akan kehadiran Raja Muda Yung Lo, maka dia mengerahkan seluruh tenaga dan keandaiannya, terus mendesak lawan.
Si kedok hitam yang menerima tugas rahasia membunuh Raja Muda Yung Lo, melihat kesempatan baik karena raja muda itu berdIri di situ, menonton perkelahian. Diam-diam dia mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya dengan tangan kiri dan setelah mendapat kesempatan baik, tangan kirinya bergerak cepat menyambitkan tiga buah thi-lian-ci (biji teratai besi), yaitu senjata rahasia berbentuk biji teratai terbuat dari pada besi.
"Awas, Yang Mulial" Kui Siang berseru kaget, akan tetapi pedangnya bergerak cepat sekali menghantam pedang lawan karena saat itu lawan sedang mencurahkan perhatian untuk menyerang Raja Muda Yung Lo.
Akan tetapi, Raja Muda Yung Lo bukan seorang lemah. Dia pernah belajar ilmu silat, bahkan selama ini dia menjadi panglima yang memimpin pasukan besar yang menggempur sisa-sisa pasukan Mongol di daerah utara. Dia sudah mengalami banyak pertempuran, dan kalau hanya diserang senjata rahasia seperti itu saja, bukan merupakan hal berbahaya baginya. Tanpa diperingatkan Kui Siangpun, dia tidak akan mudah dirobohkan dengan serangan senjata rahasia thi-lian-ci. Dia sudah memutar pedangnya dan tiga buah thi-lian-ci itupun terpukul runtuh. Sebaliknya, pedang di tangan penyerang itu terlepas dan terpental ketika dipukul pedang Kui Siang sehingga kini si kedok hitam tidak lagi memegang senjata.
Agaknya dia tahu bahwa akan sia-sia melarikan diri, maka diapun berkata dengan suara angkuh kepada Kui Siang,
"Kalau memang engkau gagah, mari kita melanjutkan pertandingan dengan tangan kosong!"
Kui Siang mengerutkan alisnya. Ia tidak sedang mengadu ilmu menguji kepandaian masing-masing, melainkan sedang menghadapi seorang penjahat yang hendak membunuh Raja Muda Yung Lo, maka tentu saja ia tidak beminat melayani tantangan orang yang sudah terdesak dan tinggal menangkap saja itu. Akan tetapi ketika ia menoleh ke arah raja muda itu, ia melihat raja muda itu mengangguk dan tersenyum kepadanya lalu berkata,
"Nona Lim, aku ingin sekali melihat engkau mengalahkan jahanam ini dalam pertandingan tangan kosong."
Kui Siang sudah mengenal watak Yung Lo yang suka sekali akan kegagahan. Tentu kini Yung Lo ingin melihat adu kepandaian karena si penyerang itu cukup tangguh. Dan iapun yakin banwa raja muda itu sudah bersiap-siap bersama para pengawalnya kalau sampai ia terdesak atau terancam bahaya.
"BAIK, Yang Mulia," katanya dan iapun menyimpan kembali Jit-kong-kiam, menghadapi penjahat itu dengah tangan kosong. Ia tahu bahwa penjahat itu lihai, maka begitu menghadapinya, ia telah mengerahkan tenaga untuK memainkan Sam-sian Sin-ciang, ilmu peninggalan tiga orang gurunya yang amat ia andalkan. Karena Sam-sian Sin-ciang mengandung unsur ilmu-ilmu ke tiga orang Sam-sian, maka selain dalam kedua tangan gadis itu mengandung tenaga Thian-te Sin-kang (Tenaga Sakti Langit Bumi), juga kedua telapak tangan mengepulkan uap putih karena ilmu itu mengandung pula Pek-in Hoat-sut (Ilmu Sakti Awan Putih) dari Pek-mau-sian Thio Ki.
Melihat gadis itu benar-benar menghadapinya dengan tangan kosong si kedok hitam menjadi berani dan nekat. Sambil mengeluarkan teriakan nyaring, diapun menerjang dengan gerakan nekat sehingga seluruh tenaga dan kepandaiannya dia kerahkan untuk membunuh lawan. Dia tahu bahwa dia tidak mungkin dapat lolos dan entah bagaimana pula nasib dua orang rekannya. Maka, sebelum tertawan dan dibunuh, dia harus dapat lebih dulu membunuh lawannya ini sehingga matinya tidak akan sia-sia.
Akan tetapi, segera dengan pahit dia melihat kenyataan bahwa kalau tadi ketika mereka bertanding dengan pedang mereka masih dapat dibilang seimbang, kini setelah bertanding dengan tangan kosong, dia mendapat kenyataan bahwa gadis itu hebat bukan main ilmu silat tangan kosongnya. Kedua tangan yang mengepulkan uap putih itu mengandung tenaga yang membuat dia tergetar setiap kali mereka beradu lengan. Dan betapapun dia mendesak dan menerjang bertubi-tubi dengan cepat, tetap saja dia tidak mampu menyentuh tubuh lawannya yang bergerak luar biasa cepatnya, dengan langkah berputar-putar, yang aneh. Tiba-tiba saja tubuh lawannya lenyap dan tahu-tahu telah berada di kanan, kiri atau belakangnya.
Setelah lewat tigapuluh jurus, si kedok hitam merasa pening, matanya berkunang dan gerakannya kacau sehingga dia tidak lagi dapat melindungi dirinya dengan baik. Kesempatan itu dipergunakan oleh Kui Siang untuk menghantamkan tangan kanannya ke arah kepala lawan. Ketika lawannya mengelak ke sebelah kirinya, ia menyambut dengan serangan intinya, yaitu jari tangannya yang kiri menotok. Terdengar bunyi bercuitan ketika ia menggunakan ilmunya yang mengandung totokan Kiam-ci (Jari Pedang) dan tubuh lawan itupun roboh terjengkang. Saking cepatnya gerakan jari tangan gadis itu, sukar dilihat dan tahu-tahu si topeng hitam itu terjengkang roboh dan tewas seketika karena tepat di tengah dahinya telah tertembus jari tangan Kui Siang yang pada saat ia menggunakan ilmunya, tiada ubahnya sebatang pedang runcing.
Raja Muda Yung Lo bertepuk tangan memuji dengan hati girang dan kagum.
"Bagus sekali, Nona Lim."
"Yang Mulia, masih ada dua orang penyerbu di belakang. Hamba akan melihatnya ke sana!" kata Kui Siang dan tanpa menanti jawaban raja muda itu, iapun sudah meloncat dengan cepat menuju ke belakang. Akan tetapi setelah tiba di gardu penjagaan, ia merasa kecewa. Ada enam orang anak buahnya terluka, akan tetapi dua orang yang dikeroyok anak buahnya tadi dapat meloloskan diri walaupun menurut keterangan anak buahnya, dua orang itu lari sambil membawa luka di tubuh mereka.
Ketika kedok sutera hitam itu dibuka dari wajah orang yang telah tewas, tidak ada yang mengenalnya, akan tetapi dari bentuk wajahnya, mudah diduga bahwa dia tentulah seorang Mongol atau setidaknya peranakan Mongol. Memang setelah menjajah selama hampir satu abad lamanya, bangsa Mongol telah mempelajari banyak sekali ilmu-ilmu penduduk pribumi, bahkan banyak di antara mereka yang menjadi jagoan ahli silat yang tangguh.
Pada keesokan harinya, setelah selesai mengadakan rapat pertemuan dengan para hulubalang, Raja muda Yung Lo masuk ke dalam ruangan duduk di belakang, lalu dia memanggil Kui Siang agar datang menghadap karena ada urusan penting yang hendak dia bicarakan.
Ketika Kui Siang memasuki ruangan duduk di belakang, ruangan di mana raja muda itu suka mengadakan latihan silat, ia melihat Raja Muda Yung Lo dalam pakaian ringkas, pakaian olah raga, duduk seorang diri di situ. Tidak nampak seorangpun pengawal di ruangan itu, maupun di luar ruangan. Hal ini mengejutkan dan mengherankan hati Kui Siang yang menganggap raja muda itu sungguh kurang hati-hati membiarkan diri sendiri tanpa dikawal. Dikiranya bahwa raja muda itu akan mengajaknya berlatih silat, karena biasanya raja muda itu suka berbincang-bincang, bahkan berlatih silat dengannya.
"Yang Mulia, hamba tidak melihat seorangpun pengawal di sini. Sungguh berbahaya paduka berada seorang diri saja...""
Raja Muda Yung Lo tersenyum dan memberi isyarat dengan tangan agar wanita itu mengambil tempat duduk.
"Kui Siang, duduklah. Mengapa berbahaya? Aku berada di dalam istana yang terkurung penjagaan rapat. Pula, aku bukan anak kecil atau orang lemah. Tidak suka aku ke mana-mana harus dijaga pengawal. Pula, aku ingin berdua saja denganmu, ada yang hendak kubicarakan denganmu."
Wajah gadis itu berubah kemerahan. Biasanya pangeran-itu menyebutnya nona atau Nona Lim, kenapa sekarang menyebut namanya begitu saja? Perubahan sebutan yang bukan tidak menyenangkan karena lebih akrab, akan tetapi juga membuat ia tersipu.
"Yang Mulia hendak membicarakan kepentingan apakah dengan hamba?" tanyanya dengan suara biasa saja sambil duduk menghadapi raja muda itu, terhalang sebuah meja.
Raja Muda Yung Lo memandang wajah Kui Siang, dan beberapa kali menarik napas panjang, agaknya sukar baginya untuk bicara. Yung Lo merupakan seorang pangeran yang sejak dia kecil mengenal perjuangan ayahnya, mengenal perang. Bahkan dia, setelah dewasa, merupakan seorang di antara pangeran yang paling rajin membantu ayahnya untuk memperkuat kedudukan Kerajaan Beng yang baru. Dia merupakan pangeran yang paling berjasa, paling cakap mengatur pasukan, maka oleh ayahnya, Kaisar Thai-cu pendiri Kerajaan Beng, dia dipercaya untuk memimpin pertahanan yang paling berat dan penting, yaitu pertahanan terhadap bangsa Mongol yang tentu saja selalu berusaha untuk membangun kembali kekuasaan mereka di selatan yang sudah runtuh.
Karena kemampuannya, dia diangkat menjadi raja muda oleh kaisar, dan diberi hak dan kekuasaan di utara, dengan ibu kota Peking. Dan ternyata memang dia mampu. Raja muda yang usianya tigapuluh tahun lebih ini memang gagah, alisnya berbentuk golok, matanya dengan kedua ujung agak menyerong ke atas itu lebar dan tajam sinarnya, hidungnya besar, mulutnya dan dagunya membayangkan keteguhan hati dan kemampuan besar, kumis dan jenggotnya terpelihara rapi. Pendeknya, wajah seorang laki-laki jantan.
Setelah beberapa kali menarik napas panjang dan nampak ragu, akhirnya raja muda itu berkata,
"Kui Siang, sungguh aku sendiri merasa heran mengapa terasa amat berat dan sukar bagiku untuk bicara sekali ini. Selama hidupku belum pernah aku merasa begini tegang, dan hal ini saja sudah membuktikan kepadaku bahva memang aku bicara dari hatiku, bukan sekedar bicara saja. Nah, ketahuilah, bahwa sejak pertama kali bertemu denganmu, ketika engkau datang bersama Sin Wan dan Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki, aku merasa kagum sekali padamu. Karena kekagumanku, maka aku mengangkatmu menjadi kepala pengawal keluarga dan ternyata pilihan dan keputusanku itu memang tepat. Engkau bekerja dengan baik, dapat membentuk pasukan pengawal wanita yang kuat dan dapat dipercaya, bahkan malam tadi, engkau dan pasukanmu yang berhasil menahan pembunuh-pembunuh yang dapat menyelinap masuk mengelabui para perajurit pengawal pria di luar istana."
"Hamba hanya melaksanakan tugas, Yang Mulia. Sayang bahwa dua orang di antara para penjahat itu lolos. Mereka adalah orang-orang tangguh dan pasukan hamba yang belum menguasal ilmu silat tinggi bukan lawan mereka."
Raja Muda Yung Lo tersenyum dan pandang matanya semakin terkagum. Gadis ini selain cantik jelita, manis budi, lihai ilmu silatnya, masih ditambah lagi rendah hati. Semua sifat inilah yang membuat dia terkagum-kagum dan dia sudah mengambil keputusan bulat sebelum memanggil Kui Siang.
"Sudahlah, Kui Siang. Bagaimanapun juga pasukanmu itu telah berjasa besar, dan terutama sekali engkau sendiri. Aku ingin sekali mengutarakan isi hatiku kepadamu, dan sebelumnya kalau pernyataanku ini menyinggung perasaanmu, kuharap engkau suka memaafkan aku, Kui Siang. Aku suka akan kejujuran, keterus-terangan, dari pada menyimpan sesuatu di hati, dan aku tidak ingin memaksakan kehendak dan keinginan hatiku kepada orang lain, terutama sekali kepadamu. Jadi, kalau nanti ucapanku ini tidak berkenan di hatimu, anggap saja tidak ada dan tetaplah bekerja seperti biasa. Engkau mau berjanji demikian?"
Kui Siang mengangguk, jantungnya berdebar tegang.
"Katakanlah, Yang Mulia."
"Kui Siang, setelah engkau bekerja di sini, kekagumanku bertambah-tambah, dan akhirnya aku melihat kenyataan bahwa aku telah jatuh cinta kepadamu. Belum pernah selama hidupku aku melakukan pinangan secara langsung kepada seorang gadis, akan tetapi sekali ini aku melanggar semua hukum adat yang berlaku. Aku meminangmu untuk menjadi isteriku, seorang di antara selirku, dengan demikian aku akan selalu bersamamu tanpa khawatir pada suatu hari engkau akan berpisah dariku."
Kui Siang menundukkan mukanya yang sebentar pucat sebentar merah. Dipinang seorang raja muda! Biarpun hanya dipinang menjadi selir karena raja muda itu sudah beristeri dan mempunyai beberapa orang selir, namun hal itu sudah merupakan suatu kehormatan yang tak pernah ia mimpikan. Raja muda ini seorang pangeran! Dan harus ia akui bahwa ia juga kagum sekali kepada Yung Lo.
Hanya ada satu hal, malah ada dua hal yang membuat ia menunduk dengan hati seperti ditusuk. Pertama ia merasa bahwa hatinya telah menjadi milik Sin Wan ia mencinta Sin Wan dan sampai sekarangpun ia masih mencinta pemuda itu walaupun rasa baktinya terhadap orang tuanya tidak memungkinkan ia menikah dengan anak tiri pembunuh ayahnya. Dan kenyataan kedua adalah bahwa biarpun ia amat kagum dan hormat kepada Raja Muda Yung Lo, akan tetapi ia tidak mencintanya.
Yang membuat ia bingung sekali adalah karena ia tidak berani atau tidak tega untuk menolak. Ia tahu bahwa betapa bijaksana pun Raja Muda Yung Lo, akan tetapi sebagai seorang laki-laki yang ditolak cintanya oleh seorang wanita, tentu raja muda itu akan tersinggung, akan merasa diremehkan, malu dan terpukul. Ia menjadi serba salah.
Menerima pinangan itu berarti bertentangan dengan perasaan hatinya. Menolak berarti menyinggung perasaan orang yang dijunjung dan dihormatinya, dan setelah menolak, rasanya tidak mungkin lagi mempertahankan pekerjaannya sebagai pengawal pribadi di situ. Apa yang harus ia lakukan?
Raja Muda Yung Lo mengamati wajah yang menunduk itu dan sinar matanya memandang penuh selidik. Sebagai orang yang berpengalaman, tanpa mendengar jawaban dengan kata-katapun dia tahu bahwa pernyataannya tadi mengguncang hati Kui Siang dan membuat gadis itu merasa canggung, serba salah dah agaknya sukar untuk mengambil keputusan.
"Kui Siang, engkau tidak perlu bingung menghadapi pinanganku. Ketahuilah bahwa selama ini aku tidak pernah meminang gadis, dan semua wanita yang menjadi isteri dan selir-selirku, hanya dihubungi seorang perantara yang menjadi utusan dan tak seorangpun di antara mereka ragu-ragu untuk menerima pinanganku. Akan tetapi engkau lain Kui Siang. Aku tahu bahwa engkau adalah seorang gadis dari dunia persilatan, walaupun dahulu engkau puteri bangsawan. Karena itu, aku melamar sendiri dan engkaupun bebas untuk menentukan jawabanmu. Andaikata engkau tidak setuju dan tidak dapat menerima pinanganku, jangan takut untuk memberi jawaban sejujurnya"
Mendengar ucapan raja muda itu, Kui Siang mengangkat muka memandang, Sejenak dua pasang mata bertemu pandang, bertaut dan akhirnya Kui Siang yang menundukkan mukanya.
"Yang Mulia, maafkan hamba. Semua ini begitu tiba-tiba datangnya, dan tidak tersangka-sangka. Bagaimana mungkin hamba dapat menjawab seketika? Perkara ini menyangkut masa depan kehidupan hamba, sudah selayaknya kalau dipikirkan masak-masak sebelum menjawab, apalagi paduka menghendaki agar hamba menjawab dengan sejujurnya."
Raja Muda Yung Lo mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya yang rapi. Dia semakin kagum karena jawaban Kui Siang itu membuktikan bahwa gadis ini memang bijaksana dan jujur.
"Baiklah, Kui Siang. Aku mengerti dan memang engkau benar. Nah, kuberi waktu sebulan kepadamu. Cukupkah waktu itu?"
Kui Siang menarik napas lega dan memandang kepada raja muda itu dengan sinar mata berterima kasih.
"Terima kasih, Yang Mulia. Satu bulan sudah lebih dari pada cukup bagi hamba untuk mempertimbangkan dan memikirkannya."
"Nah, sekarang jangan pikirkan lagi pembicaraan kita tadi. Mari kita berlatih, dan aku ingin sekali mengenal lebih baik ilmu silat tangan kosong yang kaupergunakan untuk mengalahkan pembunuh malam tadi. Belum, pernah aku melihat engkau memainkannya. Silat apakah itu?"
Kini sikap raja muda itu sudah berubah sama sekali, pulih seperti biasa ramah dan sikap ini membuat Kui Siang amat bersyukur karena ia tidak merasa rikuh dan canggung lagi. Raja muda ini memang seorang laki-laki pilihan, bukan perayu, bukan pula pria yang suka menggunakan kekuasaan harta maupun kedudukan untuk menundukkan wanita dan mematahkan perlawanan mereka. Ia dapat membayangkan betapa boleh dibilang setiap orang wanita akan menyambut pinangannya dengan hati dan tangan terbuka. Siapa tidak akan merasa bangga menjadi isteri atau selir pangeran yang kini menjadi raja muda, seorang laki-laki jantan yang selain berkedudukan tinggi, berwajah ganteng, gagah perkasa, juga jujur dan tidak congkak ini?
"Sin Wan...".!" nama ini bergema terus, bahkan keluar dari bisikan mulutnya ketika ia sudah rebah seorang diri di dalam kamarnya. Pinangan Raja Muda Yung Lo mengundang kenangan lama dan membuat wajah Sin Wan terus saja terbayang di depan matanya. Sekuat tenaga hatinya ia mencoba untuk mengusir bayangan itu, namun semakin diusir, semakin jelas nampak wajah suhengnya itu.
Engkau bodoh, demikian ia memaki diri sendiri. Bagaimana dalam keadaan menerima pinangan seorang laki-laki seperti Raja Muda Yung Lo, ia malah mengenang pemuda seperti Sin Wan itu? Seorang pemuda yang menurut para paman dan bibinya sama sekali tidak pantas menjadi suaminya! Menurut mereka, Sin Wan adalah seorang pemuda yang berdarah bangsa liar, bukan pribumi, keturunan bahkan berdarah Uighur, bangsa biadab, selain itu juga dia seorang pemuda yang tidak mempunyai apa-apa, pangkat tidak hartapun tidak. Apa yang diandalkannya untuk merjadi suaminya?
"Aih, mereka itu orang-orang tamak, mata duitan dan gila pangkat," ia membela Sin Wan.
Akan tetapi, satu hal yang membuat ia mengenang Sin Wan dengan hati tidak senang adalah kenyataan bahwa suhengnya itu adalah putera dari mendiang Se Jit Kong. Iblis Tangan Api, datuk sesat yang teramat jahat, yang telah membunuh ayahnya dan menghancurkan keluarga ayahnya. Bahkan kakek Bu Lee Ki, pemimpin semua Kai-pang yang bijaksana itupun menjauhkan diri dari Sin Wan setelah mengetahui bahwa Sin Wan putera Se Jit Kong! Bagaimana mungkin putera seorang datuk jahat seperti itu, walaupun hanya putera tiri, dapat menjadi seorang yang baik dan tidak akan mewarisi watak Se Jit Kong yang jahat?
Lalu terbayang wajah Sin Wan. Terbayang pemuda yang bertubuh tinggi tegap, berkulit gelap, wajahnya jantan dan tampan gagah. Dahinya lebar, alisnya tebal berbentuk golok seperti alis Raja Muda Yung Lo, matanya lebar bersinar-sinar, hidungnya tinggi mancung agak besar, mulutnya membayangkan keteguhan hati. Tubuh itu sedang besarnya, bahunya bidang, tegap, langkahnya seperti langkah harimau.
"Sin Wan......," ia menghela napas panjang. Ia mencinta suhengnya itu, pernah mencintanya dan masih tetap mencintanya dan mungkin takkan pernah mampu melupakannya. Baginya, kemiskinan Sin Wan, kebangsaannya, kenyataan bahwa dia miskin, papa dan tidak memiliki kedudukan, bukan apa-apa. Akan tetapi, dia putera Se Jit Kong!
"Sin Wan...".!" ia mengeluh sebelum akhirnya pulas dan dalam tidurpun ia bermimpi, bertemu kembali dengan Sin Wan dan dalam mimpi itupun ia tetap mencinta Sin Wan.
Kita tinggalkan dulu Kui Siang yang gelisah mempertimbangkan pinangan Raja Muda Yung Lo. Untung baginya bahwa Raja Muda Yung Lo memberi waktu sebulan kepadanya, cukup lama baginya untuk mempertimbangkan dengan masak sebelum memberi jawaban yang pasti.
Apa yang menjadi persangkaan Raja Muda Yung Lo dan para pembantunya bahwa pembunuh yang tewas di tangan Kui Siang itu adalah seorang mata-mata Mongol, memang tepat. Beberapa hari sejak kegagalan tiga orang pembunuh yang berhasil menyusup ke istana Raja Muda Yung Lo itu, dalam sebuah kuil tua yang sudah tidak terpakai lagi, di puncak sebuah bukit yang sunyi, nampak berkelebatnya bayangan beberapa orang memasuki kuil tua.
Di dalam ruangan belakang kuil tua itu telah duduk menanti seorang laki-laki yang pakaiannya serba hitam, tubuhnya tinggi besar dengan perut gendut. Akan tetapi, wajahnya tertutup topeng hitam pula, terbuat dari sutera yang hanya memperlihatkan sepasang matanya yang tajam mencorong. Karena kepalanya juga tertutup, sukarlah menaksir bagaimana bentuk wajahnya dan berapa kira-kira usianya. Namun, mata itu sungguh berwibawa dan tajam menyeramkan. Dan di luar kuil tua, di empat penjuru, nampak penjaga yang bersembunyi, yang mengamati keadaan kuil dan mereka melihat dengan teliti siapa mereka yang datang memasuki kuil di siang hari itu. Dari tempat mereka berjaga kalau ada orang menuju kuil, baru mendaki puncak bukit itu saja sudah kelihatan sehingga tempat itu benar-benar aman, tidak mungkin dapat dikunjungi orang luar tanpa mereka melihatnya.
Beberapa bayangan orang yang berkelebat memasuki kuil itu ternyata merupakan lima orang yang dari gerakan mereka mudah diketahui bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Mereka ini memang merupakan lima orang tokoh sesat yang namanya sudah amat terkenal, terdiri dari lima orang saudara seperguruan yang masing-masing memiliki ilmu kepandaian tinggi, terutama sekali permainan golok besar mereka. Mereka dikenal sebagai Hek I Ngo-liong (Lima Naga Baju Hitam) dan ke limanya memang mengenakan pakaian serba hitam, walaupun bukan terbuat dari sutera hitam halus seperti yang dipakai laki-laki yang duduk di ruangan belakang kuil itu.
Hek I Ngo-liong terdiri dari Coa Ok berusia limapuluh tiga tahun yang bertubuh gendut, dengan adik kandungnya bernama Coa Kun berusia limapuluh tahun yang bertubuh pendek dengan kepala botak. Orang ke tiga dan ke empat juga dua orang kakak beradik, bernama Bhe It berusia limapuluh tahun yang tinggi kurus dan Bhe Siu berusia empatpuluh lima tahun yang wajahnya tampan dan pesolek. Adapun orang ke lima bernama Kwan Su berusia empatpuluh tahun, tubuhnya sedang akan tetapi wajahnya paling jelek karena hitam dan penuh cacat bekas cacar. Masing-masing memiliki ilmu golok yang tangguh, apalagi mereka biasa maju bersama, maka dapat dibayangkan betapa lihai mereka kalau maju bersama sebagai to-tin (barisan golok), sukar dapat dikalahkan lawan.
Belasan tahun yang lalu, ketika terjadi perebutan benda-benda pusaka istana kaisar yang dicuri Se Jit Kong kemudian terjatuh ke tangan Sam-sian, Hek I Ngo-liong itu pernah mencoba untuk merampasnya dari tangan Sam-sian. Akan tetapi, mereka bukan tandingan Sam-sian. Biarpun mereka maju berlima menghadapi mendiang Kiam-sian, Dewa Pedang yang semula terdesak itu akhirnya dapat mengalahkan mereka.
Kalau seorang Dewa Pedang saja baru dengan susah payah dapat mengalahkan mereka, maka dapat dibayangkan betapa tangguhnya lima orang Naga Baju Hitam ini! Mereka tangguh, kejam, tidak mau tunduk kepada siapapun juga, bahkan congkak. Akan tetapi kalau ada orang yang mengenal mereka dan melihat sikap mereka ketika memasuki ruangan belakang kuil tua dan berhadapan dengan si kedok hitam yang duduk di atas kursi, orang akan merasa heran. Lima orang Hek I Ngo-liong itu memberi hormat dengan sikap yang merendah sekali. Mereka mengangkat kedua tangan ke depan dada, lalu membungkuk sampai pinggang mereka terlipat ke depan, dan dengan irama kacau mereka menyebut "Yang Mulia" kepada orang berkedok itu!
Tanpa bangkit dari tempat duduknya, dengan sikap penuh wibawa, orang berkedok itu memandang lima orang pendatang dengan sinar matanya yang mencorong penuh selidik, lalu mengangguk dan terdengar suaranya yang dalam dan parau, namun kata-katanya teratur rapi seperti cara bicara seorang bangsawan tinggi.
"Selamat datang, Hek I Ngo-liong. Duduklah kita masih menanti datangnya beberapa rekan lagi."
"Baik Yang Mulia," kata Coa Ok mewakili mereka berlima dan merekapun mengambil tempat duduk. Di situ telah diatur bangku-bangku yang mengelilingi sebuah meja besar. Karena orang berkedok itu hanya duduk dengan tegak, tidak memandang lagi kepada mereka, juga tidak mengeluarkan sepatah kata lagi, diam seperti patung, Hek I Ngo-liong juga duduk diam. Bahkan lima orang yang biasanya acuh dan tidak menghormati orang lain ini, yang biasa bersikap kasar dan mau menang seperti lima ekor tikus berhadapan dengan seekor kucing yang galak. Mereka mati kutu dan tidak berani bergerak!
Memang mengherankan sekali. Akan tetapi kalau orang sudah tahu siapa si kedok hitam ini, tentu mereka mengerti mengapa Hek I Ngo-liong bersikap demikian takut. Mereka berlima juga tidak pernah melihat wajah aseli si kedok hitam dan hanya mengenalnya sebagai "Yang Mulia" saja. Mereka hanya tahu bahwa si kedok hitam ini memiliki kepandaian tinggi, juga mempunyai anak buah yang rata-rata lihai bukan main. Yang membuat dia ditakuti adalah karena mudah saja dia membunuh orang, akan tetapi juga mudah memberi hadiah yang luar biasa royalnya.
Hek I Ngo-liong sendiri sudah banyak menerima hadiah dari Yang Mulia, dan mereka tahu bahwa mereka berlima sama sekali bukan tandingan dari orang aneh itu. Mereka juga tahu bahwa Yang Mulia ini merupakan seorang di antara para pimpinan yang berusaha untuk membangun kembali Kerajaan Mongol! Mereka bekerja secara rahasia, namun telah membuat jaringan yang kuat, mempunyai banyak anak buah yang dijadikan mata-mata dan tersebar di mana-mana.
Tak lama kemudian, nampak ada dua bayangan orang berkelebat dan muncul dua orang yang berpakaian ringkas, keduanya bertubuh tinggi kurus dan melihat usia mereka, tentu mereka berusia sekitar empatpuluh tahun. Namun wajah keduanya pucat dan biarpun gerakan mereka masih ringan dan cepat, namun yang seorang agak terpincang dan seorang lagi membongkok. Ternyata keduanya menderita luka, seorang terluka di paha dan seorang lagi di punggung. Begitu tiba di ruangan itu, keduanya menjatuhkan diri dan memberi hormat dengan setengah berlutut kepada Yang Mulia.
Sepasang mata di balik kedok itu berkilat menyambar.
"Kalian yang telah gagal menunaikan tugas, duduklah dulu."
Dengan wajah nampak pucat kedua orang itu bangkit, menggumamkan terima kasih lalu duduk di sudut terjauh dari tempat duduk si kedok hitam. Suasana sunyi, bukan saja amat mencekam bagi dua orang itu, melainkan Hek I Ngo-liong yang biasanya tabah itupun nampak saling pandang dan jelas bahwa merekapun merasa tegang.
Tak lama kemudian berkelebat bayangan lain dan di situ telah berdiri seorang laki-laki yang tubuhnya tinggi kurus, usianya enampuluh tahun lebih dan di punggungnya nampak sarung pedang yang terisi dua batang pedang pasangan. Begitu tiba di ruangan itu, ruangan itu dengan pandang matanya, kemudian melangkah maju menghadapi si kedok hitam dan memberi hormat dengan merangkap, kedua tangan depan dada.
"Yang Mulia, saya datang mewakili semua saudara saya seperti yang dikehendaki Yang Mulia."
Orang berkedok itu memandang sejenak lalu mengangguk-angguk.
"Engkau yang dijuluki Bu-tek Kiam-mo (Iblis Pedang Tanpa Tanding), bukan? Engkau mewakili Bu-tek Cap-sha-kwi (Tiga belas Setan Tanpa Tanding)? Duduklah!"
Orang yang dijuluki Bu-tek Kiam-mo itu menghaturkan terima kasih lalu mengamambil tempat duduk. Dia saling pandang dengan Hek I Ngo-liong, dan si Iblis Pedang nampak terkejut agaknya tidak mengira bahwa lima orang pandai itu berada pula di situ. Akan tetapi dia tidak berani mengeluarkan kata apapun, dan di pihak lima orang tokoh itupun nampaknya menahan untuk tidak berkata apa-apa ketika mereka melihat hadirnya seorang di antara Bu-tek Cap-sha-kwi, karena orang berkedok itu masih belum bergerak atau mengeluarkan kata-kata, agaknya masih menanti munculnya orang lain, maka delapan orang yang sudah datang itu juga diam saja di atas bangku masing-masing, dengan sikap menunggu.
Di antara mereka yang delapan itu, hanya Bu-tek Kiam-mo seorang saja yang berani mengangkat muka memandang kepada si kedok hitam. Hanya dia yang bersikap sebagai tamu, bukan sebagai hamba. Hal ini adalah karena baru sekarang Bu-tek Kiam-mo mendapat kesempatan menghadap Yang Mulia, tokoh baru yang menggemparkan dan yang sudah lama dia dengar namanya. Pula, dia belum menjadi hamba orang aneh ini. Dia mewakili semua saudaranya yang berjumlah tigabelas orang bersama dirinya, dan mereka adalah anak buah dari Tung-hai-liong (Naga Laut Timur) Ouwyang Cin, datuk besar yang menguasai lautan timur, bahkan kekuasaannya diakui oleh para bajak laut Jepang dan para tokoh kang-ouw di sepanjang pantai laut timur.
Tiba-tiba terdengar suara bercuitan, seperti burung malam, namun suara itu meninggi dan menggetarkan jantung. Mendengar suara ini si kedok hitam menggerakkan kepala, menoleh dan memandang ke arah pintu. Baru sekarang dia memperlihatkan perhatian, pada hal kedatangan delapan orang tadi disambutnya dengan sikap acuh saja. Kini sepasang matanya mengeluarkan sinar berseri seolah dia mengharapkan sesuatu yang menyenangkan akan terjadi.
Memang berbeda gerakan kedua orang yang muncul sekarang ini. Berkelebatnya bayangan mereka hampir tidak nampak, seolah-olah ada dua iblis yang tiba-tiba muncul dari tiada. Tahu-tahu di situ telah berdiri dua orang yang aneh, baik wajah mereka, pakaian mereka, maupun sikap mereka. Yang seorang adalah pria yang usianya kurang lebih enampuluh tahun akan tetapi nampak jauh lebih muda dari pada usianya. Tubuhnya tinggi tegap dan mukanya berwarna aneh sekali, merah seperti dicat dengan darah! Pakaiannya sutera putih sehingga warna mukanya yang merah itu menjadi semakin cerah. Di punggungnya terdapat sebatang senjata golok yang punggungnya berbentuk gergaji. Dia adalah Ang-bin Moko (Iblis Jantan Muka Merah).
Adapun orang kedua tentu saja Pek-bin Moli (Iblis Betina Muka Putih), wanita yang usianya satu dua tahun lebih muda, masih cantik dan ramping, akan tetapi mukanya sepucat muka mayat dan pakaiannya juga sutera putih seperti yang dipakai Ang-bin Moko. Wanita ini tidak memegang atau membawa senjata, akan tetapi sabuk yang melilit pinggangnya adalah seekor ular yang sudah mati dan itulah senjata yang ampuh!
Sejenak kedua orang itu hanya berdiri memandang ke arah si kedok hitam, dan orang yang tadi acuh saja itu kinipun bangkit berdiri. Tubuhnya yang tinggi besar nampak gagah dan menambah kewibawaannya, apalagi karena pakaiannya yang serba hitam itu terbuat dari sutera yang halus. Diapun diam saja dan menyambut pandang mata kedua orang yang datang berkunjung itu dengan penuh selidik.
"Ang-ko, inikah orang yang akan memberi pekerjaan dan memimpin kita?" Pek-bin Mo-li tiba-tiba bertanya kepada temannya. Suaranya nyaring tinggi dan lembut, namun mengandung suara dingin mengejek.
"Ha..ha, agaknya benar, Pek-moi. Kita akan menjadi pembantu seorang yang bersembunyi di balik topeng? Ha..ha, lucu juga!" jawab Ang-bin Moko, juga suaranya mengandung ejekan dan memandang rendah.
Pasangan ini memang terkenal sebagai pasangan iblis yang tidak pernah mengenal takut, memandang diri sendiri terpandai. Sekali ini mereka menerima undangan dari Yang Mulia, nama yang sudah mereka dengar dari para tokoh kang-ouw sebagai nama seorang pemimpin rahasia yang tidak sayang melimpahkan hadiah yang amat royal sebagai imbalan jasa seseorang akan tetapi yang juga tidak segan-segan untuk membunuh dengan amat kejam siapa saja yang menjadi penghalang.
Mendengar ucapan sepasang iblis itu, si kedok hitam mendengus, dan suaranya yang sopan terpelajar seperti bangsawan tinggi itu terdengar penuh wibawa ketika dia bicara,
"Kami mengenal nama besar Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli, dan sikap angkuh mereka memang mengesankan, akan tetapi kalau keangkuhan itu tidak mengandung kenyataan akan ilmu yang benar-benar tinggi, maka keangkuhan itu hanya akan menjadi bahan ejekan dan tertawaan belaka. Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli, melihat sikap kalian, kamipun meragu dan tidak akan berani memperbantukan tenaga kalian tanpa lebih dahulu menyaksikan kemampuan kalian!"
Sepasang iblis itu saling pandang dan alis mereka berkerut. Ucapan itu, betapapun halusnya, merupakan tantangan! Mereka maklum bahwa orang berkedok yang hanya dikenal dengan sebutan Yang Mulia ini selain memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga mempunyai anak buah yang banyak sekali, terdiri dari orang-orang lihai yang tentu kini banyak bersembunyi di sekitar tempat itu. Mereka bukan orang-orang bodoh yang mencari perkara dan memancing kesulitan bagi mereka sendiri. Akan tetapi merekapun bukan orang-orang yang membiarkan setiap tantangan lewat tanpa menyambutnya.
Ang-bin Moko menghadapi si kedok hitam dan matanya mengeluarkan sinar berkilat.
"Yang Mulia, apakah ucapan Yang Mulia itu merupakan tantangan ataukah sekedar ujian?"
Suara di balik kedok itu terkekeh, juga kekeh yang sopan.
"Heh..heh, kalian berdua kami undang bukan untuk dijadikan musuh, melainkan diajak bekerja sama. Tentu saja kami hanya ingin menguji apakah sesuai benar tingkat kepandaian kalian dengan nama besar dan sikap kalian."
"Bagus sekali!" Pek-bin Moli berteriak nyaring.
"Siapa yang akan menguji kami dan bagaimana pula caranya?" sikap dan suaranya menantang dan mukanya yang sepucat muka mayat itu nampak cantik akan tetapi mengerikan, matanya jelilatan memandang ke sekeliling seolah mencari musuh.
"Karena kalian merupakan orang-orang yang amat terkenal, biarlah kami yang akan menguji. Kalian boleh maju bersama dan kalau dalam sepuluh jurus kalian mampu mengalahkan kami, maka kalian boleh menjadi pembantu kami dengan menentukan sendiri besarnya upah kalian."
Sepasang iblis itu saling pandang dan keduanya menyeringai. Mengeroyok selama sepuluh jurus? Dan orang ini menjanjikan kalau mereka menang boleh menentukan sendiri besarnya upah mereka? Orang ini tentu gila, dan juga tentu kaya bukan main!
"Bagaimana kalau kami gagal?"
"Kalau kalian gagal dan tewas, kami akan menguburkan jenazah kalian baik-baik, akan tetapi kalau kalian gagal dan tidak tewas, kalian boleh menjadi pembantu kami, akan tetapi kami yang akan menentukan besarnya upah kalian."
Kembali sepasang iblis itu saling pandang, dan mereka tertawa. Orang ini tentu gila, pikir mereka. Bagaimana mungkin dapat bertahan terhadap pengeroyokan mereka selama sepuluh jurus? Dan membayangkan kemungkinan dia dapat menewaskan mereka dalam sepuluh jurus. Gila!
Tiba-tiba Ang-bin Moko tertawa bergelak.
"Baik, kami setuju!" dan tanpa menggerakkan bibirnya, dia mengirim suara kepada Pek-bin Moli, kita lucuti kedoknya"".."
Mengirim suara seperti itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki tenaga sakti yang amat kuat. Hanya getaran suara saja yang mengudara dan ditangkap oleh orang yang dikirimi suara, telinga lain tidak dapat mendengar apa-apa. Akan tetapi, betapa kaget hati sepasang iblis itu ketika terdengar si kedok hitam berkata tenang.
"Jangan harap kalian dapat melakukan niat itu! Nah, kalian mulailah!" tiba-tiba tubuh yang tinggi besar itu melayang ke kiri, ke arah ruangan yang cukup luas, tubuhnya berdiri tegak lurus dengan perut menggendut, hanya sepasang mata di balik kedok itu saja yang nampak hidup, mencorong dan penuh kewaspadaan.
Sepasang iblis itu belum bergerak dari tempat mereka berdiri. Ang-bin Moko yang bersikap hati-hati segera bertanya.
"Yang Mulia, selama sepuluh jurus ini, kita bertanding dengan tangan kosong ataukah bersenjata?"
Si kedok hitam kembali terkekeh sopan.
"Heh..heh, kami mendengar bahwa golok gergajimu dan sabuk ular Pek-bin Moli hanya untuk menakut-nakuti lawan saja, akan tetapi yang lebih ampuh adalah Toat-beng Tok-ciang dan Touw-kut-ci kalian. Benarkah itu?"
Kembali sepasang iblis itu saling pandang. Hebat juga orang ini. Tentu memiliki seribu telinga maka dapat mengetahui ilmu simpanan mereka. Dan setelah mengetahui, masih berani menantang mereka berdua untuk mengeroyoknya. Ini saja sudah membuktikan bahwa orang itu tentu memiliki sesuatu yang dapat dia andalkan untuk menandingi kedua ilmu baru mereka.
Ang-bin Moko memberi isyarat kepada Pek-bin Moli dan keduanya menggerakkan tubuh. Bagaikan dua ekor burung rajawali, tubuh mereka melayang ke depan si kedok hitam. Gerakan mereka demikian ringan dan gesitnya, membuat mata di balik kedok itu bersinar-sinar gembira. Dia telah mendapatkan dua orang pembantu yang boleh diandalkan, pikir si kedok hitam. Dua orang ini jauh lebih pandai dibandingkan Cap-sha-kwi maupun Ngo-liong.
Biarpun hanya melalui pandang mata, Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli sudah dapat saling memberi isyarat. Dua-orang ini memang kompak sekali, bukan saja mereka berdua berasal dari saudara seperguruan, akan tetapi mereka juga sama-sama merangkai ilmu-ilmu silat, dan lebih dari itu, hubungan mereka juga sebagai kekasih atau suami isteri.
Setelah saling pandang memberi isyarat, kedua orang itu lalu mengerahkan tenaga sakti sehingga kedua tangan mereka, dari ujung jari sampai sebatas siku, berubah warnanya menjadi kehijauan. Itulah tandanya bahwa mereka telah mengerahkan tenaga dari ilmu Toat-beng Tok-ciang (Tangan Beracun Pencabut Nyawa).
"Yang Mulia, waspadalah, kami akan menggunakan Toat-beng Tok-ciang," teriak Ang-bin Mo-ko.
Bagaimanapun juga, diapun tahu bahwa orang berkedok ini memiliki banyak sekali anak buah yang tentu sudah siap di tempat itu. Kalau dia dan Pek-bin Moli kesalahan tangan sampai membunuh orang ini, tentu keadaan akan menjadi runyam dan mereka berdua dalam bahaya. Walaupun mereka tidak takut, akan tetapi menguntungkan bagi mereka, bahkan hanya merepotkan saja. Itulah sebabnya maka Ang-bin Mo-ko sengaja meneriakkan peringatan ini, hal yang biasanya tak pernah dia lakukan. Biasanya, kalau dia hendak membunuh atau menyerang orang, dia melakukannya dengan tiba-tiba dan tanpa memberi peringatan sama sekali.
Maklum bahwa ilmu pukulan kedua orang itu memang berbahaya sekali, si kedok hitam juga tidak bersikap lengah atau memandang rendah. Dia berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, kokoh kuat seperti pagoda besi, kedua lutut ditekuk sehingga membentuk siku-siku, kedua lengannya disilangkan di depan dada, dengan jari tangan terbuka, akan tetapi kalau jari-jari tangan yang lain agak melengkung, kedua jari telunjuknya lurus menunjuk ke atas dan kedua jari tangan itu berubah warna, kini menjadi hitam seperti arang!
Melihat ini, kembali sepasang iblis itu saling pandang dan merekapun teringat akan adanya semacam ilmu yang amat berbahaya, yang disebut It-kok-ci (Jari Racun Tunggal) yang kabarnya merupakan ilmu yang amat hebat dan pernah dikuasai oleh seorang saja, yaitu keluarga Wan-yen yang menjadi orang kepercayaan kaisar-kaisar Mongol. Akan tetapi, mereka tahu bahwa pemilik ilmu itu sudah tewas dalam pertempuran ketika Kerajaan Mongol jatuh. Apakah orang ini telah mewarisi ilmu itu?"
"Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli, aku telah siap!" kata si kedok hitam.
Sepasang iblis itu lalu mengerahkan tenaga dan menggerakkan tangan mereka, memukul dari jarak jauh ke arah lawan. Terdengar bunyi bercuitan seperti beberapa ekor tikus yang terjepit atau ketakutan, mencicit dan makin lama semakin tinggi melengking. Dari kedua tangan mereka menyambar hawa pukulan yang amat kuat, menyambar ke arah jalan darah di tubuh lawan. Itulah Toat-beng Tok-ciang yang dapat membunuh orang dari jarak jauh dengan mudah. Seperti ada sinar yang tidak nampak meluncur ke arah tubuh si kedok hitam.
Akan tetapi, orang ini dengan tenang, tanpa mengubah kedudukan kedua kakinya, juga menggerakkan kedua tangannya, dan menuding dengan gerakan menotok ke udara di depannya. Terdengar bunyi mendesir keluar dari jari-jari telunjuk yang hitam itu dan ada hawa menyambar keluar mengeluarkan uap pitam! Tenaga yang keluar dari kedua telunjuk ini seperti perisai menangkis hawa pukulan Toat-beng Tok-ciang sehingga pukulan jarak jauh itu terpental kembali.
Tentu saja Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli terkejut dan merasa penasaran bukan main. Selama memiliki ilmu baru itu, belum pernah mereka gagal mempergunakannya. Dari puluhan orang yang pernah mereka hadapi, baru seorang pemuda saja yang mampu mengelak dan menangkis Toat-beng Tok-ciang, yaitu Sin Wan murid Sam-sian. Akan tetapi pemuda itupun hanya mengelak dan menangkis dengan pukulan yang mengeluarkan uap putih, bukannya langsung menyambut dengan totokan jarak jauh seperti yang dilakukan si kedok hitam ini. Mereka mengerahkan tenaga dan melanjutkan serangan mereka, berbareng akan tetapi berpencar, mereka menyerang dari kanan kiri.
Si kedok-hitam tetap mempergunakan totokan jarak jauh satu tangan yang mengeluarkan uap hitam, dan sampai lima jurus lamanya, kedua iblis itu sama sekali tidak pernah mampu mengenai sasaran dengan pukulan jarak jauh mereka, apa lagi merobohkan!
Ang-bin Moko memberi isyarat kepada Pek-bin Moli dan kini keduanya berlompatan menerjang lawan dengan ilmu mereka yang kedua, yaitu Touw-kut-ci (Jari Penembus Tulang), ilmu totokan yang amat keji karena dilatihnyapun menggunakan banyak tengkorak manusia. Celakalah lawan yang terkena totokan jari tangan mereka. Jari tangan mereka dapat menembus tulang dan sekali mengenai kepala, jari-jari tangan itu akan menembus otak.
Kini, sepasang iblis itu menyerang dengan Touw-kut-ci, keduanya mendesak dan mencari kesempatan untuk mencengkeram ke arah muka lawan. dan merenggut lepas kedok sutera hitam. Akan tetapi, si kedok hitam memang bukan orang sembarangan. Sebelum menantang sepasang iblis itu, tentu saja dia telah melakukan penyelidikan terlebih dahulu tentang kemampuan sepasang iblis itu. Dia tahu pula akan kedahsyatan Touw-kut-ci, dan dia memang sudah siap siaga menghadapi ilmu dari sepasang iblis itu. Karena itulah maka tadi dia sengaja menantang selama sepuluh jurus, karena kalau lebih lama dari itu, terpaksa dia harus menggunakan tangan maut untuk mencapai kemenangan. Kalau hanya sepuluh jurus, dia yakin akan mampu mempertahankan diri.
Sepasang iblis itu menjadi terkejut bukan main ketika melihat betapa tubuh si kedok hitam itu berpusing seperti gasing dan dari putaran itu keluar angin menyambar-nyambar. Tubuh itu tidak nampak hanya bayangan hitam berpusing amat cepatnya. Karena ini, terpaksa serangan Touw-kut-ci tidak dapat diarahkan ke sasaran yang tepat, hanya ngawur saja asal mengenal tubuh lawan. Namun, betapa sukarnya mengenai tubuh yang berpusing itu karena dari situ terasa ada angin pukulan yang amat kuat menyambar-nyambar, bahkan dapat menyeret mereka seperti pusaran angin puyuh.
Mereka berdua berusaha sekuatnya untuk memasukkan totokan dan mengenai tubuh lawan. Satu kali saja mengenai lawan, tentu jari mereka akan meninggalkan bekas dan berarti mereka menang. Akan tetapi, pada jurus ke lima ketika sepasang iblis itu menjadi lebih nekat untuk mencapai kemenangan pada jurus terakhir sehingga mereka menubruk ke depan menerobos putaran angin, tiba-tiba tubuh mereka terdorong dan terhuyung ke belakang oleh tangkisan lengan yang amat kuat mengenai lengan mereka dari samping. Mula-mula Pek-bin Moli yang terdorong ke belakang, disusul Ang-bin Moko yang terhuyung.
Putaran bayangan hitam itu berhenti dan si kedok hitam sudah berdiri tegak di depan mereka. Sepuluh jurus telah lewat dan mereka berdua harus mengakui bahwa selama itu, jangankan merobohkan si kedok hitam, menyentuh tubuhnyapun mereka tidak mampu. Diam-diam mereka terkejut dan menduga-duga siapa sebenarnya si kedok hitam yang amat lihai ini.
"Bagus, bagus, kalian memang lihai sekali dan pantas menjadi pembantu utama kami," kata si kedok hitam.
"Dalam sepuluh jurus, biarpun kalian tidak mampu mengalahkan kami akan tetapi kamipun sama sekali tidak sempat untuk balas menyerang. Untuk menyatakan kegembiraan hati kami, kami menghadiahkan benda ini kepada kalian, kalau kalian menerimanya, berarti kalian sanggup untuk membantu kami dengan setia."
Si kedok hitam mengeluarkan dua butir mutiara hitam yang besar dan indah dari saku bajunya dan memberikan dua butir benda berharga itu kepada Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli dengan dilemparkannya kepada mereka. Sepasang iblis itu menangkap mutiara itu dan wajah mereka berseri. Mereka mengenal benda berharga dan kagum akan keroyalan si kedok hitam.
"Kami telah mengaku kalah, mulai hari ini kami berdua siap melaksanakan semua perintah Yang Mulia," kata Ang-bin Moko sambil menyimpan mutiara hitam itu.
"Hamba senang sekali dapat menghambakan diri kepada Yang Mulia, dengan harapan kelak kalau usaha Yang Mulia berhasil, tidak akan melupakan hamba," kata pula Pek-bin Moli dengan senang.
"Tentu saja, kami tidaK pernah melupakan jasa seorang pembantu, juga tidak pernah membiarkan begitu saja mereka yang telah merugikan kami. Nah, silakan kalian duduk karena kita akan membicarakan urusan pekerjaan yang amat penting. Akan tetapi sebelum itu, ingin kami bicara dengan orang yang telah mengecewakan hati kami dan amat merugikan gerakan perjuangan kami."
Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli mengambil tempat duduk, dan mendengar ucapan itu, dua orang yang datang lebih dahulu dan yang menderita luka di paha dan punggung, segera bangkit dari bangku dan menghampiri orang berkedok hitam, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakinya dalam jarak empat meter lebih.
"Hemm, kalian dua orang tolol, kalian bukan saja gagal melaksanakan tugas penting, akan tetapi juga bersikap pengecut, meninggalkan kawan sehingga tewas dan kalian melarikan diri. Begitukah sikap orang-orang yang telah menjadi pembantu dan anak buah kami?"
"Ampun, Yang Mulia. Kami..." tidak kuat menghadapi pengeroyokan banyak pengawal"...." kata seorang di antara mereka yang luka pahanya.
"Kami sudah berusaha sekuat tenaga dan gagal, mohon paduka mengampuni kami," kata orang kedua yang terluka punggungnya.
Sepasang mata di balik kedok itu berkilat.
"Enak saja kalian minta ampun. Kalian telah bertindak ceroboh sehingga menggagalkan tugas, bahkan membahayakan kedudukan kita semua dengan pelarian kalian ini. Kalian tidak patut berada di sini dan tidak pantas menjadi angguta perjuangan kita. Kalau kalian berhasil dalam tugas, selalu kami memberi hadiah besar, sekarang kalian gagal, bahkan melarikan diri, tahukah kalian apa hukumannya?"
Dengan tubuh gemetar dua orang itu membentur-benturkan dahi di lantai sambil minta ampun. Akan tetapi, si kedok hitam itu menggerakkan kedua tangannya, telunjuknya berubah hitam arang dan ditudingkan ke arah kedua orang itu. Seperti ada sinar hitam mencuat dari kedua jari telunjuk itu, menyambar ke depan, ke arah kepala dua orang itu. Mereka terjengkang, tanpa mengeluarkan suara lagi karena mereka telah tewas dengan muka berubah hitam arang!
Melihat ini, sepasang iblis itu terkejut. Mereka bertahun-tahun melatih diri dengan Touw-kut-ci mempergunakan banyak tengkorak, kini mereka melihat ilmu tusukan jari tangan dari jarak jauh yang teramat dahsyat, jauh lebih dahsyat dibandingkan Touw-kut-ci mereka. Hal itu saja membuat mereka semakin tunduk, maklum bahwa mereka berhadapan dengan orang sakti yang pantas menjadi pimpinan mereka.
Melihat ini, Bu-tek Kiam-mo bangkit berdiri dari bangkunya dengan alis berkerut. Dia bukan anak buah si kedok hitam, dan dia datang sebagai utusan Tung-hai- liong, datuk yang kekuasaannya seperti raja saja di lautan timur. Melihat hukuman yang dijatuhkan kepada dua orang itu, dia merasa penasaran.
"Yang Mulia, apa yang harus saya laporkan kepada majikan saya melihat hukuman ini? Apakah kalau kelak kami gagal dalam tugas, kamipun akan dihukum mati seperti ini?"
Si kedok hitam mengangkat tangan kiri ke atas sebagai isyarat dan nampak bayangan empat orang berkelebat masuk. Tanpa banyak bicara lagi, empat orang itu menggotong pergi jenazah kedua orang yang mendapat hukuman tadi. Barulah si kedok hitam menghadapi Bu-tek Kiam-mo.
"Bu-tek Kiam-mo, engkau salah mengerti. Dua orang ini adalah anak buah kami, dan di antara kami sudah ada peraturan yang tidak bolen dilanggar. Kalian yang hadir ini lain lagi, bukan anak buah kami melainkan sahabat yang akan diajak bekerja sama. Tentu saja peraturan yang dikenakan kepada anak buah kami tidak berlaku untuk kalian. Yang dihukum bukan hanya kegagalan mereka, akan tetapi karena mereka berdua melarikan diri dan meninggalkan seorang rekan yang tewas. Nah, mengertikah engkau sekarang?"
Bu-tek Kiam-mo mengangguk dan duduk kembali. Tentu saja dia tidak dapat mencampuri urusan dalam antara si kedok hitam dan anak buahnya, seperti juga majikannya yang tidak kalah kejamnya dibandingkan dengan apa yang dilakukan si kedok hitam terhadap anak buahnya tadi. Setelah mereka duduk, dua orang anak buah si kedok hitam datang menyuguhkan arak dan makanan kecil, lalu mereka meninggalkan ruangan itu pula. Coa Ok, orang pertama dari Hek I Ngo-liong tak dapat menahan keinginan tahunya dan bertanya
JILID 04
"Kami mengirim tiga orang anak buah kami menyusup ke istana Raja Muda Yung Lo untuk membunuhnya. Akan tetapi, mereka bukan hanya gagal, bahkan seorang yang kami percaya memiliki kemampuan, telah tewas dan dua orang tadi melarikan diri membawa luka-luka."
Mendengar ini, Coa Ok yang berwatak sombong itu tersenyum menyeringai.
"Heh, kalau hendak membunuhnya, kenapa harus menyusup ke istana di mana terdapat banyak pengawal? Serahkan saja kepada kami. Kami akan menghadang dan raja muda itu keluar dari istana, kami akan sanggup membunuhnya!"
Akan tetapi si kedok hitam mengangkat tangan dan menggeleng kepala.
"Tidak selain mereka kini tentu lebih waspada dan melakukan penjagaan juga kami telah mengubah siasat. Setelah mendengar hasil penyelidikan jaringan mata-mata kami di kota raja selatan, dan setelah menerima pesan dari Pangeran Thian-cu (Anak Langit), siasat kami berubah sama sekali. Kami tidak lagi menggunakan kekerasan melainkan mengatur siasat yang halus."
"Siapakah Pangeran Thian-cu?" tanya Pek-bin Moli.
"Siasat apa yang akan dipergunakan dan apa pula tugas kami?" tanya Coa Ok mewakili semua saudaranya.
"Dan pesan apa yang harus saya sampaikan kepada majikan saya Naga Lautan Timur?" tanya Bu-tek Kiam-mo.
"Tenanglah dan dengarkan penjelasanku. Juga engkau Bu-tek Kiam-mo, dengarkan baik-baik agar kelak dapat kaulaporkan kepada majikanmu. Kalian tentu tahu siapa Kaisar Thai-cu yang telah memberontak terhadap Kerajaan Goan (Mongol). Dia tadinya bernama Chu Goan Ciang dan siapa dia? Seorang petani! Bayangkan saja. Seorang petani busuk menjadi kaisar dan akan memerintah kita! Bagaimana mungkin kita dapat direndahkan sampai seperti itu? Tidak! Kita harus mengenyahkan kekuasaan para petani busuk itu"
"Maaf, Yang Mulia," kata Ang-bin Moko.
"Akan tetapi, bagaimana kita akan dapat melakukan hal itu? Kaisar Thai-cu telah membangun Kerajaan Beng, dan memiliki pasukan besar yang amat kuat. Bagaimana kita mampu melawan sebuah kerajaan yang memiliki pasukan besar?"
Semua orang mengangguk membenarkan pendapat Ang-bin Moko itu. Merekapun akan pikir-pikir dulu kalau diharuskan melawan pasukan pemerintah yang ratusan ribu jumlahnya.
"Heh..heh, kita tidak begitu bodoh. Kalau dengan jalan kekerasan tidak mungkin, masih banyak jalan yang lebih halus. Dan baru saja kami mendapat keterangan dari para penyelidik. Kalian dengarkan baik-baik siasat yang akan kami atur."
Dengan suara yang halus dan jelas, si kedok hitam lalu menggambarkan rencana siasatnya. Mula-mula dia menceritakan keadaan keluarga kaisar, betapa kaisar telah mengangkat pangeran Yung Lo menjadi raja muda di Peking karena pangeran ini memang ahli dalam mengatur pasukan untuk menahan gelombang serangan orang-orang Mongol yang hendak merebut kembali kekuasaannya di selatan.
"Nah, Raja Muda Yung Lo, walaupun bukan pangeran sulung, bukan pangeran mahkota karena dia lahir dari selir, tentu saja menganggap dirinya sebagai pangeran yang paling gagah, paling cakap untuk kelak menggantikan ayahnya. Akan tetapi dia harus mengalah terhadap Pangeran Mahkota, putera pertama kaisar dari permaisuri, yaitu Pangeran Chu Hui San yang telah ditetapkan kelak menggantikan ayahnya karena diapun merupakan putera sulung. Dan di antara kedua pangeran ini seperti terdapat persaingan, dan akan mudah dicetuskan api permusuhan antara Raja Muda Yung Lo dan kakaknya, Pangeran Mahkota Chu Hui San. Inilah jalan yang kami maksudkan, cara halus yang kalau berhasil, jauh lebih menguntungkan dari pada sekedar penyerbuan dan pertempuran."
"Akan tetapi bagaimana caranya, Yang Mulia? Kami berdua masih belum jelas benar, walaupun sudah mengerti apa yang paduka maksudkan dengan cara yang halus tanpa kekerasan itu," kata Pek-bin Moli.
"Jalan satu-satunya adalah melakukan penyusupan ke dalam istana Pangeran Mahkota. Kita harus mengobarkan persaingan itu menjadi permusuhan. Sukar untuk mempengaruhi Raja Muda Yung Lo karena wataknya keras dan dia dapat berbahaya. Akan tetapi, Pangeran Chu Hui San adalah seorang pangeran yang lemah dan kita akan dapat mempengaruhinya. Nah, menyusup ke istana Pangeran Mahkota dan mempengaruhinya merupakan satu di antara tugas kita. Ada pula tugas lain yang tidak kalah pentingnya."
"Apakah tugas itu, Yang Mulia?" tanya Ang-bin Moko.
"Kami lebih menyukai tugas yang membutuhkan kekuatan. Menyusup ke istana dan bermain sandiwara terlalu sukar bagi kami."
"Heh..heh, kami juga tidak akan mengutus kalian melakukan penyusupan ke istana, Moko. Kalian berdua dikenal oleh para tokoh persilatan, dan kalau para tokoh mengetahui kalian menyusup ke istana pangeran Mahkota, tentu kalian akan dicurigai. Tidak, kalian lebih tepat untuk tugas kedua, yaitu berusaha merebut kedudukan bengcu (pimpinan) yang akan diadakan oleh para datuk persilatan beberapa bulan mendatang di puncak Thai-san. Kalian harus dapat merebut kedudukan bengcu sehingga dengan mudah kita akan mendapat dukungan dari dunia persilatan kalau saatnya tiba bagi kita untuk bergerak."
Sepasang iblis itu saling pandang dan mereka terbelalak.
"Wah, kami sendiripun sejak dulu berkeinginan menjadi bengcu dan kami berlatih keras untuk dapat mengikuti pemilihan bengcu. Akan tetapi, Yang Mulia, kami tahu bahwa tidaklah mudah untuk menjadi orang yang paling tangguh. Banyak orang sakti akan mengikuti pemilihan itu, dan mereka memiliki pendukung, sedangkan kami tidak."
"Heh..heh, kami dapat mempersiapkan pendukung yang amat banyak. Kami berdiri di belakang kalian, dan akan kami usahakan sedapatnya agar kalian yang menang. Selain itu, juga kami akan mengirim pembantu untuk menyusup ke dalam perkumpulan pengemis. Kalau kita dapat menguasai para kai-pang, mereka dapat menjadi pendukung yang besar jumlahnya dan kuat. Nah, sekarang sudah ada tiga macam tugas kita. Pertama, menyusup ke istana Putera Mahkota. Kedua, mencoba untuk menguasai kai-pang (perkumpulan pengemis), dan ke tiga, berusaha meraih gelar bengcu agar dapat menguasai dunia kangouw. Untuk yang ke empat, kami sendiri yang akan mengaturnya, yaitu menyambut kedatangan Yang Mulia Pangeran karena beliau sendiri yang akan memimpin kita agar perjuangan ini berhasil baik."
"Yang Mulia Pangeran?" Ang-bin Moli berseru heran.
"Siapakah beliau? Dan siapa pula paduka? Mengapa paduka selalu menyembunyikan wajah di balik kedok? Tidak enak rasanya bagi kami tidak mengenal siapa pemimpin kami. Dan Yang Mulia Pangeran itu, diakah pemimpin kita yang utama?"
Si kedok hitam mengangguk-angguk.
"Pertanyaan yang pantas dan memang kalian perlu mengetahui agar tidak ragu-ragu lagi. Ketahuilah bahwa perjuangan kita ini dipimpin langsung oleh Pangeran Yaluta yang mulia, bijaksana dan memiliki ilmu kepandaian tinggi. Beliau yang menjadi pemimpin besar dan selama ini beliau mewakilkan kepada kami. Karena aku tidak ingin dikenal agar aku dapat bergerak dengan leluasa, maka aku memakai kedok sutera hitam. Kini, Yang Mulia Pangeran merasa sudah tiba saatnya beliau sendiri yang memimpin langsung, maka beliau akan datang. Kelak, kalau beliau sudah datang, akan kami perkenalkan kepada kalian semua. Sekarang, mari kita membagi tugas masing-masing."
Si kedok hitam lalu mengatur siasat, membagikan tugas kepada mereka semua dengan teliti sekali.
Melihat cara kerja si kedok hitam, sepasang iblis itu kagum karena siasat itu rapi dan seperti siasat seorang panglima perang saja. Kepada Bu-tek Kiam-mo, si topeng hitam itu memberi kiriman benda-benda berharga untuk dihadiahkan kepada Tung-hai-liong Ouwyang Cin, juga diharapkan bantuan datuk itu agar cita-cita Pangeran Yaluta dapat terkabul, yaitu menjatuhkan kaisar petani seperti yang disebut oleh si kedok hitam dan mendirikan kembali Kerajaan Goan yang sudah runtuh.
Harta dan kedudukan merupakan dua kesenangan yang amat kuat daya pengaruhnya terhadap manusia. Demi mengejar kedudukan dan harta, manusia lupa diri dan tidak segan melakukan perbuatan apapun juga. Membunuh, merampok, menipu, berkhianat, apa saja akan dilakukan demi mendapatkan harta atau kedudukan yang diinginkannya. Kalau sudah begini, manusia kehilangan harga dirinya sebagai manusia, sebagai mahluk yang mendapatkan anugerah paling besar dari Sang Pencipta. Manusia sudah menjadi budak, menjadi hamba dari kesenangan, hamba dari nafsunya sendiri. Manusia lupa bahwa menghambakan diri, bertekuk lutut kepada nafsu merupakan sumber segala malapetaka dalam kehidupan, sumber sengketa, sumber derita sengsara.
Harta kekayaan yang tadinya dibayangkan sebagai sumber segala kesenangan, akhirnya hanya menjadi sumber kegelisahan, takut akan kehilangan, sumber sengketa dan perebutan, dan kesenangan yang dihasilkan oleh adanya harta hanya menjadi kesenangan palsu yang membosankan. Pengejaran terhadap harta dan kedudukan membutakan hati merusak pertimbangan, membuat kita tidak sadar bahwa kita telah melakukan hal-hal yang amat tidak baik, jahat atau merugikan orang yang pada akhirnya akan membuahkan buah yang pahit, yang harus kita makan sendiri. Kita terkadang silau oleh tujuan, buta akan cara yang kita pergunakan untuk pengajaran mencapai tujuan itu. Bagaimana mungkin cara yang kotor bisa menghasilkan sesuatu yang bersih? Tujuan merupakan akibat, merupakan hasil daripada caranya. Cara tidak terpisah dari hasilnya.
Kaisar Thai-cu, pendiri Kerajaan Beng (Terang) adalah seorang yang pandai. Biarpun ia terlahir sebagai anak petani, namun berkat pengalaman dan kepemimpinannya, dia berhasil menyusun kekuatan, menarik dukungan hampir seluruh rakyat dan akhirnya berhasil pula menumbangkan kekuasaan Mongol yang sudah menjajah selama hampir seratus tahun itu. Dan diapun maklum bahwa orang-orang Mongol tentu saja tidak rela melepas kekuasaan mereka dan pasti mereka akan selalu berusaha untuk merebut kembali tahta kerajaan.
Oleh karena itu, maka diapun mengangkat puteranya yang sejak muda memiliki kemampuan seperti dia, yaitu pandai mengatur pasukan, Pangeran Yung Lo, sebagai raja muda di Peking sehingga puteranya itu akan menjamin bahwa orang-orang Mongol tidak akan menyeberangi Tembok Besar. Juga dia mengerahkan kekuatan untuk melakukan penjagaan di perbatasan, mempertanankan kedaulatan Kerajaan Beng. Untuk tugas-tugas ini, dia memiliki banyak pembantu.
Para panglimanya adalah orang-orang yang cakap, di antaranya yang menjadi orang kepercayaannya adalah Jenderal Shu Ta dan Jenderal Yauw Ti. Kedua orang jenderal ini merupakan panglima-panglima perang yang pandai dan merekalah yang mengatur semua penjagaan, walaupun keduanya tetap tinggal di kota raja. Jasa keduanya amat besar dalam meruntuhkan Kerajaan Goan (Mongol), maka kaisar memberi mereka kedudukan tinggi yang membuat mereka berdua dapat menetap di kota raja dan sekali-sekali saja melakukan peninjauan ke perbatasan. Di kalangan sipil, Kaisar Thai-cu juga mempunyai banyak menteri yang pandai. Seorang kaisar memang harus dapat mempergunakan orang-orang pandai kalau dia menghendaki kemajuan dalam pemerintahan yang dikendalikannya.
Kaisar Thai-cu yang kini telah berusia enam puluh tahun itu mempunyai banyak anak dari para selirnya, akan tetapi dari permaisuri, dia hanya mempunyai seorang putera, yaitu Pangeran Chu Hui San yang diangkat menjadi putera mahkota. Hanya ada satu hal yang kadang merisaukan hati sang Kaisar, yaitu melihat betapa puteranya yang menjadi Pangeran Mahkota itu dianggapnya tidak memiliki kewibawaan dan kekuatan yang patut membuat dia menjadi calon kaisar, tidak seperti puteranya yang kini menjadi raja muda di Peking. Pangeran Mahkota yang sudah berusia empatpuluh tahun itu lemah dan hanya berfoya-foya saja, sama sekali tidak memperdulikan urusan pemerintah. Padahal, Putera Mahkota itu sudah cukup dewasa, bukan kanak-kanak lagi. Dia sudah mempunyai beberapa orang anak, dari isterinya mempunyai seorang anak laki-laki yang sudah berusia enam tahun dan bernama Pangeran Chu Song, sedangkan dari para selirnya, dia juga mempunyai beberapa orang anak. Bahkan ada puterinya yang sudah berusia delapanbelas dan tujuhbelas tahun.
Namun, tetap saja Pangeran Mahkota ini berwatak kekanak-kanakan dan selalu mengejar kesenangan. Tidak mengherankan apabila dia dikelilingi penjilat-penjilat yang memanfaatkan kelemahannya untuk mendapatkan keuntungan darinya. Pangeran Chu Hui San hidup bermewah-mewah, setiap hari hanya berpesta, bermain judi, bahkan dia terkenal sekali di antara rumah-rumah pelesir yang dikunjunginya secara diam-diam dan menyamar, tentu saja atas anjuran para penjilat yang menjadi teman-temannya, yaitu para pemuda bangsawan putera para pejabat tinggi di kota raja.
Pangeran Mahkota dan teman-temannya itu merupakan sebuah gerombolan bangsawan yang mempunyai tukang-tukang pukul sendiri, dan kadang mereka melakukan hal-hal yang tidak pantas seperti merampas barang berharga yang mereka senangi dari siapa saja, dan tidak jarang mereka merampas seorang gadis cantik dan menculiknya dengan kekerasan. Tak seorangpun berani menentang mereka, karena pemimpin gerombolan itu adalah Pangeran Mahkota! Bahkan tidak ada yang berani melapor kepada kaisar yang amat menyayang putera mahkota ini, sehingga kaisar sendiri tidak tahu akan sepak terjang calon penggantinya itu.
MEMANG sesungguhnya, tidak ada yang sempurna di seluruh alam mayapada ini kecuali Tuhan Yang Maha Sempurna. Tidak ada seorangpun yang hidupnya mulus tanpa cacat. Tidak ada hati yang selalu mengenal senang tanpa mengenal susah. Kaisar Thai-cu memang dari luar nampak hidup penuh kesenangan, penuh kebahagiaan. Dia merupakan pendiri sebuah kerajaan baru yang berhasil. Hidup penuh kemuliaan sebagai kaisar, orang yang paling tinggi kedudukannya di antara ratusan juta manusia. Dia tidur di atas puncak kekuasaan, berenang di lautan kemewahan. Berkuasa, mulia, terhormat, kaya raya, mempunyai banyak isteri dan banyak anak. Lengkap semua!
Itu hanya nampaknya saja bagi orang lain. Namun, betapa kaisar yang satu ini seringkali termenung bertopang dagu memikirkan keadaan putera mahkota, tidak ada yang tahu! Betapa hatinya seringkali gelisah, khawatir kalau-kalau kerajaan yang dibangunnya itu tidak akan bertahan, tidak akan berkembang menjadi besar dan jaya.
Betapa dia selalu dirongrong oleh berita tentang pemberontakan di perbatasan, tentang usaha orang Mongol yang hendak merebut kembali kekuasaan, negara-negara tetangga di selatan dan barat yang tidak mengakui kedaulatan Kerajaan Beng, dan para bajak laut yang mengacau di sepanjang pantai timur. Tentang pejabat yang korup, pengkhianat, dan masih banyak hal lagi yang cukup membuat kaisar merasa hidupnya tidak berbahagia!
Nafsu itu seperti api, selalu mencari bahan bakar, tak pernah berhenti selama ada yang dilahapnya. Yang sudah dibakar, ditinggalkannya menjadi abu, tak dihiraukannya lagi karena selalu disibukkan mencari bahan bakar baru. Kalau kita sudah dikuasai nafsu, kita selalu mengejar sesuatu yang belum kita miliki. Yang sudah kita miliki terlupa, tidak lagi nampak keindahannya, tidak lagi menyenangkan, bahkan ada kalanya membosankan. Yang nampak indah menarik dan dianggap menjadi sumber kesenangan hanyalah yang belum diperoleh, seperti api yang selalu tertarik kepada sesuatu yang belum dijamahnya.
Nafsu membuat segala sesuatu hanya nampak indah menyenangkan bagi yang belum memiliki! Akan tetapi yang sudah memiliki, menjadi bosan dan yang dimiliki itu segera kehilangan daya tariknya. Hanya mereka yang tidak kaya saja yang menganggap bahwa kaya raya itu amat membahagiakan, sebaliknya, yang sudah kaya raya kehilangan apa yang digambarkan oleh yang belum kaya itu.
Hanya yang tidak memiliki kedudukan menganggap bahwa yang berpangkat tinggi itu senang dan bahagia, namun seringkali dia tersiksa justeru oleh kedudukannya itu. Orang yang tinggal di kota rindu kepada gunung, sebaliknya yang tinggal di gunung rindu kepada kota!
Demikianlah bekerjanya nafsu, mendorong kita untuk tidak merasa puas dengan keadaan yang ada, selalu haus akan hal yang belum kita miliki. Ini memang wajar. Nafsu memang amat berguna bagi kehidupan kita. Nafsu yang membuat kita maju dan bertumbuh, membuat kita "hidup". Namun, kalau dia menjadi alat, menjadi hamba kita.
Kalau terjadi sebaliknya, kita yang diperhamba, celakalah! Kita akan menjadi robot, dan kita kehilangan pertimbangan, mau saja dituntun melakukan perbuatan yang jahat atau tidak benar hanya untuk memuaskan nafsu mendapatkan hal-hal yang kita inginkan. Seperti api yanq terus menjalar mencari bahan bakar baru, melupakan dan meninggalkan yang lama.
Namun kaisar Thai-cu adalah seorang yang gigih, tidak pernah menyerah kepada segala macam kesukaran. Dia selalu berusaha menanggulangi segala masalah. Dia seorang yang sadar akan romantika kehidupan. Hidup memang merupakan perjuangan, di mana tantangan datang dari segala penjuru dan di segala saat. Bahaya dan tantangan berdatangan, dan justeru itulah romantika kehidupan.
Betapa akan hampa dan haramnya penghidupan ini tanpa adanya tantangan! Betapa akan membosankan siang hari tanpa adanya malam! Rasa manispun akan memuakkan tanpa adanya rasa pahit dan lain-iain. Hidup adalah perjuangan menghadapi semua tantangan.
Melarikan diri dari tantangan hidup berarti sudah tigaperempat mati. Kita harus menghadapi kenyataan yang ada, berani menghadapi tantangan yang datang menimpa. Menghadapi tantangan, menanggulangi atau mengatasi tantangan, itu seni kehidupan!
Kita harus mempergunakan segala daya yang ada pada kita, setiap anggauta jasmani, hati akal pikiran, untuk menanggulangi segala masalah kehidupan, persoalan lahiriah dah mengatasinya, memenangkannya. Mengenai batiniah, kerohanian, kita serahkan saja kepada Tuhan! Percaya, menyerah dengan sabar, ikhlas, tawakal. Rohani adalah kuasa Tuhan, akan tetapi urusan jasmani adalah tugas kewajiban kita sendiri.
Kaisar Thai-cu tak pernah tunduk terhadap segala kesukaran yang berdatangan semenjak dia menjadi kaisar. Bukan saja dia memilih para pembantu yang pandai untuk dijadikan pejabat yang bijaksana, akan tetapi dia bahkan tidak melupakan para tokoh di dunia persilatan untuk memanfaatkan tenaga mereka. Dia tahu benar bahwa para pendekar yang tidak mau memegang jabatan merupakan orang-orang yang dapat berjasa banyak demi lancarnya roda pemerintahannya.
Oleh karena itu, dia selalu menghubungi mereka untuk dimintai pendapat, nasihat dan bahkan bantuan. Ketika banyak pusaka istana lenyap dari gudang istana, belasan tahun yang lalu, dia juga minta bantuan para tokoh persilatan, bahkan kemudian, Sam-sian (Tiga Dewa) yang berhasil mendapatkan kembali kumpulan pusaka yang dicuri oleh mendiang Se Jit Kong itu.
Kemudian dia mendengar akan adanya usaha orang-orang Mongol untuk menyebar mata-mata yang mungkin akan membahayakan, maka diapun segera mengirim utusan mencari dan mengundang Sam-sian untuk datang menghadap. Akan tetapi, yang datang menghadap hanya Ciu-sian seorang, karena dua orang rekannya, Kiam-sian dan Pek-mau-sian, telah meninggal dunia. Kaisar Thai-cu lalu minta bantuan Ciu-sian untuk menanggulangi dan menyelidiki gerakan jaringan mata-mata Mongol. Ciu-sian menyanggupi, akan tetapi dia merasa tua, maka dia mewakilkan pelaksanaan tugas penting yang berat itu kepada muridnya, yaitu Sin Wan.
Bayangan merah muda itu meluncur cepat menuruni lembah gunung sebelah timur. Baru setelah ia berhenti di tepi padang rumput kehijauan, nampak jelas bahwa ia seorang gadis yang berpakaian serba merah muda. Seorang gadis yang cantik manis, dengan wajah yang cerah, sepasang mata yang berkilat tajam, mulut yang mungil terhias senyum mengejek dan mulut itu dihias lesung pipi yang manis sekali. Ia mengagumi pemandangan alam yang indah di pagi itu, menghirup udara yang sejuk hangat sehingga cuping hidungnya yang tipis nampak kembang kempis. Tubuhnya ramping padat dengan lekuk liku sempurna karena ia seorang gadis muda usia.
Sesungguhnya, usianya sudah duapuluh dua tahun, akan tetapi takkan ada orang menyangka begitu, tentu ia akan disangka berusia paling banyak delapanbelas tahun. Begitu segar berseri, anggun seperti setangkai bunga yang baru merekah dihembus semilirnya angin gunung, bermandi embun dan sinar matahari pagi.
Pakaiannya ringkas, namun pakaian berwarna merah muda itu terbuat dari sutera yang mahal. Tubuhnya terbungkus ketat sehingga nampak jelas tonjolan dan lekukannya. Rambut kepalanya digelung ke atas dan diikat dengan pita berwarna hijau dan kuning, tusuk sanggulnya terbuat dari emas berbentuk burung merak yang indah. Kakinya yang kecil memakai sepatu dari kulit hitam mengkilap. Di punggungnya terdapat buntalan pakaian dan sebatang pedang melintang di bawahnya dengan gagang di belakang pundak kanan.
Gadis itu adalah Tang Bwe Li atau yang biasa disebut Lili. Setelah menerima tugas dari sucinya, ia meninggalkan Bukit Ular tempat tinggal suhunya, See-thian Coa-ong Cu Kiat, dan hatinya merasa riang gembira. Tidak saja ia merasa seperti seekor burung bebas lepas di udara, dapat melakukan apa saja sekehendak hatinya tanpa harus mentaati perintah siapapun, menjadi majikan dirinya sendiri, akan tetapi juga ia merasa dirinya penting sekali.
Sucinya yang lihai dan yang semula malah menjadi gurunya itu, yang merawat dan mendidiknya sejak ia kecil, sucinya yang amat dihormati dan disayangnya, begitu percaya kepadanya untuk mewakili membalas dendam kepada seorang laki-laki yang dianggap telah menghancurkan kehidupan sucinya! Dan ia akan menunaikan tugas itu dengan baik. Ia harus dapat melaksanakan balas dendam itu, demi sucinya ia rela mempertaruhkan nyawanya.
Tidak aneh kalau Lili merasa bebas dan gembira. Ia penuh kepercayaan kepada diri sendiri dan pada saat itu, ia memang merupakan seorang gadis yang telah memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dahulu, ketika ia belum digembleng oleh See-thian Coa-ong sendiri yang ketika itu adalah kakek gurunya, ia sudah merupakan seorang gadis yang sukar dicari bandingnya dalam ilmu silat.
Apalagi sekarang, setelah menerima gemblengan datuk itu, ilmu kepandaiannya meningkat dengan cepatnya sehingga kini tingkatnya hampir sejajar dengan Bi-coa Sianli Cu Sui In, bekas gurunya yang kini menjadi sucinya. Dengan ilmu kepandaian sehebat itu, tentu saja Lili merasa kuat dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri, apalagi memang pada dasarnya ia seorang gadis yang pemberani bahkan tidak mengenal artinya takut.
Sudah belasan hari ia meninggalkan Bukit Ular dan selama itu ia sudah melewati banyak gunung, padang rumput, gurun dan lembah yang amat sukar dilalui. Juga banyak ia melewati perkampungan bermacam suku bangsa, namun tidak pernah ada gangguan.
Pagi hari ini, dengan gembira ia menuruni bukit menuju ke sebuah dusun yang tadi sudah dilihatnya dari puncak bukit itu. Perutnya terasa lapar pagi itu, dan perjalanan sejak matahari terbit tadi menambah rasa laparnya. Di dusun bawah sana tentu ia akan dapat membeli sesuatu untuk sarapan. Bekal makanan yang masih ada dalam buntalan di punggungnya hanya roti kering dan daging asin, untuk minum hanya ada air putih. Ia ingin sarapan makanan yang hangat seperti bubur, dan ingin minum air teh panas-panas.
Ketika ia menuruni lembah terakhir dan tiba di sebuah tikungan, ia mendengar suara banyak orang dan melihat bahwa di depan sana terdapat banyak orang sedang mengaso, duduk di bawah pohon-pohon dan batu-batu besar. Banyak di antara mereka berada di balik pohon dan rumpun semak belukar, maka ia tidak dapat melihat jelas berapa banyaknya orang yang berada di sana dan sedang apa mereka itu. Akan tetapi, tiba-tiba dua orang laki-laki sudah meloncat dan berdiri di depannya.
Lili memperhatikan mereka. Dua orang ini bertubuh tinggi besar dan memakai topi bulu putih. Mereka kelihatan kokoh kuat, dan keduanya memandang kepadanya seperti dua ekor srigala kelaparan melihat seekor kelinci gemuk. Mata mereka seperti hendak menelannya bulat-bulat, bahkan seorang di antara mereka, yang kumisnya panjang menjuntai ke bawah, terang-terangan menjulurkan lidah dan menjilati bibir sendiri seperti seekor anjing mengilar melihat sepotong tulang. Orang ke dua, yang mukanya bopeng karena cacar, menyeringai dan nampak giginya yang besar-besar dan hitam. Agaknya orang ini pecandu rokok yang berat atau pengunyah tembakau.
Lili adalah seorang gadis cantik yang usianya duapuluh dua tahun dan sudah banyak melakukan perjalanan, dan mengalami banyak gangguan dari para pria yang mata keranjang. Tentu saja sekilas pandang dara ini tahu bahwa ia berhadapan dengan dua orang pria yang kurang ajar.
"Hemm, kalian ini pringas-pringis seperti monyet, mau apa?" Lili bertanya, dan senyumnya tambah mengejek.
"Heh..heh, aku mau mencium kamu!" kata si kumis bergantung.
''Ha..ha, dan aku mau memeluk kamu!" kata si muka bopeng.
Mulut itu masih tersenyum, mata itu masih bersinar-sinar, akan tetapi cuping hidung tipis itu kembang kempis. Dua orang itu mengira bahwa gadis manis di depan mereka menyambut dengan gembira, tidak tahu bahwa kalau cuping hidungnya sudah kembang kempis, itu tandanya Lili mulai marah.
"Benarkah kalian hendak memeluk dan mencium?" tanya Lili suaranya masih ramah.
"Heh..heh, mari beri aku sebuah ciuman manis, sayang!" kata si kumis.
"Mari rebah dalam pelukanku yang hangat, manis!" kata si bopeng.
Tiba-tiba tubuh Lili bergerak dengan kecepatan yang tak dapat diikuti pandang mata, hanya terdengar ia berkata,
"Nah, ciumlah sepatuku ini dan peluklah tanah!" Ucapannya itu disusul gerakan kaki menendang mulut si kumis dan tangan kiri menampar tengkuk si bopeng.
"Dukk! Plakk......!"
Dua orang itu terpelanting. Si kumis terjengkang oleh sambaran kaki, mulutnya benar-benar mendapat ciuman sepatu yang keras sehingga bibirnya pecah-pecah berdarah, beberapa buah giginya rontok! Sedangkan si bopeng terpelanting dan jatuh menelungkup, memeluk dan mencium tanah dalam keadaan puyeng karena bumi rasanya berputar, dadanya sesak dan sukar bernapas.
"Heiiii.....! Gadis liar, apa yang kau lakukan itu?" terdengar bentakan orang dan nampak lima orang sudah berlari ke tempat itu. Mereka juga mengenakan topi bulu yang berwarna putih dan melihat dua orang rekan mereka roboh dan mengaduh-aduh, apalagi melihat si kumis megap-megap dengan mulut remuk berdarah, mereka marah sekali.
"Kalian ingin seperti mereka?" Lili bertanya dengan sikap mengejek dan suaranya masih ramah dan lembut. Ia memang memiliki suara yang basah, seperti orang berbisik mesra.
Tentu saja lima orang itu menjadi marah sekali.
"Gadis liar dan sombong, engkau patut dihajar!" teriak seorang di antara mereka dan mereka pun sudah menerjang ke depan dengan maksud untuk menangkap gadis yang telah merobohkan dan melukai dua orang rekan mereka itu.
Namun mereka disambut kilat yang menyambar-nyambar! Seperti kilat saja tubuh Lili bergerak, kedua tangan dan kakinya berkelebatan dan lima orang itupun terpelanting satu demi satu, merintih kesakitan, ada yang mulutnya penyok, ada yang tulang pundaknya patah, ada yang perutnya mulas dicium sepatu, ada yang berjingkrak karena tulang kering kakinya retak. Dalam segebrakan saja Lili telah membuat lima orang laki-laki yang bertubuh kuat itu tidak berdaya melanjutkan serangan mereka!
Setelah lima orang itu roboh, Lili mendapatkan dirinya dikepung sedikitnya duabelas orang laki-laki dan mereka semua memegang senjata, ada pedang, golok atau ruyung! Lili bersikap tenang, mulutnya masih tersenyum mengejek dan matanya mengerling ke kanan kiri.
"Hemm, kalau mereka tadi hanya layak dihajar, kalian ini memegang senjata tajam, apakah kalian sudah bosan hidup?" suaranya terdengar merdu dan ramah, sama sekali tidak membayangkan kemarahan. Lili memang tidak marah karena ia memandang rendah semua pengepungnya itu.
Yang marah dan penasaran adalah belasan orang yang mengepungnya. Gadis itu telah merobohkan tujuh orang rekan mereka dan kini dalam keadaan terkepung masih mengeluarkan ucapan yang memandang rendah sekali kepada mereka. Betapapun cantik menariknya gadis itu, perasaan marah membuat mereka merasa gatal tangan untuk membunuhnya. Mereka mulai membuat gerakan mengelilingi gadis itu dengan senjata di tangan. Lili masih tersenyum, berdiri tegak dan tenang seperti sikap seekor ular yang melingkar di tengah-tengah, dikepung dan dikelilingi belasan ekor tikus yang mencoba untuk mengganggunya.
"Hemm, tikus-tikus ini memang sudah bosan hidup," kata Lili seperti kepada diri sendiri.
"Tahan!" tiba-tiba terdengar seruan dan belasan orang itu mengenal suara komandan mereka, lalu mereka semua menahan senjata dan mundur, membiarkan dua orang laki-laki berusia limapuluhan tahun maju, menghadapi Lili. Mereka itu juga memakai topi bulu putih, akan tetapi melihat pakaian mereka yang lebih mewah dan sikap mereka yang berwibawa, nampak jelas perbedaannya dan mereka tentu merupakan pimpinan, pikir Lili. Juga mereka tidak bersikap sombong seperti para anak buah mereka tadi. Keduanya bertubuh tinggi besar, yang seorang berwajah bersih tanpa jenggot dan kumis, akan tetapi orang kedua bercambang bauk dengan kumis dan jenggot lebat. Di pinggang mereka tergantung pedang, dan sikap mereka sama menunjukkan bahwa mereka berdua adalah orang-orang yang "berisi", bukan kaleng-kaleng kosong macam yang mengeroyoknya tadi.
"Nona, siapakah nona dan mengapa nona menganiaya tujuh orang anak buah kami?" tanya yang bermuka bersih.
Lili tersenyum mengejek.
"Siapa aku tidak perlu kalian ketahui, dan mengapa aku menghajar anak buah kalian? Karena mereka yang minta dihajar, bukan aku yang sengaja menghajar."
"Tidak mungkin!" bentak yang berewok karena jawaban gadis itu dianggapnya tidak masuk diakal.
"Mana ada orang minta dihajar?"
"Hemm, kalau tidak percaya, tanya saja kepada mereka," kata pula Lili sambil menunjuk ke arah tujuh orang yang masih nampak kesakitan itu.
Mendengar ucapan itu, tentu saja dua orang pemimpin itu menoleh ke arah tubuh anak buah mereka yang tadi kena dihajar, Mereka itu sambil meringis kesakitan, menggeleng kepala dan seorang di antara mereka, yang tulang keringnya retak, menudingkan telunjuknya ke arah Lili dan berseru.
"Toako (kakak tertua), Ji-ko (kakak ke dua), gadis itu sombong dan jahat sekali. Tolong balaskan penghinaan atas diri kami!"
Si berewok kini menghampiri Lili dan membentak,
"Nona, engkau masih muda akan tetapi sudah bersikap sombong dan kejam. Sungguh engkau terlalu mengandalkan kepandaian sendiri!"
Lili tersenyum dan matanya mengerling tajam.
"Orang hutan, kalau begitu engkau mau apa?" tantangnya.
"Bocah sombong, engkau patut dihajar!" bentak si berewok sambil menyerang dengan tangannya yang besar, panjang dan kuat. Temannya, si muka bersih juga sudah siap untuk menyerang.
Pukulan tangan yang besar dan kuat itu cukup berbahaya, mendatangkan angin pukulan yang amat kuat. Lili maklum akan hal ini, namun ia tetap memandang rendah. Orang itu hanya tenaga otot yang kuat, tidak terlalu berbahaya baginya. Dengan gerakan ringan sekali, iapun menggeser tubuh ke kiri, pinggangnya meliuk seperti tubuh ular saja dan pukulan si berewok yang amat kuat itupun luput.
Dari sebelah kirinya, datang angin pukulan menyambar dahsyat. Ah, kiranya si muka bersih itu malah lebih kuat dari pada si berewok, pikir Lili dan kembali tubuhnya membuat gerakan meliuk dan pukulan itupun luput. Dua orang itu terkejut. Mereka melihat gerakan tubuh gadis itu amat aneh, tidak seperti orang bersilat, lebih mirip gerakan seekor ular kalau mengelak, tubuhnya begitu lentur dan dengan mudah saja menghindarkan pukulan mereka. Tentu saja keduanya merasa penasaran bukan main dan menyerang lebih gencar.
Kini Lili memperlihatkan kepandaiannya. la memang telah mewarisi ilmu silat dari See-thian Coa-ong (Raja Ular Dunia Barat) yang memiliki ilmu silat aneh, ilmu silat yang mengandung gerakan ular. Tubuh Lili meliuk-liuk dengan cepatnya ketika menghindarkan semua serangan dan begitu ia membalas, kedua orang lawan itupun terkejut dan cepat menghindar dengan loncatan seperti orang dipagut ular. Kedua tangan gadis itu membentuk kepala ular dengan jari-jari disatukan, dan ketika tangan itu meluncur dan menyerang, maka terdengar suara mendesis, seolah kedua tangan itu benar-benar telah berubah menjadi dua ekor ular berbisa yang ganas!
Akan tetapi kedua orang itu tidak boleh disamakan dengan tujuh orang yang tadi sudah dikalahkan Lili. Kalau hanya seperti mereka, biar ia dikeroyok puluhan orang, ia tidak perlu bekerja keras untuk merobohkan mereka. Dua orang pengeroyoknya ini lain. Mereka ternyata adalah dua orang yang tangguh, memiliki gerakan silat yang baik, mantap dan bertenaga. Memang, kalau Lili mau menurunkan tangan maut, kiranya tidak akan terlalu lama ia dapat merobohkan mereka. Akan tetapi ia tidak ingin membunuh orang tanpa sebab yang kuat. Ia selalu tidak setuju dengan watak gurunya atau sucinya yang mudah saja membunuh orang. Di dasar hatinya, Lili bukan seorang yang jahat atau kejam. Ia hanya galak dan ganas karena sejak kecil ia hidup di dekat orang-orang yang biasa mengandalkan kepandaian untuk memaksakan kehendaknya.
Sampai belasan jurus, belum juga dua orang setengah tua itu mampu merobohkan Lili. Apa lagi merobohkan, bahkan semua serangan mereka, baik dengan tangan ataupun kaki, tidak pernah mampu menyentuh tubuh gadis itu.
Sebaliknya, Lili yang memang suka bertanding mengadu ilmu itu, sengaja mempermainkan mereka. Ia menanti saat baik dan memancing-mancing dengan membiarkan diri di tengah, diapit oleh kedua orang lawan dari kanan kiri. Ketika saat yang dinanti-nantinya tiba, yaitu ketika kedua orang itu dengan hampir berbareng memukulnya dengan tangan mereka yang besar dan lengan yang panjang dari kanan agak ke depan, ia tidak bergerak mengelak, melainkan menyambut pukulan mereka itu dengan kedua tangannya. Akan tetapi ia bukan sekedar menangkis. Begitu pergelangan kedua tangannya bertemu dengan pergelangan tangan lawan yang memukulnya, ia meliuk maju, kedua tangannya itu bagaikan seekor ular membelit lengan lawan!
Dua orang lawan itu terkejut, berusaha untuk menarik kembali tangan mereka, akan tetapi, seperti melekat dengan kedua lengan gadis itu yang bukan saja membelit, bahkan seperti dua ekor ular, tangan dan lengan gadis itu merayap maju cepat sekali dan tahu-tahu kedua tangan yang membentuk kepala ular itu telah mematuk dada mereka tanpa dapat mereka hindarkan lagi.
"Tuk! Tuk!" Dua orang itu mengeluh dan roboh terjengkang. Untung bagi mereka bahwa Lili memang tidak berniat membunuh orang, maka ia membatasi tenaganya ketika kedua tangannya yang membentuk kepala ular itu mematuk.
Dua orang itu tidak tewas, hanya merasa betapa mereka kehilangan tenaga dan dada terasa nyeri, napas mereka menjadi sesak. Akan tetapi karena merekapun bukan orang lemah, sebentar saja mereka dapat memulihkan keadaan tubuh mereka. Keduanya berloncatan berdiri dan nampak sinar berkilauan ketika mereka berdua mencabut pedang.
Berkembang kempis cuping hidung Lili, tanda ia marah. Kalau lawan menyerangnya dengan tangan kosong, ia menganggap mereka itu hanya menguji ilmu, maka ia tidak mau membunuh orang. Akan tetapi kalau lawan sudah mencabut senjata, berarti bahwa lawan menginginkan kematiannya, maka ia menganggap sudah sepatutnya kalau iapun berusaha membunuhnya!
Dalam keadaan yang menegangkan, kedua orang itu dengan pedang di tangan berhadapan dengan Lili yang masih berdiri tenang dengan mulut tersenyum. Akan tetapi tangan kanannya sudah siap untuk mencabut pedang di punggungnya, dan sekali pedang itu tercabut, akan celakalah kedua orang lawan itu. Pedang Pek-coa-kiam (Pedang Ular Putih), jarang dicabut dari sarungnya, akan tetapi biasanya, sekali dicabut, tentu akan jatuh korban!
"Tahan senjata!" tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan mendengar bentakan ini, dua orang yang memegang pedang itu cepat menengok dan menjatuhkan diri setengah berlutut, menyimpan pedang dan memberi hormat kepada pria yang muncul di situ.
"Kongcu......!" kata mereka dengan sikap merendah sekali. Melihat ini, Lili merasa heran dan iapun memandang kepada orang yang baru muncul itu penuh perhatian. Dia seorang laki-laki berusia sekitar tigapuluh lima tahun, bertubuh tinggi kokoh namun pembawaannya lembut dan sopan seperti pembawaan seorang bangsawan terpelajar. Pakaiannya rapi, pakaian seorang sasterawan dan diapun memakai sebuah topi bulu yang indah. Wajahnya tampan dan cerah sehingga dia nampak jauh lebih muda dari pada usianya, wajah yang halus dan tidak berkumis atau berjenggot karena dicukur bersih. Matanya tajam berwibawa dan mata itu jelas menunjukkan kecerdikan.
Diam-diam Lili merasa heran bagaimana dua orang yang tangguh itu bersikap demikian merendah terhadap seorang kongcu yang nampaknya lemah. Juga mereka yang tadi mengepungnya, kini bersikap hormat dan tidak ada seorangpun di antara mereka yang mencabut senjata lagi.
Pria itu menyapu mereka dengan pandang matanya, lalu terdengar dia bicara dengan suara lantang namun lembut.
"Apa yang telah terjadi di sini dan mengapa kalian mengepung siocia (nona) ini?"
Karena pertanyaan itu ditujukan kepada dua orang yang tadi mengeroyok Lili, maka dua orang itu saling pandang dan si muka bersih memberi hormat lalu menjawab.
"Maaf, kongcu. Kami berdua menyerangnya karena nona ini menghajar dan merobohkan lima orang anak buah kami."
Pria itu mengangguk, lalu menengok ke arah mereka yang masih meringis kesakitan. Kemudian dia menghadapi Lili, mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai penghormatan.
"Nona, kalau boleh aku bertanya, mengapa nona menghajar lima orang anak buah kami? Kesalahan apakah yang mereka lakukan terhadap diri nona?"
Melihat sikap yang sopan dari pria itu, Lili juga bersikap baik dan sambil tersenyum ia menjawab,
"Ah, kiranya mereka itu anak buahmu? Jadi engkau ini majikan mereka? Tanya saja kepada mereka karena mereka mengeroyok dan menyerangku maka kurobohkan mereka."
Pria itu mengerutkan alisnya, lalu menoleh kepada lima orang yang masih kesakitan itu.
"Hei kalian berlima. Benarkah kalian mengeroyok nona ini, dan kalau benar kenapa?" Dalam suaranya yang lembut itu terkandung teguran keras.
Sambil menahan rasa nyeri, lima orang itu menjatuhkan diri berlutut menghadap pria itu dan seorang di antara mereka mewakili teman-teman menjawab,
"Maafkan kami, kongcu. Karena melihat nona itu memukul roboh dan melukai dua orang rekan, maka kami berlima turun tangan mengeroyoknya."
Pria itu kini kembali menghadapi Lili, sepasang matanya mengamati penuh selidik dan nampak kekaguman dalam pandang matanya. Gadis yang demikian muda, cantik manis dan nampak lembut, telah memiliki kepandaian yang demikian tinggi sehingga dua orang pembantunya yang dia tahu cukup lihai, tadi nampaknya tidak berdaya melawan nona ini.
"Nona, agaknya terpaksa aku harus kembali kepada nona dan bertanya mengapa nona melukai dua orang anak buah kami."
Senyum dibibir Lili melebar. Ia merasa tertarik. Pria ini demikian lembut dan tenang, akan tetapi dalam menyelidiki urusan dan mengajukan pertanyaan, cukup adil dan tidak berat sebelah, tidak memihak seperti seorang hakim yang jujur.
"Engkau ingin tahu mengapa aku hajar mereka? Yang seorang ingin menciumku, dan orang ke dua ingin memelukku, maka aku lalu membiarkan yang seorang mencium sepatuku, dan orang ke dua memeluk tanah!"
Wajah pria itu berubah kemerahan dan dengan suara yang meninggi dia lalu menoleh dan berseru.
"Siapakah kalian berdua? Maju ke sini!"
Dua orang yang tadi mencari gara-gara dengan Lili, merangkak maju, berlutut menghadap pria itu. Karena si kumis mulutnya remuk dan dia tidak dapat bicara, maka si bopeng yang mewakili.
"Kongcu, ampunkan kami........"
"Jawab, benarkah kalian hendak memeluk dan mencium nona ini? Ceritakan apa yang terjadi?"
"Ampun, kongcu. Kami berdua melihat nona ini lewat..... melihat ia begitu cantik, kami..... kami hanya ingin main-main........"
"Cukup! Kalian tahu bahwa satu di antara larangan keras kita adalah mengganggu wanita?"
"Kami..... kami tahu, kongcu."
"Dan kalian tahu apa hukumannya kalau melanggar larangan itu?'
Dua orang itu menjadi ketakutan. Mereka membenturkan dahi di tanah dan merintih minta ampun, akan tetapi karena ketakutan, si bopeng masih dapat berkata dengan suara menggigil,
"Kami...... kami siap meneriam hukuman......"
"Bagus! Setidaknya kalian mati sebagai laki-laki yang bertanggung jawab!" kata pria itu dan tiba-tiba saja tubuhnya bergerak, nampak sinar berkelebat dan dua tubuh yang berlutut itu terpelanting dengan kepala terpisah dari badan. Lili memandang kagum. Gerakan pria itu sungguh cepat bukan main. Bagi mata biasa, gerakan itu tidak dapat diikuti, akan tetapi Lili tadi dapat melihat betapa cepatnya pria itu bergerak mencabut pedang yang berada di pinggangnya tertutup jubah panjang, mengelebatkan pedangnya memancung kepala dua orang itu lalu menyarungkan kembali pedangnya yang tidak ternoda darah! Demikian cepatnya gerakan itu, menunjukkan ilmu pedang dahsyat seorang ahli!
"Kuburkan mayat mereka," kata pria itu kepada para anak buahnya. Mayat dua orang itu lalu digotong pergi dan pria itu memberi hormat kepada Lili.
"Kami harap nona memaafkan kami dan puas dengan pelaksanaan hukuman bagi anak buah kami yang telah menghina nona."
Lili masih tertegun karena kagum. Orang ini jelas bukan orang sembarangan, pikirnya. Kelihatan lemah lembut dan seperti seorang bangsawan terpelajar, namun memiliki ilmu pedang yang dahsyat! Selain itu, juga amat berwibawa dan sikapnya mengingatkan ia akan gurunya, See-thian Coa-ong yang juga dapat bertindak tegas berwibawa terhadap anak buahnya. Pula, dia menghukum mati dua orang anak buahnya yang mengganggu wanita, hal ini saja sudah mendatangkan rasa kagum dan suka di hati Lili.
"Kiamsut (ilmu pedang) yang hebat!" katanya memuji.
"Aih, dibandingkan nona, aku bukan apa-apa," pria itu merendah.
"Kalau nona tidak menganggap aku terlalu rendah untuk menjadi kenalanmu, perkenalkanlah. Namaku Lu Ta dan semua Orangku menyebut aku Ya-kongcu. Bolehkah aku mengetahui nama nona?"
Karena sikap orang ini baik dan cukup berharga untuk dijadikan teman, setidaknya kenalan, Lili menjawab sederhana.
"Namaku Tang Bwe Li dan orang biasa memanggil Lili."
Ya Lu Ta atau Ya-kongcu kembali memberi hormat, kemudian dia menoleh ke belakang, kepada anak buahnya dan berteriak,
"Heiii, kalian lihat. Ini adalah Tang Siocia, mulai sekarang menjadi sahabatku. Kalian harus bersikap hormat kepadanya!" Kemudian dia berkata kepada Lili,
"Tang Siocia, kami persilakan engkau untuk menjadi tamu kehormatan kami dan sudi makan minum bersama kami."
Lili memang sedang lapar. Menghadapi sikap yang demikian hormat dan baik, dan penawaran itupun dilakukan dengan sikap hormat dan jujur, iapun tertawa lepas.
"Heh..heh, memang aku sedang lapar dan sedang bingung bertanya-tanya dalam hati ke mana harus mencari sarapan. Terima kasih, aku akan suka sekali makan minum denganmu, Ya-kongcu."
Pria itu nampak gembira sekali. Lili memang seorang gadis yang berwatak polos dan bebas, tidak terikat oleh sikap malu-malu seperti para wanita lainnya. Namun, Ya-kongcu maklum sepenuhnya bahwa walaupun gadis itu bebas, jangan dikira bahwa ia boleh dipermainkan begitu saja! Buktinya, anak buahnya sempat dihajar habis-habisan oleh gadis ini. Dia lalu mengajak Lili ke tempat peristirahatannya, tidak jauh dari situ, di bawah pohon-pohon rindang dan ternyata di sana terdapat banyak kuda pilihan dan anak buah kongcu itu tidak kurang dari tigapuluh orang!
Di bawah pohon itu telah diatur makanan dan minuman yang cukup lezat. Lili semakin kagum. Kiranya kongcu ini bersama rombongannya membawa peralatan masak pula karena masakan itu masih mengepul panas dan tak jauh dari situ nampak dapur darurat. Ya-kongcu dengan gembira mempersilakan Lili untuk duduk menghadapi meja sederhana yang dibuat secara darurat pula, duduk di atas bangku.
Lili makan minum dengan lahapnya, senang karena tuan rumah tidak banyak cakap, hanya bicara kalau mempersilakan ia mengambil hidangan dan menambah minuman yang terdiri dari dua macam. Ada anggur dan ada pula teh harum.
Setelah selesai makan minum dan meja dibersihkan, Ya-kongcu berkata.
"Tadi kulihat gerakanmu yang mirip gerakan seekor ular. Mungkin masih ada hubungan antara nona dengan See-thian Coa-ong, yaitu locianpwe (orang tua gagah) Cu Kiat?"
Kembali Lili dibuat kagum. Jelaslah bahwa orang ini memang lihai dan bermata tajam, tentu luas pengetahuannya tentang ilmu silat sehingga melihat gerakannya sedikit saja sudah dapat mengenal ilmu silatnya.
"Dia adalah guruku" katanya.
Kini Ya-kongcu yang terkejut dan memandang dengan mata terbelalak, akan tetapi wajahnya berseri.
"Pantas kalau begitu! Biar seluruh anak buahku maju mengeroyok kau, tentu mereka semua akan dapat kaurobohkan! Kiranya nona adalah murid See-thian Coa-ong, datuk wilayah barat yang terkenal itu." Dia cepat bangkit berdiri.
"Maafkan kalau aku tadi bersikap kurang hormat, Tang Siocia (nona Tang)."
Lili cepat membalas penghormatan itu.
"Aih, jangan terlalu merendah, Ya-kongcu. Engkau sendiri memiliki ilmu pedang yang amat dahsyat."
"Aku mendengar bahwa See-thian Coa-ong merupakan seorang di antara calon bengcu yang akan diadakan oleh para tokoh dan datuk persilatan di puncak Thai-san. Benarkah itu, Siocia?"
Kembali Lili kagum. Memang orang ini memiliki pengetahuan yang luas. Iapun mengangguk membenarkan.
"Kalau begitu, tentu kepergianmu ini ada hubungannya dengan pemilihan bengcu yang akan diadakan sebulan sesudah sin-cia tahun depan, bukan?"
"Tidak, Ya-kongcu. Urusan pemilihan bengcu itu adalah urusan suhu dan suci, sedangkan aku mempunyai tugas lain."
"Ah, begitukah? Kalau kau hendak mengurus pemilihan bengcu, katakan saja terus terang, nona. Karena sesungguhnya, kami sudah sejak semula siap untuk memilih locianpwe See-thian Coa-ong sebagai bengcu."
"Eh, kenapa begitu?" Lili tertarik.
"Apakah engkau sudah mengenal suhu?"
Pria itu menggeleng kepala sambil tersenyum.
"Mengenal secara pribadi memang belum, akan tetapi aku telah lama mendengar nama besar gurumu itu dan aku yakin bahwa hanya dia yang pantas untuk menjadi bengcu. Kami siap untuk membantunya agar dia yang kelak terpilih. Kami mempunyai banyak anak buah yang tersebar di seluruh kota besar, juga di kota raja, maka kalau kami membantu, pasti gurumu akan memperoleh suara dukungan terbanyak."
"Aku tidak tahu apakah suhu memerlukan bantuan itu, akan tetapi mungkin saja engkau dapat membantuku dengan keterangan, kongcu. Aku sedang mencari seseorang,......" kata Lili, timbul harapannya untuk dapat segera menemukan orang yang dicarinya ketika mendengar bahwa Ya-kongcu mempunyai banyak anak buah di kota besar dan di kota raja. Apalagi sikap dan pernyataan Ya-kongcu yang hendak membantu dan mendukung suhunya itu menimbulkan rasa suka dan percaya, maka ia tidak ragu untuk minta bantuan.
Wajah itu berseri dan sepasang mata itu bersinar-sinar.
"Katakanlah, siapa orang yang kaucari itu, nona? Kami akan membantumu sekuat tenaga dan kami yakin dalam waktu singkat kami akan dapat memberitahu kepadamu di mana adanya orang yang kaucari itu. Siapa dia?"
"Dia seorang tokoh Butong-pai berjuluk Sin-kiam-eng (Pendekar Pedang Sakti) dan namanya Bhok Cun Ki," kata Lili sambil menatap tajam wajah itu untuk melihat reaksinya.
Ya-kongcu terbelalak.
"Sin-kiam-eng Bhok Cun Ki? Ah, tentu saja aku mengenal siapa dia, nona! Akan tetapi, sebelum kuberitahu kepadamu di mana dia, aku ingin tahu lebih dulu, apa hubunganmu dengan Sin-kiam-eng?"
Tentu saja gembira sekali rasa hati Lili mendengar bahwa Ya-kongcu mengenal orang yang dicarinya. Tak disangkanya akan sedemikian mudahnya ia dapat menemukan musuh besar sucinya. Karena ia seorang yang jujur dan terbuka, apalagi kalau ia sudah percaya kepada seseorang, mendengar pertanyaan Ya-kongcu iapun mengaku terus terang.
"Aku mencari Sin-kiam-eng Bhok Cun Ki untuk membunuhnya."
"Ahhh........!" Ya-kongcu berseru, terbelalak.
"Mengapa, kongcu?" tanya Lili dan alisnya berkerut ketika ia teringat sesuatu.
"Apakah dia sahabat baikmu atau keluargamu?"
Pria itu tertawa dan menggeleng kepala.
"Sama sekali bukan, nona. Bahkan sebaliknya, diapun musuh besarku dan tentu saja aku suka sekali membantumu menentangnya. Akan tetapi, aku hanya terkejut mendengar engkau hendak membunuh Sin-kiam-eng Bhok Cun Ki. Dia seorang pendekar ahli pedang yang amat tangguh, nona. Bahkan namanya paling terkenal di antara para tokoh Bu-tong-pai!"
"Hem, boleh jadi dia lihai, akan tetapi aku tidak takut," jawab Lili gagah dan dingin, penuh kepercayaan kepada kemampuannya sendiri.
"Tang Siocia, kalau boleh kami mengetahui, permusuhan apa yang ada antara engkau dan dia?"
"Ini merupakan urusan pribadi yang tak dapat kuceritakan kepada siapapun juga, kongcu. Cukup kauketahui bahwa aku mencari dia untuk mengajaknya bertanding dan kalau mungkin membunuhnya."
Dalam suara gadis itu terkandung ketegasan yang membuat Ya-kongcu berhati-hati dan tidak berani mendesak.
"Aku mengerti, nona, dan aku tidak berani mencampuri urusan pribadi nona. Akan tetapi, kurasa tidaklah mudah untuk melaksanakan keinginanmu itu, sungguh tidak mudah sama sekali."
Dengan alis masih berkerut Lili berkata,
"Katakan saja di mana aku dapat menemukan Sin-kiam-eng Bhok Cun Ki dan selanjutnya aku tidak berani merepotkanmu, kongcu."
"Nona Tang, dalam hal ini, sebaiknya kita bekerja sama. Aku akan membantumu menemukan dan menghadapi Sin-kiam-eng, dan aku akan mengerahkan kawan-kawanku untuk membantu suhumu agar terpilih sebagai bengcu."
Lili adalah seorang gadis yang cukup cerdik. Mendengar janji kesanggupan ini, ia menatap tajam.
"Dan sebaliknya? Apa yang harus kulakukan untukmu?"
Pria itu tersenyum.
"Tidak apa-apa, nona. Cukup kalau nona menganggap kami sebagai sahabat baik, cukuplah. Di antara sahabat baik tentu saja saling membantu tanpa pamrih, bukan?"
"Ya-kongcu, aku akan berterima kasih sekali kalau engkau suka membantuku memberitahu di mana musuh besarku itu. Dan engkau akan kuanggap seorang sahabat baik kalau keteranganmu itu betul dan aku dapat menemukan musuh itu. Nah, katakan di mana dia?"
"Tang Siocia, Sin-kiam-eng Bhok Cun Ki telah berjasa besar terhadap Kerajaan Beng dan karena jasa-jasanya ketika para petani memberontak dan menggulingkan pemerintah Goan, maka kini dia diangkat menjadi seorang jenderal yang berkuasa dan berkedudukan tinggi di kota raja."
"Hemm, dia tinggal di kota raja?" tanya Lili. Kedudukan tinggi itu sama sekali tidak berkenan baginya. Yang penting, ia dapat menemukan orang itu!
"Dia tinggal di kota raja, nona. Akan tetapi, sebagai seorang jenderal, dia tinggal di dalam benteng di mana terdapat ribuan orang tentara. Kiranya tidak mungkin bagi nona untuk mencari dia di dalam tempat tinggalnya."
Mendengar ini, barulah Lili tertegun. Tentu saja, betapa tinggipun ilmu kepandaiannya, kalau harus mencari musuh besarnya ke dalam benteng pasukan yang ribuan orang banyaknya, sama saja dengan bunuh diri. Tidak mungkin ia akan berhasil.
"Hemmm, begitukah? Lalu bagaimana aku akan dapat berhadapan dengan dia?" gumamnya seperti pada diri sendiri.
"Itulah sebabnya mengapa tadi aku menawarkan bantuan kepadamu, nona. Kita harus bekerja sama dan aku akan mendapatkan jalan agar engkau dapat bertemu muka dengan jenderal itu. Kalau engkau mau bekerja sama, mari kita melakukan perjalanan bersama karena kamipun ingin pergi ke kota raja."
Tentu saja Lili menyetujuinya. Biarpun ia seorang gadis dan akan melakukan perjalanan yang jauh bersama seorang pria yang mempunyai anak buah banyak dan kesemuanya pria, ia sama sekali tidak merasa canggung. Ia seorang gadis yang bebas dan yakin akan kemampuan diri sendiri sehingga ia tidak khawatir akan gangguan pria. Apalagi semua anak buah Ya-kongcu sudah mengenal siapa gadis itu dan tentu takkan ada seorangpun yang berani mengusiknya. Hajaran yang diberikan Lili kepada tujuh orang itu sudah cukup keras, apalagi dua orang pengganggu pertama dihukum pancung kepala oleh Ya-kongcu.
Lili juga tidak ingin tahu siapa sebenarnya pria itu. Andaikata ia tahu akan keadaan Ya-kongcu yang sesungguhnya, agaknya ia tidak akan perduli. Yang penting baginya adalah menemukan Sin-kiam-eng agar ia dapat melaksanakan tugas yang diberikan sucinya kepadanya.
Siapakah sebetulnya Ya Lu Ta yang disebut Ya-kongcu itu? Dia bukan orang sembarangan, karena dia adalah Pangeran Yaluta, seorang di antara para pangeran dari Kerajaan Goan, yaitu Kerajaan Mongol yang telah runtuh. Bersama sisa keluarga kerajaan, Pangeran Yaluta ini juga terpaksa melarikan diri mengungsi ke utara, kembali ke tanah air bangsa Mongolia di utara karena semua usaha sisa pasukan Mongol untuk melawan pasukan Kerajaan Beng gagal. Semua pasukan Mongol dihancurkan, banyak yang tewas dan yang masih dapat menyelamatkan diri, melarikan diri ke Mongolia.
Tentu saja banyak anggauta keluarga, terutama para pangeran Mongol, yang masih penasaran dan
JILID 05
tidak mau menerima nasib. Bagaimana mungkin keluarga yang tadinya merajai seluruh daratan Cina, yang berada di puncak kekuasaan, hidup mulia, terhormat dan kaya raya, kini harus kembali ke daerah tandus di utara dan hidup sebagai bangsa pengembara lagi? Tidak, mereka akan tetap berusaha untuk mencoba menguasai kembali daerah selatan dan di antara para pangeran yang paling gigih adalah Pangeran Yaluta yang memang memiliki kemampuan besar itu. Dia memiliki ilmu silat tinggi, pandai memimpin pasukan, dan juga dia ahli sastera.
Selama hampir seabad menjajah Cina, orang-orang Mongol, terutama sekali kaum bangsawannya, melebur diri menjadi pribumi, mempelajari kebudayaan dan peradaban mereka yang lebih tinggi. Maka, tidak sukar bagi Pangeran Yaluta untuk mengaku bernama Ya Lu Ta seperti orang pribumi dan kalau saja dia berpakaian pribumi, takkan ada seorangpun menyangka dia seorang pangeran Mongol. Tidak ada sedikitpun pada dirinya berbekas Mongol.
Sudah sejak jatuhnya Kerajaan Mongol, Pangeran Yaluta atau yang kini dikenal sebagai Ya-kongcu itu, berusaha keras untuk merampas kembali tahta kerajaan yang telah terjatuh ke tangan orang-orang Han sendiri yang kini mendirikan Kerajaan Beng yang baru. Namun, usahanya mempergunakan kekerasan selalu gagal, selalu pasukannya dipukul hancur oleh pasukan Beng yang kuat. Oleh karena itu, selama beberapa tahun ini. Ya-kongcu mempergunakan siasat lain.
Dia tidak lagi mempergunakan kekuatan pasukan untuk mencoba menyerang ke selatan, melainkan mempergunakan siasat halus. Dia mengirim para pembantunya yang lihai dan cerdik, menyebar banyak sekali mata-mata ke selatan. Bahkan orang-orangnya sudah beberapa kali berusaha untuk melakukan pembunuhan-pembunuhan rahasia terhadap orang-orang penting dari pemerintah Kerajaan Beng, ada yang berhasil ada pula yang gagal. Kemudian dia memberi perintah baru kepada orang-orang yang merupakan jaringan mata-mata di Kerajaan Beng. Usaha kekerasan agar dihentikan, dan dia menggunakan siasat lain.
Kedudukan bengcu dari dunia persilatan harus dikuasai oleh orang yang dapat mereka pengaruhi, dan persaingan di antara pangeran Kerajaan Beng harus dimanfaatkan untuk menimbulkan pertikaian di antara mereka dan memperlemah kedudukan Kerajaan Beng. Untuk tugas yang penting ini, Ya-kongcu bertekad untuk turun tangan sendiri, memimpin langsung di tempat lawan, yaitu di kota raja!
0leh seorang ahli pengobatan di negerinya, dia telah membiarkan wajahnya diubah dengan pembedahan dan pengobatan sehingga bentuk mata, hidung dan mulutnya berubah. Tidak akan ada seorangpun di kota raja yang akan mengenal wajahnya sepagai wajah pangeran Mongol yang terkenal. Di kota raja sendiri dia sudah mempunyai wakil atau tangan kanan yang selama ini memimpin jaringan mata-mata, orang yang memegang kedudukan penting di Kerajaan Beng, yang sudah dapat dia pengaruhi dan dia manfaatkan tenaganya.
Demi tercapainya cita-citanya itulah Ya-kongcu bersikap ramah terhadap Lili, setelah diketahui bahwa gadis itu memiliki ilmu kepandaian tinggi, apalagi setelah mereka berkenalan dan dia tahu bahwa gadis itu adalah murid See-thian Coa-ong. Dia harus dapat merangkul orang-orang yang pandai, apalagi datuk-datuk yang selain lihai juga memiliki kekuasaan besar, mempunyai banyak pengikut. Kalau kelak bengcu menjadi sekutunya, dan dia dapat merangkul banyak perkumpulan besar, mempengaruhi pejabat-pejabat tinggi, kiranya cita-citanya bukan merupakan mimpi belaka.
Ya-kongcu selalu menerima laporan dari kaki tangannya maka bekas pangeran ini mengetahui dengan baik segala peristiwa yang terjadi di Kota raja, bahkan dia mengenal nama mereka yang memiliki kedudukan penting, mana yang dianggap berbahaya bagi pergerakannya, dan pejabat mana yang kiranya dapat ditarik menjadi sekutu. Oleh karena itu, keterangannya tentang Bhok Cun Ki kepada Lili, bukanlah keterangan bohong.
Bhok Cun Ki memang kini menjadi seorang jenderal yang dipercaya di kota raja. Sejak terjadinya perjuangan menumbangkan kekuasaan Mongol yang dipimpin oleh Chu Goan Ciang yang kemudian menjadi Kaisar Thai-cu, kaisar pertama Kerajaan Beng (1368-1398), Bhok Cun Ki sudah ikut dalam perjuangan sebagai seorang toKoh pemimpin yang gagah perkasa. Dia memang seorang pendekar, murid Butong-pai yang lihai sekali. Oleh karena itu, setelah perjuangan berhasil dan Chu Goan Ciang menjadi kaisar, maka pemimpin pejuang ini tidak melupakan rekan-rekannya.
Selain dua orang panglima besar seperti Jenderal Shu Ta dan Jenderal Yauw Ti yang memperoleh kedudukan panglima pertama dan kedua, banyak tokoh pejuang yang menerima kedudukan sesuai dengan kecakapan dan kemampuan mereka. Di antaranya adalah Bhok Cun Ki yang diberi kedudukan jenderal dan merupakan seorang di antara para pembantu Jenderal Shu Ta.
Sedikit saja kekeliruan keterangan yang diberikan Ya-kongcu kepada Lili, yaitu mengenai tempat tinggal Bhok-Goanswe (Jenderal Bhok). Dia dan keluarganya tidak tinggal di dalam benteng, melainkan di sebuah gedung yang cukup besar dan megah. Sebagai seorang Panglima, tentu saja rumahnya itu siang malam dijaga pengawal yang biarpun hanya belasan orang banyaknya, namun mereka merupakan perajurit-perajurit kepercayaan Jenderal Bhok dan merupakan orang-orang pilihan yang selain setia juga memiliki ilmu silat yang cukup tangguh.
Di dalam gedungnya, Bhok Cun Ki tinggal bersama keluarganya. Dia kini berusia empatpuluh lima tahun, dan dalam usia setengah tua ini dia masih nampak gagah perkasa, berwajah ganteng dengan kumis dan jenggot tipis, matanya lebar berwibawa, hidungnya mancung dan mulutnya membayangkan kelembutan hati walaupun dagunya milik orang yang keras dan teguh hati.
Sebelum menjadi panglima dia sudah terkenal di dunia persilatan dengan julukan Sin-kiam-eng (Pendekar Pedang Sakti) karena dengan ilmu pedang dari Butong-pai yang indah dan cepat, dia memang merupakan seorang ahli pedang yang sukar dicari bandingnya. Bhok Cun Ki telah menikah sebelum Kerajaan Mongol jatuh, dengan seorang wanita yang masih berdarah bangsawan karena isterinya itu puteri seorang pembesar bagian kebudayaan, seorang Han yang ketika terjadi perjuangan, juga berpihak kepada pejuang, meninggalkan kedudukannya dan meninggalkan kota raja bersama keluarganya.
Bersama isterinya dia mempunyai dua orang anak, seorang pemuda yang kini sudah berusia duapuluh tahun dan seorang gadis yang kini berusia delapanbelas tahun. Pemuda itu bernama Bhok Ci Han, tampan dan tegap, pendiam dan gagah perkasa, sedangkan adiknya bernama Bhok Ci Hwa, cantik manis, lincah jenaka tidak seperti kakaknya yang pendiam. Kedua Kakak beradik ini sejak kecil sudah digembleng oleh ayahnya sendiri sehingga setelah kini mereka dewasa, keduanya selain memiliki ilmu sastera yang cukup baik, juga mereka mewarisi ilmu silat Butong-pai yang tangguh. Biarpun diluarnya mereka kelihatan seperti seorang kongcu (tuan muda) dan seorang siocia (nona) yang lemah lembut, pandai membaca kitab, pandai bersajak dan kesenian lain, namun sebenarnya mereka berdua adalah pendekar-pendekar Butong-pai yang lihai.
Bhok Cun Ki tinggal bersama isteri dan dua orang anaknya di gedung yang selalu terjaga perajurit pengawal. Gardu penjagaan berada di dekat pintu gerbang, akan tetapi seringkali, terutama di waktu malam, serombongan pengawal melakukan perondaan mengelilingi gedung, bahkan ada pula yang memeriksa keamanan dari atap gedung.
Pada suatu sore, Panglima Bhok menerima undangan yang bersifat panggilan dari atasannya, yaitu Jenderal Shu Ta yang menjadi panglima besar kepercayaan kaisar yang utama. Tentu saja Bhok Cun Ki merasa heran karena biasanya atasannya tidak akan memanggilnya di waktu hari telah sore. Kalau hal ini terjadi, berarti atasannya itu memiliki alasan yang kuat dan tentu ada urusan yang teramat penting sehingga Jenderal Shu Ta tidak segan-segan mengganggu waktunya beristirahat. Dia segera berangkat, naik kereta dan dikawal selusin orang perajurit pengawal, menuju ke perbentengan karena dia dipanggil menghadap ke sana.
Setelah tiba di dalam benteng dan dipersilakan memasuki ruangan yang biasa dipergunakan untuk rapat, di situ telah menanti Jenderal Shu Ta dan pembantu utamanya, yaitu Jenderal Yauw Ti, dan beberapa orang panglima muda lain, juga seorang pemuda berpakaian sederhana, pakaian rakyat biasa. Kiranya atasannya mengadakan rapat yang lengkap dengan para panglima, pikir Bhok Cun Ki dan diapun memandang sejenak kepada pemuda tinggi tegap berkulit gelap itu.
Jenderal Shu Ta berusia kurang lebih limapuluh tiga tahun, tubuhnya agak gemuk namun kokoh kuat, mukanya kemerahan dan sikapnya tegas berwibawa. Adapun wakil atau pembantu utamanya, Jenderal Yauw Ti, bertubuh tinggi besar dengan pinggang ramping, usianya sekitar limapuluh tahun akan tetapi dia masih nampak muda dan tegap.
Selain menjadi pembantu utama panglima besar, Jenderal Yauw Ti ini juga menjadi penasihat kaisar di bagian kemiliteran dan karena dia terkenal pandai dalam ilmu silat dan ilmu perang, diapun dijadikan guru bagi para panglima muda dalam hal ilmu perang. Kedua orang jenderal ini sudah banyak jasanya di waktu perjuangan, maka mereka merupakan dua orang yang paling tinggi kedudukannya di bagian kemiliteran, walaupun Jenderal Yauw Ti lebih dipercaya dan lebih dekat dengan kaisar yang merupakan sahabat karibnya di waktu perjuangan dan mereka masih menjadi pemuda-pemuda dari kalangan rakyat kecil biasa.
Sebaliknya, Jenderal Yauw Ti sejak muda sudah menjadi seorang perwira walaupun dahulu dia seorang perwira pasukan Mongol. Ketika terjadi pemberontakan rakyat, diapun meninggalkan pasukannya dan berpihak kepada rakyat, maka jasanya besar dan kini dia memperoleh kedudukan tinggi yang hanya kalah oleh Jenderal Shu Ta saja.
Para panglima yang hadir, ada belasan orang banyaknya, merupakan orang-orang yang menduduki jabatan penting di bagian ketentaraan dan keamanan. Maka, tentu saja mengherankan hati Bhok Cun Ki melihat adanya seorang pemuda asing, bukan anggauta pasukan, apalagi panglima atau perwira, hadir pula di situ.
"Bhok-ciangkun telah datang, kini lengkap sudah, kita boleh mulai bicara," kata Jenderal Shu Ta yang memimpin pertemuan itu.
"Pertama-tama, kami perkenalkan kepada ciangkun (perwira tinggi) sekalian, saudara ini adalah murid yang mewakili locianpwe Ciu-sian (Dewa Arak) Tong Kui. Namanya adalah Sin Wan dan dia datang sebagai utusan dan wakil dari locianpwe Ciu-sian."
Bhok Cun Ki mengamati pemuda yang berdiri dan memberi hormat ke sekeliling itu dengan hormat. Nampaknya tidak mengesankan namun dia dapat menduga bahwa murid Ciu-sian tentulah lihai, apalagi sudah menjadi wakil tokoh besar dunia persilatan itu. Dan kalau dalam sikap yang sopan dan pendiam itu tidak dapat dilihat kelihaiannya namun sinar matanya yang bersinar-sinar itu menunjukkan bahwa dia bukan pemuda sembarangan.
"Maaf, Shu-goanswe (jenderal Shu), saya mengenal locianpwe Ciu-sian, akan tetapi bagaimana kita dapat yakin bahwa pemuda ini murid dan datang mewakilinya? Kita harus yakin benar akan hal ini, mengingat akan bahayanya kalau ada orang luar yang tidak berhak menyelundup," kata Bhok Cun Ki dan para rekannya mengangguk setuju.
Jenderal Shu Ta tersenyum senang dan menoleh kepada Sin Wan setelah mempersilakan pemuda itu duduk kembali.
"Nah, engkau dapat mendengar dan melihat sendiri, taihiap, betapa teliti dan berhati-hati para rekan panglima di sini. Tentu engkau maklum betapa besar bahayanya kalau sampai ada mata-mata musuh datang menyusup. Rahasia kami akan diketahui musuh dan hal itu amat berbahaya. Karena itu, maafkan sikap mereka kalau meragukan keaselianmu sebagai murid dan wakil locianpwe Ciu-sian."
Sin Wan mengangguk.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, bahkan saya merasa kagum sekali. Nah, sebaliknya kalau cu-wi ciangkun (para panglima sekalian) memeriksa tanda kuasa yang diberikan suhu kepada saya ini, dan juga surat keterangan yang ditulis suhu seperti yang tadi telah saya perlihatkan kepada Shu-goanswe."
Sin Wan mengeluarkan sehelai leng-ki, yaitu sebuah bendera kecil sebagai tanda bahwa pemegangnya adalah utusan kaisar yang akan menerima sambutan penghormatan dan bantuan dari setiap orang pejabat, dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi kedudukannya. Kaisar telah memanggil Ciu-sian dan kaisar sendiri yang menyerahkan sehelai leng-ki kepada Ciu-sian dan memberi tugas kepada Dewa Arak itu untuk membantu pemerintah, melakukan penyelidikan dan menentang jaringan mata-mata Mongol yang berbahaya bagi keamanan negara. Di samping leng-ki itu, juga Sin Wan mengeluarKan segulung surat tulisan, Dewa Arak yang menerangkan bahwa karena dia sudah terlalu tua, maka dia menyerahkan tugas dari kaisar kepada muridnya bernama Sin Wan yang akan bertindaK mewakilinya dalam segala hal, dan bahwa sepak terjang Sin Wan dialah yang bertanggung jawab.
Membaca surat keterangan itu dan leng-ki, belasan orang panglima itu segera memberi hormat secara militer, berdiri tegak, lalu berlutut sebelah kaki. Bendera kecil (leng-ki) adalah tanda kuasa dari kaisar yang diberikan kepada seorang utusan, maka bukan utusan itu yang dihormati, melainkan leng-ki yang merupakan lambang kehadiran kaisar.
"Hari ini Sin Wan taihiap (pendekar besar) datang berkunjung, dengan maksud untuk minta keterangan dan penjelasan tentang jaringan mata-mata musuh seperti yang kita ketahui, agar dia dapat memulai dengan penyelidikannya. Karena melihat pentingnya tugas yang dilakukannya, dan kita semua mengharapkan bantuannya, maka kami mengundang cu-wi (anda sekalian) untuk membicarakan urusan ini."
"Nanti dulu, tai-ciangkun," kata Jenderal Yauw Ti.
"Kita semua sejak dulu telah bekerja untuk menentang musuh, dan kita selalu menyelidiki jaringan mata-mata Mongol. Akan tetapi, kita tidak pernah menemukan jaringan mata-mata itu, kecuali ditangkapnya beberapa orang yang kita curigai. Itupun tidak ada hasilnya karena tidak ada yang mengaku, dan mungkin mereka itu hanya terkena fitnah belaka. Kita, dengan kekuatan pasukan kita, dapat menanggulangi segala ancaman musuh. Lalu apa artinya Saudara Sin Wan yang hanya seorang diri ini untuk menghadapi jaringan mata-mata, kalau memang ada?"
Mendengar ini, beberapa orang panglima mengangguk menyetujui. Bagaimanapun juga, mereka merasa diremehkan. Mereka adalah panglima-panglima yang memimpin pasukan dan selama ini mereka berhasil menghalau semua musuh Kerajaan Beng. Kalau sekarang ada seorang pemuda yang hendak bertugas menyelidiki jaringan mata-mata, bukankah hal itu sama saja dengan meremehkan kekuatan dan kemampuan mereka? Apa sih artinya seorang pemuda saja, betapapun pandainya?
Jenderal Shu Ta yang dahulunya juga seorang rakyat biasa, namun sudah sejak muda berkecimpung di dunia kangouw, mengerutkan alisnya.
"Harap cu-wi tidak berpendapat sepicik itu. Cu-wi agaknya lupa bahwa orang-orang dunia persilatan seperti locianpwe Ciu-sian atau muridnya ini, dapat bergerak lebih bebas dari pada kita. Mereka akan dapat menghubungi orang-orang kangouw dan mereka dapat melakukan penyelidikan tanpa diketahui pihak lawan. Kita sudah dikenal, dan kalau kita bergerak, tentu musuh sudah mengetahuinya. Kalau musuh yang datang itu pasukan yang menyerang dengan berterang, tentu saja kita dengan pasukan kita yang maju, bukan perorangan seperti taihiap ini. Akan tetapi pihak lawan bergerak dengan sembunyi, maka kitapun harus mempercayakan kepada para pendekar seperti taihiap ini. Lupakah cu-wi ketika benda-benda pusaka milik Sribaginda dicuri orang? Kita sudah mengerahkan pasukan untuk mencari, hasilnya sia-sia belaka. Kemudian, setelah Sribaginda mengutus Sam-sian untuk mencarinya, maka para locianpwe itu berhasil membawa kembali benda-benda pusaka. Nah, apa yang dapat cu-wi katakan lagi?"
Jenderal Yauw Ti mengangguk-angguk.
"Kini kami mengerti dan kami menanti perintah ciangkun," katanya mengalah.
Jenderal Shu Ta lalu menceritakan keadaan keamanan pada waktu itu, terutama sekali kepada Sin Wan, dan juga berita baru tentang perubahan gerakan orang-orang Mongol.
"Kami menerima laporan dari para komandan pasukan, juga dari Raja Muda Yung Lo bahwa kini orang-orang Mongol mengundurkan diri, tidak lagi melakukan tekanan di perbatasan. Belum diketahui dengan pasti sebab-sebabnya mengapa mereka tiba-tiba saja mengendurkan tekanan dan jarang ada serangan terhadap para penjaga di perbatasan. Hal ini hanya ada dua kemungkinan. Pertama, mereka sengaja mundur untuk membuat kita lengah, sementara mereka memperkuat kedudukan dan memperbesar pasukan. Kemungkinan kedua, mereka melihat bahwa penyerangan mereka untuk menembus perbatasan selalu gagal dan tidak mungkin dilanjutkan, maka mereka mungkin akan menyerang dari jurusan lain, bisa dari barat dan mungkin juga membonceng keadaan yang dibikin kacau oleh para bajak, menyerang dari timur menggunakan perahu, walaupun kemungkinan ini kecil sekali. Betapapun juga, kita harus memperkuat penjagaan di barat, dan mengamati dengan ketat pantai timur." Jenderal Shu Ta berhenti sebentar dan memandang kepada semua pembantunya.
"Bagaimana pendapat cuwi?"
"Ciangkun, saya melihat kemungkinan lain," tiba-tiba Bhok Cun Ki berkata.
Semua orang memandang kepada panglima yang tampan dan gagah itu.
"Bhok-ciangkun, katakan apa pendapatmu."
"Berulang-kali orang-orang Mongol kita pukul mundur. Bahkan sejak Shu-goanswe memimpin pasukan besar ke utara belasan tahun yang lalu, kita menyeberangi gurun Gobi, kita menggempur dan membakar kota lama Karakorum dari bangsa Mongol, bahkan terus ke utara sampai ke Pegunungan Yablonoi dan menghancurkan setiap pasukan Mongol. Sejak itu boleh dibilang kekuatan pasukan Mongol sudah hancur dan agaknya tidak mungkin bagi mereka untuk bangkit kembali. Kalau kini mereka menghentikan penyerangan, hal itu wajar saja dan ada kemungkinan yang cukup membahayakan kita, yaitu bahwa mungkin mereka akan mengganti siasat, tidak menyerang dengan kekerasan lagi."
"Tidak menyerang dengan kekerasan? Kalau begitu, kenapa kaukatakan berbahaya, Bhok-ciangkun?" tanya Jenderal Shu Ta. Memang dahulu, ketika dia memimpin pasukan besar mengejar bangsa Mongol sampai jauh ke utara, Bhok Cun Ki merupakan seorang di antara pembantunya yang gagah perkasa dan berjasa besar.
"MUNGKIN mereka akan menggunakan siasat halus, antara lain penyebaran mata-mata yang lebih tekun, memasang jaringan mata-mata untuk mendatangkan kekacauan di kota raja dan kota-kata besar lainnya. Mungkin mereka akan merangkul dan mempengaruhi para pejabat yang memang tidak suka kepada Kerajaan Beng, atau mereka itu bersekutu dengan para pengkhianat, memanfaatkan perkumpulan-perkumpulan golongan sesat untuk membuat kekacauan agar kehidupan rakyat menjadi tidak aman. Bisa saja mereka melakukan usaha pembunuhan terhadap tokoh-tokoh penting pemerintahan kita."
Suasana menjadi hening setelah Bhok Cun Ki bicara karena semua orang tenggelam dalam lamunan masing-masing, membayangkan kemungkinan itu dengan hati merasa ngeri. Bagi orang-orang yang biasa menghadapi pertempuran ini, mereka merasa ngeri menghadapi musuh yang dilakukan secara sembunyi. Melakukan kekacauan dengan cara apa saja, cara yang bagi mereka amatlah hina dan curang, dan mereka tidak biasa menghadapi cara-cara seperti itu.
"Benar apa yang diucapkan Bhok-ciangkun," kata Jenderal Shu Ta.
"Oleh karena itulah maka usaha menanggulangi jaringan mata-mata ini perlu digalakkan, dan lebih-lebih kita amat membutuhkan bantuan para pendekar. Dalam hal inilah tenaga para pendekar seperti Sin Wan taihiap ini amat kita butuhkan. Nah, siapa lagi yang mempunyai pendapat yang kiranya berguna bagi kita untuk kita bicarakan?"
Seorang panglima yang bertubuh tinggi kurus berkata dengan suaranya yang lantang dan mantap.
"Shu-goanswe, saya tadi teringat akan keterangan Bhok-ciangkun bahwa mungkin sekali pihak musuh akan mendekati dan memanfaatkan perkumpulan golongan sesat. Saya setuju sekali, dan saya teringat bahwa beberapa bulan lagi akan diadakan pemilihan bengcu di dunia persilatan. Kalau sampai kedudukan bengcu itu berada di tangan seorang datuk sesat, kemudian bengcu itu dapat dipengaruhi oleh orang Mongol dan dijadikan sekutu, maka hal itu akan berbahaya sekali. Maka, sebaiknya kalau kita memperhatikan pemilihan bengcu itu."
"Benar sekali!" kata Jenderal Shu Ta.
"Memang hal itu kami bicarakan dengan Sin Wan taihiap ketika dia datang kepada kami, bahkan kami sudah merencanakan pembagian tugas dan sebaiknya kalau Sin Wan taihiap yang bertugas untuk mengamati pemilihan bengcu itu dan sedapat mungkin mencegah agar kedudukan bengcu jangan sampai terjatuh ke tangan orang sesat. Dalam hal ini, kami menunjuk Bhok-ciangkun untuk bekerja sama dengan Sin Wan taihiap, mengingat bahwa Bhok-ciangkun mempunyai hubungan yang luas dengan para tokoh dunia kang-ouw."
Semua panglima setuju dan Bhok Cun Ki mengangguk-angguk. Memang sebaiknya begitu, pikirnya. Dia belum tahu sampai di mana kemampuan pemuda itu. Akan berbahayalah kalau tugas sepenting itu diserahkan kepada pemuda itu seorang. Kalau bekerja sama dengan dia, maka dia akan dapat menguji pemuda itu, dan dia sendiri yang akan turun tangan kalau dalam pemilihan itu pihak golongan sesat akan menguasainya.
"Maaf, Shu tai-ciangkun!" kata Jenderal Yauw Ti.
"Kami mempunyai pendapat yang penting, akan tetapi agar dimaafkan kalau menyinggung, karena pendapat ini hanya terdorong oleh keinginan menjaga keamanan bagi pihak kita sendiri."
"Bicaralah, Yauw-ciangkun," kata Jenderal Shu Ta. Semua orang memandang kepada Jenderal yang bertubuh tinggi besar dan ramping itu.
"Sekali lagi saya minta maaf kalau pendapat saya ini menyinggung, terutama kepada taihiap Sin Wan. Memang taihiap ini telah membawa leng-ki dan surat kuasa dari locianpwe Ciu-sian, akan tetapi terus terang saja, kita sama sekali belum pernah mengenalnya. Dan kalau mata saya yang tua ini belum berkurang kemampuannya, saya lihat bahwa taihiap ini seperti bukan orang Han! Dan siapakah keturunannya? Kenapa namanya Sin Wan begitu saja tanpa nama keluarga?"
Semua orang terdiam dan kini mereka memandang kepada Sin Wan, diam-diam mereka terkejut akan keberanian Jenderal Yauw Ti, karena bagaimanapun juga, ucapannya itu amat menyinggung dan jelas membayangkan ketidak kepercayaannya. Pada hal pemuda itu membawa surat kuasa Ciu-sian dan bahkan membawa leng-ki dari kaisar.
Juga jenderal Shu Ta terkejut, dan kini dia memandang kepada Sin Wan. Memang sebetulnya, dalam hati kecilnya juga ada pertanyaan ini, akan tetapi dia tidak berani mengeluarkannya karena dia melihat leng-ki dan surat Ciu-sian. Kini, ada yang berani menanyakan, hal itu sungguh baik sekali dan dia mengharapkan jawaban sejujurnya dari Sin Wan.
Akan tetapi, kekhawatiran para panglima itu sia-sia saja. Pemuda itu sama sekali tidak nampak tersinggung. Memang Sin Wan tidak merasa tersinggung, dan diapun hanya tersenyum. Dia tahu bahwa dia berhadapan dengan orang-orang peperangan yang wataknya terbuka, keras dan jujur. Kalau pertanyaan tadi diajukan oleh Jenderal Yauw Ti, jelas bahwa pertanyaan itu keluar dari hati yang jujur dan sama sekali tidak berniat menyinggung atau menghina. Dan memang dia tidak malu untuk mengakui keadaannya.
Dia menyapu wajah para panglima itu dengan pandang matanya. Dia melihat wajah-wajah yang gagah, sinar mata yang tajam berwibawa dan membayangkan kekerasan dan ketegasan.
"Saya tidak merasa tersinggung sedikitpun, karena pertanyaan itu memang sudah sewajarnya. Memang sebaiknya kalau cu-wi (anda sekalian) mengenal siapa sesungguhnya saya. Nama saya Sin Wan, tanpa nama keluarga dan saya memang bukan orang Han. Ayah dan ibu saya telah meninggal dunia dan mereka berdua adalah orang-orang yang bersuku bangsa Uighur. Akan tetapi sejak kecil saya terdidik sebagai orang Han, dan menjadi murid ketiga suhu Sam-sian, maka saya merasa diri saya tidak berbeda dengan orang-orang Han yang merupakan pribumi aseli."
"Suku bangsa Uighur?" Terdengar Jenderal Yauw Ti berseru dan matanya terbuka lebar, lalu alisnya berkerut dan matanya mengamati wajah Sin Wan dengan penuh selidik.
"Akan tetapi banyak orang Uighur yang berpihak kepada Mongol!!"
Suasana menjadi hening dan banyak mata memandang kepada Sin Wan penuh selidik. Suasana yang tegang itu dipecahkan oleh suara tawa Jenderal Shu Ta.
"Ha..ha..ha, tidak ada jeleknya kalau Yauw-ciangkun bersikap hati-hati. Akan tetapi ketahuilah bahwa kita sama sekali tidak curiga kepada taihiap ini. Tidak semua orang Uighur berpihak kepada Mongol, dan selain taihiap ini murid Sam-sian, sudah dipercaya oleh locianpwe Ciu-sian yang memberikan leng-ki kepadanya dan mengangkatnya sebagai wakilnya melaksanakan perintah Sribaginda, juga taihiap Sin Wan ini pernah bersama Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki diundang sebagai tamu oleh Pangeran Yen atau Raja Muda Yung Lo, dan dijamu oleh beliau. Bukan itu saja, bahkan taihiap ini akan diangkat menjadi panglima oleh beliau akan tetapi taihiap Sin Wan menolaknya."
"Ehh? Kenapa menolak anugerah pangkat panglima yang akan diberikan Pangeran Yen?" tanya Jenderal Yauw penasaran.
Sin Wan tersenyum. Tentu saja dia tidak dapat mengatakan bahwa dia tidak menerima kedudukan itu karena di sana ada Lim Kui Siang, sumoinya yang dari cinta berbalik benci kepadanya.
"Saya tidak dapat menerima anugerah itu karena terus terang saja, saya tidak betah tinggal di utara yang dingin. Saya lebih senang tinggal di selatan."
Alasan ini memang masuk diakal. Bagi orang yang biasa hidup di selatan, tinggal di utara memang tidak menyenangkan. Apalagi kalau tiba musim salju, dinginnya bukan main.
"Nah, sekarang kita kembali kepada pembagian tugas. Bhok-ciangkun kami tugaskan untuk menjaga agar kedudukan bengcu tidak sampai terjatuh ke tangan datuk sesat yang dapat dimanfaatkan oleh orang Mongol, sedangkan taihiap Sin Wan membantunya dalam pelaksanaan tugas itu. Sementara itu, engkaupun dapat melakukan penyelidikan di kota raja, taihiap, sebelum waktu pemilihan bengcu tiba. Dan untuk ini, engkau boleh bekerja sama dengan Bhok-ciangkun, dan tentu akan kami bantu kalau sewaktu-waktu membutuhkan."
"Terima kasih, mudah-mudahan saya dapat melaksanakan tugas dengan baik. Saya kira keadaan akan menjadi baik kalau Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki yang kelak menjadi bengcu. Dia seorang datuk besar yang tentu akan membawa semua orang kang-ouw mendukung pemerintah. Kalau dunia kang-ouw sudah bersikap demikian, menentang para pemberontak, maka tugas pemerintah akan lebih ringan. Menurut suhu Ciu-sian, yang paling berbahaya datang dari utara, dari orang-orang Mongol. Selain mereka mempunyai banyak orang pandai, juga mengenal baik seluruh keadaan di semua kota, juga di kota raja, terutama sekali mereka itu tentu berusaha mati-matian untuk dapat mendirikan kembali kerajaan mereka yang telah hancur, atau setidaknya akan berusaha membikin kacau.
Jenderal Shu Ta mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya yang pendek dan rapi.
"Engkau benar, taihiap. Orang-orang Mongol itu agaknya sudah maklum bahwa mereka tidak mungkin membangun kembali kerajaan mereka melalui kekerasan, karena setiap kali bergerak, pasukan mereka dapat kita hancurkan. Mereka tentu akan mempergunakan siasat busuk, oleh karena itu, senang dan legalah hati kami kalau kini Bhok-ciangkun dapat memperoleh bantuanmu. Kami yakin bahwa kalian berdua akan mampu menghancurkan setiap usaha jaringan mata-mata yang berbahaya, dimulai dari pemilihan Bengcu. Nah, kami semua mengharapkan kalian akan dapat melaksanakan tugas dengan baik, Bhok-ciangkun dan Sin Wan taihiap!" Jenderal itu mengangkat cawan arak yang disambut dengan gembira oleh Sin Wan dan Bhok Cun Ki. Juga Jenderal Yauw Ti mengucapkan selamat dan menyampaikan harapan baiknya dengan secawan arak.
Setelah pertemuan rahasia antara para panglima itu dibubarkan, panglima Bhok Cun Ki segera mengajak Sin Wan bersamanya. Karena pemuda itu sudah ditunjuk sebagai pembantunya, bekerja sama dengan dia, maka tentu saja mulai saat itu pendekar muda itu harus selalu dekat dengannya dan dia mengusulkan agar Sin Wan tinggal saja di rumahnya sehingga mereka dapat bekerja sama lebih baik. Sin Wan rnenerima tawaran ini dan diapun segera mengikuti Bhok Cun Ki ketika panglima itu mengajaknya pulang untuk membuat persiapan dan perundingan lebih lanjut mengenai tugas mereka berdua.
Dua orang muda itu sedang berlatih silat, saling serang dengan gerakan cepat dan kuat. Dari gerakan tangan mereka terdengar angin menyambar-nyambar, tanda bahwa mereka bukanlah ahli-ahli silat biasa, melainkan sudah memiliki tingkat kepandaian yang hebat. Sambaran angin yang mengiuk-ngiuk itu saja membuktikan bahwa mereka berdua telah memiliki sin-kang (tenaga sakti) yang kuat.
Mereka adalah seorang pemuda berusia duapuluh tahun dan seorang gadis berusia delapanbelas tahun. Mereka kakak beradik, putera dan puteri Bhok Cun Ki. Pemuda itu, anak pertama, bernama Bhok Ci Han, bertubuh sedang tegap dan wajahnya tampan dan gagah seperti ayahnya. Gadis itu adiknya bernama Bhok Ci Hwa, cantik jelita, lincah jenaka, bertubuh ramping. Sebagai putera puteri panglima Bhok, tentu saja sejak kecil mereka digembleng ayah mereka sendiri sehingga kini mereka telah menjadi dua orang muda yang memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi.
Biasanya, kalau mereka berlatih silat di sore hari, ayahnya selalu mengamati latihan mereka. Akan tetapi sore ini mereka berdua berlatih tanpa pengamatan ayahnya, bermain silat di kebun mereka yang luas, di dalam lingkungan pagar tembok yang tinggi. Sore ini ayah mereka menerima panggilan dari atasannya, yaitu Jenderal Shu Ta, maka dua orang kakak beradik itu berlatih berdua saja. Ayah mereka, Bhok Cun Ki adalah seorang pendekar Butong-pai dan pernah membuat nama besar di dunia kang-ouw sampai dia menjabat pangkat panglima setelah kerajaan Beng menggantikan kerajaan Mongol. Ibu mereka adalah seorang wanita cantik berdarah bangsawan yang lemah lembut dan ahli seni dan sastra, tentu saja sama sekali tidak pandai silat. Dari ibu mereka, dua orang muda inipun mewarisi kelembutan dan kepandaian dalam hal seni dan sastra.
Ketika mereka berdua sedang berlatih dan gerakan mereka semakin cepat sehingga mata biasa akan sukar mengikuti gerakan mereka bahkan tubuh mereka hanya kelihatan seperti dua sosok bayangan yang berkelebatan, tiba-tiba muncul seorang perajurit yang biasa berjaga di pintu gerbang depan.
"Kongcu (tuan muda) dan Siocia (nona muda), harap berhenti dulu!" teriak perajurit itu.
Kakak beradik itu menghentikan latihan mereka. Dengan leher dan muka berkeringat mereka memandang kepada perajurit itu. Bhok Ci Hwa menghapus keringat di lehernya dengan sehelai kain handuk, dan mengomel.
"Ada apa sih? Engkau mengganggu latihan kami!"
Perajurit itu memberi hormat.
"Maafkan saya. Akan tetapi di luar terdapat seorang tamu yang bersikeras ingin bertemu dengan Bhok-ciangkun. Ketika saya beritahu bahwa ciangkun tidak berada di rumah, ia berkeras mengatakan hendak bertemu dengan keluarganya."
"Berkeras? Hemm, kenapa tidak kaukatakan saja bahwa ia boleh kembali lagi kalau ayah sudah pulang?" tegur Bhok Ci Han yang juga merasa tidak senang dengan gangguan itu.
"Maaf, kongcu. Saya dan kawan-kawan sudah mengatakan demikian, akan tetapi ia berkeras hendak bertemu dengan Bhok-ciangkun atau dengan keluarganya."
"Siapa sih orang itu? Dan apa keperluannya? Ci Hwa menjadi tertarik.
"Ia seorang gadis yang cantik dan galak, Siocia. Dan ketika kami bertanya tentang keperluannya, ia mengatakan bahwa ia membawa berita yang teramat penting bagi Bhok-ciangkun atau keluarganya."
"Apakah ia tidak memberitahu siapa namanya dan dari mana ia datang?" tanya Ci Han.
"Kami sudah tanyakan, akan tetapi ia tidak mau mengaku....."
"Namaku Lili!"
Ci Han dan Ci Hwa, juga perajurit itu terkejut. Mereka memutar tubuh dan di situ telah berdiri seorang gadis yang cantik manis telah berdiri di situ, matanya mencorong tajam dan bibirnya yang manis itu tersenyum sinis.
"Itu..... itu ia orangnya, kongcu........." kata perajurit itu, lalu melangkah maju dengan sikap galak.
"Heii, nona. Kenapa engkau lancang masuk ke sini tanpa ijin? Bukankah tadi sudah ku suruh menanti di luar sementara aku melapor kedalam?" Perajurit itu mengambil sikap hendak menyerang, dan Lili hanya berdiri santai sambil tersenyum mengejek.
Bhok Ci Han menyentuh lengan perajurit itu dan berkata,
"Keluarlah, biar kami bicara dengan nona ini!"
Perajurit itu memberi hormat, lalu keluar dari dalam taman itu dengan langkah lebar dan bersungut-sungut. Agaknya dia masih penasaran bagaimana tamu itu tahu-tahu sudah berada di taman. Bukankah di luar masih ada lima orang kawannya? Bagaimana mereka membiarkan gadis lancang itu masuk begitu saja? Dia akan menegur lima orang kawan itu. Akan tetapi ketika dia tiba di gardu penjagaan pintu gerbang depan, dia disambut oleh lima orang kawannya yang babak belur dan matang biru karena dihajar oleh gadis tamu itu ketika mereka berlima hendak menghalanginya memasuki pekarangan!
Sementara itu, Lili sudah berdiri saling pandang dengan dua putera dan puteri Bhok Cun Ki. Melihat kakak beradik itu mengenakan pakaian ringkas dan mereka berkeringat karena habis latihan, dan di situ terdapat sebuah rak senjata yang lengkap dengan bermacam senjata, Lili tersenyum. lapun teringat akan pesan gurunya agar ia berhati-hati melawan Bhok Cun Ki karena pendekar Butong-pai itu lihai sekali. Subonya sendiri diwaktu mudanya kalah oleh Bhok Cun Ki, membuktikan bahwa pendekar itu memang lihai. Kalau ayahnya lihai, tentu anak-anaknya juga berkepandaian tinggi.
"Apakah kalian ini anak-anak dari Bhok Cun Ki?" tanya Lili dengan sikap sambil lalu, seolah pertanyaan itu tidak penting baginya.
"Benar, panglima Bhok Cun Ki adalah ayah kami. Ada keperluan apakah nona mencari ayah kami?" tanya Ci Han, sedangkan Ci Hwa memandang dengan alis berkerut. Gadis yang berdiri di depannya memang cantik manis, senyum sinis yang dihias lesung pipinya itu amat elok, juga cuping hidung yang agak kembang kempis itu nampak lucu, akan tetapi pandang mata itu dingin dan galak bukan main. Walaupun suara gadis itu lembut berbisik, namun mengandung ejekan, dan terutama pandang mata dan senyum itu jelas memandang rendah orang lain.
"Kalau kalian ini anak-anaknya, kalian boleh mengetahui bahwa aku datang mencari Bhok Cun Ki untuk membunuhnya."
Pemuda dan gadis itu terbelalak dan muka mereka berubah merah. Ci Hwa tidak dapat menahan kemarahannya lagi.
"Keparat busuk yang sombong! Sebelum engkau bertemu dengan ayah, engkau akan lebih dulu kuhajar!" Sambil berteriak nyaring gadis ini sudah menerjang Lili dengan pukulan dahsyat ke arah muka gadis yang mengancam hendak membunuh ayahnya itu.
"Bagus!" kata Lili sambil mengelak dan meloncat ke belakang.
"Dari kepandaian kalian aku dapat mengukur sampai di mana kelihatan ayah kalian."
Ci Hwa tidak perduli lagi. Begitu pukulannya luput, ia sudah melanjutkan dengan serangan bertubi yang ganas. Namun, Lili beberapa kali mengelak dan ketika ia menyambut sebuah tamparan dengan lengan kirinya, dua buah lengan yang sama-sama mungil berkulit halus bertemu dengan kuatnya.
"Dukk!" Tubuh Ci Hwa terhuyung. Hal ini bukan saja mengejutkan Ci Hwa, akan tetapi juga membuat Ci Han khawatir sekali akan keselamatan adiknya, maka diapun meloncat dan melindungi adiknya dengan sebuah dorongan tangan ke arah pundak Lili.
"Plakk!" Lili menangkis dengan lengan melingkar, dan kini Ci Han yang hampir terpelanting! Tentu saja dia terkejut dan tahu bahwa gadis manis itu tidak membual atau menyombong ketika mengeluarkan ucapan mengancam ayahnya, karena memang ia lihai bukan main. Dia dan adiknya lalu mengeroyok Lili dan terjadilah perkelahian yang seru. Namun segera ternyata bahwa Lili memang memiliki tingkat kepandaian silat yang lebih tinggi dari pada kakak beradik itu.
Setelah lewat tigapuluh jurus, mulailah Lili mendesak mereka dengan ilmu silatnya yang aneh. Tubuhnya begitu lentur dan berlenggang-lenggok seperti tubuh seekor ular saja. Memang ilmu silatnya adalah ilmu silat yang dasarnya meniru gerakan seekor ular. Bukan hanya tubuh yang meliuk-liuk seperti tubuh ular, juga kedua lengannya ketika menangkis dan menyerang seolah gerakan dua ekor ular yang gesit kuat dan cepat sekali.
Lili hanya dipesan subonya untuk membunuh Bhok Cun Ki. Oleh karena itu, ketika menghadapi dua orang putera dan puteri musuh besar subonya itu, ia sama sekali tidak mempunyai niat untuk mencelakai atau membunuh mereka. Karena itulah maka Lili tidak mengerahkan tenaga yang mengandung racun. Bahkan ketika ia memperoleh kesempatan, ia hanya merobohkan Ci Hwa dengan totokan dengan ujung kaki pada belakang lutut Ci Hwa dilanjutkan dorongan kakinya membuat Ci Hwa terjengkang, dan ketika Ci Han memukul ke arah dadanya, ia mengelak, tangan kirinya menangkap dan lengannya, seperti seekor ular, telah membelit lengan pemuda itu! Ci Han terkejut, dan kesempatan ini dipergunakan Lili untuk membantingnya ke samping dan pemuda itupun terpelanting.
Ci Hwa yang merasa penasaran sudah meloncat ke arah rak senjata untuk mengambil pedangnya yang tadi ia taruh di situ ketika latihan, diikuti kakaknya. Akan tetapi ketika ia menyambar pedangnya, lengannya dipegang oleh Ci Han. Ia menengok dan kakaknya menggeleng kepala sambil memandang kepadanya.
"Jangan, moi-moi (adik), tidak perlu kita menggunakan senjata."
Melihat itu, Lili tertawa walaupun di dalam hatinya, ia merasa suka kepada kakak beradik itu. Tadi, kakak beradik itu melawannya berdua tanpa menimbulkan keributan, ini saja menunjukkan bahwa mereka memang memiliki wajah yang gagah. Kalau tidak demikian, apa sukarnya bagi mereka untuk berteriak atau memberi tanda agar para pasukan pengawal datang mengeroyoknya? Dan sekarang, si kakak itu melarang adiknya menggunakan senjata, inipun merupakan bukti bahwa mereka, biarpun putera dan puteri seorang panglima, namun agaknya tidak biasa membonceng kedudukan ayah untuk bertindak sewenang-wenang terhadap orang lain.
"Kakakmu itu benar, tidak perlu kita menggunakan senjata, sudah cukup bagiku menguji kepandaian kalian. Aku tidak bermaksud membunuh kalian atau siapa saja, kecuali Bhok Cun Ki!"
"Kalau engkau tidak bermaksud mengganggu keluarga ayah kami, kenapa tadi engkau mencari keluarga ayah?" Ci Han bertanya sedangkan Ci Hwa memandang dengan mata melotot marah.
"Ketika penjaga di luar mengatakan bahwa Bhok Cun Ki tidak ada, aku tidak percaya dan aku ingin bertemu dengan keluarganya, hanya untuk bertanya di mana adanya Bhok Cun Ki. Aku tadipun tidak bermaksud untuk mengajak kalian berkelahi."
"Ayah memang tidak berada di rumah."
"Ke mana dia pergi?" Sepasang mata yang amat tajam itu seperti hendak menembus dan menjeguk isi hati Ci Han melalui matanya.
"Kami tidak tahu benar. Ayah kami sedang melaksanakan tugas dan hal itu tidak dapat dibicarakan dengan siapapun juga."
"Hemm, aku percaya padamu. Sinar mata dan suaramu tidak membohong. Akan tetapi, kapan dia pulang?" tanya pula Lili.
"Itupun kami tidak tahu dengan pasti. Mungkin malam nanti, mungkin juga besok pagi. Akan tetapi, kenapa engkau hendak membunuh ayah kami? Siapakah engkau dan dari mana engkau datang?"
Lili tersenyum.
"Tidak perlu kujelaskan, akan tetapi kalau ayah kalian pulang, katakan saja kepadanya bahwa aku menantangnya untuk mengadu nyawa pada besok sore di puncak bukit Bambu Naga. Katakan saja bahwa aku membawa benda ini untuk memcabut nyawanya!" Berkata demikian, tangan kanannya bergerak, nampak sinar putih berkelebat dan tahu-tahu ia sudah memegang sebatang pedang yang bentuknya seperti seekor ular putih. Hanya sebentar saja kakak beradik itu melihat pedang itu, karena dengan gerakan secepat kilat, pedang itu telah kembali masuk ke dalam sarungnya dan Lili meninggalkan tempat itu dengan melompat dan tubuhnya lenyap menjadi bayangan berkelebat.
Kakak beradik itu saling pandang dan merasa kagum, juga khawatir sekali. Gadis tadi harus mereka akui amat lihai. Walaupun mereka yakin bahwa ayahnya juga amat lihai, namun mereka tetap khawatir karena selain gadis itu akan merupakan lawan tangguh ayahnya, juga mereka mengenal watak ayah mereka. Biarpun dia sudah menjadi seorang panglima, namun tetap saja ayah mereka itu berwatak pendekar. Sebagai seorang laki-laki jantan, apalagi yang berkedudukan tinggi di dunia persilatan, bagaimana ayahnya akan suka melawan seorang gadis muda yang menantangnya?
Dengan hati merasa penasaran, kakak beradik itu lalu pergi ke luar untuk menegur para penjaga mengapa mereka membolehkan gadis tadi masuk dan di tempat itu baru mereka mengerti betapa gadis itupun telah menghajar lima orang yang bertugas jaga di luar ketika mereka hendak mencegah ia memasuki pekarangan!
"Kalian berenam tidak perlu bicara kepada siapapun mengenai kunjungan gadis tadi, biar kami yang akan melapor kepada ayah. Awas, kalau ada di antara kalian yang membocorkan berita tentang peristiwa tadi, kalian akan dihukum berat!" kata Ci Han kepada mereka.
Enam orang perajurit itu memberi hormat.
"Baik, kongcu. Kami tidak akan bicara kepada siapapun tanpa ijin kongcu dan siocia."
Setelah menyuruh seorang penjaga mengambil rak senjata dari taman, kakak beradik itu lalu memasuki rumah. Kepada ibu merekapun mereka tidak bercerita tentang peristiwa tadi. Ibu mereka adalah seorang wanita yang lemah dan halus perasaannya. Mereka tidak ingin melihat ibu mereka menjadi gelisah kalau mendengar ancaman dari gadis tadi. Mereka akan menanti sampai ayah mereka pulang.
Tidak mengherankan kalau Lili dapat menemukan rumah Bhok Cun Ki sedemikian mudahnya. Gadis ini telah bertemu dan bersahabat dengan Pangeran Yaluta yang dikenalnya sebagai Ya Lu Ta atau Ya-kongcu. Karena pangeran yang dianggapnya seorang pemuda yang kaya raya dan ramah tamah itu bersikap baik, bahkan menghukum anak buahnya sendiri yang kurang ajar kepadanya, kemudian Ya-kongcu menjanjikan untuk mendukung See-thian Coa-ong Cu Kiat menjadi bengcu dalam pemilihan di Thai-san tahun depan, bahkan berjanji akan membantunya mencarikan Bhok Cun Ki, maka Lili mau menjadi sahabatnya. Ia mau pula diajak melakukan perjalanan bersama ke kota raja. Di sepanjang perjalanan sikap Ya-kongcu amat baik, ramah dan penuh hormat kepadanya. Lili yang belum banyak mengenal dunia ramai, dengan mudah saja tunduk dan menganggap Ya-kongcu sebagai seorang yang baik dan patut dijadikan sahabat.
Di Nan-king, Lili tidak perlu repot-repot. Anak buah Ya-kongcu sudah menyediakan sebuah kamar di hotel terbesar, dan beberapa hari kemudian ia bahkan memperoleh petunjuk di mana adanya musuh besar bekas gurunya yang kini menjadi sucinya itu. Bhok Cun Ki telah menjadi seorang panglima dan tinggal di sebuah gedung besar, tidak tinggal di dalam benteng. Begitu mudahnya! Oleh karena itu, ia segera pada sore hari itu datang berkunjung seorang diri karena ia menolak tawaran Ya-kongcu untuk mengirim pembantu menemaninya
"Terima kasih, Ya-kongcu," katanya menolak halus.
"Bantuanmu menemukan tempat tinggal Bhok Cun Ki saja sudah merupakan budi besar, dan urusanku dengan Bhok Cun Ki adalah urusan pribadi yang tidak boleh dicampuri orang lain. Aku akan mengunjunginya seorang diri saja."
Demikianlah, sore itu ia datang berkunjung ke rumah keluarga Bhok, bahkan sempat menguji kepandaian putera dan puteri musuh besar sucinya itu dan merasa puas. Ia telah meninggalkan pesan untuk Bhok Cun Ki, dan pada besok sore ia tentu akan dapat menyelesaikan tugas yang diserahkan sucinya kepadanya.
Malam hari itu, Ya-kongcu dan dua orang pengawalnya datang berkunjung ke tempat penginapan Lili dan membawa hidangan makan malam yang dipesannya dari restoran terbesar dan termewah. Hidangan itu diantar dengan kereta oleh pegawai restoran. Lili terkejut akan tetapi tentu saja tidak berani menolak, dan mereka berdua makan minum di dalam ruangan yang khusus disediakan untuk keperluan tamu dalam hotel yang mewah itu. Ketika mereka makan minum, Lili melihat betapa dua orang laki-laki setengah tua yang datang bersama Ya-kongcu hanya berdiri di dekat pintu ruangan.
"Siapakah teman kongcu itu? Kenapa tidak di suruh makan sekalian dengan kita?"
"Ah, mereka adalah dua orang pengawalku. Di kota raja ini banyak terdapat orang jahat, maka lebih aman kalau aku pergi disertai dua orang pengawal. Mereka bertugas melindungiku, maka tidak semestinya kalau mereka ikut makan bersama kita. Sudahlah, jangan pikirkan mereka dan mari kita makan sambil aku mendengarkan ceritamu tentang kunjunganmu kepada keluarga Bhok Cun Ki itu."
Mereka makan minum dengan gembira dan Lili lalu menceritakan dengan singkat namun jelas hasil kunjungannya kepada Bhok Cun Ki, betapa ia tidak berhasil bertemu dengan Bhok Cun Ki karena panglima itu tidak berada di rumah, akan tetapi ia sudah bertemu dengan putera dan puterinya dan meninggalkan pesan tantangan kepada Bhok Cun Ki agar besok sore mereka mengadu kepandaian di puncak Bukit Bambu di luar kota raja.
Ya-kongcu mendengarkan dan nampak kagum sekali.
"Engkau sungguh gagah perkasa dan pemberani, nona Lili. Akan tetapi kalau engkau hendak membunuh panglima Bhok Cun Ki, setelah tiba di rumahnya dan bertemu dengan dua orang anaknya, kenapa engkau tidak membunuh mereka?"
Lili menunda makannya, memandang wajah pemuda itu dan mengerutkan alisnya,
"Kenapa aku harus membunuh mereka, kongcu? Urusanku ini hanya menyangkut diri pribadi Bhok Cun Ki, tidak ada hubungannya dengan keluarganya. Tidak, aku tidak mau membunuh orang lain, kecuali Bhok Cun Ki seorang!"
Melihat sikap Lili, Ya-kongcu mengangguk-angguk, di dalam hati mencatat watak dan pendirian Lili. Gadis ini tidak dapat disamakan dengan tokoh-tokoh dunia hitam yang lain. Walaupun datang dari lingkungan datuk sesat, murid dari datuk See-thian Coa-ong, namun watak gadis ini lebih mendekati watak seorang pendekar. Dia harus berhati-hati menghadapi seorang seperti ini. Kalau Lili seorang tokoh sesat, amat mudahlah menanganinya. Cukup dengan pemberian hadiah-hadiah berharga, dia akan dapat mempergunakan tenaga seorang datuk sesat sekalipun. Akan tetapi gadis ini lain! Karena itu, ia menolak ketika hendak dibantu menghadapi Bhok Cun Ki.
"Akan tetapi, nona. Aku tahu bahwa nona lihai sekali, hanya aku mendengar dari para pembantuku bahwa Bhok Cun Ki adalah seorang ahli pedang yang amat tangguh. Dia adalah seorang murid Butong-pai yang sukar dikalahkan. Aku khawatir kalau besok sore engkau melawannya......."
Lili tersenyum dan Ya-kongcu terpesona. Dia bukan seorang pemuda hijau, sama sekali tidak. Usianya sudah tigapuluh lima tahun dan dia sudah mempunyai banyak pengalaman hidup, juga dengan wanita. Dia pernah bergaul dengan wanita yang bagaimanapun juga. Akan tetapi baru sekarang dia bertemu dengan gadis seperti ini, dan senyumnya demikian menawan, membuat jantungnya berdebar penuh gairah. Bagaimanapun, belum pernah dia mempunyai kekasih seorang gadis perkasa dan aneh seperti Lili!
"Engkau mengkhawatirkan aku kalau kalah melawan Bhok Cun Ki, kongcu? Aihh, apa yang harus dikhawatirkan? Kalah menang dalam pertandingan adalah hal yang lumrah dan biasa saja. Kalau tidak menang tentu kalah dan kalau tidak kalah ya menang! Apa bedanya? Yang terpenting bagiku adalah memenuhi tugas ini. Kalau aku sudah berhadapan dan bertanding dengan dia, cukuplah. Menang kalahnya terserah keadaan nanti, akan tetapi tentu saja aku akan mengerahkan seluruh kemampuanku dan untuk itu aku sudah membuat persiapan matang."
"Aku yakin engkau akan menang, nona. Dan untuk itu, aku ikut mendoakan dengan tiga cawan anggur!" Dia mengangkat cawan anggurnya, disambut oleh Lili dan mereka minum beruntun sampai tiga kali.
Sementara itu, di rumah keluarga Bhok, panglima Bhok Cun Ki malam itu pulang bersama Sin Wan. Dalam perjalanan pulang ke gedung keluarga Bhok ini, Sin Wan bercakap-cakap dengan panglima itu dan diam-diam dia kagum. Panglima ini seorang yang cerdik dan berpemandangan luas, juga berwatak pendekar, rendah hati dan mengenal dunia kang-ouw secara luas. Oleh karena itu, dia merasa girang sekali bahwa Jenderal Shu Ta telah memberi tugas kepadanya agar bekerja sama dan membantu panglima ini.
Mula-mula dia merasa ragu apakah panglima ini memiliki pandangan yang sama dengan Jenderal Shu Ta bahwa dia seorang keturunan asing, bukan orang Han aseli, melainkan keturunan Uighur. Jangan-jangan panglima ini mempunyai pandangan yang dangkal seperti yang dikemukakan Jenderal Yauw Ti tadi, yang menaruh curiga kepada orang yang bukan aseli dan menganggap bahwa dalam hati seorang keturunan Uighur tidak mempunyai kesetiaan terhadap pemerintah Han! Dia sengaja memancing, dalam perjalanan itu dia bertanya kepada Bhok-ciangkun tentang hal itu.
"Ciangkun, bagaimana pendapat ciangkun tentang ucapan Jenderal Yauw Ti tadi, mengenai kenyataan bahwa aku bukanlah seorang pribumi, bukan orang Han melainkan keturunan Uighur, keturunan asing? Agaknya Jenderal Yauw Ti meragukan kesetiaanku terhadap negara."
Bhok Cun Ki tersenyum.
"Kesetiaan seseorang, bahkan lebih luas lagi, baik buruknya seseorang sama sekali tidak ditentukan oleh kebangsaan, keturunan atau keadaan lahiriyahnya, taihiap. Dalam setiap kelompok, keturunan, suku atau bangsa, bahkan kelompok agama sekalipun, di situ pasti terdapat orang yang baik dan orang yang tidak baik, seperti adanya orang yang sehat dan orang yang sakit. Karena itu, menilai seseorang dari keadaan lahiriahnya saja merupakan penilaian yang salah sama sekali. Dan khususnya mengenai keturunan, aseli dan tidak aseli, bagaimana ukurannya? Aku sendiri tidak tahu nenek moyangku ini keturunan apa dan dari mana. Aku tidak tahu apakah darahku ini dari satu keturunan yang aseli ataukah sudah campuran. Apa bedanya? Seseorang hanya dapat dinilai dari perbuatannya, sepak terjangnya dalam hidup. Itu saja! Kalau menilai dari segi lain, bahkan dari sikapnya atau kata-katanya sekalipun, hal itu masih belum meyakinkan, karena sikap dan kata-kata dapat saja dibuat-buat. Akan tetapi perbuatan dan sepak terjang yang berkelanjutan dalam hidup, merupakan kenyataan yang tidak bisa dibuat-buat."
"Kalau begitu, di dalam hati ciangkun tidak mempunyai perasaan tidak senang dan berprasangka buruk terhadap diriku dan orang-orang bukan pribumi Han?"
Panglima itu menggeleng kepala.
"Sudah kukatakan, aku memandang seseorang dari perbuatannya pribadi, bukan dari golongan dan kebangsaannya. Tentu saja ini merupakan pandangan pribadiku. Dalam pandanganku sebagai seorang panglima, tentu saja jalan pikiranku lain lagi, harus disesuaikan dengan kepentingan negara. Kalau ada kelompok yang memusuhi pemerintah, tentu saja mereka akan kuhadapi sebagai musuh, lepas dari pada permusuhan antara pribadi. Mengertikah engkau, taihiap?"
Sin Wan mengangguk dan pandang matanya mencorong penuh kekaguman.
"Ciangkun adalah seorang bijaksana, aku merasa gembira sekali dapat bekerja sama denganmu."
Panglima itu tertawa.
"Ha..ha..ha, sudah lama aku mengagumi Sam-sian, dan sekarang dapat bekerja sama dengan murid mereka, tentu saja hal itu merupakan suatu kebanggaan bagiku."
Akan tetapi ketika mereka tiba di rumah keluarga Bhok, mereka disambut dengan wajah berkerut penuh ketegangan oleh Bhok Ci Han dan Bhok Ci Hwa. Sejak tadi pemuda dan gadis itu menanti pulangnya ayah mereka untuk melaporkan peristiwa yang amat menggelisahkan hati mereka itu, namun melihat ayah mereka pulang bersama seorang pemuda asing, mereka memandang dengan penuh perhatian dan tidak berani segera menceritakan di depan pemuda asing itu.
"Ayah, siapakah saudara ini?" Ci Han bertanya. Adiknya, Ci Hwa, juga memandang penuh perhatian kepada pemuda itu.
"Taihiap, perkenalkan, ini adalah putera dan puteriku, Bhok Ci Han dan Bhok Ci Hwa. Kalian ketahuilah bahwa ini adalah murid Sam-sian, bernama Sin Wan, oleh Jenderal Shu Ta dia diangkat menjadi pembantuku dalam sebuah tugas penting."
Pemuda dan gadis itu memandang penuh perhatian. Pemuda yang diangkat menjadi pembantu ayahnya ini sama sekali tidak mengesankan, tidak nampak sebagai seorang perajurit, apalagi pendekar, walaupun ayah mereka memperkenalkannya sebagai murid Sam-sian. Tubuhnya tinggi tegap, kulitnya agak gelap, tidak seperti kulit pemuda Han biasa, dan ketampanan wajahnya juga lain, agak asing. Dahinya lebar, alisnya tebal berbentuk golok dan mata yang lebar bersinar itu terlalu hitam, hidungnya juga terlalu tinggi dan agak besar. Namun Ci Hwa mengakui dalam hatinya bahwa pemuda ini memang memiliki kejantanan walaupun lembut, seperti seekor harimau jantan yang sudah jinak. Dan melihat Sin Wan merangkap kedua tangan depan dada memberi hormat, Ci Han dan Ci Hwa cepat membalas penghormatan itu.
"Mana ibu kalian? Kenapa tidak berada dengan kalian menanti pulangku di sini?" tanya Bhok-ciangkun yang merasa heran karena biasanya, isterinya tentu bersama dua orang anaknya itu menanti kepulangannya di serambi depan.
"Tidak, ayah. Ibu berada di dalam dan memang kami sengaja menanti ayah berdua saja karena kami mempunyai berita yang teramat penting." kata Ci Han.
"Hemm, berita apa yang begitu penting sehingga ibumu tidak dibawa serta mendengarnya?" tanya ayah mereka sambil tersenyum.
"Ayah......," Ci Hwa berkata dan matanya melirik ke arah Sin Wan. Mengertilah Bhok-ciangkun, dan dia tertawa.
"Ha..ha..ha, jangan khawatir. Kalau ada berita penting bagaimanapun, katakan saja. Sin Wan Taihiap adalah seorang kepercayaan Sribaginda Kaisar sendiri, mewakili gurunya, maka tidak ada rahasia baginya. Katakanlah, apa yang telah terjadi? Tidak seperti biasa, malam ini kalian kelihatan begini tegang. Ada apa?"
"Ayah, sore tadi kami kedatangan seorang tamu. Tadinya ia ingin bertemu denganmu, akan tetapi ketika diberitahu bahwa ayah tidak berada di rumah, ia memaksa hendak bertemu dengan keluarga ayah. Bahkan ia memaksa masuk ke pekarangan dan lima orang penjaga yang hendak mencegahnya, dipukulnya roboh. Lalu tamu itu menemui kami berdua yang sedang berlatih silat di taman."
Bhok-ciangkun mengerutkan alisnya.
"Begitu beraninya? Siapakah tamu itu?"
"Ia seorang gadis cantik, usianya sekitar duapuluhtiga tahun....."
"Lalu bagaimana? Teruskan!" Bhok-ciangkun merasa tertarik dan juga heran sekali. Ada seorang gadis cantik yang memaksa memasuki tempat tinggalnya! Sungguh aneh dan betapa beraninya.
"Setelah bertemu kami, kami bertanya apa maksudnya mencari ayah dan ia menjawab bahwa ia.... ia......" Ci Han tergagap.
"Ia ingin membunuhmu ayah." Ci Hwa melanjutkan. Bhok-ciangkun membelalakkan matanya. Kalau dia mendengar ada orang-orang hendak membunuhnya, hal itu memang tidak aneh karena tentu banyak orang memusuhinya, baik sebagai seorang pendekar Butong-pai yang sudah banyak membasmi kawanan penjahat, maupun sebagai panglima yang sering memimpin pasukan bertempur. Akan tetapi seorang gadis muda mencarinya dan hendak membunuhnya? Luar biasa!
"Ceritakan yang jelas apa yang terjadi. Sin Wan mari silakan duduk," kata panglima itu dengan sikap serius, dan mereka lalu duduk mengelilingi meja diserambi depan.
"Tentu saja kami marah mendengar ia hendak menbunuhmu, ayah. Kami minta penjelasan mengapa ia hendak melakukan hal itu, akan tetapi ia tidak mau mengaku dan akhirnya kami berkelahi, maksudku..... kami berdua mengeroyoknya."
"Hemmm......" Bhok Cun Ki mengerutkan alisnya. Putera dan puterinya yang sudah digembleng sejak kecil dan telah memiliki ilmu silat tinggi dan jarang menemui lawan yang dapat menandinginya, kini tidak malu bercerita bahwa mereka mengeroyok seorang gadis? Dua orang muda itu agaknya mengerti apa yang membuat ayah mereka kelihatan tidak senang
JILID 06
"Ayah, tadinya Hwa-moi yang menandinginya, akan tetapi melihat Hwa-moi terancam, akupun maju dan kami mengeroyoknya. Ia lihai bukan main, ayah. Biarpun kami mengeroyok dua, kami.... kami sempat roboh. Hwa-moi hendak melanjutkan dengan pedang, akan tetapi aku melarangnya. Gadis itu lalu meninggalkan pesan, menantang ayah agar besok ayah dan ia mengadu kepandaian di puncak Bukit Bambu Naga di luar kota."
Bhok Cun Ki menger"tkan alisnya dan meraba-raba jenggotnya yang pendek, mengingat-ingat. Rasanya tidak pernah dia bermusuhan dengan seorang gadis muda!
"Apakah ia sama sekali tidak menceritakan mengapa ia memusuhiku?"
"Tidak, ayah," kata Ci Hwa.
"Hanya ia memperlihatkan sebatang pedang ular kepada kami dan mengatakan bahwa ia membawa pedang ular putih itu untuk membunuh ayah."
"Sebatang pedang ular? Putih? Bukan hitam?" Tiba-tiba wajah panglima itu berubah.
"Yakinkah engkau bahwa itu adalah pedang ular putih, bukan pedang ular hitam?"
"Pedang ular putih, ayah," kata Ci Hwa.
"Ia mencabutnya dan kami berdua melihatnya."
"Dan namanya? Ia menyebutkan namanya?"
"Ia hanya bilang bahwa kami boleh menyebut namanya Lili dan......" Ci Hwa tidak melanjutkan ucapannya karena mereka bertiga mendengar seruan kaget dari Sin Wan. Bhok Cun Ki memandang wajah Sin Wan penuh selidik.
"Kenapa, taihiap? Engkau mengenal gadis itu?"
Sin Wan mengangguk.
"Kalau tidak salah, aku pernah bertemu dengan gadis bernama Lili, dan kalau tidak salah, memang pedangnya berupa pedang ular putih, kalau pedang ular hitam adalah senjata gurunya, yaitu Bi-coa Sianli Cu Sui In."
"Ahhh.... ahhh.... benar ia...., Ci Han, Ci Hwa, ingat baik-baik, apakah gerakan silat gadis itu seperti gerakan seekor ular?"
"Benar sekali, ayah!" kata dua orang muda itu hampir berbareng dan mereka memandang ayah mereka dengan gelisah karena ayahnya kini menjadi pucat sekali wajahnya.
"Ilmu silat dari See-thian Coa-ong," kata pula Sin Wan dan Bhok-ciangkun yang memandang kepadanya mengangguk-angguk, wajah yang pucat itu nampak muram.
"Ayah, kita hadapi bersama gadis itu kalau memang ia terlalu berbahaya untuk ayah!" kata Ci Hwa penasaran.
"Tidak!" tiba-tiba suara Bhok-ciangkun menggelegar, mengejutkan dua orang anaknya dan mengherankan hati Sin Wan.
"Urusanku dengan gadis itu adalah urusan pribadi dan tak seorangpun boleh mencampurinya, biar dia anakku sendiri sekalipun."
"Tapi, kenapa, ayah?" tanya Ci Han penasaran.
"Kami adalah anak-anakmu, ayah. Kami berhak mengetahui dan kami berhak mencampuri dan melindungi ayah!" kata pula Ci Hwa yang lebih berani karena lebih dimanja ayahnya.
Panglima itu menggeleng kepala. Sekali ini tidak. Urusan ini adalah urusanku dahulu sebelum kalian lahir, jadi kalian tidak boleh mencampuri. Biar aku sendiri yang akan menyelesaikannya besok," kata panglima itu, akan tetapi dia tidak nampak bersemangat bahkan kelihatan lesu dan murung.
"Maaf, ciangkun. Bukan aku bermaksud lancang mencampuri. Akan tetapi aku mengenal gadis itu dan kalau ciangkun suka memberitahu persoalannya, kukira aku akan dapat membujuknya agar ia tidak melanjutkan tantangannya."
Bhok-ciangkun menghela napas panjang, memandang kepada Sin Wan, lalu kepada kedua orang anaknya, dan dia menggeleng kepala.
"Tidak, engkaupun tidak boleh mencampuri, taihiap. Ketahuilah kalian bertiga, aku sama sekali bukannya takut menghadapi lawan yang manapun juga, akan tetapi ini...... ini urusan pribadi. Taihiap, aku adalah seorang laki-laki yang bertanggung jawab, nah, mengertikah engkau?"
Sin Wan mengangguk-angguk. Biarpun tidak tahu urusannya, namun dia dapat menduga bahwa munculnya Lili yang hendak membunuh panglima itu, tentu ada hubungannya dengan masa lalunya pada waktu mana panglima itu agaknya telah melakukan sesuatu yang membuat menyesal dan kini dia siap mempertanggung-jawabkan! Maka diapun diam saja.
"Nah, sekali lagi, kalian bertiga besok sore sama sekali tidak boleh menemaniku ke sana, juga tidak boleh mengikuti dan membayangiku. Mengerti? Aku akan marah sekali dan tidak dapat memaafkan siapa saja yang membayangiku dan mencampuri urusan pribadi ini."
Dengan alis berkerut, kedua orang muda itu mengangguk, dan Sin Wan segera memberi hormat.
"Aku berjanji tidak akan mencampuri urusan pribadimu, ciangkun."
"Terima kasih dan maafkan aku, taihiap. Nah urusan ini tidak boleh kalian beritahukan ibu kalian, mengerti? Ci Han, antarkan Sin Wan taihiap ke kamar tamu dan suruh pelayan melayaninya baik-baik. Selamat malam, taihiap. Besok pagi-pagi saja kita bertemu di ruangan makan pagi dan kita lanjutkan perundingan kita tentang tugas kita berdua. Selamat malam. Oh ya, malam ini biar kedua anakku yang menemanimu makan malam." Panglima itu lalu meninggalkan mereka, masuk ke dalam.
Tiga orang muda itu lalu duduk kembali di serambi depan, masih merasa tegang.
"Aneh sekali kenapa ayah tidak membiarkan kita membantu? Apakah ayah sudah tidak percaya lagi kepada kita?" Ci Hwa mengomel kepada kakaknya.
"Ada orang mengancam hendak membunuh ayah dan kita tidak boleh mencampurinya. Bagaimana mungkin ini? Setidaknya, kalau kita melihat pertand"ngan itu, kita tidak akan segelisah kalau ditinggal di sini dan menanti-nanti ayah pulang." Ci Han juga berkata kepada adiknya.
"Sebaiknya kalau ji-wi (anda berdua) tidak gelisah. Aku yakin bahwa Bhok-ciangkun dapat melindungi dan membela diri pasti akan dapat menyelesaikan urusan itu dan dia lebih tahu apa yang harus dia lakukan."
Kakak beradik itu seperti baru teringat bahwa di situ ada orang lain. Mereka lalu memandang kepada Sin Wan.
"Ayah menyebutmu taihiap (pendekar besar), tentu engkau lihai sekali dan mempunyai banyak pengalaman. Engkau tadipun mengenal gadis jahat itu! Ceritakanlah kepada kami, siapa sebenarnya Lili itu dan orang macam apa? Siapa pula itu Bi-coa Sian-li Cu Sui In dan siapa pula See-thian Coa-ong?" tanya Ci Hwa sambil memandang wajah Sin Wan penuh selidik.
Mereka duduk berhadapan, terhalang meja dan Sin Wan harus mengakui diam-diam dalam hatinya bahwa gadis ini cantik sekali, cantik jelita dan memiliki sifat kelembutan yang mengingatkan dia kepada sumoinya, yaitu Lim Kui Siang yang kini tinggal di Peking menjadi kepala pengawal wanita untuk keluarga Raja Muda Yung Lo. Diam-diam dia merasa heran sekali mengapa setiap kali bertemu seorang gadis cantik, otomatis wajah Kui Siang terbayang di depan matanya?
Melihat Sin Wan seperti melamun dan hanya memandang wajah adiknya, Ci Han segera mendesak,
"Benar adikku, taihiap. Kamipun ingin sekali mengetahui siapakah mereka itu, orang-orang yang kini agaknya hendak memusuhi ayah. Atau taihiap tidak sudi menceritakan dan ingin kuantar sekarang juga ke kamar tamu?"
Sin Wan baru sadar dari lamunannya dan diapun tersenyum.
"Kuharap ji-wi tidak lagi menyebutku taihiap. Sebutan itu terlalu besar dan tinggi bagiku. Bagaimana kalau kita saling sebut seperti saudara saja? Kalau ji-wi tidak merasa direndahkan tentu saja. Atau lebih suka kalau aku menyebut kongcu (tuan muda) dan siocia (nona muda) kepada ji-wi?"
"Memang kita tidak perlu berbasa-basi. Setelah engkau menjadi pembantu kepercayaan ayah, tentu akan banyak bergaul dengan kami. Nah, kusebut engkau twa-ko (kakak besar), bagaimana? Dan engkau menyebut aku siauw-moi (adik kecil)."
"Dan engkau boleh menyebut aku siauw-te (adik kecil), Wan-twako (kakak Wan)!" kata pula Ci Han.
"Nah, setelah kita menjadi sahabat akrab, bolehkah kami mendengarkan penjelasanmu?"
Sin Wan tersenyum girang. Dua orang putera panglima ini seperti ayah mereka. Begitu sederhana, tidak berlagak seperti biasanya anak-anak bangsawan.
"Baiklah, Han-te dan Hwa-moi. Aku mengenal gadis liar itu yang bernama Lili. Memang ia liar dan galak, akan tetapi ia bukan orang jahat," Sin Wan teringat akan pertemuannya dengan Lili, betapa ia disiksa dan diikat, dijadikan umpan bagi harimau. Akan tetapi betapa Lili kemudian menyelamatkannya, dan betapa gadis itu mengaku cinta, akan tetapi juga mengaku benci. Gadis liar memang! Akan tetapi dia tidak mungkin dapat menganggap Lili sebagai gadis jahat.
"Hemm, ia hendak membunuh ayahku dan ia tidak jahat?" Ci Hwa mencela.
"Teruskan, twako. Siapa itu Bi-coa Sianli (Dewi Ular Cantik) Cu Sui In dan siapa pula itu See-thian Coa-ong (Raja Ular Dunia Barat)?" tanya Ci Han.
"Huh, serba ular! Mengerikan!" kata Ci Hwa bergidik.
"Dan gerakan Lili itupun seperti ular, tentu ia siluman ular!"
"Setahuku, Bi-coa Sianli Cu Sui In adalah guru dari Lili, dan Dewi Ular Cantik itu puteri dari See-thian Coa-ong, datuk yang amat lihai dan yang tinggal di Bukit Ular. Keluarga itu memang lihai sekali."
"Seorang datuk sesat, tokoh golongan hitam?" tanya Ci Han.
Sin Wan menggeleng kepalanya.
"Hal itu aku tidak tahu jelas, karena datuk-datuk seperti See-thian Coa-ong itu tidak dapat digolongkan hitam atau putih. Dia hanya mementingkan diri sendiri. Baik golongan hitam maupun putih, kalau dianggap merugikan, akan ditentang, sebaliknya tanpa memperdulikan golongan, kalau dianggap sahabat, akan dibela mati-matian."
"Ihh! Kalau begitu, lebih berbahaya dari pada golongan hitam yang sesat!" kata Ci Hwa.
"Kenapa begitu, Hwa-moi?" tanya Ci Han.
"Kalau datuk sesat sudah jelas kedudukannya ditentang para pendekar. Akan tetapi kalau hitam tidak putihpun bukan, sungguh merepotkan. Dianggap kawan, tiba-tiba menjadi lawan, dianggap lawan, bisa menjadi kawan. Orang yang bukan hitam bukan putih ini yang berbahaya, seperti bunglon, suka plin-plan! Huh, aku tidak suka kepada mereka! Gadis bernama Lili itu sepantasnya siluman ular!"
"Sudahlah, Hwa-moi. Mari kita antar Wan-toako kekamarnya. Biar dia mengaso, dan mandi. Nanti kita makan bersama di ruangan samping dekat kamarnya."
Kakak beradik itu lalu mengantar Sin Wan ke kamar tamu yang berada di samping. Kamar itu cukup luas dan nyaman, lengkap dengan kamar mandi. Mereka lalu meninggalkan Sin Wan dan berjanji akan makan malam bersama setelah Sin Wan mandi.
Setelah berada seorang diri, mandi dan bertukar pakaian, Sin Wan merasa suka dan kagum kepada keluarga ini. Bhok-ciangkun demikian gagah perkasa dan bijaksana, anak-anaknyapun ramah dan sama sekali tidak congkak. Akan tetapi diam-diam dia merasa khawatir. Dia tahu bahwa Lili amat lihai dan merupakan lawan yang amat berbahaya. Dan biarpun dia sudah mendengar bahwa Bhok Cun Ki juga bukan orang lemah, melainkan seorang pendekar Butong-pai, namun dia belum tahu sampai di mana kepandaian panglima itu. Dan orang seperti Lili itu tidak akan segan untuk membunuh lawannya!
Pada keesokan harinya, dengan sikap tenang seperti biasa, Bhok Cun Ki setelah makan pagi bersama Sin Wan, berunding dengan pemuda itu tentang tugas mereka.
"Pemilihan bengcu akan terjadi beberapa bulan lagi di puncak Thai-san," kata panglima itu.
"Menurut pendapatmu, siapa-siapa sajakah kiranya yang akan menjadi calon bengcu, taihiap?"
Dalam perundingan pagi itu, hadir pula Ci Han dan Ci Hwa yang diperbolehkan ayah mereka untuk ikut mendengarkan dan siapa tahu mereka mempunyai usul-usul yang baik, dan perundingan itupun akan menambah pengalaman mereka.
"Aih, ayah! Han-ko dan aku sendiri sudah sepakat untuk menyebut twako kepada Wan-twako, dan dia menyebut kami adik. Kenapa ayah masih menggunakan sebutan sungkan itu? Biarpun dia diam saja, namun aku tahu bahwa Wan-twako tidak suka disebut taihiap. Dia amat rendah hati, ayah!" kata Ci Hwa yang lincah dan sudah biasa berbicara sejujurnya kepada ayahnya.
Panglima itu menoleh kepada Sin Wan sambil tersenyum, hanya pandang matanya yang bertanya. Sin Wan juga tersenyum dan mengangguk.
"Memang benar apa yang dikatakan Hwa-moi, ciangkun. Aku lebih suka kalau disebut Sin Wan saja, tanpa embel-embel taihiap."
"Ha..ha..ha, engkau semakin menarik, orang muda. Tinggal satu lagi yang ingin kuketahui, kekuatan apa yang tersembunyi di balik kesederhanaan dan kerendahan hatimu. Baiklah, aku akan menyebutmu Sin Wan saja, akan tetapi engkaupun tidak boleh menyebutku ciangkun. Aku lebih pantas menjadi pamanmu, bukan? Nah, kita saling menyebut ciangkun dan taihiap dalam pertemuan resmi di depan orang-orang lain. Setuju?"
Sin Wan memandang kagum. Bukan main keluarga ini!
"Baik, paman, dan terima kasih!"
"Nah, Sin Wan. Sekarang jawab pertanyaanku tadi. Siapa saja kiranya yang akan menjadi calon bengcu?"
"Paman Bhok, seperti pernah kuceritakan kepada Jenderal Shu Ta, ketika diadakan pemilihan pemimpin besar para kai-pang (perkumpulan pengemis) yang diadakan di Lok-yang kurang lebih setahun yang lalu, banyak tokoh memperebutkan kedudukan pemimpin besar itu, semata-mata karena kedudukan itu akan membuat pemegangnya mendapat kesempatan untuk menjadi calon bengcu dan banyak harapan akan menang karena memperoleh dukungan suara seluruh kai-pang. Selain Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki yang memang sejak dahulu menjadi pemimpin besar kai-pang, ada beberapa orang yang mewakili guru-guru atau pemimpin mereka. See-thian Coa-ong ketika itu diwakili oleh puterinya, yaitu Bi-coa Sianli Cu Sui In dan Lili. Kemudian Tung-hai-liong (Naga Lautan Timur) Ouwyang Cin diwakili oleh muridnya yang bernama Maniyoko........"
"Bukankah Tung-hai-liong Ouwyang Cin adalah seorang peranakan Jepang, merupakan datuk para bajak laut di lautan timur?" Bhok-ciangkun memotong.
"Benar, paman. Kalau See-thian Coa-ong merupakan datuk di barat, Tung-hai-liong merupakan datuk di timur. Mereka berdua sama kuat, lihai dan liciknya."
"Hemm, lalu siapa datuk dari selatan dan utara?" tanya pula panglima itu.
"Setahuku, tokoh besar selatan tidak ada yang melebihi locianpwe (orang tua gagah) Bu Lee Ki yang berjuluk Pek-sim Lo-kai (Pengemis Tua Hati Putih), dan beliau yang didukung oleh Raja Muda Yung Lo agar kelak menjadi bengcu. Kalau dia yang menjadi ketua bengcu, kurasa dunia kang-ouw akan aman dan tidak akan ada yang berani memberontak terhadap pemerintah, paman. Mengenai datuk besar dari utara, aku belum mendengar siapa orangnya. Banyak tokoh besar kang-ouw di utara kini cerai berai dan meninggalkan daerah yang menjadi daerah perang dan amat berbahaya itu."
"Aih, sudah disebut datuk besar dunia kang-ouw, kenapa takut menghadapi bahaya perang? Siapa akan berani mengganggunya?" Ci Hwa mencela.
Ayahnya tertawa.
"Ci Hwa, engkau terlalu mengangkat tinggi seorang datuk besar persilatan. Boleh jadi kalau menghadapi lawan pribadi, seorang datuk besar tidak mengenal takut dan sukar dikalahkan. Akan tetapi, dalam perang antara pasukan pemerintah melawan para sisa pasukan Mongol, yang berperang adalah ratusan ribu orang. Betapapun lihainya seorang datuk besar, bagaimana dia akan mampu melindungi diri terhadap ratusan ribu orang? Kelihaian seseorang tidak akan lebih dari seratus orang. Kalau dikeroyok ribuan orang, apalagi dikeroyok perajurit yang bersenjata lengkap, biar dia pandai terbang seperti burung sekalipun, tentu akhirnya akan mati ditembus anak panah atau senjata lain."
"Kalau begitu, bahaya hanya datang dari See-thian Coa-ong dan Tung-hai-liong saja, tentu dengan anak buah dan para pembantu mereka?"
"Yang kita ketahui memang dari kedua pihak itu, paman. Akan tetapi, mengingat bahwa kedudukan bengcu merupakan kedudukan yang penting dan amat berharga, maka kuyakin bahwa dari utara tentu akan muncul pula seorang datuk baru."
"Menurut pendapatmu, di antara tiga orang sakti yang telah kita ketahui itu siapa yang paling lihai dan akan dapat menangkan kedudukan bengcu?"
"Kurasa locianpwe Bu Lee Ki! Tentu saja kalau tidak terjadi kecurangan dan kalau seluruh kai-pang setia kepada pemimpin besarnya. Kita tidak dapat menentukan dengan pasti sikap para ketua kai-pang. Mereka orang-orang aneh yang mudah berubah, mudah dipengaruhi dari luar."
"Memang ke sanalah kita harus melakukan penjagaan, mengirim penyelidik-penyelidik yang pandai untuk mengawasi para kai-pang. Mereka itu dapat dimanfaatkan pihak yang kuanggap paling berbahaya?"
"See-thian Coa-ong, ayah?" tanya Ci Hwa.
"Bukan."
"Kalau begitu, Tung-hai-liong?" tanya pula Ci Han.
"Juga bukan. Yang paling berbahaya dari semuanya adalah orang-orang Mongol! Mereka tiba-tiba mengubah siasat, tidak lagi melakukan penyerangan dengan pengerahan pasukan dari utara dan barat. Hal ini mencurigakan dan boleh jadi sekali mereka menggunakan siasat halus untuk menyusup ke dalam negeri melalui pemilihan bengcu. Karena itulah, kita harus berhati-hati. Siapa tahu, sekarang juga mereka telah menyusup ke kota-kota besar, bahkan ke kota raja."
"Kalau begitu, siluman ular Lili itu mungkin juga dipergunakan oleh orang Mongol" Ci Hwa berseru. Bagaimana pendapatmu, Wan-ko?"
Sin Wan mengerutkan alisnya yang tebal dan dia menggeleng kepala perlahan.
"Kukira orang seperti See-thian Coa-ong, puterinya dan para muridnya merupakan orang-orang yang sulit untuk diperalat orang lain. Mereka tidak akan mau tunduk kepada siapapun dengan pengaruh apapun."
"Kurasa Sin Wan benar, Ci Hwa. Akupun yakin bahwa gadis itu tidak diperalat, melainkan datang atas kemauan sendiri. Sudah, kita tidak perlu bicara tentang gadis itu. Sin Wan, selama beberapa hari ini, bersama para mata-mata yang menjadi anak buahku, harap kausuka membantu melakukan penyelidikan di kota raja, di rumah-rumah penginapan, di kuil-kuil kosong, di tempat-tempat yang sekiranya patut dicurigai menjadi tempat pemondokan mata-mata Mongol. Ingat, mereka sudah hafal benar akan keadaan di sini, akan kebudayaan pribumi, dan mereka licik dan cerdik sehingga akan sia-sia kalau engkau mencari-cari seorang yang kelihatan seperti orang Mongol di antara mereka. Mungkin mereka itu nampak lebih pribumi dari pada pribuminya sendiri."
"Baik, paman. Dan untuk keperluan itu, sebaiknya kalau aku bekerja bebas dan tidak disiarkan berita bahwa aku menjadi pembantu paman. Dengan demikian, rasanya akan lebih leluasa aku melakukan penyelidikan."
"Aku mengerti, Sin Wan. Dan sekarang, agar kita dapat lebih saling mengenal, mari kita pererat melalui ilmu silat."
Sin Wan maklum apa yang dimaksudkan dan dalam hatinya, dia tidak setuju.
"Apakah itu perlu, paman?"
"Tentu saja, perlu sekali. Bukankah kita harus bekerja sama? Untuk itu, kita harus dapat melihat kemampuan masing-masing."
Sin Wan ingin membantah, akan tetapi tiba-tiba dia teringat bahwa sore nanti Bhok Cun Ki akan bertanding melawan Lili, bukan pertandingan yang main-main, melainkan mempertahankan nyawa dari ancaman gadis liar itu. Ah, dia dapat memberi petunjuk secara tidak langsung, tanpa menyinggung perasaan pendekar Butong ini, pikirnya.
"Baiklah, paman, kalau paman berpendapat demikian."
Ci Han dan Ci Hwa gembira sekali mendengar itu. Mereka juga ingin sekali menyaksikan kelihaian tamu yang kini sudah akrab dengan mereka, yang hanya mereka kenal sebagai murid dari Sam-sian (Tiga Dewa) yang namanya pernah menggemparkan dunia persilatan karena Sam-sian adalah tokoh-tokoh besar yang berhasil mengembalikan pusaka-pusaka yang dicuri dari gudang pusaka istana kaisar! Sam-sian merupakan tokoh-tokoh besar persilatan yang banyak jasanya, dan amat dihargai oleh Kaisar sendiri. Dan kini, di antara ke tiga Sam-sian hanya tinggal seorang saja, yaitu Ciu-sian (Dewa Arak) yang mendapat tugas baru dari Kaisar, akan tetapi karena merasa sudah tua dan dua orang rekannya sudah tidak ada, mewakilkannya kepada murid ini.
Mereka pergi ke lian-bu-thia (ruangan belajar silat) yang berada di bagian belakang bangunan itu. Ruangan ini luas dan memang enak sekali untuk bermain silat, penuh dengan alat-alat untuk berolah raga dan berlatih silat.
TAK lama kemudian, kedua orang itu sudah saling berhadapan. Melihat tuan rumah yang sudah melepas baju luar itu menghadapinya dengan tangan kosong, Sin Wan yang mempunyai niat untuk mengukur ilmu pedang dan kalau mungkin memberi petunjuk, segera memberi hormat dan berkata,
"Paman Bhok, aku mendengar bahwa paman adalah seorang pendekar Butong-pai, dan Butong-pai terkenal dengan ilmu pedangnya. Oleh karena itu, kalau paman tidak berkeberatan, aku ingin sekali merasakan kelihaian ilmu pedang paman dan mengagumi keindahannya."
Tentu saja Sin Wan bermaksud lain. Dia tahu bahwa orang seperti Lili pasti tidak mau bertanding dengan tangan kosong saja melawan orang yang akan dibunuhnya, dan tentu menggunakan pedang ular putih. Bukankah ia sudah memperlihatkan pedang itu kepada putera puteri panglima itu dan mengancam akan membunuhnya dengan pedang itu? Lili pasti mempergunakan pedang dan Bhok-ciangkun pasti terpaksa akan melayani dengan pedangnya pula.
Mendengar ucapan Sin Wan, Ci Hwa berseru kaget,
"Aih, Wan-twako, kenapa harus dengan pedang? Bagaimana kalau kalian saling melukai?"
Mendengar ini, Bhok-ciangkun mencela puterinya.
"Ci Hwa, masih belum tahukah engkau bahwa orang yang ilmu pedangnya sudah setinggi tingkat Sin Wan, tidak mungkin pedangnya dapat melukai orang tanpa dikehendakinya? Pedang sudah merupakan bagian ujung dari tangannya, begitulah!"
Ci Han dan Ci Hwa tentu saja tahu akan hal itu, namun karena tingkat mereka belum setinggi itu, belum sempurna benar menguasai pedang, maka mereka memandang kagum.
"Baik, Sin Wan. Mari kita main-main sebentar dengan pedang." Panglima itu lalu mencabut pedang yang tergantung di pinggangnya. Akan tetapi Sin Wan agak meragu, lalu dengan perlahan dia mencabut pedangnya.
"Ihh! Pedangmu kenapa buruk amat, twako?" kembali Ci Hwa berseru. Gadis lincah ini begitu terbuka dan terus terang, ini membuktikan bahwa ia memang sudah akrab benar dengan Sin Wan sehingga tidak lagi merasa sungkan.
Kembali Bhok Cun Ki yang tertawa bergelak.
"Ha..ha..ha, engkau seperti seekor anak burung yang baru belajar terbang, belum mengenal dunia luas, Ci Hwa. Lihat baik-baik. Yang dipegang Sin Wan itu adalah sebuah di antara pedang-pedang pusaka paling ampuh di dunia ini. Itulah Pedang Tumpul yang dahulu menjadi pusaka istana!"
"Wahhh.......!!" Ci Han dan Ci Hwa terbelalak kagum. Mereka sudah mendengar akan pedang pusaka itu yang oleh kaisar dihadiahkan kepada Sam-sian bersama beberapa benda lain.
Sin Wan menggerakkan tangannya dan tahu-tahu pedang itu telah lenyap, menyusup kembali ke dalam sarung pedang.
"Eh, kenapa kau simpan kembali pedangmu, Sin Wan?"
"Paman, aku tidak ingin kalau sampai pedangmu rusak oleh pedangku, maka sebaiknya kalau kita menggunakan pedang yang biasa dipakai untuk latihan saja."
Dan tiba-tiba tubuhnya sudah meluncur ke arah rak senjata. Demikian cepat gerakannya dan tahu-tahu dia sudah kembali ke tempat tadi, di depan panglima itu dan membawa dua batang pedang yang biasa dipakai latihan. Melihat gerakan secepat itu, Bhok Cun Ki dan kedua orang anaknya menjadi kagum, dan panglima itu merasa gembira. Ketika mendengar bahwa Sin Wan adalah murid Sam-sian dan telah memperoleh kepercayaan seorang sakti seperti Ciu-sian untuk mewakilinya, dia sudah percaya bahwa tentu pemuda itu telah memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Akan tetapi, dia ingin membuktikan sendiri agar yakin bahwa pembantunya ini dapat dipercaya dan diandalkan.
"Bagus, usulmu itu baik sekali, Sin Wan!" katanya dan dia menerima sebatang pedang dari pemuda itu.
Kini mereka saling berhadapan dengan pedang di tangan. Karena maklum bahwa panglima itu sebagai seorang pendekar Butong tentu lihai sekali ilmu pedangnya, Sin Wan segera memasang kuda-kuda dari ilmu pedang yang dia pelajari dari mendiang Kiam-sian (Dewa Pedang), yaitu Jit-kong Kiam-sut (Ilmu Pedang Sinar Matahari). Sebaliknya, Bhok-ciangkun memasang kuda-kuda ilmu pedang Butong-pai yang terkenal indah gerakannya namun amat tangguh itu.
"Silakan, paman," kata Sin Wan yang tidak berani bergerak lebih dahulu.
"Ha..ha, engkau terlalu sungkan, Sin Wan. Nah, aku akan memulai, bersiaplah engkau!" Setelah berkata demikian, panglima itu mengeluarkan bentakan nyaring dan pedang di tangannya sudah bergerak dengan setengah lingkaran, lalu menusuk ke arah dada Sin Wan.
Dengan gerakan tenang, Sin Wan mengelak dan balas menyerang. Lawannya juga meloncat dan membalas. Terjadi serangan balas membalas dan duanya mengandalkan kegesitan tubuh untuk mengelak. Makin lama, semakin cepat gerakan mereka dan pedang di tangan Sin Wan yang menjadi sinar bergulung-gulung itu menyilaukan mata, sesuai dengan nama ilmunya. Namun lawannya juga tidak kalah cepat gerakannya, pedang di tangan panglima itupun menjadi sinar bergulung-gulung yang kadang-kadang menyambar ke arah lawan.
"Tranggg..........!" Bunga api berpijar ketika untuk pertama kalinya kedua pedang bertemu di udara. Keduanya merasa betapa telapak tangan mereka tergetar. Ternyata dalam hal tenaga merekapun berimbang. Kini kedua pedang itu saling sambar dan kadang bertemu mengeluarkan bunga api, dua gulungan sinar pedang saling belit seperti dua ekor naga berlaga di angkasa.
Setelah lewat tigapuluh jurus, Sin Wan teringat akan maksudnya mengajak bertanding pedang. Tiba-tiba dia mengubah gerakannya dan kini dia sering bermain silat pedang dengan tubuh direndahkan. Sinar pedangnya menyambar-nyambar dari bawah, kadang tubuhnya bergulingan di atas lantai dan sinar pedang mencuat dari bawah. Nampak betapa Bhok-ciangkun terkejut dan agak kewalahan menghadapi serangan-serangan aneh itu. Setelah beberapa jurus lamanya Sin Wan mendesak, sambil menyapu kedua kaki lawan dengan pedangnya sehingga. Bhok-ciangkun terpaksa berlompatan, Sin Wan berkata halus,
"Lawan ular yang tangguh adalah burung!"
Seketika teringatlah Bhok-ciangkun dan diapun tahu mengapa pemuda itu kini mengubah ilmu pedangnya walaupun tadi pemuda itu tidak terdesak. Mendengar kata "ular" ingatlah Bhok-ciangkun bahwa sore nanti dia harus bertanding melawan gadis yang datang dari Bukit Ular. Maka, dia pun cepat mengubah ilmu pedangnya dan kini gerakannya menggunakan banyak loncatan dan pedangnya menyambar-nyambar dari atas bagaikan seekor burung yang menandingi seekor ular!
Setelah lewat duapuluh jurus, Sin Wan mengubah lagi ilmu pedangnya dan kembali menggunakan Jit-kong-kiamsut seperti tadi. Dan Bhok-ciangkun sudah cukup puas. Dia tadi pernah mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan jurus-jurus simpanannya, namun semua serangannya dapat dipatahkan oleh Sin Wan. Dia tidak tahu apakah pemuda itu dapat mengalahkannya, akan tetapi yang jelas baginya, untuk dapat mengalahkan pemuda itu, agaknya akan merupakan hal yang amat sukar baginya. Dan ini sudah memuaskan hatinya. Diapun meloncat agak jauh ke belakang.
"Cukuplah, Sin Wan," katanya sambil tersenyum.
"Sekarang aku tahu benar betapa lihainya murid dari Sam-sian!"
"Paman, ilmu pedang paman juga hebat dan indah, aku mengaku kalah," kata Sin Wan. Dengan sopan dia lalu menghampiri panglima itu, menerima pedangnya dan mengembalikan kedua pedang itu di rak senjata.
"Sin Wan, terima kasih atas petunjukmu tadi," kata Bhok Cun Ki. Kedua orang anaknya tidak mengerti apa yang terjadi, akan tetapi Sin Wan hanya tersenyum dan tidak menjawab.
Setelah mendengar keterangan Bhok Cun Ki tentang tanda-tanda rahasia untuk mengenal anak buah panglima itu yang disebar sebagai penyelidik di kota raja, Sin Wan lalu pergi ke kamarnya untuk membuat persiapan. Dia akan memulai dengan tugasnya hari itu juga, melakukan penyelidikan di kota raja dalam usahanya membantu Bhok-ciangkun memberantas jaringan mata-mata Mongol.
Ketika dia hendak meninggalkan kamarnya setelah bertukar pakaian yang tadi basah oleh keringat, dia bertemu Ci Han dan Ci Hwa di ruangan depan kamarnya. Agaknya kakak dan adik itu sengaja mencarinya, Sin Wan menyambut mereka dan tiga orang muda itu duduk di ruangan itu.
"Twako, ajaklah aku melakukan, penyelidikan agar menambah luas pengetahuanku!" Ci Han membujuk.
Sin Wan tersenyum.
"Bagaimana mungkin, Han-te (adik Han). Pekerjaanku adalah penyelidik, dan dalam hal ini aku beruntung bahwa di kota raja tidak ada orang mengenalku. Ini memudahkan pekerjaanku, karena aku akan dapat bergerak dengan leluasa, melakukan pengamatan terhadap siapa saja yang kuamati. Akan tetapi engkau adalah seorang pemuda yang dikenal siapa saja di kota raja. Orang-orang yang kita curigai, siang-siang sudah berjaga diri dan bersikap hati-hati kalau melihat engkau muncul. Maaf aku terpaksa tidak dapat membawawu serta, Han-te."
"Akupun tadinya ingin ikut untuk menambah pengalaman, twako. Akan tetapi mendengar alasanmu tadi, aku mengerti bahwa pekerjaanmu harus dilakukan secara rahasia, dan kami berdua tak mungkin menyembunyikan keadaan diri kami. Eh, Han-koko, kalau tidak mungkin kita bekerja sama dengan kakak Sin Wan, sebaiknya kita bekerja sendiri-sendiri saja membantu ayah. Aku akan pergi seperti sedang pesiar atau berjalan-jalan, akan tetapi mulai sekarang aku akan waspada. Siapa tahu aku akan dapat menangkap seorang mata-mata Mongol."
"Hwa-moi, engkau jangan main-main. Pekerjaan ini bukan pekerjaan ringan. Menurut ayah, kalau orang Mongol mengirim mata-mata, sudah pasti dia lihai sekali!"
"Aku tidak takut! Kita di kota raja, takut apa? Semua orang akan membantuku!"
Kakak beradik itu lalu meninggalkan Sin Wan akan tetapi tidak lama kemudian Ci Hwa, muncul lagi, kini sendirian saja.
"Wan-twako, ada sebuah hal yang ingin kubicarakan denganmu berdua saja."
"Ehh? Apakah itu, Hwa-moi? Duduklah dan ceritakanlah yang hendak kaubicarakan," jawab Sin Wan dan kembali mereka duduk di tempat tadi.
"Twako, aku khawatir sekali terhadap keselamatan ayah kalau dia pergi bertanding sore nanti."
"Jangan khawatir, ayahmu seorang yang berkepandaian tinggi. Siapapun tidak akan mudah mengalahkannya." Sin Wan menghibur dengan sungguh-sungguh karena dia maklum bahwa betapapun lihainya, Lili tidak akan mudah mengalahkan panglima itu.
"Akan tetapi aku tetap khawatir, twako. Gadis siluman itu lihai bukan main. Melihat engkau tadi mengadu kepandaian dengan ayah, aku merasa yakin bahwa hanya engkau yang akan mampu mengalahkannya. Wan-twako, maukah engkau menolongku?"
"Menolongmu? Tentu saja aku mau, Hwa-moi," kata Sin Wan sambil menatap wajah yang manis itu.
"Kalau begitu, kau lindungilah ayahku!"
Sin Wan mengerutkan alisnya,
"Ayahmu telah menekankan bahwa kita tidak boleh mencampuri urusan itu, Hwa-moi?"
"Aku tidak minta engkau mencampuri urusan itu, twako. Akan tetapi, aku minta engkau melindunginya, secara diam-diam. Kalau sampai ayah terancam bahaya maut, engkau dapat melindunginya. Maukah engkau berjanji, twako? Aku.... aku akan berterima kasih sekali padamu," Gadis itu menyentuh tangan Sin Wan, lalu menggenggam tangan itu dan mengguncangnya, pandang matanya penuh harapan, penuh permohonan.
Sin Wan tidak tega untuk menolaknya. Dan memang di lubuk hatinya dia sedang mencari jalan bagaimana untuk dapat melindungi panglima itu dari ancaman maut di tangan Lili, maka diapun mengangguk,
"Baiklah, akan kuusahakan, Hwa-moi."
Tangan yang kecil itu menggenggam jari-jari tangan Sin Wan lalu melepaskannya.
"Twako, terima kasih! Terima kasih, dan aku yakin, bahwa percayaanku kepadamu tidak akan sia-sia. Aku sendiri tidak akan duduk diam. Aku akan pergi keluar, dan kalau Han-koko mencari mata-mata Mongol, aku akan mencari gadis siluman itu. Kalau ia berada di kota, aku akan menyerangnya dan memanggil pasukan penjaga untuk membantuku!"
"Jangan, Hwa-moi. Itu berbahaya sekali!"
"Aku tidak takut!"
"Tapi ayahmu telah melarangmu......."
"Melarang aku mencampuri urusannya? Tentu, aku tidak akan melanggar larangannya. Akan tetapi dia tidak melarang aku membalas kekalahanku dari gadis siluman itu!" Ci Hwa lalu meninggalkan ruangan itu dan Sin Wan termangu dalam lamunan. Berbahaya, pikirnya. Orang macam Lili dapat melakukan apa saja. Dia harus melindungi Ci Hwa lebih dahulu sebelum melindungi ayahnya. Dan dia pun segera keluar.
Putera Mahkota atau Pangeran Chu Hui San sama sekali tidak mewarisi sifat-sifat baik dari ayahnya, yaitu Kaisar Thai-cu yang dahulu bernama Chu Goan Ciang. Kalau ayahnya seorang pejuang yang gigih, kemudian menjadi kaisar yang bijaksana, pendiri kerajaan Beng-tiauw, sebaliknya pangeran yang merupakan putera mahkota yang sulung itu sejak mudanya adalah seorang yang lemah dan kurang bersemangat. Pangeran Chu Hui San seperti mabok kemuliaan dan yang disukai hanyalah bersenang-senang saja. Biarpun dia sudah beristeri dan memiliki belasan orang selir, masih saja dia haus akan kecantikan wanita.
Puteranya yang baru berusia enam tahun lebih itulah yang agaknya mewarisi kecerdikan dan semangat kakeknya. Puteranya itu bernama Chu Hong dan karena semangatnya inilah maka Pangeran kecil Chu Hong menjadi kekasih kakeknya. Bahkan kakeknya, Kaisar Thai-cu sendiri yang seringkali mendidik Chu Hong, menanamkan jiwa kepahlawanan melalui dongeng-dongeng. Tidak jarang kaisar membiarkan cucunya tercinta itu tidur di dalam kamarnya!
Biarpun usianya sudah empatpuluh tahun, Pangeran Mahkota Chu Hui San masih berlagak seperti seorang pemuda remaja saja. Pakaiannya selalu mewah dan dia seringkali lolos dari istana, tidak mau dikawal sehingga dia dapat melancong dengan bebas seperti halnya para kongcu (tuan muda) bangsawan. Dan tentu saja diapun banyak bergaul dengan para kongcu bangsawan lainnya yang mempunyai kebiasaan dan kesukaan seperti dia, yaitu menghambur-hamburkan uang dan beroyal-royalan sepuas hati.
Pada suatu hari, pagi-pagi pangeran Chu Hui San sudah berada di beranda loteng rumah pelesir Seruni, sebuah rumah pelesir terbesar di kota raja. Tentu saja pengurus rumah pelesir Seruni berikut semua penghuninya, para gadis penghibur, menyambut dengan penuh kehormatan dan kegembiraan ketika pangeran mahkota bersama dua orang temannya, dua orang kongcu bangsawan lain, muncul dan mereka seolah berebut menawarkan diri untuk menghibur tiga orang tamu itu terutama sang pangeran. Siapa tahu pangeran mahkota terpikat olehku dan membawaku ke istana menjadi selirnya, dan kalau kelak sang pangeran menjadi kaisar berarti ia akan menjadi selir kaisar! Demikian diharapkan oleh setiap orang gadis penghibur itu. Akan tetapi sekali ini, Pangeran Chu Hui San dan dua orang kawannya agaknya sudah merasa jemu dengan mereka. Karena bertiga hanya minta disediakan sarapan pagi yang mewah, dan setelah makan pagi mereka bertiga duduk di beranda loteng dan melihat-lihat mereka yang berlalu lalang di atas jalan raya di bawah depan loteng.
Pagi itu seperti biasa banyak wanita tua muda berlalu lalang di atas jalan raya. Untuk pergi ke pasar dan pulangnya, para wanita itu melewati jalan itu karena pasar terletak dekat dengan rumah pelesir itu. Dan tiga orang laki-laki bangsawan ini menjadi iseng. Mereka melempar-lemparkan kwaci dan kacang ke bawah setiap kali ada gadis atau wanita muda lewat di bawah sana. Wanita yang terkena lemparan kwaci atau kacang, kalau hendak marahpun tidak jadi, bahkan tersenyum malu dan bangga ketika mereka melihat siapa laki-laki yang mengganggunya itu. Wanita mana yang tidak akan senang diganggu oleh Pangeran Mahkota?
Dari jauh nampak seorang wanita muda melangkah gontai di atas jalan raya. Ia seorang wanita muda, usianya sekitar duapuluh tahun dan bentuk tubuhnya yang ramping amat menggiurkan dan menggairahkan. Langkahnya dan lenggangnya amat memikat, dengan tubuh lentur lemas dan berlekuk lengkung sempurna.
Pada waktu itu musim panas, telah tiba dan karena hawa udara panas, para wanitanya mengenakan pakaian yang lebih tipis dan longgar sehingga keindahan bentuk tubuh mereka lebih dapat dikagumi dari pada kalau mereka mengenakan pakaian tebal musim dingin. Wanita muda ini membawa keranjang gantung yang kosong sehingga mudah dimengerti bahwa ia tentu sedang menuju ke pasar untuk berbelanja. Bajunya yang biru muda itu nampak baru.
Pangeran Chu Hui San memandang kepada wanita itu dan berkata kepada dua orang temannya.
"Tunggu! Yang baju biru muda itu untukku, biar aku yang menembaknya!" Istilah menembak itu mereka pergunakan untuk menyambitkan kwaci dan kacang ke bawah. Dua orang temannya adalah pemuda pemuda bangsawan yang selalu ingin memperoleh kesan baik dengan menjilat, maka mendengar permintaan ltu, segera mereka mentaati dan hanya menjadi penonton. Putera Mahkota itu mempersiapkan kacang yang besar dan ketika wanita itu berlenggang di bawah loteng, dia membidik dan menyambitkan kacang itu ke bawah.
"Tukk!" kacang itu tepat mengenai kepala wanita itu. Tidak menimbulkan sakit memang, akan tetapi cukup mengagetkan dan wanita itu cepat mengangkat muka memandang ke atas. Dilihatnya tiga orang pria berpakaian mewah tertawa-tawa. Akan tetapi Pangeran Chu Hui San terpesona ketika memandang ke atas itu dia melihat sebuah wajah yang cantik manis, dan tidak seperti wanita lain yang begitu melihat siapa penyambitnya lalu melempar senyum dan kerling memikat, wanita itu berani cemberut, mengerling marah lalu membuang muka! Akan tetapi semua tarikan muka yang lain dari pada yang lain itu, yang tidak bermanis-manis tidak menjual murah, bahkan nampak demikian memikat bagi Pangeran Chu Hui San.
"Cui-ma, cepat kejar perempuan itu. Aku menginginkannya, sekarang juga!" kata sang putera mahkota yang sudah terbiasa sejak kecil selalu terpenuhi segala kehendaknya.
Mendengar perintah ini, nyonya kurus yang berada di belakang mereka terbongkok-bongkok melayaninya dan bergegas turun dari loteng. Dari atas beranda loteng itu, Pangeran Chu Hui San dan dua orang temannya dapat melihat betapa mucikari itu berlari keluar diikuti dua orang laki-laki berewok tinggi besar dan mereka bertiga cepat mengejar wanita muda yang jalannya belum jauh itu.
Mereka melihat betapa mucikari itu bersama dua orang jagoannya telah dapat menyusul. Wanita muda itu nampak menolak, menggeleng kepala dan kelihatan marah-marah, tidak dapat dibujuk oleh mucikari itu dengan omongan manis. Sang mucikari sendiri, bibi Cui atau dipanggil Cui-ma, merasa heran bukan kepalang melihat ada seorang wanita muda berani menolak ajakan putera mahkota! Tidak perduli ia sudah menikah atau belum, rakyat jelata atau bangsawan belum pernah ada wanita yang menolak ajakan yang seolah merupakan bulan jatuh ke pangkuan itu.
Karena wanita muda itu menolak, dua orang tukang pukul sudah menangkap kedua lengan wanita itu dan tanpa kesulitan dua orang jagoan yang kuat itu memaksa dan menarik wanita muda itu ikut ke dalam rumah pelesir. Tak seorangpun yang berani melerai ketika melihat ada wanita muda dipaksa masuk ke rumah itu oleh seorang wanita tua dan dua orang jagoannya.
Cui-ma memang disegani, bukan hanya karena ia mempunyai tukang pukul, melainkan terutama sekali karena dibelakang mucikari ini berdiri banyak bangsawan tinggi yang menjadi langganannya sehingga ia bisa mendapatkan pembelaan dari kalangan atas. Petugas rendahan biasa saja, mana berani menentangnya? Mungkin akan berhadapan dengan atasannya sendiri nanti!
Pangeran Chu Hui San telah duduk menanti dalam kamar yang mewah itu seorang diri ketika wanita muda itu masih bersama keranjangnya didorong masuk dari luar dan daun pintu segera ditutup kembali dari luar. Wanita itu, bagaikan seekor anak kelinci yang dilempar ke dalam kerangkeng harimau, berdiri menggigil dan menangis, tidak berani berkutik, hanya bersandar pada dinding memeluk keranjangnya.
"Ampun...... ampunkan aku...... lepaskan aku..... aku sudah bersuami, suamiku keras dan galak......" ia meratap ketakutan tanpa berani mengangkat mukanya yang menunduk.
Akan tetapi, alasan bahwa wanita itu sudah bersuami tidak meredakan gelora gairah sang pangeran. Yang membuat ia terheran-heran adalah melihat sikap wanita itu. Kenapa begitu berani dan sama sekali tidak menghormatinya?
"Nyonya muda yang manis, pandanglah aku. Apakah engkau tidak tahu, siapa aku?" perintahnya.
Dengan ketakutan wanita itu mengangkat muka memandang, namun ia sama sekali tidak nampak terkejut. Bahkan ia menggeleng kepalanya,
"Aku tidak mengenal engkau siapa, akan tetapi mohon kau lepaskan aku, jangan ganggu aku......"
"Hemm, aku adalah pangeran, putera mahkota, tahu?"
Wanita itu kembali memandang dengan mata terbelalak, lalu keranjangnya jatuh mengelinding dan iapun menjatuhkan diri berlutut menyernbah-nyembah.
"Ahh.... ampun hamba.... hamba tidak tahu, hamba baru sebulan berada di kota raja, hamba dari dusun, setelah menikah baru di sini..... mohon paduka mengampuni hamba dan membiarkan hamba pergi...."
Pangeran itu semakin heran.
"Aku suka padamu, manis. Kesinilah dan jangan takut. Aku akan memberi hadiah besar kepadamu."
"Tidak...... tidak...... mohon paduka mengampuni hamba.... hamba baru sebulan menikah, hamba tidak berani, suami hamba galak......."
"Aih, pengantin baru, ya? Heh..heh, aku suka pengantin baru. Tentang suamimu, jangan takut. Dia tidak akan berani memarahimu kalau tahu bahwa pangeran putera mahkota yang mengajakmu. Kesinilah!"
Pangeran Chu Hui San semakin bergairah karena belum pernah dia bertemu dengan wanita yang tidak segera lari ke dalam pelukannya. Malah dia yang kini turun dari pembaringan dan menghampiri wanita yang menggigil ketakutan itu. Akan tetapi baru saja dia memegang lengan wanita itu untuk ditariknya, dia mendengar suara gedebukan di luar kamar, suara orang berkelahi.
Dia terkejut dan heran, lalu dibukanya daun pintunya untuk melihat apa yang terjadi. Ternyata dua orang tukang pukul berewokan itu sedang mengeroyok seorang laki-laki muka bopeng yang juga tinggi besar. Akan tetapi laki-laki bopeng itu lihai sekali, dan ketika sang pangeran membuka daun pintu, tepat dia melihat betapa dua orang tukang pukul itu dihantam roboh!
"Cang-ko (kakak Cang),.......!" Wanita cantik yang berada di dalam kamar Pangeran Chu Hui San menjerit ketika ia melihat laki-laki bopeng itu.
"Kim-moi (adik Kim)!" Laki-laki itu berteriak dan diapun menerjang masuk ke dalam kamar.
"Aku tahu, engkau berada disini!" bentaknya dan dengan mata melotot dia memandang kepada isterinya, lalu kepada sang pangeran. Ketika dia memandang kepada pangeran itu, Pangeran Chu Hui San berkata dengan sikap gagah dan marah.
"Orang kasar, butakah matamu? Aku adalah Pangeran Chu Hui San! Hayo cepat engkau pergi dari sini atau akan kusuruh orang menangkap dan menghukum siksa sampai mati!"
Akan tetapi si muka bopeng itu menyeringai,
"Aku tahu engkau pangeran putera mahkota yang mata keranjang itu. Engkau berani menghina isteriku! Biar aku akan dihukum mati, akan tetapi sekali ini engkau yang akan kusiksa sampai mati lebih dulu!"
Dengan langkah lambat namun sikapnya menyeramkan, si muka bopeng menghampiri sang pangeran. Pangerah yang satu ini memang lemah. Melihat gertakannya tidak berhasil, diapun melangkah mundur dan mukanya mulai membayangkan ketakutan.
"Jangan...... maafkan aku dan engkau akan kuganjar hadiah yang besar........"
"Tidak ada hadiah besar dari pada membunuh orang yang telah berani menghina isteriku tercinta!" bentak orang itu dengan geram dan dia sudah siap untuk menubruk.
Tiba-tiba seseorang muncul di ambang pintu kamar itu. Akan tetapi kemunculannya tidak membesarkan harapan sang pangeran, karena dia hanyalah seorang pria berusia tigapuluh lima tahun yang berpakaian seperti seorang sastrawan muda, mungkin sastrawan kaya karena pakaiannya mewah. Apa artinya seorang sastrawan lemah terhadap si bopeng yang tangguh ini? Dua orang jagoan tukang pukul di rumah pelesir itupun sudah dia pukul roboh.
"Muka bopeng, jangan kurang ajar kau!" sastrawan itu membentak dan biarpun suaranya lembut, namun mengandung getaran berwibawa sehingga tiba-tiba si bopeng menghentikan langkahnya dan memutar tubuh menghadapi sastrawan itu, nampaknya terkejut. Akan tetapi ketika dia melihat bahwa yang menegur dan mencelanya hanya seorang sastrawan yang kelihatan lemah, dia menjadi semakin berang. Dengan langkah lebar dia menghampiri sastrawan itu dan sikapnya mengancam.
"Jahanam, siapa engkau berani mencampuri urusanku?" Dia mengepal tinju dan siap menerjang.
"Engkaulah yang jahanam! Berani engkau mengancam yang mulia pangeran putera mahkota yang sepatutnya kau sembah? Hayo cepat berlutut minta ampun!"
Akan tetapi, si muka bopeng menjawabnya dengan gerengan dan diapun menerjang dengan ganas ke arah sastrawan itu. Pangeran Chui Hui San menyangka bahwa penolongnya itu tentu roboh dengan sekali pukul dan dia sudah siap untuk melarikan diri. Akan tetapi, dia terbelalak. Ketika si muka bopeng yang tinggi besar itu menerjang, sastrawan itu mengelebatkan kipas yang berada di tangannya dan entah bagaimana, tiba-tiba saja si muka bopeng itu yang terpelanting ke atas lantai
Dia merangkak bangun, meloncat dan menerjang lagi akan tetapi disambut tendangan yang mengenai dadanya dan membuat, dia terjengkang dan terbanting keras. Si muka bopeng terengah-engah dan matanya terbelalak ketakutan, lalu dia bangkit dan membalikkan diri, cepat lari keluar dari dalam kamar itu.
Sastrawan itu membiarkan si muka bopeng lari, dan diapun membalik, menghadapi Pangeran Chu Hui San dan menjatuhkan diri berlutut dengan sikap hormat dan sopan sekali.
"Hamba kira akan jauh lebih baik dan aman kalau paduka selalu ditemani seorang pengawal yang boleh dipercaya. Dewasa ini banyak sekali terdapat penjahat dan pemberontak yang tentu akan berbuat yang tidak baik kepada paduka."
Tentu saja pangeran itu merasa berterima kasih karena tanpa munculnya sastrawan itu, tentu sekarang dia telah tewas dibunuh si muka bopeng tadi. Dia melangkah maju dan dengan kedua tangan menyentuh pundak sastrawan itu dia berkata.
"Terima kasih, engkau telah menyelamatkan aku. Kami akan merasa senang sekali kalau saat ini engkau suka menemani dan menjaga keselamatanku."
"Hamba suka sekali, hamba siap mengorbankan nyawa demi keselamatan paduka, pangeran!" kata sastrawan itu.
"Siapa namamu?"
"Hamba she (bernama keturunan) Yauw, nama hamba Lu Ta."
Pada saat itu, wanita muda yang sejak tadi berdiri ketakutan, mempergunakan kesempatan itu untuk melarikan diri keluar dari dalam kamar. Akan tetapi melihat ini, Yauw Lu Ta meloncat dan sekali tangannya bergerak, dia telah menotok wanita itu pada pundaknya, membuat wanita itu menjadi lemas dan tentu akan jatuh ke atas lantai kalau Yauw Lu Ta tidak menyambutnya, memegang lengannya kemudian mendudukkannya di atas lantai bersandar dinding. Wanita muda itu tidak mampu bergerak, hanya matanya yang memandang dengan ketakutan.
"Yauw Siucai (Sastrawan Yauw), kalau ia tidak mau, suruh ia pergi. Kami tidak mau memperkosanya!" kata Pangeran Chui Hui San dengan suara mengandung kekecewaan. Wanita itu bukan saja menolak cintanya, bahkan suaminya hampir saja membunuhnya!
Yauw Lu Ta membungkuk dengan senyum.
"Harap paduka jangan kecewa. Dalam satu menit ia akan berubah sama sekali dan akan melayani paduka dengan seluruh tubuh dan hatinya." Dia mengeluarkan sebuah bungkusan dari dalam saku bajunya. Ketika dibukanya, dalam bungkusan terisi bubuk merah. Melihat di atas meja dalam kamar itu, terdapat cawan dan guci arak, dituangkannya sedikit arak ke dalam cawan, dimasukkannya sedikit bubuk merah ke dalam cawan kemudian dia menghampiri wanita muda itu, tangan kiri menekan kanan-kiri mulut sehingga mulut itu terbuka, ditengadahkan, lalu isi cawan dia tuangkan ke dalam mulut. Di luar kehendaknya, wanita itu terpaksa menelan anggur dari cawan dan Yauw Lu Ta melepaskannya.
Pangeran Chu Hui San memandang penuh perhatian. Semenit kemudian, terjadi perubahan pada wajah wanita itu. Kedua pipinya kemerahan dan pandang matanya tidak lagi ketakutan, akan tetapi seperti orang yang mengantuk.
Yauw Lu Ta membebaskan totokannya dan diapun berkata.
"Kini paduka dapat berbuat apapun terhadap dirinya dan ia akan menyerahkan diri dengan suka rela dan penuh semangat. Hamba akah menjaga keamanan paduka di luar kamar." Yauw Lu Ta melangkah keluar dan menutupkan daun pintu kamar itu dari luar.
Sebetulnya, peristiwa tadi sudah mengusir semua gairah nafsu dari pikiran pangeran ini. Akan tetapi, dia tertarik dan ingin sekali tahu apakah ucapan pengawal barunya itu benar. Dia lalu memandang wanita muda yang sudah dibebaskan dari totokan itu. Kini wanita itu berlutut menghadap kepadanya, hanya menundukkan muka dan tidak berani memandangnya, tidak pula mengeluarkan kata-kata, juga tidak lagi menangis ketakutan.
"Angkat mukamu!" kata pangeran itu dengan suara memerintah. Dan wanita muda itu mengangkat muka memandangnya. Dan alangkah jauh bedanya dengan tadi. Wanita itu kini memandangnya dengan sikap malu-malu, dengan mata sayu dan mulut mengulum senyum.
"Kesinilah," kata pula pangeran itu.
Wanita itu nampak tersipu, lalu bangkit dan dengan malu-malu berjalan menghampiri Pangeran Chu Hui San. Ketika pangeran merangkulnya, iapun mengeluarkan suara lirih dan menyandarkan mukanya ke dada pangeran itu.
"Siapa namamu, manis?"
"Nama hamba Bi Kim....." suaranya berbisik dan kini bangkitlah kembali gairah di hati pangeran itu. Dia menuntun wanita itu ke pembaringan dan benar seperti yang dikatakan Yauw Lu Ta tadi, kini wanita itu sama sekali tidak menolaknya, bahkan melayaninya dengan sukarela dan penuh gairah.
Tentu saja semua itu adalah siasat yang sudah diatur oleh Yauw Lu Ta atau Yaluta, pangeran Mongol itu! Ketika Kerajaan Mongol belum jatuh, dia masih kecil, baru belasan tahun usianya dan tidak dikenal. Oleh karena itu, tanpa ragu-ragu dia menggunakan namanya, hanya diubah sedikit menjadi nama pribumi agar tidak ada yang tahu bahwa dia adalah bekas pangeran Mongol!
Sejak peristiwa di rumah pelesir itu, Pangeran Chu Hui San menerima Yauw Lu Ta yang disebutnya Yauw Siucai menjadi pengawal pribadinya, juga temannya berfoya-foya. Yauw Siucai amat pandai mengambil hatinya. Dengan adanya Yauw Siucai, putera mahkota ini dapat menikmati bermacam kesenangan yang tadinya tidak dikenalnya sama sekali. Dengan bantuan Yauw Siucai, wanita yang bagaimana keraspun akan menjadi lunak dan jinak. Bahkan putera mahlota itu, saking percayanya kepada Yauw Siucai, telah mengangkat sastrawan ini menjadi guru sastra dari puteranya yang bernama Chu Hong. Maka, kuatlah kedudukan Yauw Siucai di istana putera mahkota.
Dengan cerdik sekali Yauw Lu Ta yang memang mendekati pangeran putera mahkota ini untuk tujuan yang lebih besar, menuntun Pangeran Chu Hui San yang lemah itu sehingga keadaan pangeran itu semakin rusak. Bukan saja bujukan Yauw Siucai membuat dia menjadi semakin menggila dalam mengejar kesenangan sehingga lupa diri, juga Yauw Siucai dengan cerdik menjerumuskan pangeran yang menjadi calon pengganti kaisar itu menjadi seorang pecandu madat!. Yauw Siucai ingin agar kelak yang menjadi kaisar seorang yang lemah, tidak mampu dan yang berada dibawah pengaruhnya sehingga kalau dia mendapatkan kesempatan baik melakukan gerakan, maka pemerintahan di bawah kaisar semacam itu akan mudah dia robohkan dan dia dapat membangun kembali Kerajaan Goan (Mongol) yang pernah jaya!
JILID 07
Sore itu udara cerah sekali. Langit tidak ternoda awan, dan biarpun matahari sudah condong jauh ke barat, namun sinarnya masih kuat dan hawa udara cukup gerah karena tidak ada angin bertiup. Dengan langkah lebar dan tegap, Panglima Bhok Cun Ki berjalan mendaki bukit Bambu Naga di luar kota raja. Dia sengaja berjalan kaki, tidak menunggang kuda. Pertama, agar tidak ada orang yang memperhatikannya, dan ke dua agar lebih mudah baginya untuk melihat bahwa tidak ada orang yang membayanginya. Dia tidak ingin anak-anaknya mencampuri urusan pribadinya.
Tentu saja cerita putera dan puterinya tentang gadis yang berpedang Ular Putih itu seketika mengingatkan dia akan riwayat hidupnya dahulu, ketika dia belum menikah. Dia pernah saling berkenalan dan bersahabat dengan seorang pendekar wanita yang cantik jelita dan lihai dan akhirnya ia dan wanita itu yang bernama Cu Sui In saling jatuh cinta. Dia sendiri seorang pendekar muda Butong-pai di waktu itu, dan gadis itu memang cantik dan pandai, sehingga mereka berdua merupakan pasangan yang serasi dan cocok sekali. Hubungan di antara mereka sudah amat intim dan mesra, bahkan keduanya sudah demikian saling percaya bahwa mereka akan menjadi suami isteri sehingga mereka saling menyerahkan diri.
Akan tetapi, beberapa hari kemudian, dia mendapat kenyataan bahwa kekasihnya itu adalah puteri See-thian Coa-ong! Bahkan kekasihnya itu di dunia kangouw dikenal dengan julukan Bi-coa Sianli (Dewi Ular Cantik) yang terkenal ganas dan kejam! Melihat kenyataan pahit ini, seketika dia mengambil keputusan untuk memisahkan diri dan meninggalkan Cu Sui In. Tidak mungkin dia sebagai seorang pendekar penentang golongan sesat, menikah dengan seorang puteri datuk sesat! Seluruh dunia kangouw akan mentertawakannya, dan bagaimana dia akan tetap dapat menentang kejahatan kalau beristeri seorang tokoh jahat?
"Sui In........" Dia menghela napas panjang dan mengeluh dalam hati,
"kenapa sampai sekarang engkau masih mendendam? Dan kenapa pula tidak datang sendiri mencariku, akan tetapi menyuruh muridmu?"
Setelah tiba di puncak bukit yang sunyi itu, dia berdiri di puncak yang datar, yang dikelilingi hutan bambu yang lebat. Banyak di situ terdapat bambu yang batangnya seperti tubuh ular naga, maka disebut bambu naga. Biarpun dia tidak melihat bayangan orang, akan tetapi dia merasa bahwa ada orang yang mengintai dan mengamatinya. Oleh karena itu, dia berdiri dengan tegak, kedua kaki terpentang, lalu dia berkata dengan suara yang lantang.
"Nona berpedang Ular Putih, aku Bhok Cun Ki telah datang memenuhi undanganmu!"
Memang sejak tadi Lili sudah mengintai dari balik semak belukar. Sejak laki-laki itu mendaki lereng dekat puncak, ia sudah tahu dan ketika pria itu sudah dekat, ia memandang kagum.
Jadi inikah kekasih sucinya yang telah meninggalkan sucinya dan membuatnya hidup merana? Pantas kalau sucinya tergila-gila. Memang pria ini seorang pria yang gagah perkasa dan ganteng. Sekarangpun, dalam usia yang mendekati limapuluh tahun, pria itu masih nampak tegap dan ganteng, dengan penampilan seorang pendekar tulen. Sebatang pedang tergantung di pinggangnya dan langkahnya ketika mendaki puncak tadi bagaikan langkah seekor harimau. Dari atas puncak ia mengamati dan melihat bahwa pria itu memang datang seorang diri, dan inipun menunjukkan bahwa dia memang gagah dan berani, dan tidak curang.
"Bagus, kiranya engkau yang bernama Bhok Cun Ki!"
Bhok Cun Ki membalikkan tubuh dan melihat bayangan berkelebat, tahu-tahu di depannya telah berdiri seorang gadis yang cantik. Dia mengamati penuh perhatian. Seorang gadis berusia kurang lebih duapuluh tiga tahun yang cantik manis, dengan sikap yang dingin dan galak, namun matanya bersinar tajam. Dia tahu bahwa gadis itu memiliki keringanan tubuh dan kecepatan yang tak boleh dipandang ringan. Cepat dia memberi hormat sepantasnya dengan merangkap kedua tangan depan dada.
"Apakah hubunganmu dengan Cu Sui In, nona? Apakah engkau muridnya?" Bhok Cun Ki langsung bertanya karena dia sudah yakin bahwa inilah gadis yang telah mencarinya dan mengalahkan putera dan puterinya.
"Cu Sui In adalah suciku. Hemm, agaknya engkau sudah dapat menduga bahwa aku datang diutus oleh suci untuk membunuhmu?"
Bhok Cun Ki menghela napas panjang dan mengangguk.
"Aku sudah dapat menduganya. Kiranya engkau adalah sumoinya, dan engkau murid See-thian Coa-ong. Pantas engkau lihai. Akan tetapi, terima kasih bahwa engkau tidak membunuh kedua orang anakku. Hal ini saja sudah mengherankan karena biasanya orang-orang dari Bukit Ular tak pernah membiarkan lawannya hidup."
Lili mengerutkan alisnya.
"Aku bukan pembunuh! Aku ditugaskan untuk membunuhmu, bukan membunuh anak-anakmu. Nah, bersiaplah untuk mengadu nyawa. Engkau atau aku yang akan mati hari ini!" Lili mencabut pedangnya dan nampak sinar putih menyilaukan mata tertimpa sinar matahari senja.
Bhok Cun Ki mengeluh dalam hatinya. Tak disangkanya bahwa urusan pribadinya dengan Cu Sui In akan menimbulkan peristiwa yang dihadapinya sekarang ini. Dia ditantang seorang gadis muda!
"Nona, siapakah namamu?" tanya dan suaranya lembut karena melihat gadis itu, walaupun ia nampak galak dan dingin, menimbulkan perasaan suka dalam hatinya. Dia merasa berhadapan dengan anak sendiri atau keponakan sendiri.
Bagaimana dia, seorang pendekar Butong-pai, seorang panglima, dapat enak hati menyambut tantangan mengadu nyawa seorang gadis yang sepantasnya menjadi anaknya atau keponakannya?
"Namaku tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan adu nyawa ini, Bhok Cun Ki!" kata Lili dengan tegas.
"Benar sekali, akan tetapi kalau engkau kalah dan mati, engkau akan tahu siapa yang membunuhmu, sebaliknya kalau aku yang kalah dan mati, arwahku bisa penasaran karena aku tidak tahu siapa yang membunuhku." Bhok Cun Ki bicara dengan nada suara serius, akan tetapi juga mengandung kelakar.
Lili juga merasa sukar untuk mempertahankan kekakuannya juga, di dalam hatinya tidak mempunyai masalah pribadi dengan pria ini, maka iapun tidak dapat merasa benci. Bahkan ia merasa kagum karena ia berhadapan dengan seorang laki-laki jantan yang bersikap begitu tenang.
"Baik, namaku biasa disebut orang Lili."
"Nona Lili, nama yang bagus. Akan tetapi kenapa sucimu Cu Sui In tidak datang sendiri membunuhku, melainkan menyuruh engkau yang tidak mempunyai sangkut paut dengan urusan kami?"
"Aku hanya menunaikan tugas. Jangan tanya kepadaku, tanyalah kepada suci, akan tetapi tidak ada kesempatan lagi bagimu karena engkau akan mati ditanganku."
Bhok Cun Ki tersenyum.
"Nona Lili, engkau masih begini muda namun memiliki kepandaian tinggi dan pemberani. Sungguh sayang seorang muda seperti nona ini melakukan pertandingan mengadu nyawa. Aku sendiri sudah cukup tua, dan mati bagiku bukan apa-apa. Akan tetapi engkau, masih begini muda dan berhak untuk hidup lebih lama lagi dan menikmati hidupmu. Tahukah engkau mengapa sucimu itu menyuruhmu mencariku dan membunuhku?"
"Bhok Cun Ki, kenapa engkau begini cerewet, sih? Agaknya dahulu suci terpikat oleh kapandaianmu merayu dengan kata-kata. Tentu saja aku tahu kenapa suci ingin aku membunuhmu. Engkau telah menghancurkan kebahagiaan hidupnya, engkau telah membuat ia merana sampai sekarang tidak berumah tangga. Engkau merayunya dengan ketampananmu, kepandaianmu merayu, dengan janji-janji palsumu. Sudahlah, akupun tidak perduli. Yang penting, aku harus membunuhmu. Cepat keluarkan pedangmu, atau aku akan membuat engkau mati konyol!" Gadis itu menggerakkan pedangnya sehingga berkelebatan dan mengeluarkan sinar putih yang menyilaukan mata.
"Tunggu sebentar, nona. Aku tidak percaya seorang gadis seperti engkau ini mau membunuh orang yang belum siap melawan. Dengar dahulu, baru kita bertanding agar engkau mengetahui urusan antara aku dan sucimu itu, agar kita berdua dapat bertanding dengan penuh kesadaran. Memang ku akui bahwa ketika aku masih muda, di antara aku dan sucimu Cu Sui In terjalin hubungan cinta kasih yang mendalam, bahkan kami berdua sudah saling berjanji dan sepakat untuk menjadi suami isteri. Aku mencintainya dengan sepehuh hatiku, bahkan sampai sekarangpun aku masih mencintanya. Akan tetapi ia menipuku. Ia tadinya tidak berterus terang tentang dirinya. Setelah aku mengetahui bahwa ia adalah puteri See-thian Coa-Ong dan ia berjuluk Bi-coa Sianli, seorang tokoh sesat, puteri seorang datuk sesat yang melakukan banyak kekejaman dan kejahatan, bagaimana mungkin aku berjodoh dengannya? Seluruh pimpinan Butong-pai akan mengutuk aku, karena sebagai seorang pendekar aku harus menentang golongan sesat, bukan mengawini puteri seorang di antara para datuknya, yaitu See-thian Coa-ong. Nah, itulah sebabnya aku memisahkan diri walau aku selalu mencintanya."
"Omong kosong! Cinta macam apa itu kalau memakai persyaratan? Cinta macam apa yang dapat dibeli dengan keadaan seseorang? Yang kaucinta itu orangnya, pribadinya, ataukah kedudukannya dan namanya? Ingat, aku adalah murid See-thian Coa-ong, dan bagiku, suhu jauh lebih jantan dari pada engkau yang mengaku pendekar! Setidaknya, suhu tidak pernah menjual omong kosong dan rayuan gombal kepada seorang wanita!"
Wajah Bhok Cun Ki berkerut-kerut dan agak pucat, matanya nampak bingung dan gelisah! Selama hidupnya, baru sekali ini dia merasa menyesal bukan main. Memang dia tidak pernah dapat melupakan Cu Sui In, akan tetapi selama ini selalu dia menghibur perasaannya, menghibur batinnya bahwa dia meninggalkan Sui In karena melihat bahwa dia dan Sui In tidak akan dapat menjadi suami isteri yang rukun. Namun, semua itu hanya hiburan belaka bagi perbuatan mengkhianati kasih di antara mereka. Dalam hati kecilnya dia sudah merasa menyesal mengapa dia tergesa-gesa mengambil keputusan memutuskan cintanya itu. Padahal, dia tahu betapa Sui In amat mencintanya, dan demi cinta kasih mereka itu, bukan tidak mungkin dia akan dapat menuntun Sui In kembali ke jalan benar! Kini, dari mulut gadis itu dia seperti mendengarkan suara hatinya sendiri yang setiap kali membuatnya menyesal.
"Sudahlah, aku merasa bersalah kepada Sui In. Akan tetapi, nona muda, jangan harap orang lain akan dapat membunuhku. Kalau Cu Sui In sendiri yang datang, aku akan menyerahkan nyawaku tanpa melawan. Kalau ia mewakilkannya kepada orang lain, jangankan engkau, biar andaikata See-thian Coa-ong sendiri yang datang, aku akan melawan dan membela diri."
"Bagus, akupun bukan orang yang suka membunuh lawan yang tidak mau membela diri. Hayo, cabut senjatamu dan sudah cukup banyak kita bicara!" bentak Lili dengan sikap garang.
Bhok Cun Ki tersenyum dan diapun mencabut pedangnya. Nampak sinar kehijauan berkelebat ketika dia mencabut pedang Ceng-kong-kiam (Pedang Sinar Hijau) yang merupakan sebatang pedang pusaka dari Butong-pai. Hanya murid yang sudah berjasa mengangkat nama baik Butong-pai sajalah yang berhak menerima hadiah sebatang senjata pusaka Butong-pai dan Bhok-ciangkun ini seorang di antara para pendekar Butong-pai yang tangguh.
"Aku sudah siap, nona Lili!" katanya.
"Lihat pedang!" Lili membentak dan iapun sudah menggerakkan pedangnya yang berbentuk ular putih itu, mulai dengan serangannya. Karena ia sudah tahu bahwa lawannya adalah seorang ahli pedang Butong-pai yang berjuluk Sin-kiam-eng, (Pendekar Pedang Sakti) dan menurut sucinya amat lihai, begitu menyerang ia sudah menggunakan jurus yang amat dahsyat. Pedangnya berubah menjadi sinar putih meluncur bagaikan anak panah cepatnya menusuk ke arah tenggorokan lawan.
"Wirr.... sing.......!" Pedang itu berdesing ketika sasarannya luput karena Bhok Cun Ki sudah mengelak dengan cepat, lalu dari samping pedangnya berubah menjadi sinar hijau menyambar ke arah mata kiri Lili! Serangan balasan inipun dahsyat, cepat dan mengandung tenaga sehingga pedangnya berdesing nyaring.
Namun, Lili sudah mengelak dengan merendahkan tubuhnya, kemudian kaki kirinya mencuat ke arah pusar lawan, disusul pedangnya menyambar dari kanan ke kiri membabat leher!
"Wuuuutttt.........!"
Kembali Bhok-ciangkun menghindarkan diri dari serangan dahsyat itu dengan meloncat ke belakang, dengan amat cepatnya Lili sudah meloncat ke depan, menyusulkan serangan lanjutan yang makin hebat. Pedangnya bagaikan seekor ular meluncur dibarengi tubuhnya yang merendah, pedang itu menusuk ke arah kedua lutut kaki lawan secara bertubi! Seolah-olah ada banyak sekali ular yang menyerang dan mematuk ke arah lutut dan kalau sekali saja lutut itu terkena patukan pedang ular, tentu Bhok-ciangkun akan roboh!
Namun, Bhok-ciangkun adalah seorang pendekar pedang yang sudah banyak pengalamannya bertanding dengan pedang. Dalam pengalamannya sebagai seorang pendekar pedang, sudah banyak dia bertanding melawan orang-orang dari berbagai golongan. Tentu saja dia tidak mudah dikalahkan begitu saja dan dia sudah melihat bahayanya serangan yang dilakukan gadis itu ke arah kedua lututnya. Dengan ringan sekali tubuhnya meloncat ke atas, berjungkir balik dan turun ke belakang Lili dan membalas dengan serangan pedangnya yang diputar dengan cepatnya. Dia mulai memainkan jurus-jurus ilmu pedang Butong-pai yang indah dan kuat, juga amat cepat sehingga pedangnya lenyap berubah menjadi sinar hijau yang bergulung-gulung!
Lili terkejut juga melihat kehebatan ilmu pedang lawan. Iapun tidak mau kalah dan ia memainkan pedangnya dengan gerakan cepat sehingga pedangnya lenyap bentuknya, berubah menjadi sinar putih yang bergulung-gulung. Kadang-kadang, kedua gulungan putih dan hijau itu retak dan putus, ketika sepasang pedang itu bertemu di udara, menimbulkan percikan bunga api dan mengeluarkan bunyi berkerontang nyaring. Keduanya merasa tergetar tangan kanan masing-masing, maka tahulah mereka bahwa lawan memiliki tenaga yang tangguh dan keadaan mereka berimbang.
Namun, setelah lewat limapuluh jurus, mulailah sinar putih itu terkurung tertekan oleh sinar hijau. Bagaimanapun juga ilmu pedang yang dimainkan Bhok Cun Ki memang hebat sekali. Pula, dia mempunyai banyak pengalaman bertanding, jauh lebih banyak dibandingkan lawannya.
Lili mulai terdesak! Gadis yang keras hati dan pemberani ini maklum bahwa kalau ia hanya memainkan ilmu pedang biasa saja hanya mengandalkan kecepatan dan kekuatan, ia takkan menang melawan ilmu pedang lawan yang demikian hebatnya. Tiba-tiba ia mengeluarkan suara mendesis nyaring dan gerakan pedangnya berubah. Bukan hanya gerakan pedangnya yang berubah, melainkan juga gerakan tubuhnya. Tubuh gadis itu, kedua lengannya, dan gerakan pedang itu kini mengandung gerakan seekor ular! Berlenggang lenggok dan menyerang dari bawah dengan tusukan, bacokan seperti ular memagut, disertai desis mengerikan seperti seekor ular cobra yang marah!
Bhok Cun Ki terkejut juga menghadapi serangan aneh yang amat berbahaya itu. Tahulah dia bahwa gadis itu mengeluarkan inti dari ilmu silatnya yang bersumber dari gerakan ular dan ilmu ini yang membuat nama besar See-thian Coa-ong ditakuti orang. Gadis itu memang lihai dan berbahaya sekali. Bukan hanya pedang putih itu yang berbahaya, menyambar-nyambar dari bawah bagaikan seekor ular beracun pembawa maut, akan tetapi juga tangan kirinya membantu dengan serangan yang tidak kalah ampuhnya. Tangan itu menotok, mencengkeram dan gerakannya seperti seekor ular pula.
Dihujani serangan dari bawah seperti itu, keadaannya menjadi berbalik. Kalau tadi Bhok Cun Ki berhasil mendesak lawan, kini dia lebih banyak mengelak dan menangkis, dan segera terdesak karena dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian untuk melindungi dirinya. Dia merasa seolah-olah dikeroyok banyak ular beracun. Akan tetapi setelah belasan jurus lewat dan dia terdesak semakin hebat, teringatlah dia, akan pertandingan ujian dalam permainan pedang melawan Sin Wan pagi tadi. Pemuda itu berkata bahwa lawan ular yang tangguh adalah burung! Mengertilah kini Bhok Cun Ki bahwa secara tidak langsung pemuda itu telah memberi petunjuk kepadanya bagaimana harus melayani gadis ini! Diapun mengerahkan tenaga, mengeluarkan bentakan nyaring dan tiba-tiba tubuhnya meloncat ke atas, lalu menukik turun dan menyerang dari atas dengan pedangnya!
Lili yang kini terkejut dan cepat menangkis, akan tetapi Bhok Cun Ki sudah melanjutkan serangkaian serangannya yang membuat gadis itu repot. Ketika Lili melempar diri ke atas tanah bergulingan dan membentuk serangan baru dari bawah, kembali tubuh Bhok-ciangkun melompat tinggi ke atas. Kini dia tidak mau menangkis atau mengelak ke samping, melainkan menghadapi serangan gadis itu dengan loncatan tinggi kemudian ketika tubuhnya turun dia menyambar bagaikan seekor rajawali menyerang seekor ular.
Kembali keadaan menjadi berbalik, Lili yang kini terdesak karena bagaikan seekor ular menghadapi burung yang dapat terbang, ia tidak diberi kesempatan menyerang lawan, sebaliknya lawan menghujankan serangan yang dimulai dari atas.
Hal ini membuat Lili menjadi penasaran dan marah sekali. Ketika untuk kesekian kalinya Bhok Cun Ki mendesaknya dengan serangan bertubi, ia mengeluarkan teriakan nyaring, pedangnya diputar cepat melindungi tubuhnya dan tangan kirinya mendorong dengan pengerahan tenaga dari ilmu tok-coa-kun (silat ular beracun). Dorongan ini hebat sekali karena dari telapak tangan kiri itu keluar uap kehitaman. Itulah pukulan beracun yang ganas!
"Haiiiitttt!" Bhok Cun Ki yang mengenal pukulan maut, segera meloncat lagi ke atas, lalu menukik bagaikan seekor burung garuda.
Pada saat itu, dia melihat sinar hitam meluncur ke arah dadanya dari arah kiri. Dia tahu bahwa dia diserang oleh senjata rahasia yang berbahaya. Karena tubuhnya sedang berada di udara dan tidak dapat mengelak, dia mengerahkan tenaga pada pedangnya dan menangkis senjata rahasia yang hanya berupa sinar hitam itu.
"Cringgg!" Dan sinar hitam itu tertangkis, meluncur ke bawah, ke arah Lili.
"Awas.......!!" Bhok Cun Ki berseru memperingatkan, namun terlambat. Lili sama sekali tidak mengira bahwa akan ada senjata rahasia meluncur demikian cepatnya oleh tangkisan pedang lawan yang berada di atas sehingga sebelum ia tahu apa yang terjadi, tiba-tiba ia merasa nyeri pada pundak kirinya dan senjata rahasia itu telah menancap di pundak. Tubuhnya seketika menjadi lemas dan matanya berkunang, lalu gelap! Lili roboh pingsan.
"Pengecut curang!" teriak Bhok Cun Ki dan tubuhnya sudah melayang ke arah dari mana datangnya senjata rahasia tadi. Namun dia tidak menemukan orangnya. Agaknya penyerang gelap itu telah melarikan diri dengan cepat. Karena cuaca mulai remang-remang, Bhok Cun Ki cepat menghampiri Lili. Gadis itu rebah miring dan ketika dia memeriksanya, dia terkejut. Sebatang paku hitam menancap di pundak itu. Paku itu masuk semua ke dalam daging pundak, dan panjang paku itu sepanjang jari kelingkingnya. Paku beracun!
Hal ini dapat dilihatnya dengan seketika, melihat betapa sekitar luka itu nampak tanda hitam kebiruan. Cepat dia menotok beberapa bagian dari pundak itu setelah merobek bajunya, menghentikan jaian darah agar racun paku itu tidak menyebar luas, lalu dicabutnya paku itu. Karena dia tidak membawa obat, maka dipanggulnya tubuh gadis yang masih pingsan itu dan dibawanya lari cepat kembali ke kota raja. Tentu saja para penjaga terkejut melihat panglima itu memanggul seorang gadis yang pingsan dan mereka cepat memberi pertolongan, menyediakan kereta sehingga Bhok-ciangkun, dapat membawa Lili pulang tanpa menarik banyak perhatian.
Kedatangan Bhok-ciangkun disambut dengan girang oleh Ci Han dan Ci Hwa, akan tetapi mereka juga terheran-heran melihat ayahnya memondong tubuh seorang gadis yang bukan lain adalah Lili, gadis yang hendak membunuhnya!
"Ayah, kenapa ayah membawa siluman ini ke sini?" tanya Ci Hwa.
"Apa yang terjadi, ayah," tanya Ci Han.
Sin Wan yang juga berada di situ, tidak bertanya karena dia sudah mengetahui segalanya. Dia sudah berjanji kepada Ci Hwa untuk melindungi Bhok-ciangkun agar tidak sampai celaka ditangan Lili. Oleh karena itu, sebelum Bhok-ciangkun berangkat, dia telah mendahului naik mendaki bukit Bambu Naga dan mengambil jalan memutar sambil bersembunyi, kemudian dia menyembunyikan diri di balik semak belukar di puncak.
Karena itu, dia melihat pertemuan antara Bhok Cun Ki dan Lili, bahkan mendengarkan semua percakapan di antara mereka. Maka tahulah dia urusan pribadi apa yang ada antara Bhok Cun Ki dan Bi-coa Sianli Cu Sui In. Diam-diam dia merasa terharu dan kasihan kepada mereka berdua. Cinta antara pria dan wanita merupakan perpaduan dari sorga dan neraka. Kalau berkembang dan berhasil baik membuat keduanya merasa seperti di sorga, sebaliknya kegagalan cinta membuat orang merana seperti tersiksa di neraka!
Kemudian, tanpa berani memperlihatkan diri Sin Wan melihat mereka berdua bertanding. Dia hanya siap untuk melindungi Bhok-ciangkun, kalau sampai panglima itu terancam bahaya dan diam-diam diapun mengambil keputusan untuk mencegah seandainya Lili yang kalah dan terancam maut.
Kemudian, selagi Bhok-ciangkun mempergunakan siasat seperti yang dimaksudkannya ketika dia dan panglima itu bertanding pedang, yaitu dengan cara berlompatan mengambil seekor burung menghadapi ular, dan ketika panglima itu sudah dapat mendesak lawan, dia melihat senjata rahasia yang meluncur ke arah Bhok-ciangkun itu.
Akan tetapi dari tempat dia bersembunyi, tidak mungkin menolong panglima itu karena senjata rahasia itu meluncur dari arah yang berlawanan dari tempat dia bersembunyi! Dan dia melihat betapa Bhok-ciangkun berhasil menangkis senjata kecil itu dengan pedang, dan senjata rahasia itu bahkan melukai Lili! Dengan cepat, melalui jalan memutar, Sin Wan lari ke tempat dari mana senjata itu datang. Akan tetapi karena dia harus mengambil jalan memutar, dia terlambat dan tidak dapat menemukan penyerang gelap itu. Ketika dia melihat Bhok-ciangkun menolong Lili dan memondong gadis yang pingsan itu, menuju ke kota raja, dia mendahului dan kepada Ci Hwa dan Ci Han dia hanya menceritakan bahwa Bhok-ciangkun dalam keadaan selamat dan dapat mengalahkan Lili.
"Cepat, ambilkan peti obat!" kata Bhok-ciangkun kepada kedua orang anaknya sambil memondong tubuh Lili yang masih pingsan ke dalam kamar. Sin Wan tidak ikut masuk, melainkan masuk ke dalam kamarnya sendiri dan termenung. Dia ikut terharu dengan peristiwa itu dan tidak ingin mencampuri.
Betapapun juga, dia semakin kagum kepada Bhok Cun Ki. Sungguh seorang pendekar yang bijaksana, pikirnya. Gadis itu jelas datang, untuk membunuhnya dan kini gadis itu pingsan karena senjata rahasia orang lain. Namun, Bhok Cun Ki bahkan menolongnya dan membawanya pulang untuk mengobatinya! Jarang terdapat orang bijaksana dan budiman seperti panglima itu.
Bhok Cun Ki sibuk mengobati Lili . Dua orang anaknya hanya menonton dengan alis berkerut. Mereka merasa penasaran sekali. Gadis liar itu telah menghina mereka, mengalahkan mereka, bahkan mengancam hendak membunuh ayah mereka. Akan tetapi kini ayah mereka malah membawa gadis yang terluka itu pulang untuk diobati!
Bhok Cun Ki mencuci bersih luka itu, kemudian mengurut bagian pundak dan memaksa darah menghitam keluar dari luka di pundak. Setelah itu, ditempelkannya obat penghisap racun berupa koyok (obat tempel) putih yang tebal, dan dibalutnya pundak itu. Semua ini dia kerjakan sendiri karena kedua orang anaknya segan untuk membantu.
Lili mengeluh dan membuka kedua matanya. Sejenak ia seperti nanar dan bingung, akan tetapi ia bangkit duduk dan menggigit bibir ketika terasa nyeri pada pundaknya. Ia memandang ke arah pundak kirinya, alisnya berkerut melihat betapa baju di pundaknya robek dan nampak kulit pundaknya telanjang, kini sudah terbalut kain putih. Ia menoleh dan melihat Bhok Cun Ki duduk di depannya, juga dua orang anak panglima itu berada di kamar. Melihat ia duduk di atas pembaringan di sebuah kamar, Lili segera teringat. Ia terkena serangan senjata rahasia di pundaknya dan ia roboh di puncak bukit itu, kenapa ia tahu-tahu berada di kamar ini? Melihat obat berserakan di atas meja, iapun tahu bahwa tentu ia telah diobati oleh Bhok Cun Ki!
"Engkau..... manusia curang! Pengecut! Engkau menyerangku dengan senjata rahasia! Dan engkau membawaku ke sini! Sungguh engkau telah menghinaku!!"
"Tenanglah, nona Lili. Bukan aku yang menyerangmu dengan senjata rahasia. Lihatlah, benda ini yang mengenai pundakmu!" Dia mengeluarkan paku hitam dari dalam saku bajunya, menyerahkannya kepada Lili. Gadis itu menerimanya, menyimpan dalam lipatan bajunya.
"Akan kuketahui kelak siapa pemilik paku ini. Tentu komplotanmu yang sengaja menyerangku secara curang."
"Nona Lili, engkau terlalu memandahg rendah kepadaku!" kata Bhok Cun Ki dengan alis berkerut.
"Engkau tahu benar bahwa dalam pertandingan tadi, aku tidak berada di pihak yang kalah atau terdesak. Paku itu ditujukan kepadaku, menyerangku dan aku yang sedang berada di atas, menangkisnya dengan pedang. Paku itu melesak dan mengenai pundakmu."
"Bhok Cun Ki, kalau begitu, kenapa engkau membawaku ke sini? Jangan kaukira perbuatanmu ini akan membuat aku berhutang budi kepadamu. Aku tetap akan menantangmu mengadu nyawa lagi setelah sembuh lukaku!" Lili berkeras,
"Nona, jangan pergi dulu, lukamu belum sembuh. Atau, kalau engkau berkeras hendak pergi, bawalah obat ini untuk menggantikan koyok yang menyedot racun dari lukamu itu," kata Bhok-ciangkun melihat gadis itu hendak melangkah pergi.
"Dan jangan lupa, ini pedangmu!" Dia menyodorkan pedang dan buntalan obat.
Lili cemberut, tangan kanannya menyambar pedang ular putih dan diselipkan di pinggang, kemudian direnggutnya balutan pundaknya dengan kasar sehingga balutan itu terlepas dan obat koyok itupun jatuh dari pundaknya.
"Aku tidak membutuhkan pertolonganmu. Aku tidak minta kau obati!" katanya sambil menahan rasa nyeri karena luka itu berdarah lagi setelah koyok dan balutannya ia renggut lepas dan ia buang.
"Kelak aku akan mencarimu lagi untuk melanjutkan pertandingan sampai seorang di antara kita menjadi mayat!" Setelah berkata demikian, Lili membalikkan tubuhnya dan sambil menahan rasa nyeri, iapun melarikan diri meninggalkan gedung keluarga Bhok.
Bhok-ciangkun tidak mengejar, dan dia menjatuhkan diri duduk di atas kursi dengan wajah yang muram sekali. Isterinya masuk dari ruangan belakang dan segera menghampiri suaminya.
"Apakah yang terjadi? Aku mendengar dari para pelayan bahwa engkau pulang memondong seorang gadis yang terluka dan pingsan."
Bhok Cun Ki menggeleng kepala. Tidak ada apa-apa. Ia seorang gadis yang terkena paku beracun dan tadi aku menolongnya."
"Gadis itu sombong sekali ibu," kata Ci Hwa.
"Ia ditolong malah marah-marah dan pergi."
"Siapa sih ia?" tanya Nyonya Bhok Cun Ki yang berwajah cantik dan berwatak lembut itu.
Ci Hwa dan Ci Han memandang kepada ayah mereka, dan Bhok Cun Ki, berkata,
"Kami tidak mengenalnya. Sudahlah, jangan dipikirkan lagi gadis itu."
Dengan isyarat pandang matanya, Bhok Cun Ki menyuruh kedua orang anaknya pergi. Dua orang muda itupun keluar dari kamar meninggalkan ayah ibu mereka. Ci Hwa mencari Sin Wan di kamarnya, akan tetapi pemuda itu tidak berada di sana, juga tidak berada di mana-mana dalam gedung itu.
Untung bagi Lili bahwa malam itu cuaca amat gelapnya dan udara yang mendung membuat orang segan keluar rumah. Jalan-jalan sunyi sehingga Lili yang bajunya robek di bagian pundak, hanya ditutupi dengan saputangan lebar dan tangan kanan, tidak menarik perhatian banyak orang. Juga ketika ia memasuki rumah penginapan besar melalui pintu samping, para penjaga tidak begitu memperhatikannya sehingga ia dapat memasuki kamarnya di rumah penginapan terbesar di kota raja itu dengan aman.
Setibanya di dalam kamar, Lili tidak menahan-nahan lagi rasa nyeri di pundaknya dan iapun merintih kesakitan. Lalu ia menyalakan lampu penerangan, ditambah beberapa batang lilin, dan memeriksa luka di pundaknya di depan sebuah cermin. Hemm, luka beracun, pikirnya. Sebagai murid See-thian Coa-ong yang mempelajari penggunaan bermacam racun, terutama racun ular dan binatang berbisa lainnya, ia segera mengetahui bahwa luka di pundaknya itu mengandung racun bunga yang cukup berbahaya. Untung bahwa racun itu tidak menjalar ke dalam, juga sebagian besar racun telah disedot oleh koyok yang dipasangkan Bhok Cun Ki dan yang tadi dibuangnya.
SELAGI ia hendak mengobati lukanya dengan obat yang berada dalam bekalnya, tiba-tiba terdengar suara di luar daun jendela kamarnya.
"Lili, bukalah jendela ini, biarkan aku masuk. Aku ingin bicara denganmu."
Tangan kanan Lili meraba gagang pedangnya, dan matanya terbelalak. Suaranya terdengar agak gemetar, bukan karena takut melainkan karena tegang ketika ia bertanya,
"Siapa....? Siapa di luar jendela itu?"
"Aku yang berada di sini, Lili. Aku Sin Wan......"
"Sin Wan......?" Wajah itu berubah menjadi berseri, pandang mata yang tadinya berharap-harap cemas itu bersinar-sinar dan dengan tangan kanan yang agak menggigil Lili membuka daun jendela yang lebar itu. Sesosok bayangan berkelebat masuk melalui jendela ke dalam kamar dan Sin Wan menutupkan kembali daun jendela itu.
"Sin Wan.......! Akhirnya kita jumpa juga....... aih, betapa rinduku kepadamu......" Lili berseru perlahan dan iapun merangkul leher pemuda itu dengan lengan kanannya karena lengan kirinya akan membuat pundaknya nyeri sekali kalau ia gerakkan.
Sin Wan terkejut. Tak disangkanya dia akan disambut begini mesra dan penuh sukacita, juga penuh keharuan oleh gadis liar ini. Akan tetapi dia teringat akan pertemuannya dahulu dengan Lili. Gadis ini pernah dengan terus terang mengaku cinta kepadanya, akan tetapi juga benci. Bahkan ketika Kui Siang meninggalkannya, Lili muncul dan mengajaknya untuk hidup bersamanya. Kini, melihat sikapnya, tahulah dia bahwa gadis liar ini tak pernah melupakannya dan masih mencintanya.
Sejenak Sin Wan membiarkan Lili melepas kerinduan dengan merangkul dan menyandarkan muka ke dadanya. Kemudian, perlahan-lahan dia melepaskan rangkulan gadis itu dan berkata,
"Lili, aku datang untuk bicara denganmu."
Lili melepaskan diri dan kini ia menatap wajah pemuda itu dengan sinar mata bercahaya dan kedua pipi kemerahan. Wajahnya berubah menjadi segar dan berseri walaupun pundaknya masih terasa nyeri. Sin Wan kini baru melihat bahwa pundak kiri gadis itu tidak tertutup baju dan ada luka kehitaman di situ.
"Ah, engkau terluka? Luka beracun pula itu, Lili. Mari kubantu engkau mengobatinya."
Lili tersenyum dan senyumnya masih semanis dulu.
"Aku tahu engkau memang baik sekali kepadaku, Sin Wan. Tak pernah kulupakan betapa engkau dahulu juga menolongku dan mengobati luka keracunan di punggung dan pundakku."
Sin Wan memeriksa luka itu. Memang hanya luka kecil saja, bekas tusukan paku. Akan tetapi racun yang dibawa paku itu kini jauh lebih hebat dan berbahaya.
"Aku membawa bekal obat penawar racun, Sin Wan. Biar kuambil dari buntalan itu."
"Nanti dulu Lili. Kulihat racun dalarn lukamu ini amat berbahaya. Semua sisa racun harus dikeluarkan dulu, baru diberi obat agar engkau tidak terancam bahaya yang mungkin timbul kelak karena pengaruh sisa racun," kata Sin Wan.
"Engkau duduklah bersila di atas pembaringan itu."
Bagaikan seorang anak yang amat penurut, dengan senyum penuh kegembiraan, Lili duduk di atas pembaringan dan bersila. Sin Wan juga duduk bersila di belakangnya dan pemuda ini lalu menempelkan tangan kirinya di punggung bawah pundak kiri gadis itu, mengerahkan tenaga sakti dan menyalurkannya melalui lengan kirinya. Dari mendiang Pek-mau-sian (Dewa Rambut Putih), seorang di antara Tiga Dewa gurunya, Sin Wan mewarisi ilmu pengobatan dan di dalam ilmu Sam-sian Sin-ciang (Tangan Sakti Tiga Dewa) terdapat penggunaan sinkang yang menyedot amat kuatnya. Kini dia mengerahkan tenaga itu untuk mendorong keluar hawa beracun yang masih tersisa di sekitar pundak kiri.
Lili merasakan getaran hawa yang kuat dan hangat itu memasuki pundak lewat telapak tangan Sin Wan. Ia tersenyum, memejamkan kedua matanya dan merasa suatu kebahagiaan yang amat ia rindukan menyelinap ke dalam hatinya. Sejak dahulu ia kagum kepada pemuda ini, sejak masih kanak-kanak. Ketika mereka masih kanak-kanakpun mereka pernah bertemu dan berkelahi. Sucinya, Cu Sui In yang ketika itu masih menjadi gurunya, sedang bertanding melawan Sam-sian, dan ia bertanding melawan Sin Wan.
Akan tetapi, ia kalah dan Sin Wan menangkapnya, menelungkupkannya di atas pangkuan Sin Wan dan anak laki-laki itu menghukumnya dengan tamparan pada pinggulnya sampai sepuluh kali! Teringat akan semua itu, timbul kemesraan yang mendalam di hati Lili. Teringat pula ia ketika mereka sudah dewasa dan bertemu kembali, Sin Wan juga menolongnya seperti ini, bahkan pemuda itu menggunakan mulutnya untuk menghisap luka-luka di punggungnya dan pundaknya untuk mengeluarkan racun, dan betapa setengah hari, lamanya ia tertidur dalam rangkulan Sin Wan, bersandar pada dadanya. Betapa mesranya!
Kemudian, ia ingat betapa ia pernah membalas hukuman tamparan pada pinggulnya itu dengan penuh kemarahan, karena menang kekalahannya di waktu ia masih kecil itu tak pernah dapat ia lupakan. Ia menangkap Sin Wan, menyiksanya, mengikatnya di hutan sehingga nyaris pemuda itu diterkam harimau.
Akan tetapi ia mencintanya! Ia mencinta Sin Wan maka ia tidak membiarkan pemuda itu mati diterkam harimau. Ia menyelamatkannya dan membebaskannya. Dan kini, pemuda yang pernah disiksanya dan hampir dibunuhnya itu kembali menolongnya, mengobati dan mengusir racun keluar dari lukanya. Sebetulnya, ia sendiri dapat menyembuhkan luka itu. Akan tetapi ia membiarkan Sin Wan yang mengobatinya dan ia merasa betapa kemesraan menyusup di hatinya.
Tak lama kemudian luka di pundak itu mengeluarkan cairan menghitam. Sin Wan terus mendorong dengan getaran hawa saktinya sampai semua cairan menghitam habis keluar. Setelah yang keluar darah merah, barulah dia menghentikan pengerahan sinkangnya dan dia menaruh obat bubuk putih milik Lili, ditaburkannya pada luka itu. Obat bubuk putih itu manjur bukan main karena seketika luka kecil itu tertutup dan kering. Tidak perlu dibalut lagi.
"Sekarang bahaya sudah lewat," kata Sin Wan sambil meloncat turun dari atas pembaringan.
Lili juga turun dan ia mengeluarkan sehelai baju baru, menyelinap masuk ke dalam kamar mandi yang terdapat di kamar besar itu. Tak lama kemudian, Sin Wan melihat gadis itu keluar, bukan hanya telah mengenakan pakaian bersih, bahkan jelas bahwa ia menggunakan kesempatan itu untuk membereskan gelung rambutnya dan menambah bedak pada wajahnya yang cantik!
Lili tersenyum kepadanya.
"Duduklah, Sin Wan dan sekarang mari kita bicara. Bagaimana engkau tahu aku berada di sini dan apa yang akan kaubicarakan dengan aku?"
"Lili, aku melihat engkau bertanding dengan Bhok-ciangkun di puncak bukit Bambu Naga tadi."
"Ehhh?" Lili terkejut dan mengamati wajah pemuda itu penuh selidik.
"Dan engkau melihat siapa yang telah menyerang dengan paku beracun tu?"
Sin Wan menggeleng kepala.
"Sudah kucoba untuk mengejar, akan tetapi tidak berhasil. Aku tidak tahu siapa yang melakukan kecurangan itu."
"Siapa lagi kalau bukan kawan Bhok Cun Ki sendiri yang hendak berlaku curang?"
"Jangan engkau menuduh seperti itu, Lili. Aku mengenal siapa Bhok Cun Ki itu dan dia adalah seorang gagah yang tidak akan sudi berbuat curang."
"Huh, kau tidak tahu. Dia seorang yang palsu, perayu dan..... sudahlah, untuk apa kita bicara tentang dia? Tentu engkau datang mengunjungiku untuk bicara tentang diri kita, bukan? Apakah engkau sudah bersedia untuk bertualang berdua denganku, Sin Wan? Aku selalu merindukanmu, dan hidup akan terasa bahagia sekali kalau engkau dapat selalu mendampingiku."
Sin Wan menarik napas panjang. Dia merasa iba kepada Lili. Seorang gadis yang sebetulnya memiliki dasar watak yang baik dan gagah. Sayang karena lingkungan, maka ia menjadi seorang gadis kang-ouw yang ganas dan seperti liar tak terkendali. Diapun tahu bahwa di lubuk hatinya, dia merasa sayang dan kagum kepada gadis ini. Oleh karena itulah maka dia mencari Lili, untuk menyadarkannya, agar gadis itu tidak melanjutkan niatnya memusuhi dan mengadu nyawa dengan Bhok Cun Ki.
"Lili, aku suka dan kagum kepadamu. Aku tahu engkau seorang gadis yang gagah perkasa dan baik hati. Akan tetapi, aku masih terikat oleh banyak tugas penting sehingga belum sempat mengunjungimu. Malam ini aku sengaja mencarimu justru untuk bicara tentang Bhok-ciangkun."
Lili mengerutkan alisnya dan sepasang mata yang indah itu mengerling tajam, cuping hidungnya agak kembang kempis menunjukkan bahwa hatinya terasa tegang.
"Hemm, apa lagi yang dapat dibicarakan tentang laki-laki itu?" katanya dengan suara ketus.
"Lili, aku mengharapkan sungguh-sungguh agar engkau menghentikan permusuhanmu dengan dia. Hentikanlah memusuhinya karena dia bukanlah laki-laki seperti yang kausangka. Dia seorang pendekar dan panglima yang bijaksana dan baik budi. Engkau keliru sekali kalau memusuhinya, apa lagi berniat hendak membunuhnya."
Makin dalam kerutan di antara alis mata gadis itu.
"Sin Wan, apamu sih Bhok Cun Ki itu maka engkau hendak melindunginya sedemikian rupa?"
"Bukan apa-apa, hanya kenalan saja."
"Kalau begitu, engkau belum mengenal betul siapa dia! Terus terang saja, aku hendak membunuhnya untuk melaksanakan perintah dari suciku, untuk membalaskan dendam sakit hati suci. Engkau tidak tahu apa yang telah dilakukannya terhadap suci. Dia telah menghancurkan kebahagiaan hidup suciku, tahu?"
"Aku tahu, aku sudah mendengarnya dan aku dapat mengerti dan menduga apa yang telah terjadi. Akan tetapi dia bukan seorang laki-laki yang sengaja hendak merusak kehidupan sucimu. Aku tahu bahwa mereka tadinya saling mencinta dan sudah terjanji akan hidup bersama sebagai suami isteri. Akan tetapi, kemudian Bhok Cun Ki mendengar bahwa kekasihnya itu adalah seorang tokoh sesat, maka sebagai seorang pendekar dia merasa tidak berjodoh dan tidak mungkin menjadi suami isteri dengan sucimu. Jadi, dia memisahkan diri bukan karena bosan atau tidak mencinta lagi. Aku yakin dia masih mencinta sucimu dan hanya karena keadaan memaksanya, dia meninggalkannya."
"Hemm, memang enak saja engkau berpendapat seperti itu, Sin Wan. Engkau tidak merasakan penderitaan yang dialami suciku selama bertahun-tahun, bahkan engkau tidak melihatnya dia menderita. Akan tetapi, sejak aku masih kecil, aku sudah hidup didekat suci yang dahulu menjadi guruku, setiap hari aku melihat keadaannya, kedukaannya, penderitaan batinnya. Ia bahkan tidak mau lagi berdekatan dengan pria, apa lagi menikah. Padahal ia seorang wanita yang cantik, pandai dan memiliki segalanya. Sudah sepatutnya kalau ia mendendam kepada Bhok Cun Ki dan mengutus aku untuk membunuh laki-laki yang jahat itu!"
"Lili, engkau hanya diracuni dendam yang dikandung sucimu. Bhok Cun Ki sama sekali bukan orang jahat dan hal itu sudah terbukti jelas ketika dia bertanding denganmu. Kalau dia jahat, tentu engkau akan dianggap musuhnya yang berbahaya karena engkau hendak membunuhnya. Akan tetapi, seperti yang telah kulihat, dalam pertandingan itu dia selalu mengalah, bahkan ketika engkau terluka oleh senjata rahasia gelap itu, dia membawamu pulang dan berusaha mengobatinya. Kalau dia jahat, tentu dia mendapatkan kesempatan baik untuk membunuhmu, bukan malah menolongmu. Bukti itu saja sudah menyatakan bahwa Bhok Cun Ki adalah seorang pendekar."
Lili tersenyum mengejek, hatinya merasa tidak senang melihat sikap dan mendengar ucapan Sin Wan yang memuji-muji musuh besarnya.
"Boleh jadi Bhok Cun Ki seorang pendekar, akan tetapi dalam pandanganku, dia adalah seorang yang telah melakukan perbuatan jahat sekali terhadap suci. Sudah sepatutnya kalau suci menaruh dendam, dan karena suci sudah mewakilkan kepadaku, maka aku harus berusaha membunuhnya!"
"Tapi dia bukan lawanmu, Lili. Dia masih terlalu lihai bagimu dan engkau akan kalah."
"Aku tidak takut! Aku akan mengadu nyawa dengannya. Dia atau aku yang harus mati dalam pertandingan kami nanti!" kata Lili dengan suara yang tegas dan nekat.
Sin Wan mengerutkan alisnya. Sedikit banyak dia sudah mengenal watak gadis yang liar dan ganas ini. Lili bukan sekedar menggertak, akan tetapi semua ucapannya itu akan dilakukannya. Diam diam dia merasa khawatir sekali. Dia tidak menghendaki Bhok Cun Ki terbunuh oleh gadis liar ini, akan tetapi dia juga tidak ingin melihat Lili tewas.
"Lili kenapa engkau begini keras kepala dan bodoh? Tanpa memperdalam silatmu, bagaimana engkau akan mampu menandinginya? Engkau sudah kalah dan kalau hanya nekat maju lagi dan kalah lagi, bukankah hal itu amat memalukan? Sungguh tidak tahu malu kalau setelah berulang-ulang dikalahkan, masih nekat maju lagi dan dikalahkan lagi."
Akal Sin Wan memanaskan hati gadis itu berhasil. Sepasang pipi itu menjadi kemerahan dan sinar mata itu mencorong marah.
"Kalau aku melawannya lagi, aku tidak akan berhenti sebelum dia atau aku yang menggeletak mati menjadi mayat. Dia atau aku yang harus mati!"
"Hemm, itu namanya konyol! Kalau kita sudah tahu tidak akan menang dan akan mati akan tetapi kita nekat, itu berarti suatu kebodohan dan kematian itu adalah kematian yang konyol dan tidak ada artinya sama sekali. Lili, ingatlah, kalau engkau mati dalam pertandingan itu, lalu apa artinya? Engkau mati konyol dan tetap saja dendam sucimu tidak terbalas. Kematianmu itu hanya akan menambah kedukaan sucimu saja, juga kekecewaan bahwa engkau yang dipercaya ternyata tidak mampu melaksanakan tugas dengan baik."
Mendengar ucapan ini, Lili termenung, menundukkan mukanya dan alisnya berkerut, tanda bahwa ia berpikir. Lalu ia mengangkat mukanya memandang kepada Sin Wan.
"Sin Wan, kalau bukan engkau yang bicara tadi, tentu aku sudah membunuh pembicaranya. Akan tetapi, kupikir engkau benar juga dan aku kini menjadi bingung. Kalau menurut pendapatmu, lalu apa yang harus kulakukan?"
Agak lega rasa hati Sin Wan melihat perubahan sikap gadis itu.
"Lili, urusan antara Bhok Cun Ki dan sucimu itu adalah urusan yang amat pribadi, maka sebaiknya kalau sucimu sendiri yang maju membuat perhitungan dengan Bhok Cun Ki. Kalau demikian keadaannya, maka orang luar, siapapun dia, tidak berhak mencampuri. Pula, sucimu tentu memiliki kepandaian yang lebih tinggi darimu, maka kiranya ialah yang akan mampu menandingi Bhok Cun Ki.
Andaikata engkau yang tetap diutus olehnya yang mewakilinya, sebelum engkau menantang Bhok Cun Ki, sebaiknya kalau engkau memperdalam lebih dahulu ilmu kepandaianmu agar jangan mati konyol begitu saja. Nah, bukankah usulku ini sehat dan dapat diterima? Dalam hal pertandingan mengadu ilmu dan mungkin mengadu nyawa, kita tidak boleh terdorong oleh hati panas. Hati boleh panas, akan tetapi kepala harus tetap dingin agar engkau dapat memikirkan siasat yang baik."
Lili mengangguk-angguk.
"Agaknya engkau benar, Sin Wan. Biarpun aku tidak takut mati, akan tetapi tentu saja tidak benar kalau aku nekat dan kematianku tidak ada artinya. Baiklah, ucapanmu menyadarkan aku akan kebodohanku, dan tidak akan menantang Bhok Cun Ki sebelum aku memperdalam ilmu-ilmuku. Aku menuruti permintaanmu, Sin Wan. Akan tetapi sebaliknya, engkaupun harus menuruti permintaanku."
"Permintaan apakah itu?"
"Pertama, engkau jangan mencampiri urusan antara suci dan Bhok Cun Ki, jangan melindungi Bhok Cun Ki........"
"Tentu saja aku tidak akan mencampuri. Sudah kukatakan, urusan itu amat pribadi dan Bhok-ciangkun sendiripun tidak mau dicampuri orang lain. Engkau melihat sendiri, ketika dia memenuhi tantanganmu, tidak ada seorangpun bersama dia. Aku sendiri hanya mengintai dengan sembunyi dan diluar tahunya."
"Bagus, dan sekarang permintaan ke dua. Kalau memang benar engkau tidak berpihak kepada Bhok Cun Ki, marilah engkau menemani aku bertualang di dunia persilatan, dan engkau membimbingku agar aku dapat memperdalam ilmu silatku. Sin Wan, sejak dulu aku cinta padamu dan hidupku akan berbahagia sepenuhnya kalau engkau mau mendampingi aku selamanya."
Sin Wan terkejut. Gadis ini sungguh terbuka dan jujur bukan main. Kiranya sukar mencari seorang gadis yang begini berterus terang mengatakan isi hatinya. Ucapan itu tentu saja membuat dia merasa kikuk dan mukanya menjadi kemerahan.
"Aih, Lili, kenapa engkau bicara kembali soal itu? Sudah kukatakan bahwa aku masih mempunyai banyak tugas yang harus kuselesaikan, dan aku sama sekali belum memikirkan perjodohan
"Sin Wan, bukankah itu hanya alasan saja? Kalau memang engkau tidak suka kepadaku, katakan terus terang agar aku tidak selalu mengharapkanmu!"
"Aku kagum dan suka kepadamu, Lili. Akan tetapi, untuk berjodoh, diperlukan perasaan yang lebih mendalam, lebih dari pada hanya kagum dan suka. Dan aku belum memikirkan hal itu, aku masih terikat oleh kewajiban. Bukankah engkau sendiripun masih terikat oleh tugas-tugasmu?"
"Aku siap untuk meninggalkan suhu dan suci kalau engkau mau hidup bersamaku, Sin Wan."
Sin Wan menggeleng kepalanya.
"Lili, kelahiran, perjodohan dan kematian berada ditangan Tuhan. Kalau kita memaksakannya maka hal itu akan tidak baik akibatnya. Kalau memang kita berjodoh, kelak tentu Tuhan akan mempertemukan kita.
Gadis itu kini bangkit berdiri, matanya bersinar-sinar marah.
"Bagus, kiranya engkau hanya bermain mulut saja! Kalau memang tidak mau, katakan saja tidak mau! Aku tahu, engkau berpihak kepada Bhok Cun Ki, dan siapa tahu, engkau mungkin sudah jatuh cinta kepada puterinya yang cantik itu. Hemm, tentu saja engkau akan terjamin kalau menjadi mantu seorang panglima!"
"Lili, aku tidak........."
"Cukup! Engkau memualkan perutku. Pergi! Pergi dari sini dan jangan memperlihatkan mukamu lagi!" Gadis itu menunjuk ke jendela, mengusirnya.
Sin Wan menghela napas, tidak merasa terhina oleh pengusiran itu karena dia sudah mengenal watak Lili yang keras dan aneh. Diapun tanpa banyak cakap lagi lalu mengdampiri jendela, membuka daun jendela dan melompat keluar dengan gerakan ringan tanpa menimbulkan suara. Lili berdiri termenung memandang jendela yang kosong, dan tanpa disadarinya, dua titik air mata keluar dari pelupuk matanya, jatuh ke atas sepasang pipinya.
Di lembah muara Sungai Kuning yang memuntahkan airnya ke teluk Pohai, terdapat beberapa bukit kecil. Di atas puncak sebuah di antara bukit itu terdapat sebuah rumah gedung yang besar. Inilah tempat tinggal seorang datuk persilatan yang terkenal di dunia kang-ouw sebagai datuk yang berkuasa di wilayah timur. Datuk ini dijuluki Tung-hai-liong (Naga Lautan Timur) bernama Ouwyang Cin. Datuk ini berusia enampuluh enam tahun, tubuhnya gendut bulat, kepalanya botak dan melihat tubuhnya orang tidak akan menyangka bahwa dia seorang ahli silat yang amat lihai.
Tung-hai-liong Ouwyang Cin sebetulnya peranakan Jepang. Ayahnya seorang Cina Han, dan ibunya seorang Jepang aseli. Akan tetapi, sejak kecil dia dididik oleh ayahnya sehingga dia tidak lagi kelihatan sebagai peranakan, melainkan sebagai seorang Han aseli, baik namanya, cara hidupnya dan kebudayaannya. Hanya ilmu silatnya saja yang campur dengan ilmu silat dari Jepang, yang dia pelajari dari para pamannya, yaitu jagoan-jagoan samurai dari Jepang.
Ketika masih muda, Tung-hai-liong Ouwyang Cin adalah seorang petualang yang dengan perahu layarnya malang melintang di lautan timur. Namanya terkenal sebagai bajak laut yang amat ditakuti, bahkan dia terkenal sampai ke Jepang karena seringkali dia membajak di perairan kepulauan Jepang. Bahkan isterinyapun puteri seorang jagoan samurai yang takluk kepadanya, sehingga Ouwyang Cin mengenal banyak jagoan Samurai Jepang. Dia menikah dengan gadis Jepang yang berwatak lembut itu, yang telah melahirkan seorang anak perempuan.
Biarpun Tung-hai-liong Ouwyang Cin seorang bajak laut yang hidup dalam kekerasan, namun ternyata dia amat mencinta isterinya. Ketika puterinya berusia sepuluh tahun dan dia sendiri berusia limapuluh lima tahun, dia melepaskan perahunya dan tinggal di bukit lembah muara Huang-ho, tidak lagi berlayar menjadi bajak laut, akan tetapi mulai dikenal sebagai datuk wilayah timur. Semua bajak laut yang malang melintang di teluk Pohai dan lautan timur, tunduk kepadanya dan menganggap dia sebagai datuk para bajak laut.
Puteri Ouwyang Cin bernama Ouwyang Kim, dan kini telah berusia duapuluh tahun. Gadis ini selain cantik jelita dan mungil, wajahnya bulat dan kulitnya halus putih kemerahan. Sikapnya lembut dan ramah sehingga ia nampak lemah. Akan tetapi sesungguhnya, dibalik kelembutannya itu tersembunyi kekuatan yang dahsyat dan gadis ini lihai bukan main karena sejak kecil menerima gemblengan ayahnya. Bahkan tingkat kepandaian gadis ini lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian suhengnya yang bernama Maniyoko, pemuda Jepang yang masih keponakan mendiang ibunya dan juga menjadi murid ayahnya.
Demikianlah keadaan keluarga Ouwyang Cin. Di dalam rumah gedung besar itu hanya tinggal dia dan isterinya, puterinya dan muridnya itu. Jumlah pelayan jauh lebih banyak karena semua ada sepuluh orang pelayan untuk mengurusi rumah gedung besar itu dan empat orang penghuninya.
Pekerjaan Ouwyang Cin setiap harinya hanyalah menerima tamu-tamu, kebanyakan para bajak laut yang berkunjung untuk menghormat dan untuk menyumbangkan sebagian dari hasil bajakan mereka sebagai tanda bahwa mereka mengakui kepemimpinan datuk ini. Juga banyak perampok pantai yang mengakuinya sebagai datuk pemimpin. Waktu selebihnya dipergunakan Ouwyang Cin untuk mengurus perkebunan, peternakan dan juga beberapa buah perahu besar beserta para nelayannya yang mencari ikan di sepanjang muara.
Dari hasil semua ini, Ouwyang Cin terkenal sebagai seorang yang kaya raya. Diapun tidak pernah melupakan latihan silat untuk puterinya dan muridnya atau keponakannya, bahkan dia sendiri tak pernah mengendurkan semangatnya berlatih silat karena dia maklum bahwa tanpa latihan, kemahiran akan cepat menurun, mengingat bahwa usianya semakin bertambah.
Maniyoko merupakan murid yang baik dan patuh kepada gurunya dan sudah seringkali Ouwyang Cin menyerahkan pekerjaan penting kepada muridnya ini sebagai wakilnya. Jarang sekali Maniyoko gagal melaksanakan tugas sehingga gurunya semakin sayang dan percaya kepadanya.
Diam-diam Ouwyang Cin mengandung niat untuk menarik murid yang juga keponakan isterinya ini menjadi calon suami bagi puterinya. Dia melihat dengan jelas betapa Maniyoko mencinta puterinya. Hanya karena sikap Ouwyang Kim yang nampaknya tidak atau belum membalas cinta itulah yang membuat Ouwyang Cin masih belum dapat mengambil keputusan. Dia terlalu sayang kepada puterinya untuk memaksanya dalam urusan apapun juga.
Pada suatu pagi yang cerah, di taman bunga belakang gedung milik keluarga Ouwyang, nampak seorang pemuda dan seorang gadis sedang berlatih silat. Mereka merupakan pasangan yang sedap dipandang. Pemudanya berusia duapuluh tujuh tahun, wajahnya tampan dan bulat, kulitnya halus putih dan pakaiannya yang ringkas itu rapi dan mewah. Cambangnya hitam tebal tumbuh dari pelipis sampai ke dagu, terpelihara rapi. Melihat pakaian dan rambutnya yang disisir rapi, ada kesan pesolek pada diri pemuda yang nampak tampan dan juga gagah karena cambangnya itu. Tubuhnya agak pendek, hanya sedikit lebih tinggi dari pada gadis yang bertubuh mungil dan tidak tergolong tinggi itu.
Gadis itupun cantik jelita, wajahnya yang berbentuk bulat, kulitnya putih halus dan kemerahan seperti kulit seorang bayi. Rambut dan alis matanya hitam sekali, membuat wajah itu nampak semakin putih. Tubuhnya mungil kecil namun padat dan ramping dan ia nampak lembut dan lemah gemulai dalam gerakan silatnya. Mereka adalah Maniyoko dan Ouwyang Kim.
Mereka sedang berlatih silat tangan kosong dan keduanya dapat bergerak dengan gesit bukan main. Dasar gerakan ilmu silat mereka adalah ilmu silat dari selatan karena sebelum menjadi bajak laut, dahulu Ouwyang Cin adalah seorang ahli silat dari selatan yang sudah mempelajari banyak macam ilmu silat dari berbagai aliran, baik dari Siauw-lim selatan maupun dari Butong-pai. Namun, ilmu silatnya berkembang dan bercampur dengan aliran lain, bahkan telah dikombinasikan dengan ilmu bela diri dari Jepang.
Dalam latihan, nampak gerakan Ouwyang Kim lebih cepat dan ringan, dan ia lebih banyak menyerang dari pada suhengnya (kakak seperguruannya). Namun, gerakan Maniyoko yang mantap dan kokoh dapat membuat pemuda Jepang ini mampu menangkis atau mengelak dari semua serangan lawannya. Akhirnya dia meloncat ke belakang dan berseru,
"Cukup, sumoi, desakanmu membuat aku repot sekali. Sungguh kecepatan gerakanmu luar biasa!" pemuda itu memuji dan pandang matanya penuh rasa kagum dan sayang kepada sumoinya. Ouwyang Kim tersenyum.
"Aih, engkau selalu memuji, suheng. Engkaupun sudah maju pesat, kedua tanganmu berat sekali."
"Sumoi, mari kita berlatih pedang. Gerakan di bagian akhir dari ilmu pedang kita sungguh masih terlalu sulit bagiku, belum juga aku mampu melakukannya dengan sempurna." Pemuda itu mengambil dua batang pedang yang memang sudah dipersiapkan di situ. Biasanya, mereka berlatih di dalam ruangan berlatih silat yang cukup luas di bagian belakang gedung. Akan tetapi karena pagi hari yang cerah itu amat panas, mereka memilih untuk terlatih di taman, di udara terbuka.
"Suheng, memang ilmu pedang Raja Matahari yang dirangkai ayah merupakan ilmu pedang yang sukar. Ilmu pedang itu diambil dari jurus-jurus pilihan dari semua ilmu pedang yang pernah dipelajari ayah, dicampur dengan ilmu pedang dari Jepang yang menggunakan pedang samurai. Kalau kita belum pernah mempelajari ilmu-ilmu pedang dari ayah, tidak mungkin kita akan mampu menguasai Jit-ong-kiamsut (Ilmu Pedang Raja Matahari) ini dengan baik. Kita harus tekun dan bagian yang sukar harus kita latih terus menerus." Mereka lalu berlatih ilmu pedang. itu dan dalam hal ilmu yang baru ini, ternyata Ouwyang Kim jauh lebih unggul dan ialah yang memberi petunjuk-petunjuk kepada suhengnya.
Mereka berhenti berlatih ketika dari taman itu mereka melihat sebuah kereta memasuki pekarangan depan. Mareka tertarik karena yang datang dengan kereta itu bukanlah para bajak atau golongan sesat yang biasa datang menghadap Ouwyang Cin. Melihat muka-muka baru, kedua orang muda ini tertarik dan tanpa bicara mereka menghentikan latihan dan pergi ke depan untuk melihat siapakah para tamu yang datang berkunjung.
JILID 08
Ternyata kereta itu memuat sebuah peti dan tamunya berjumlah empat orang yang sedang diterima oleh pelayan penjaga yang seperti biasa menanyakan siapa mereka dan apa keperluan mereka datang berkunjung. Ketika empat orang itu melihat munculnya Maniyoko dan Ouwyang Kim, yang tertua di antara mereka, berusia limapuluh tahun lebih bertubuh tinggi kurus, segera menghadapi mereka dan bertanya dengan sikap yang sopan."Kami mendengar bahwa locianpwe (orang tua gagah) Ouwyang Cin mempunyai seorang murid laki-laki dan seorang puteri yang keduanya gagah perkasa Apakah (anda berdua) murid dan puterinya itu?"
Ouwyang Kim yang wataknya pendiam dan halus itu tidak menjawab, membiarkan suhengnya yang menjawab. Maniyoko memandang kepada penanya itu dan diapun berkata dengan suara yang angkuh.
"Benar, Tung-hai-liong Ouwyang Cin adalah guruku, dan aku bernama Maniyoko. Sumoiku ini puteri suhu bernama Ouwyang Kim. Siapakah paman dan ada keperluan apa datang berkunjung?"
"Nama saya Coa Kun, seorang di antara Bu-tek Cap-sha-kwi (Tigabelas Setan Tanpa Tanding), bersama tiga orang rekan saya diutus oleh Yang Mulia untuk menghaturkan sedikit bingkisan berikut suratnya, kepada locianpwe Tung-hai-liong Ouwyang Cin."
Berbeda dengan Ouwyang Kim yang jarang meningggalkan rumahnya, Maniyoko sudah banyak terjun ke dunia kangouw dia mengenal banyak tokoh kangouw, maka tentu saja dia sudah pernah mendengar tentang Bu-tek Cap-sha-kwi. Dia mengamati laki-laki tinggi kurus itu, melihat pedang yang tergantung di punggungnya dan diapun berkata,
"Ah, kalau begitu tentu kami berhadapan dengan Bu-tek Kiam-mo (Iblis Pedang Tanpa Tanding)!"
"Kongcu mempunyai penglihatan yang tajam sekali!" Bu-tek Kiam-mo memuji.
"Mari, paman, kami antar paman sekalian menghadap suhu," kata Maniyoko dengan gembira, apa lagi mendengar bahwa tokoh kangouw ini diutus oleh seseorang yang disebutnya Yang Mulia. Tentu seorang tokoh besar. Diapun menyuruh seorang pelayan penjaga untuk memberi laporan kepada gurunya bahwa empat orang tamu hendak menghadap diantar oleh dia dan sumoinya.
Coa Kun lalu menyuruh tiga orang rekannya untuk menggotong peti yang dimuat di dalam kereta, sedangkan kuda penarik kereta diserahkan kepada pelayan untuk dirawat. Mereka berempat lalu mengikuti Maniyoko dan Ouwyang kim memasuki gedung, menuju ke ruangan tamu yang berada di bagian samping kanan.
Di dalam ruangan tamu yang mewah itu telah menanti Tung-hai-liong Ouwyang Cin yang duduk di kursinya dengan sikap yang agung seperti seorang raja yang hendak menerima orang-orang yang hendak menghadap. Biarpun usianya sudah enampuluh enam tahun, tubuhnya gendut dan kepalanya semakin botak, namun datuk ini masih nampak mencorong dan berwibawa, seperti pandang mata seseorang yang merasa yakin akan kekuatannya sendiri.
Bu-tek Kiam-mo Coa Kun juga seorang tokoh besar dalam dunia kangouw, akan tetapi dia maklum bahwa kedudukannya kalah tinggi dibandingkan kakek yang duduk di kursi dengan angkuhnya itu, maka diapun segera memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada, diikuti tiga orang rekannya setelah meletakkan peti yang mereka angkut dari dalam kereta tadi.
"Saya Coa Kun dan tiga orang pembantu datang menghadap locianpwe Ouwyang Cin untuk menyampaikan salam hormat dari Yang Mulia di kota raja," katanya dengan suara lantang.
Ouwyang Cin, juga Maniyoko dan Ouwyang Kim memandang dengan penuh perhatian, karena mereka terkejut dan heran juga mendengar disebutnya Yang Mulia, sebutan yang biasanya hanya diberikan kepada seorang kaisar, raja atau setidaknya pangeran. Akan tetapi, tak seorangpun di antara mereka memperlihatkan perasaan heran itu pada wajah mereka.
"Coa Kun, jelaskan siapa yang kausebut Yang Mulia itu, agar aku mengetahui dengan siapa aku berurusan," suara datuk itu dalam dan parau.
"Saya sendiri tidak tahu siapa nama pemimpin besar kami itu, locianpwe. Akan tetapi, Yang Mulia mengutus saya menghadap locianpwe, selain menyampaikan salam hormatnya, juga mengirim sekedar bingkisan dan surat kepada locianpwe, harap locianpwe sudi menerimanya."
Coa Kun memberi isyarat kepada tiga orang rekannya dan mereka segera membuka tutup peti itu, memperlihatkan isinya kepada tuan rumah. Dari tempat duduknya, Ouwyang Cin dapat melihat bahwa peti itu terisi barang berharga seperti kain sutera yang mahal, barang ukiran kuno, ada pula lukisan indah dan barang-barang perhiasan dari emas dan perak. Sungguh merupakan bingkisan yang amat besar nilainya. Hatinya merasa senang, akan tetapi inipun tidak nampak pada wajahnya.
"Berikan surat itu kepadaku," katanya.
Coa Kun mengeluarkan sesampul surat dari saku bajunya dan menyerahkannya kepada Ouwyang Cin. Datuk ini membuka sampulnya, mengeluarkan sehelai surat yang ditulis dengan huruf-huruf indah. Sebelum membaca isinya, dia melirik ke arah cap di bawah surat sebagai tanda si pengirim surat dan sekali ini, matanya terbelalak tanpa dapat dia sembunyikan lagi saking kaget dan herannya. Tentu saja dia mengenal cap kebesaran itu, karena dahulu di waktu mudanya sering dia melihat cap itu, yalah cap kebesaran Kaisar Kerajaan Goan atau Mongol! Kerajaan itu telah jatuh duapuluh tahun yang lalu, akan tetapi bagaimana sekarang ada seseorang memakai cap kebesaran itu dan mengirim bingkisan berharga kepadanya? Cepat dibacanya surat itu dan dia menjadi semakin terheran-heran.
Surat itu menerangkan bahwa Kerajaan Goan kini sedang menyusun kekuatan untuk bangkit dan berjaya kembali, dan untuk tugas itu diserahkan kepada seorang pangeran dan seseorang yang bergerak di bawah tanah, menggunakan kedok dan hanya dikenal dengan sebutan Yang Mulia. Dan kini Yang Mulia mengajak Ouwyang Cin untuk membantu gerakannya menjatuhkan Kerajaan Beng, dengan janji bahwa kalau berhasil kelak, maka Ouwyang Cin pasti akan diangkat menjadi raja muda yang menguasai daerah timur!
Ouwyang Cin masih terbelalak, akan tetapi wajahnya berseri-seri. Menjadi raja muda! Mana mungkin hal itu dapat terjadi kalau tidak bekerja sama dengan kekuasaan besar yang mempunyai balatentara kuat seperti bekas kaisar Mongol? Dia kini hanya menjadi datuk golongan sesat! Tentu saja jauh berlainan dibandingkan dengan menjadi seorang raja muda! Sudah terbayang di pelupuk matanya betapa dia duduk di singgasana, berpakaian sebagai raja muda tulen, dihadap para pengawal dan disembah oleh seluruh rakyat di wilayah timur!
Membantu orang-orang Mongol mencoba untuk meruntuhkan Kerajaan Beng baginya bukan berarti memberontak, karena sekarangpun sebagai datuk sesat, dia sudah dimusuhi oleh pemerintah. Pula, dia seorang peranakan Jepang! Dibacanya sekali lagi isi surat itu, dan diliriknya isi peti, kemudian dia mengangguk-angguk dan tersenyum puas.
"Baiklah, Coa Kun. Kami terima bingkisan dari Yang Mulia dengan ucapan terima kasih. Dan kami setuju untuk bekerja sama, akan tetapi kami ingin mendengar lebih banyak tentang rencananya. Kita bicarakan hal itu sambil makan minum, saudara Coa Kun!" Ouwyang Cin dengan gembira lalu menoleh kepada puterinya dan berkata,
"Katakan kepada ibumu agar menyiapkan hidangan besar untuk menjamu para tamu kita yang terhormat."
Ouwyang Kim mengerutkan alisnya, akan tetapi ia tidak berani membantah dan mengangguk, lalu masuk ke dalam untuk memberitahu kepada ibunya. Sebagai seorang yang kaya raya, Ouwyang Cin dapat saja membuat pesta setiap hari, karena ternak tinggal potong, bumbu-bumbu sudah sedia, tukang masakpun ada. Segera terjadi kesibukan di dapur, dipimpin oleh Nyonya Ouwyang Cin, dan dibantu pula oleh Ouwyang Kim.
"A Kim, siapa sih tamu-tamunya maka harus dibuatkan jamuan besar segala?"
"Tamunya itu seorang di antara Bu-tek Cap-sha-kwi, ibu, namanya Coa Kun dan julukannya Bu-tek Kiam-mo, julukan yang mergandung kesombongan besar. Akan tetapi bukan karena dia itu berjuluk Setan Pedang Tanpa Tanding maka dia dijamu ayah, melainkan karena dia mengaku sebagai utusan Yang Mulia."
Wanita cantik yang lembut itu memandang kepada puterinya dengan heran.
"Yang Mulia? Siapa itu?"
"Aku tidak tahu, ibu. Coa Kun itu menyerahkan surat dan barang hadiah yang serba mahal. Setelah membaca surat itu, ayah kelihatan senang sekali dan menjamu Coa Kun yang tadinya sama sekali tidak dihormatinya. Jelas bahwa yang mengutus orang itulah yang dihormati ayah, dan aku tidak tahu siapa itu Yang Mulia."
"Sebutan Yang Mulia hanya ditujukan kepada kaisar atau raja atau orang yang besar kedudukannya. Kalau Kaisar, kiranya tidak mungkin mengirim hadiah dan surat kepada ayahmu, ah, aku khawatir........." wanita itu termenung.
"Khawatir apa, ibu?" Ouwyang Kim bertanya.
"Ayahmu tentu hanya mengenal dua orang kaisar, yaitu kaisar Kerajaan Beng yang baru berdiri duapuluh tahun, dan tentu saja kaisar lama, kaisar Mongol dari Kerajaan Goan yang sudah jatuh. Aku khawatir sekali karena aku sudah mendengar bahwa orang-orang Mongol berusaha untuk membangun kembali pemerintah Mongol yang sudah jatuh. Jangan-jangan........ ayahmu didekati orang-orang Mongol untuk membantu mereka memberontak dan mendirikan lagi Kerajaan Mongol."
Gadis itu mengangguk-angguk.
"Mungkin sekali, ibu. Akan tetapi, ayah memang seorang petualang yang tidak pantang melakukan apa saja demi keuntungan........" suara gadis itu terdengar penuh kedukaan. Ia sependapat dengan ibunya, yaitu bahwa pekerjaan seperti yang dilakukan ayahnya, menjadi datuk para bajak laut, merupakan pekerjaan yang jahat dan tidak baik. Pada dasarnya, ibu gadis itu seorang wanita Jepang, puteri seorang samurai yang berjiwa lembut dan tidak suka melihat perbuatan jahat dan kekerasan sehingga ketika menjadi isteri seorang seperti Tung-hai-liong seorang datuk yang hidupnya penuh dengan kekerasan, ia hidup dalam keadaan batin tertekan dan menderita.
"Akan tetapi, menjadi pemberontak? Ini sudah keterlaluan, A Kim. Berbahaya sekali pekerjaan itu. Bagaimana mungkin menentang pemerintahan yang mempunyai ratusan ribu pasukan? Sebaiknya kalau ayahmu tidak melibatkan diri dengan pemberontakan."
"Akan tetapi, belum tentu surat itu datang dari pemberontak Mongol, ibu."
"Syukurlah kalau begitu. Akan tetapi hatiku tidak enak, A Kim. Engkau harus dapat memperoleh keterangan yang jelas. Kalau benar dugaanku bahwa ayahmu didekati pemberontak, kita berdua harus mencegahnya dan membujuknya. Maniyoko tidak bisa kita harapkan, selalu mentaati ayahmu sampai mati."
"Ibu, andaikata benar demikian dan kita tidak berhasil membujuk ayah? Ibu tahu akan kekerasan hati ayah."
"Kalau begitu, kita harus menentangnya! Maksudku, engkau harus menentangnya karena aku sejak kecil tidak suka mempelajari ilmu silat. Aku tidak suka melihat ayahmu memberontak. Engkau harus berjuang untuk menentang pemberontakan itu sehingga engkau akan dapat mencuci noda karena perbuatan ayahmu. Aku tidak ingin melihat engkau kelak dihukum karena menjadi anak pemberontak. Nah, tidak perlu engkau membantu di dapur, A Kim. Keluarlah dan ikutlah dengan mereka bercakap-cakap. Engkau seorang ahli silat, engkau pantas saja untuk ikut berbincang. Akan tetapi jangan tergesa-gesa mencela ayahmu di depan tamu. Aku ingin engkau mengetahui sepenuhnya siapa Yang Mulia yang mengirim surat kepada ayahmu itu dan bagaimana bunyi suratnya."
Ouwyang Kim yang sejak kecil lebih dekat kepada ibunya dari pada ayahnya, kecuali kalau ia sedang berlatih silat, mengangguk dan iapun meninggalkan dapur, kembali ke ruangan tamu di mana ayahnya masih bercakap-cakap sambil minum arak harum yang membuat lidah mereka lebih lancar bicara. Melihat puterinya muncul, Ouwyang Cin tidak menegurnya. Puterinya itu memang tidak dipingit seperti para gadis lainnya, namun dibiarkan bebas dan sudah biasa puterinya hadir kalau dia sedang menerima tamu penting.
"Sumoi, apakah engkau tidak membantu subo yang sibuk di dapur?" Maniyoko bertanya, nadanya tidak menegur dan halus. Dia selalu bicara halus kepada sumoinya itu.
Ouwyang Kim cemberut.
"Suheng, kenapa aku saja yang harus membantu selalu? Kenapa tidak engkau yang sekarang membantu? Aku ingin mendengar percakapan ayah dengan tamu penting ayah, aku ingin sekali tahu, siapa sih yang disebut Yang Mulia itu? Apakah Kaisar atau Raja?"
Bu-tek Kiam-mo Coa Kun mengerutkan alisnya, khawatir melihat gadis cantik yang bebas itu. Sungguh berbahaya membuka sebuah rahasia kepada seorang gadis seperti ini, pikirnya. Akan tetapi agaknya Ouwyang Cin mengerti akan kekhawatiran tamunya, maka dia tertawa bergelak.
"Ha..ha..ha, saudara Coa Kun, harap jangan khawatir. Anakku Ouwyang Kim ini selain dapat dipercaya, juga ia bukan seorang gadis lemah. Dan aku tidak biasa menyimpan rahasia terhadap puteriku sendiri. A Kim, yang disebut Yang Mulia itu adalah wakil Kaisar Kerajaan Goan.......".
"Bukankah Kerajaan Goan itu Kerajaan Mongol ayah? Dan bukankah sekarang sudah tidak ada lagi Kerajaan Mongol itu?"
"Ha..ha..ha, kaulihat saudara Coa Kun, betapa cerdiknya puteriku ini. Jangan pandang ringan anakku ini! Benar, A Kim, akan tetapi kau keliru kalau mengira bahwa Kerajaan Goan sudah tidak ada. Kerajaan itu masih ada, hanya untuk sementara ini menyingkir karena dikalahkan pemberontak duapuluh tahun yang lalu. Sekarang sedang menyusun kekuatan dan menawarkan kerja sama dengan ayahmu."
"Aih, ayah main-main saja. Aku tidak percaya!" kata Ouwyang Kim cemberut.
"Ha..ha, kaubaca sendiri suratnya!" Ayahnya melemparkan surat itu dan Ouwyang Kim menyambutnya, lalu membacanya, cepat sekali, lalu mengembalikannya kepada ayahnya. Ia sudah hafal akan isinya dan bahkan ia mengingat-ingat dan mencatat bentuk tulisan yang indah itu.
"Sekarang aku baru percaya, ayah."
"Dan bagaimana pendapatmu?" tanya ayahnya.
Coa Kun menatap tajam wajah gadis itu karena dia ingin sekali mendengar pendapatnya. Bagaimanapun juga dia lebih percaya kepada Maniyoko dari pada gadis ini.
Ouwyang Kim memandang kepada Coa Kun dan tiga orang temannya, lalu menoleh kepada ayahnya dan tersenyum.
"Aku tidak mempunyai pendapat, ayah. Urusan itu sama sekali tidak menarik hatiku, yang lebih menarik adalah tamu kita ini." Ia memandang kepada Coa Kun sambil tersenyum.
"Ehh? Apa maksudmu, A Kim? Apanya yang menarik pada diri saudara Coa Kun ini?" Ayahnya bertanya heran, mengira bahwa puterinya tertarik kepada tamu pria yang usianya sudah limapuluhan tahun lebih itu.
"Yang menarik hatiku adalah pedang di punggungnya dan nama julukannya, ayah. Paman Coa Kun engkau dijuluki orang Bu-tek Kiam-mo (Setan Pedang Tanpa Tanding)! Tanpa Tanding atau tak terkalahkan, bukan main! Aku jadi ingin sekali minta pelajaran dalam ilmu pedang darimu, paman, karena aku yakin bahwa dari seorang jago pedang yang tak pernah terkalahkan, aku akan mendapatkan banyak petunjuk "
"Sumoi.........," Maniyoko terkejut mendengar ini.
"Aih, nona harap jangan main-main dengan pedang......" Bu-tek Kiam-mo berkata sambil tersenyum lebar, ada rasa bangga mendapat pujian seorang gadis cantik, akan tetapi juga perasaan tidak enak karena yang menantangnya mengadu ilmu pedang adalah puteri tuan rumah.
Akan tetapi, Tung-hai-liong Ouwyang Cin tertawa bergelak, hatinya senang sekali.
"Apa yang dikatakan puteriku memang benar. Kami sudah lama mendengar nama besar Cap-sha Bu-tek-kwi, dan kebetulan yang datang berkunjung adalah seorang di antara mereka yang ahli pedang. Puteriku memang suka sekali mempelajari ilmu pedang, oleh karena itu, harap saudara Coa Kun tidak terlalu pelit untuk memburu sekedar petunjuk untuk puteriku, agar menambah pengetahuannya yang dangkal dan pengalamannya yang sempit."
Ucapan merendah ini bukan timbul karena kerendahan hati, melainkan karena diam-diam kakek datuk inipun memandang rendah tamunya dan dia yakin puterinya akan mampu menandingi Bu-tek Kiam-mo karena dia tahu akan kelihaian puterinya.
Mendengar ucapan itu, Bu-tek Kiam-mo merasa seolah-olah kepalanya menjadi membengkak besar dan hatinya yang memang sombong itu menjadi senang bukan main. Inilah kesempatan untuk pamer, memamerkan kepandaiannya tanpa memberi kesan pamer kepada pihak tuan rumah.
"Tapi pedang adalah benda mati, aku khawatir kalau kesalahan tangan dan melukai nona." Kembali dalam ucapan ini terkandung kesombongan, seolah-olah dia sudah yakin akan mengalahkan nona itu dan takut kalau sampai melukainya.
"Ha..ha, dalam pertandingan pedang, biasalah kalau ada yang terluka. Akan tetapi kami yakin bahwa saudara Coa Kun akan bermurah hati dan tidak sampai melukai A Kim terlampau parah," kata pula Ouwyang Cin.
Mendengar semua ucapan itu, senanglah hati Ouwyang Kim. la memang sengaja mencari akal menantang tamu ayahnya itu untuk membikin malu kepadanya dan untuk melampiaskan hatinya yang mendongkol melihat ayahnya terbujuk dalam persekutuan pemberontak dengan orang-orang Mongol. Melihat ayahnya sudah menyetujui, gadis itu sudah mencabut pedangnya dan ia pergi ke tengah ruangan yang luas itu.
"Kurasa ruangan ini cukup luas untuk bermain pedang. Suheng, tolong angkut kursi dan meja itu ke tepi agar tempatnya lebih luas."
Ouwyang Cin memberi isyarat agar Maniyoko melaksanakan permintaan sumoinya itu dan dia sendiri memandang kepada Coa Kun dan tiga orang temannya dengan tertawa.
"Marilah, saudara Coa Kun harap jangan sungkan. Sambil menanti selesainya hidangan, mari engkau memberi petunjuk kepada A Kim"
Melihat tempat itu sudah diperluas dengan disingkirkannya meja kursi ke tepi, dan melihat gadis itu sudah siap dengan pedang di tangan, Coa Kun tersenyum dan mengangguk ke arah tuan rumah.
"Kalau memang dikehendaki, baiklah. Mari kita main-main sebentar, nona."
Berkata demikian, tangan kanannya bergerak ke atas kepala dan tiba-tiba saja dia sudah mencabut pedangnya. Gerakannya memang cepat dan pedang itu mengeluarkan sinar ketika dia menggerakkannya dan dia sudah meloncat ke depan Ouwyang Kim, memasang kuda-kuda yang gagah sekali.
Melihat lawan sudah siap, Ouwyang Kim lalu berseru,
"Bu-tek Kiam-mo, bersiaplah dan lihat seranganku!" Iapun menggerakkan pedangnya, mulai menyerang dan begitu menyerang, ia menggunakan jurus dari Jit-ong-kiamsut yang amat hebat. Bukan main kagetnya hati Coa Kun melihat sinar terang dari pedang gadis itu menyambar ke arah dadanya. Pedang itu diputar sedemikian rupa sehingga merupakan gulungan sinar terang yang meluncur ke dadanya. Sebagai seorang ahli pedang, dia mengenal jurus pedang yang amat berbahaya, maka diapun cepat meloncat ke belakang sambil memutar pedangnya membentuk perisai untuk melindungi dirinya.
"Trang..trang..trang.........!!" berulang kali kedua pedang itu bertemu di udara dan nampak bunga api berpijar menyilaukan mata. Kembali Coa Kun terkejut setengah mati karena setiap kali pedangnya bertemu pedang lawan, lengannya terasa hampir lumpuh karena terserang getaran yang amat kuat.
Dan Ouwyang Kim tidak menghentikan serangannya, melainkan menyerang dan mendesak terus dengan ilmu pedang Raja Matahari yang gerakannya asing dan aneh bagi Coa Kun. Hal ini tidak mengherankan karena memang ilmu pedang itu dirangkai oleh Tung-hai-liong dari berbagai ilmu pedang bercampur dengan ilmu samurai Jepang!
Coa Kun mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk melindungi dirinya. Gadis itu sama sekali tidak memberi kesempatan kepadanya terus menyerangnya secara bertubi-tubi dan karena memang setiap serangan itu amat berbahaya, Coa Kun hanya mampu mengelak dan menangkis, tanpa mampu membalas sejuruspun! Begitu bergebrak, dia terus diserang dan makin lama serangan gadis itu semakin berat dan berbahaya. Dia tahu bahwa kalau gadis itu menghendaki, sebelum tigapuluh jurus saja tentu dia dapat dirobohkan dengan dada tertembus pedang atau leher putus!
Si Setan Pedang Tanpa Tanding itu sudah mandi keringat dan wajahnya pucat. Betapa akan malunya kalau sampai dia terluka. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa gadis puteri datuk itu sedemikian lihainya walaupun dia tahu bahwa ayah gadis ini memang seorang datuk yang sakti. Jangankan baru dia seorang, biar dia dibantu tiga orang temannya itupun belum tentu dia akan mampu mengalahkan Ouwyang Kim. Lebih baik malu sedikit dari pada malu banyak.
"Cukup, nona, saya mengaku kalah!" serunya dan diapun melompat jauh ke belakang. Biarpun dia malu, akan tetapi setidaknya dia selamat dari menderita luka. Wajahnya pucat dan dia masih mandi keringat.
Ouwyang Kim tersenyum. Gadis ini nampak biasa saja, tidak berkeringat, dan tidak nampak lelah. Sudah tercapai apa yang ia kehendaki, yaitu membikin malu tamu ini untuk memperlihatkan ketidak senangan hatinya bahwa ayahnya dilibatkan dalam persekutuan pemberontak. la menyimpan pedangnya dan mengangguk kepada Coa Kun.
"Terima kasih atas petunjuk Bu-tek Kiam-mo!" Tentu saja ucapan itu dimaksudkan untuk mengejek.
Dengan mengesampingkan rasa malunya, Coa Kun memperlihatkan giginya yang kuning.
"Heh..heh di depan locianpwe Tung-hai-liong dan puterinya, saya tidak berani menggunakan julukan itu. Kiamsut dari siocia amat tangguh dan hebat, belum pernah saya menemui ilmu pedang sehebat itu!" Dia mengangkat kedua tangan memberi hormat kepada tuan rumah dan puterinya, lalu berkata lagi,
"Sungguh pilihan Yang Mulia amat tepat. Dengan bantuan locianpwe dan nona, tentu kedudukan kita akan menjadi jauh lebih kuat."
"Ahh, saudara Coa Kun. Yang Mulia hanya mengajak aku, dan aku hanya akan berkunjung bersama muridku, Maniyoko ini. Anakku akan tinggal di rumah menemani ibunya dan menggantikan aku menerima kunjungan para sahabat kami," kata Ouwyang Cin yang tidak ingin puterinya ikut pula dalam pekerjaan besar itu. Pula, di rumah perlu ada wakilnya untuk menerima sumbangan sebagai semacam upeti dari para pimpinan gerombolan sesat di perairan ataupun di pantai.
Maniyoko mengatur kembali meja kursi dan kini mereka duduk lagi bercakap-cakap dan sekali ini ditemani oleh Ouwyang Kim. Gadis pendiam ini tidak ikut bicara, melainkan sebagai pendengar yang mencatat semua percakapan itu di hatinya. Tahulah ia bahwa ayahnya memang telah menerima uluran tangan dari Yang Mulia, yaitu tokoh yang mewakili Kerajaan Goan atau kerajaan orang-orang Mongol yang mengadakan gerakan rahasia di kota raja dan yang berniat untuk membangun kembali kerajaan Goan yang sudah jatuh duapuluh tahun yang lalu.
Singkatnya, ayahnya telah bersekutu dengan golongan pemberontak dengan janji bahwa kalau kelak gerakan itu berhasil, pemerintah Kerajaan Beng dapat digulingkan dan Kerajaan Goan bangun kembali, ayahnya akan diberi pangkat raja muda yang berkuasa di daerah timur. Dan ayahnya akan pergi bersama Maniyoko ke kota raja menghadap Yang Mulia dan menerima tugas.
Menurut keterangan Coa Kun yang didesak ayahnya, mungkin sekali ayahnya mendapat tugas untuk bekerja sama dengan mereka, merampas kedudukan bengcu atau pimpinan kangouw yang akan diadakan di puncak Thai-san tahun depan, sebulan sesudah tahun baru, dan membantu orang yang ditunjuk oleh Yang Mulia agar menjadi bengcu. Pendeknya, ayahnya harus membantu anak buah Yang Mulia untuk mencegah agar kedudukan bengcu jangan terjatuh ke tangan orang yang setia kepada Kerajaan Beng. Kalau kedudukan itu terjatuh ke tangan orang-orang Mongol, tentu mereka akan dapat mengerahkan seluruh dunia kang-ouw untuk membantu gerakan orang Mongol menggulingkan Kerajaan Beng dan mendirikan kembali Kerajaan Goan!
Percakapan dilanjutkan ketika hidangan dikeluarkan. Sambil makan minum mereka bercakap-cakap, dan Ouwyang Kim hanya mendengarkan saja dengan sikap acuh, pada hal diam-diam ia memperhatikan dan mencatat semua pembicaraan.
Setelah selesai makan minum sampai kenyang, Coa Kun dan tiga orang temannya pamit dan mereka meninggalkan rumah keluarga Ouwyang membawa hadiah yang diberikan secara royal oleh Ouwyang Cin untuk menghormati utusan Yang Mulia dari kota raja itu.
Baru setelah para tamu pergi, Ouwyang Kim menceritakan semuanya kepada ibunya. Wanita itu merasa khawatir sekali dan bersama puterinya, ia lalu menasehati suaminya agar tidak melibatkan diri dalam pemberontakan.
"Langkahmu sudah terlalu jauh," demikian antara lain isteri yang gelisah itu memberi nasihat,
"mengapa tidak dipikir secara mendalam? Menempatkan diri sebagai sekutu pemberontak sungguh amat berbahaya, menyeret seluruh keluargamu dalam bahaya. Di dunia kang-ouw engkau boleh saja mengandalkan kepandaian untuk menjagoi akan tetapi apa dayamu menghadapi balatentara kerajaan? Sebagai pemberontak, engkau akan berhadapan langsung dengan pemerintah dan kalau tertangkap, hukumannya hanya satu yaitu mati berikut seluruh keluarga."
Ouwyang Kim juga membujuk ayahnya.
"Mengapa ayah percaya kepada seorang semacam Coa Kun itu? Ayah melihat sendiri, omongannya saja besar, julukannya besar akan tetapi buktinya, dia tidak ada gunanya. Kalau utusannya seperti itu, tentu yang mengutusnya juga tidak banyak artinya."
"Ha..ha..ha, kalian tidak mengerti. Gerakan ini bukan sekedar pemberontak biasa. Yang memimpin gerakan ini adalah Para pangeran Kerajaan Goan yang berhasil mengungsi ke utara. Kini mereka datang ke selatan dan menyusun kekuatan untuk membangun kembali Kerajaan Goan. Tentang siapa yang berkuasa, apa perduliku? Akan tetapi, mereka mengirim hadiah yang amat berharga, dan selain itu, mereka menjanjikan bahwa kelak kalau gerakan berhasil, aku akan diberi kedudukan raja muda yang berkuasa di daerah timur. Kalian dengar? Raja muda! Kalian akan menjadi isteri dan puteri raja muda! A Kim, engkau akan menjadi seorang puteri sejati, bangsawan tinggi. Dan tentang Yang Mulia itu, aku sendiri tentu tidak akan sudi menghambakan diri kepada orang yang tidak mampu. Aku akan melihat orang macam apa adanya dia."
Percuma saja ibu dan anak itu membujuk. Nafsu daya rendah memang teramat kuat dan setiap orang manusia selalu gagal menundukkannya. Kebutuhan kita hidup dalam dunia amatlah terbatas. Untuk mempertahankan kehidupan ini, cukuplah dengan sandang pangan dan papan sekadarnya. Akan tetapi keinginan atau pengaruh nafsu tidak mengenal batas, tidak pernah merasa cukup atau puas.
Nafsu adalah angkara murka, pementingan diri sendiri yang tanpa batas. Segala daya upaya dalam kehidupan diarahkan demi menyenangkan si aku, atau nafsu. Namun, nafsu tak pernah puas, kesenangan yang diperoleh segera terganti kebosanan dan dengan liar mencari kesenangan lain yang belum diperolehnya. Hati akal pikiran sudah pula digelimangi nafsu sehingga hati dan pikiran selalu membela kepentingan nafsu dengan mengajukan berbagai dalih dan alasan untuk membenarkan tindakan yang didorong nafsu. Pengaruh nafsu selalu menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan, dan tujuan itu tiada lain pasti sesuatu yang dianggap menyenangkan si aku. Nafsu bagaikan api berkobar, makin diberi umpan semakin besar nyalanya dan semakin tamak ingin melahap segala yang ada.
Nafsu yang timbul dari daya rendah disertakan manusia sejak lahir bukan merupakan kutukan. Sebaliknya malah, nafsu merupakan anugerah dari Tuhan Maha Pengasih yang amat mengasihi manusia sebagai ciptaanNya. Nafsu mutlak perlu bagi kita dalam kehidupan di dunia ini. Tanpa adanya nafsu kita tidak akan hidup seperti sekarang ini, bahkan mungkin saja manusia tidak akan dapat berkembang biak seperti sekarang.
Nafsu yang bekerja sama dengan hati akal pikiran membuat manusia dapat membuat segala benda yang dibutuhkan dalam hidup ini, dapat membuat kehidupan menjadi menyenangkan. Nafsu yang berada di panca indra yang membuat kita dapat merasakan segala kenikmatan hidup. Yang dinamakan kemajuan di bidang apa saja adalah hasil dorongan nafsu pada hati akal pikiran manusia.
Mata kita dapat menikmati penglihatan indah, hidung kita dapat menikmati penciuman harum, telinga kita dapat menikmati pendengaran merdu, dan selanjutnya. Tanpa adanya nafsu yang menimbulkan gairah, sukar membayangkan bagaimana kehidupan ini. Kosong, hampa dan tidak menarik. Kasih sayang Tuhan terbukti dengan diikutsertakan nafsu kepada kita.
Seperti api, kalau kecil dan terkendali, nafsu amatlah bermanfaat bagi kehidupan. Sebaliknya, kalau membesar dan tidak terkendali, segalanya akan terbakar habis! Jadi masalahnya, nafsu harus terkendali lalu bagaimana kita dapat mengendalikannya? Pertanyaan ini selalu diajukan manusia sejak sejarah tercatat, dan sampai kinipun manusia masih selalu berusaha dengan segala macam cara untuk menguasai atau mengendalikan, nafsunya sendiri. Melalui tuntunan agama, melalui keprihatinan, pertapaan, penyiksaan diri dan segala macam cara lagi ditempuh manusia demi untuk dapat menguasai dan mengendalikan nafsu.
Namun betapa pahitnya kenyataan itu, ialah bahwa jarang sekali ada manusia yang berhasil dalam usahanya itu. Ada yang sudah bertapa di tempat sunyi sampai bertahun-tahun, tetap saja tidak mampu mengendalikan nafsunya. Ketika berada di puncak gunung yang sunyi, nampaknya seolah dia berhasil menidurkan nafsunya. Akan tetapi begitu ia turun gunung, nafsunya bergejolak, bahkan menjadi semakin liar, lebih kuat dari pada sebelum dia bertapa. Mengapa demikian?
Semua usaha hati akal pikiran untuk mengendalikan nafsu, sebagian besar gagal karena hati akal pikiran juga sudah digelimangi nafsu. Jadi, menggunakan hati akal pikiran untuk menguasai nafsu! Tidak aneh kalau gagal! Pengetahuan dan pengertian hati akal pikiran saja tidak mungkin dapat mengalahkan nafsu. Semua orang yang melakukan perbuatan tidak baik tentu tahu dan mengerti bahwa perbuatannya itu tidak baik, namun tetap saja mereka melakukannya dan mengulanginya. Kadang sesal datang setelah berbuat, namun begitu nafsu datang mendorong, tidak ada kekuatan dalam diri untuk menahannya, bahkan akal pikiran dan hatipun tidak berdaya, bahkan menjadi pembela dari perbuatan yang terdorong nafsu.
Kita dihadapkan pada jalan buntu. Kita tidak dapat hidup tanpa nafsu, akan tetapi kitapun terseret ke dalam dosa oleh nafsu, dan kita tidak berdaya untuk mengendalikan lalu bagaimana? Hanya ada satu pemecahannya, yaitu mengembalikannya kepada Sang Maha Pencipta. Tuhan yang menciptakan nafsu, maka hanya Tuhan yang akan dapat mengembalikan nafsu kepada kedudukan dan tugasnya yang semula, yaitu menjadi peserta dan pelayan bagi manusia hidup di dunia, bukan sebagai majikan. Hanya Tuhan Yang Maha Kuasa yang akan mampu mengembalikan api nafsu itu menjadi api kecil yang terkendali sehingga amat bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Oleh karena itu, hanya dengan penyerahan yang tulus ikhlas, penuh kesabaran dan ketawakalan, kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, maka segalanya akan kembali teratur, sesuai dengan kehendak Tuhan, terjadi karena, kuasa Tuhan. Tidak ada cara atau jalan lain! Hati akal pikiran yang merupakan alat seperti juga anggauta tubuh lainnya, kita pergunakan untuk keperluan lahiriah, bekerja dan sebagainya. Adapun urusan rohaniah kita menyerah kepada kekuasaan Tuhan.
Sia-sia saja Ouwyang Kim dan ibunya membujuk dan manasihati Ouwyang Cin yang telah menjadi hamba nafsunya sendiri sehingga akhirnya ibu dan anak itu mengundurkan diri. Bahkan ketika Ouwyang Cin dan Maniyoko berangkat menuju ke kota raja, Ouwyang Kim tidak diperkenankan ikut.
"Engkau di rumah saja, A Kim. Engkau mewakili ayah menerima kunjungan para sahabat dan menerima sumbangan mereka dan mencatatnya, dan temani ibumu. Pekerjaan mewakili ayah inipun penting dan jangan diabaikan."
Demikian pesannya kepada Ouwyang Kim. Gadis itu tidak dapat membantah walaupun ia sebetulnya ingin sekali pergi untuk melindungi ayahnya karena ia seperti juga ibunya, khawatir kalau-kalau langkah yang diambil Ouwyang Cin itu akan menjerumuskan kepada bencana bagi diri sendiri.
SETELAH Ouwyang Cin pergi, isterinya yang lembut hati itu menangis. Sudah terlalu banyak air mata ditumpahkan wanita ini sejak ia menjadi isteri datuk itu. Ia sendiri adalah puteri seorang pendekar samurai yang baik hati, yang menentang kejahatan dan kini ia menjadi isteri seorang datuk sesat! Maka, pukulan paling hebat kini dirasakan ketika suaminya menjadi sekutu komplotan pemberontak. Melihat ibunya menangis, A Kim merangkulnya.
"Ibu, harap ibu jangan khawatir. Aku akan pergi ke kota raja dan aku akan menentang semua usaha pemberontakan itu. Dengan demikian, maka aku akan dapat menebus dosa dan noda yang dilakukan ayah. Syukur kalau aku dapat menyadarkan ayah sebelum terlambat."
Ibunya mengangguk pasrah. Ia tahu bahwa hanya itulah satu-satunya jalan bagi mereka. Ia harus merelakan puterinya karena ia sendiri tidak mampu berbuat sesuatu. Kalau usaha mereka dengan bujukan kata-kata tidak berhasil, maka harus dilanjutkan dengan tindakan untuk mencegah suaminya menjadi seorang pemberontak.
"Hati-hatilah, A Kim. Ibu selalu mendampingimu dengan doa. Tidak ada di antara nenek moyangmu yang menjadi pemberontak, baik nenek moyangmu di Jepang maupun yang berada di negeri ini. Sudah menjadi kewajibanmu untuk menyelamatkan ayahmu, walau dengan taruhan nyawa."
Demikianlah, pada hari itu juga, Ouwyang Kim atau A Kim berangkat menuju ke Nan-king, ibu kota Kerajaan Beng, menyusul ayah dan suhengnya.
Sesosok bayangan berkelebat seperti burung garuda terbang saja di atas atap sebuah rumah makan kecil yang berada di sudut kota raja. Tanpa menimbulkan suara bayangan itu melompat turun dan beberapa detik kemudian dia sudah berada di jalan raya yang sudah sepi karena malam sudah larut. Dia adalah Sin Wan.
Tadi dia membayangi seorang yang dianggap mencurigakan. Ketika orang itu memasuki rumah makan, tempat itu segera ditutup dari dalam dan diapun mengintai dari atap. Dilihatnya orang itu berbisik-bisik dengan tiga orang lain di dalam rumah makan kecil itu. Maka, dia cepat meninggalkan tempat itu dan langsung melapor kepada Bhok-ciangkun. Bhok Cun Ki yang memang selalu mempersiapkan pasukan keamanan, cepat mengirim seregu pasukan terdiri dari duabelas orang yang dipimpin sendiri oleh Sin Wan, menggerebek rumah makan itu. Akan tetapi apa yang dia temukan? Hanya sebuah rumah kosong. Tak seorangpun berada di situ dan jelas bahwa penghuni rumah makan itu telah melarikan diri sebelum pasukan tiba. Padahal, dia bergerak cepat dan tidak ada yang mengetahuinya.
Sin Wan merasa penasaran sekali. Sudah beberapa kali sejak dia berada di rumah Bhok Cun Ki dan melakukan penyelidikan, selalu usahanya menangkap mata-mata atau orang yang dicurigai gagal. Pernah beberapa hari yang lalu, menjelang tengah malam, dia mengejar sesosok bayangan yang mencurigakan dan bayangan itu lenyap begitu saja di dekat pintu gerbang pagar yang membentengi istana!
"Sungguh aneh sekali," dia mengomel ketika kembali ke rumah keluarga Bhok dan berunding dengan panglima itu.
"Bagaimana mereka bisa mengetahui bahwa tempat itu akan digerebek?"
"Mungkin di antara mereka terdapat banyak orang pandai, sehingga dapat mengetahui gerakanmu. Kenapa tadi engkau tidak turun tangan sendiri saja menangkap mereka?" tanya Bhok Cun Ki.
"Saya ingin bekerja secara rahasia agar mereka tidak mengenal saya dan memudahkan penyelidikan saya, paman Bhok. Kalau sekali mereka mengenal saya, tentu akan sulit bagi saya untuk melakukan penyelidikan. Karena itulah saya ingin agar pasukan keamanan yang menangkap mereka."
"Kurasa tidak perlu begitu, Sin Wan. Lambat laun mereka tentu akan mengenalmu juga. Pula, bantuanmu melakukan penyelidikan terhadap jaringan mata-mata di kota raja hanya sementara saja. Tugas kita yang utama adalah mengamati pemilihan bengcu di puncak Thai-san. Tugas keamanan di kota raja akan ditangani sendiri oleh Jenderal Yauw."
"Saya belum mengenal benar Jenderal Yauw. Dia sangat teliti dan keras. Apakah dia lihai?"
Bhok Cun Ki mengangguk-angguk.
"Di antara jagoan kota raja, dialah yang nomor satu. Aku sendiri agaknya akan.sukar untuk menandinginya. Dialah yang menjadi guru para panglima muda di kota raja. Hanya dalam urusan perang dia kalah oleh Jenderal Shu Ta. Akan tetapi dalam hal ilmu silat, dia lihai bukan main. Diapun amat keras dan entah sudah berapa orang yang dicurigai sebagai mata-mata disiksa sampai mati kalau terjatuh ke tangannya."
Sin Wan mengelutkan alisnya. Dia sama sekali tidak suka mendengar kekejaman yang dilakukan seseorang terhadap orang lain. Akan tetapi dia maklum bahwa begitulah kenyataannya. Kalau menusia sudah saling bermusuhan, apa lagi dalam perang, maka tidak ada makhluk lain di dunia ini yang lebih kejam dari pada manusia.
Akan tetapi dia sendiri akan selalu menuruti kata hati nuraninya. Dia selalu mendekati Tuhan dengan kepasrahannya, dengan imannya. Dia percaya bahwa Tuhan akan membersihkan perasaan hatinya dari benci, biar terhadap orang yang memusuhinya sekalipun. Dia memang bertekad untuk menentang kejahatan, akan tetapi perbuatannyalah yang dia tentang, bukan manusianya.
Dia sendiri akan memperlakukan seorang yang. dianggap jahat tidak dengan kebencian, melainkan dengan keadilan, dan dia akan berusaha agar orang yang melakukan penyelewengan itu dapat kembali ke jalan benar. Demikianlah pelajaran yang dahulu sering dia dengar dari mendiang ibunya tersayang, juga dari tiga orang gurunya, yaitu Sam-sian (Tiga Dewa). Pelajaran itu sesuai dengan suara hatinya. Kalau saja tidak ditugaskan oleh Ciu-sian agar dia mewakili gurunya itu, dia segan untuk melibatkan, diri dalam urusan kerajaan.
Setelah beberapa kali gagal menangkap mata-mata musuh, Sin Wan bertindak lebih hati-hati lagi. Beberapa hari kemudian, pada suatu malam ketika dia melakukan pengintaian sambil bersembunyi, dia melihat bayangan hitam berkelebat cepat sekali di dekat pagar tembok istana. Tentu saja dia menjadi curiga, khawatir kalau ada mata-mata musuh menyelundup ke istana dan melakukan kejahatan. Biarpun dia tahu bahwa kaisar sendiri dilindungi banyak pengawal yang rata-rata merupakan jagoan istana yang lihai, namun kalau ada orang luar menyelundup masuk ke istana kaisar maka hal itu amatlah berbahaya bagi keselamatan keluarga kaisar. Diapun cepat membayangi orang itu. Akan tetapi, agaknya bayangan itu meragu dan tiba-tiba dia mengubah tujuan, tidak jadi melompati pagar tembok, melainkan membalik dan meninggalkan tempat itu.
Sin Wan sudah maklum bahwa orang itu memiliki ilmu berlari cepat yang tinggi, dan tubuhnya kelihatan ringan bukan main, maka dia menjadi semakin curiga dan ingin sekali mengetahui apakah orang itu termasuk kawan ataukah lawan.
Dia tahu bahwa pemerintah sendiri menyebar banyak penyelidik yang berilmu tinggi, maka melihat bayangan itu, tentu saja dia tidak dapat memastikan apakah orang itu mata-mata pemerintah ataukah mata-mata musuh. Maka, dia cepat membayangi ke mana orang itu pergi. Sin Wan bergerak dengan hati-hati sekali karena membayangi seorang yang memiliki gerakan ringan seperti itu, amat berbahaya dan setiap saat dapat saja orang itu memergokinya.
Benar dugaannya. Pada saat orang itu berlari cepat, tiba-tiba saja orang itu berhenti dan membalik. Akan tetapi Sin Wan lebih cepat lagi. Tubuhnya sudah bertiarap di tempat gelap sehingga tidak mungkin orang itu melihatnya. Orang yang dibayanginya itu kembali melanjutkan perjalanannya dan Sin Wan kagum.
Seorang yang cerdik, pikirnya. Kalau dia kurang cepat sedikit saja menjatuhkan diri bertiarap dalam bayangan gelap sebuah rumah, tentu dia akan diketahui dan akan sia-sialah pengintaiannya. Akhirnya, dari jarak yang agak jauh, dia melihat bayangan itu tiba di luar pagar tembok yang mengelilingi sebuah gedung besar, lalu bayangan itu membalik lagi, melihat ke sekeliling, kemudian barulah meloncat ke atas pagar tembok itu dan menghilang.
Sin Wan termenung. Sebelum melakukan penyelidikan, dia sudah mempelajari seluruh keadaan kota raja dan dari Bhok-ciangkun dia memperoleh gambaran mengenai gedung-gedung besar yang penting. Dia tahu bahwa gedung yang dimasuki bayangan itu adalah.sebuah gedung peristirahatan di luar istana yang menjadi milik Pangeran Chu Hui San, putera mahkota.
Dia sudah mendengar banyak tentang pangeran itu dari Bhok-ciangkun yang menceritakan dengan bisik-bisik bahwa pangeran yang menjadi calon pengganti kaisar itu adalah seorang yang setiap hari hanya berenang di dalam lautan kesenangan. Kelemahan putera mahkota itu adalah wanita, dan menurut keterangan rahasia dari Bhok-ciangkun, gedung itu menjadi tempat pelesir pangeran itu kalau dia berkencan dengan wanita-wanita yang bukan selir atau dayangnya!
Dia tidak tahu apakah malam itu sang pangeran berada di gedung itu ataukah tidak, akan tetapi bagaimanapun juga, timbul kekhawatirannya. Bukan tidak mungkin ada mata-mata masuk untuk membunuh pangeran yang menjadi calon kaisar karena hal, ini akan menguntungkan pihak musuh dan akan mengacaukan keadaan. Berpikir demikian, Sin Wan lalu mendekati pagar tembok, mencari bagian yang gelap dan sepi di sebelah belakang dan tubuhnya melayang naik seperti seekor burung garuda saja, melompati pagar tembok dan beberapa detik kemudian dia sudah berada di taman bunga yang berada di belakang gedung.
Sin Wan menggunakan kepandaiannya, mengerahkan ginkang (ilmu meringankan tubuh), menyusup dan menyelinap di antara pohon-pohon dan semak di taman itu, mendekati gedung. Sunyi saja di sekitar gedung dan hal ini dia artikan bahwa malam itu sang pangeran tidak berada di situ. Kalau sang pangeran mahkota berada di situ, tentu terdapat pasukan pengawal yang menjaga keamanan. Hatinya sudah merasa agak lega, karena kalau sang pangeran tidak berada di situ, maka keselamatan pangeran mahkota itu tidak terancam bahaya.
Akan tetapi, kalau semua bagian gedung itu gelap, di bagian kiri dia melihat sebuah ruangan yang dipasangi lampu penerangan. Cepat dia menyelinap dan tak lama kemudian dia sudah mengintai di luar jendela ruangan itu. Sebuah ruangan yang luas dan nampak tiga orang duduk berhadapan terhalang meja. Agaknya mereka mengadakan perundingan. Akan tetapi yang membuat dia terheran-heran adalah melihat mereka itu semua memakai kedok!
Orang pertama bertubuh tinggi besar dengan perut gendut dan dia mengenakan pakaian ringkas serba hitam, bahkan topeng yang menutupi mukanya juga merupakan topeng hitam. Hanya nampak sepasang matanya yang mencorong melalui lubang pada topeng atau kedok itu. Agaknya dialah yang memimpin, karena sikapnya yang berwibawa dan sikap dua orang itu yang penuh hormat dan seperti menerima perintah dan mengangguk-angguk.
"Hamba mengerti, Yang Mulia," kata seorang yang mengenakan kedok hijau.
"Ingat, kalau tidak terpaksa, jangan melibatkan diri dalam perkelahian," kata Si Kedok Hitam yang disebut Yang Mulia itu, dan Sin Wan terkejut mendengar suara itu. Bukan seperti suara manusia, demikian parau dan dalam, seperti suara yang datang dari alam lain!
"Pusaka apa yang harus didahulukan, Yang Mulia?" tanya orang yang mengenakan kedok biru.
"Apa saja, yang penting pusaka Kerajaan Goan, dan kalau ada, dahulukan cap-cap kebesaran atau bendera-bendera tanda kekuasaan, juga pedang-pedang tanda kekuasaan."
Selagi orang berkedok hijau hendak bicara, tiba-tiba Si Kedok Hitam memberi isyarat agar dia diam, dan tiba-tiba saja dia memutar tubuh ke kanan, tangannya bergerak dan sinar hitam meluncur dengan cepat sekali ke arah jendela di mana Sin Wan mengintai!
Serangan itu hebat bukan main dan ternyata ada tiga batang paku beracun yang meluncur sedemikian cepatnya sehingga dapat menembus kain jendela dan menyerang mata, tenggorokan dan dada Sin Wan! Akan tetapi, pemuda ini dengan tenang namun lebih cepat dari sambaran senjata-senjata rahasia sudah melempar tubuh ke samping dan bergulingan sehingga tiga batang paku itu mengenai dinding di belakangnya dan runtuh ke lantai mengeluarkan bunyi berdenting. Ketika dia bergulingan itu, dia mendengar suara parau aneh itu memerintahkan dua orang tadi untuk segera pergi.
"Cepat kalian pergi, biar kubinasakan pengintai itu!"
Sin Wan hendak melompat pergi, akan tetapi tiba-tiba saja terdengar suara keras, jendela itu pecah berantakan dan sesosok tubuh yang tinggi besar telah menyerangnya dengan dahsyat. Ternyata dia Si Kedok Hitam dan memang orang ini luar biasa sekali. Begitu tiba di luar jendela tangannya sudah meluncur hendak menangkap dan mencengkeram pundak Sin Wan. Dari sambaran anginnya saja tahulah Sin Wan bahwa ia berhadapan dengan seorang lawan yang amat tangguh, yang memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat. Diapun cepat menggerakkan dan memutar lengan kanannya menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
"Dukk!" Sin Wan merasa tubuhnya tergetar dan kuda-kudanya goyah, akan tetapi Si Kedok Hitam itupun terkejut dan mengeluarkan suara kaget.
"Uhhh......! Siapakah engkau?" bentaknya dan dalam suaranya yang parau aneh itu terkandung keheranan dan kekaguman. Tentu saja dia kagum karena selama ini jarang sekali atau bahkan hampir tidak ada orang yang dapat menangkis pukulannya tadi dan membuat dia hampir terdorong mundur!
Sin Wan bersikap tenang.
"Siapa adanya aku tidak menjadi masalah lagi karena semua orang dapat melihat diriku dengan baik. Yang menjadi pertanyaan adalah siapa engkau yang memakai kedok dan berada di gedung milik Pangeran Mahkota?"
Akan tetapi, Kedok Hitam itu tidak menjawab dengan kata-kata, melainkan langsung saja menyerang dengan dahsyat, jauh lebih dahsyat dari pada tadi. Sin Wan mengenal serangan berbahaya, tubuhnya bagaikan sehelai bulu burung ringannya sudah mengelak. Akan tetapi lawannya menyerangnya lagi dan ketika dia mengelak. Si Kedok Hitam yang menjadi semakin penasaran menyerang lagi secara tertubi-tubi. Nampaknya dia hendak, memukul roboh dan menewaskan Sin Wan yang dianggapnya berbahaya, namun pemuda ini tentu saja bukan merupakan lawan ringan baginya. Sin Wan selalu mengelak dan kadang kalau dia menangkis, mereka berdua terguncang hebat,
Tiba-tiba terdengar orang itu mengeluarkan bentakan parau seperti suara seekor biruang marah dan tubuhnya sudah berpusing seperti gasing. Sin Wan terkejut karena dari pusingan tubuh itu mencuat jari tangan yang menotok secara bertubi-tubi. Berbahaya sekali serangan ini, maka terpaksa dia meloncat ke belakang untuk menghindarkan diri. Pada saat itu, suara keributan terdengar oleh orang-orang di luar gedung dan terdengar derap kaki orang berlari-larian menuju ke gedung itu.
Dan kesempatan selagi Sin Wan meloncat ke belakang, Si Kedok Hitam sudah meloncat jauh sekali meninggalkan tempat itu. Sin Wan berusaha mengejar, akan tetapi orang itu sudah menghilang seperti ditelan kegelapan malam. Diapun tidak memperdulikan orang-orang yang berdatangan, lalu meloncat dan menghilang pula.
Sin Wan teringat akan percakapan yang didengarnya tadi, maka diapun langsung berlari cepat menuju ke gedung pusaka, di mana tersimpan semua pusaka berharga milik kerajaan. Dari percakapan tadi dia menduga bahwa Si Kedok Hijau dan Kedok Biru agaknya ditugaskan oleh atasannya tadi untuk mencuri pusaka dari dalam gedung pusaka. Di mana lagi pusaka-pusaka dicuri kalau bukan di gedung pusaka, demikian pikirnya dan cepat diapun pergi ke tempat itu.
Dugaannya memang tepat. Ketika dia meloncat naik ke atas gedung pusaka, dia melihat bayangan dua orang baru saja melayang keluar dari dalam gedung itu, dan diapun melihat beberapa orang penjaga diam tak bergerak di tempatnya, ada yang sedang duduk dan ada yang rebah. Mereka itu seperti patung saja dan diapun dapat menduga bahwa tentu orang-orang yang melakukan penjagaan di luar gedung pusaka itu telah dibuat tidak berdaya oleh totokan dua orang yang lihai itu.
Cepat dia melompat ke atas bagian yang paling tinggi di mana terdapat dua orang itu, akan tetapi si bayangan itu segera melarikan diri dengan berpencar. Tentu saja dia tidak mungkin dapat mengejar keduanya, maka secepat kilat dia meloncat ke arah bayangan terdekat dan begitu dekat dia langsung mengirim serangan dengan jurus paling ampuh dari ilmu Sam-sian Sin-ciang (Tangan Sakti Tiga Dewa). Andaikata orang itu memiliki ilmu kepandaian beberapa kali lipat dari pada tingkatnya yang sekarangpun belum tentu dia akan mampu menghindarkan diri dari serangan dahsyat ini. Orang itu hanya mengeluh dan roboh, pasti akan terguling kalau saja tidak cepat disambar oleh tangan Sin Wan. Orang itu tidak mampu bergerak, akan tetapi masih dapat bicara karena jari tangan Sin Wan tadi hanya menghentikan jalan darahnya saja, buat kaki tangannya lumpuh.
"Barang-barangnya...... dibawa...... temanku........"
Sin Wan percaya karena dia melihat bahwa orang ini tidak membawa apa-apa. Dia membebaskan totokannya dan cepat berkelebat pergi untuk mengejar bayangan kedua yang katanya membawa barang-barang, tentu benda-benda pusaka yang dicuri dua orang maling itu. Yang penting adalah mendapatkan kembali benda-benda pusaka yang dicuri, dan dia tidak ingin membiarkan orang itu dalam keadaan tertotok di atas atap karena kalau sampai dia jatuh, tentu akan tewas. Yang penting sekarang baginya adalah menangkap orang yang melarikan benda pusaka. Sin Wan mengerahkan seluruh tenaganya berlari cepat dan akhirnya dia dapat melihat bayangan itu berloncatan dari atas atap ke atas atap, rumah lain dan dia terus mengejar secepatnya.
Ternyata orang itu berlari ke rumah gedung milik Pangeran Mahkota yang tadi! Berdebar rasa jantung di dada Sin Wan. Kalau Si Kedok Hitam tadi berada dirumah itu, dia akan menghadapi lawan berat. Si Kedok Hitam itu sudah berat, apalagi kalau dibantu orang-orang lain. Akan tetapi dia tidak merasa takut. Melihat orang itu menghilang ke dalam gedung, diapun cepat mengintai dari atas atap. Yang membuat dia heran adalah bahwa kini seluruh gedung dipasangi lampu penerangan, tidak seperti tadi. Dia mengintai ke ruangan tengah dan betapa kaget dan herannya melihat Pangeran Mahkota Chu Hui San berada di situ, duduk menghadapi meja panjang ditemani empat orang wanita muda yang cantik-cantik. Dari pakaian mereka Sin Wan tahu bahwa empat orang wanita itu pasti bukan selir atau dayang dari istana. Agaknya sang pangeran mata keranjang itu sedang bersenang-senang ditemani empat orang wanita panggilan. Anehnya, kenapa baru sekarang pangeran itu berada di situ sedangkan tadi, hanya kurang lebih dua jam yang lalu, belum ada? Dan kini di sekeiiling gedung itu terdapat pengawal, tidak seperti tadi. Bagaimana si pencuri pusaka dapat masuk ke situ tanpa diketahui pengawal? Kalau bersembunyi, dapat bersembunyi di mana?
Sin Wan meragu. Dia tidak berani lancang turun menemui sang pangeran, karena hal itu akan dianggap dosa besar, mengganggu kesenangan sang pangeran mahkota! Dia menanti sampai setengah jam lamanya, tanpa melihat apa yang dilakukan putera mahkota itu dengan empat orang wanitanya, hanya bersiap siaga kalau-kalau bayangan tadi muncul dan menyerang sang pangeran, atau kalau-kalau bayangan itu menyelinap keluar lagi. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu. Bayangan tadi, maling yang dikejarnya, seperti lenyap ditelan bumi.
Karena tidak berani mengganggu Putera Mahkota, terpaksa Sin Wan pulang dengan tangan kosong. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia membuat laporan kepada Bhok-ciangkun tentang semua yang dilihat dan dialaminya semalam.
Bhok Cun Ki tentu saja tertarik sekali, terutama tentang Si Kedok Hitam yang amat lihai.
"Begitu lihainya dia sampai dapat menandingimu, Sin Wan? Hemm, tentu dia seorang tokoh besar dari Kerajaan Goan. Dia disebut Yang Mulia? ini menunjukkan bahwa dia seorang bangsawan tinggi, mungkin keluarga Kaisar Mongol yang telah kalah dan jatuh."
"Akan tetapi yang membuat saya tidak mengerti mengapa Pangeran Mahkota tiba-tiba berada di sana, dan mengapa pula Si Kedok Hitam dan dua orang anak buahnya yang mencuri dari gedung pusaka dapat berada di sana pula?"
"Hemm, hal ini memang tidak masuk di akaL Kalau benar Si Kedok Hitam itu seorang bangsawan Mongol, tidak mungkin dia dapat berada di rumah milik Putera Mahkota! Memang aneh sekali. Biarlah sekarang juga akan kuperiksa keadaan di gedung pusaka, apakah ada pusaka yang hilang. Kalau menurut ceritamu tadi, Si Kedok Hitam menyuruh anak buahnya mencuri pusaka milik Kerajaan Mongol, terutama cap-cap dan tanda-tanda kebesaran."
Sebentar saja Bhok Cun Ki memperoleh berita bahwa gedung pusaka memang kecurian barang yang bagi Kerajaan Beng tidak berharga, hanya disimpan di situ sebagai benda sejarah, yaitu tiga buah cap kebesaran kaisar dan sebuah pedang tanda kekuasaan kaisar Mongol.
"Jelas, pencurinya tentulah mata-mata Mongol!" seru Bhok Cun Ki.
"Akan tetapi bagaimana mungkin jaringan mata-mata Mongol dapat bersembunyi di rumah Pangeran Mahkota? Hal ini perlu penyelidikan, akan tetapi harus hati-hati sekali agar jangan sampai Putera Mahkota merasa tersinggung. Beliau adalah seorang pangeran, bahkan putera mahkota, calon kaisar. Aku bagaimana juga tidak percaya kalau beliau mempunyai hubungan dengan bangsawan Mongol yang hendak mendirikan kembali Kerajaan Mongol. Mustahil ini!"
"Saya tahu akan kesulitan paman kalau harus menyelidiki urusan ini. Paman seorang panglima, tentu tidak akan berani kalau harus melakukan penyelidikan di rumah gedung milik Putera Mahkota. Akan tetapi saya seorang yang tidak terikat oleh disiplin ketentaraan sehingga saya tidak akan merasa canggung dan rikuh. Apalagi saya membawa tanda kekuasaan dari Sribaginda Kaisar yang saya terima dari suhu." Bhok Cun Ki mengerutkan alisnya.
"Akan tetapi, bagaimana kalau Pangeran Mahkota marah? Sekali dia memberi isyarat, para jagoan istana akan mengeroyok dan membunuhmu dan kalau engkau melawan, berarti engkau telah menjadi pengkhianat dan pemberontak!"
Sin Wan menggeleng kepala dan tersenyum.
"Saya kira tidak akan begitu, paman. Saya akan menggunakan cara yang halus dan seandainya dia bermain kasar, saya masih mempunyai pelindung, yaitu surat kekuasaan Kaisar dan juga kesaksian saya bahwa ada mata-mata Mongol berlindung di rumah pangeran."
Panglima itu menghela napas panjang. Urusan ini memang penting sekali, dan akan dia bicarakan dengan atasannya, yaitu Jenderal Shu Ta.
"Baiklah, Sin Wan. Akan tetapi berhati-hatilah. Aku amat membutuhkan bantuanmu pada pemilihan bengcu kelak. Dan sebaiknya hal ini kusampaikan dulu kepada Jenderal Shu Ta."
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Bhok-ciangkun berkunjung ke benteng. Akan tetapi, ternyata dia tidak bertemu dengan Jenderal Shu Ta yang belum datang, dan hanya bertemu dengan wakilnya, yaitu Jenderal Yauw Ti.
Jenderal Yauw Ti yang bertubuh tinggi besar dan gagah itu setelah menerima penghormatan Bhok Cun Ki, bertanya heran,
"Ada kepentingan mendesak apakah yang membuatmu sepagi ini sudah mencari Jenderal Shu?" Karena Jenderal Yauw Ti juga merupakan atasannya, maka Bhok Cun Ki segera menerangkan tentang pengalaman Sin Wan semalam. Mendengar ini, wajah Jenderal berubah merah dan alisnya berkerut.
"Hemm.... hemmm...... engkau bermain dengan api, Bhok-ciangkun," katanya tak senang.
"Betapa beraninya bocah Uighur itu bicara! Jangan-jangan dia malah mata-mata Mongol yang hendak mengacaukan keadaan. Bagaimana mungkin Pangeran Mahkota.... ah, mustahil. Biar aku sendiri yang akan bicara dengan beliau, dan jikalau ternyata anak Uighur itu membohong, terpaksa aku akan menangkapnya dengan tuduhan menghina Putera Mahkota!"
JILID 09
Bhok Cun Ki terkejut. Dia tahu betapa Jenderal ini membenci suku-suku bangsa lain. Saya harap Yauw-goanswe (Jenderal Yauw) tidak terburu nafsu. Saya akan mohon pertimbangan Jenderal Shu.........."
"Heh, apa bedanya? Tidak urung diapun akan bertindak seperti yang kulakukan. Di antara kami tidak pernah ada ketidakcocokan. Kalau timbul masalah, harus kita tanggulangi dengan secepatnya. Pangeran Mahkota dicurigai, maka harus diselidiki sekarang juga untuk menentukan siapa yang bersalah! Sudahlah, serahkan urusan ini ditanganku dan kembalilah!"
Ucapan itu merupakan perintah dan Bhok Cun Ki cepat pulang dengan tubuh panas dingin. Celaka bagi Sin Wan pikirnya. Jenderal Yauw adalah seorang yang sepenuhnya setia kepada kaisar dan apalagi putera mahkota, dan seorang yang keras hati dan keras tangan. Kalau sampai Pangeran Mahkota menyangkal, dan keterangan Sin Wan tidak ada bukti, celakalah Sin Wan!
Setelah tiba di rumah, Bhok Cun Ki cepat memberitahu Sin Wan tentang pertemuannya dengan Jenderal Yauw.
"Wah, repot!" katanya cemas.
"Jenderal Shu belum datang dan aku kepergok Jenderal Yauw. Sukar untuk tidak berterus terang, apa lagi diapun atasanku, wakil Jenderal Shu. Dan orang yang keras hati itu langsung saja menanggapi, hendak menyelidiki kepada Pangeran Mahkota. Dia berani bertindak keras terhadap siapa saja, dan kalau sampai engkau tidak dapat membuktikan keteranganmu, tentu engkau dapat dianggap sebagai orang yang melakukan fitnah terhadap Pangeran Mahkota. Jenderal Yauw dapat berbuat hal-hal yang mengejutkan, dan dia selalu keras, akan tetapi dia membela kebenaran, tidak ada yang dapat membantahnya."
"Jangan khawatir, paman. Saya berpegang kepada kebenaran dan saya yakin bahwa Tuhan Yang Maha Adil akan selalu melindungi orang yang berada di pihak benar."
Bhok Cun Ki menghela napas panjang.
"Akan tetapi, semua orang akan mengaku benar, Sin Wan, untuk membela tindakannya."
"Saya mengerti, paman. Manusia dapat dibohongi, akan tetapi Tuhan tidak! Tuhan Maha Mengetahui sehingga akan mengetahui pula siapa benar siapa yang salah. Karena saya yakin bahwa saya benar, tidak melakukan fitnah dan tidak berbohong, maka saya berani menghadapi segala resikonya."
Bhok Cun Ki menghela napas panjang dan memandang pemuda itu dengan kagum.
"Engkau seorang gagah sejati Sin Wan. Aih, kalau dahulu mudaku aku dapat bersikap sepertimu, tentu sekarang tidak akan menanggung akibatnya. Nah, kalau begitu terserah kepadamu, Sin Wan."
Pemuda itu maklum bahwa panglima ini tentu teringat akan permusuhannya dengan Bi-coa Sianli Cu Sui In, akan tetapi dia tidak menanggapi urusan yang amat pribadi itu.
"Saya hanya minta agar paman suka mengusahakan saya dapat menghadap, Pangeran Mahkota sekarang juga."
"Baik, akan kutemui kepala pengawal istana yang kukenal baik. Apalagi engkau memegang tanda kekuasaan dari Sribaginda Kaisar, tentu tidak sukar bagimu untuk menghadap beliau."
Benar saja, dengan bantuan Bhok Cun Ki, tidak sukar bagi Sin Wan untuk memasuki istana dan diapun segera diantar pengawal menuju ke gedung tempat tinggal Pangeran Chu Hui San, putera Mahkota. Dan suatu kejutan yang sama sekali tidak disangka-sangka oleh Sin Wan menyambutnya ketika dia memasuki kamar tamu dan duduk di ruangan luas itu setelah dipersilakan pengawal untuk menunggu di situ.
Kejutan itu muncul bersama Pangeran Chu Hui San. Pangeran berusia empatpuluh tahun yang tinggi kurus, bermuka pucat dan bermata cekung, pesolek dan tubuhnya nampak lemah itu muncul bersama seorang pria tampan berusia tigapuluh lima tahun, berpakaian sebagai seorang sastrawan, lembut dan wajahnya cerah dihias senyum, tangan kirinya memegang sebuah kipas putih yang sesuai pula dengan pakaiannya yang serba putih indah, dan seorang gadis yang membuat Sin Wan terbelalak karena gadis cantik yang tersenyum simpul itu bukan lain adalah Tang Bwe Li atau Lili!
Sebagai seorang yang tahu sopan santun, Sin Wan yang sudah mendapat gambaran tentang Pangeran Mahkota dan yakin bahwa dia berhadapan dengan pangeran itu, segera bangkit dari tempat duduknya dan menjatuhkan diri berlutut dengan kaki kiri memberi hormat.
Pangeran Chu Hui San memandang kepada Sin Wan dengan alis berkerut. Jelas bahwa kunjungan seorang pemuda biasa di pagi hari itu, ketika tubuhnya masih terasa lelah dan malas bangun, mengganggunya. Akan tetapi kepala pengawal mengatakan bahwa pemuda yang mohon menghadap itu adalah seorang yang memegang tanda kekuasaan kaisar dan mohon menghadap untuk urusan yang teramat penting mengenai keselamatan sang pangeran, maka mau tidak mau dia terpaksa bangun dan menerima tamu itu.
"Sin Wan.......! Engkau yang datang ini?" Lili berseru, suaranya mengandung kejutan, keheranan dan juga kegembiraan.
"Ehh? Engkau sudah mengenal pemuda ini, nona Lili?" Sang pangeran bertanya heran.
Lili tersenyum manis dan Sin Wan melihat betapa Lili nampak sudah akrab dengan pangeran itu, bahkan sikapnya tidak sangat merendah seperti sikap orang lain terhadap seorang pangeran mahkota.
"Tentu saja, pangeran! Sejak berusia sepuluh tahun aku sudah mengenalnya!"
Sin Wan yang masih terkejut dan heran, hanya dapat berkata dengan suara lirih,
"Lili, tidak kusangka akan bertemu denganmu di sini." Dia memandang kepada pria tampan yang berpakaian sastrawan, akan tetapi tidak mengenalnya.
"Aku belum lama berada di sini, Sin Wan, menjadi pengawal pribadi yang mulia pangeran mahkota!"
Melihat kedua orang muda itu saling tegur dan bicara seolah-olah dia sendiri tidak berarti dan sudah dilupakan orang, Pangeran Chu Hui San menjadi marah. Tidak marah kepada Lili yang diperkenalkan kepadanya oleh Yauw Siucai, dan diangkat menjadi pengawal pribadinya karena selain gadis itu amat lihai, juga cantik menarik sekali dan dia mengharapkan gadis itu sekali waktu akan menyerahkan diri kepadanya. Dia marah kepada Sin Wan yang dianggapnya telah mengganggu waktunya.
"Orang muda," teguran dengan suara berwibawa.
"Pengawal tadi mengatakan bahwa engkau adalah seorang yang memegang tanda kekuasaan Kaisar. Benarkah itu? Kalau benar, buktikan kepada kami."
Mendengar perintah ini, Sin Wan yang tadinya berlutut dengan sebelah kaki, bangkit berdiri dan mengeluarkan sehelai bendera kecil, yaitu bendera tanda kekuasaan kaisar yang diberikan kepada seorang utusan yang dipercaya. Melihat benda ini, sastrawan berpakaian serba putih itu cepat menjatuhkan diri berlutut, dan sang pangeran juga membungkuk dengan hormat. Sastrawan itu yang melihat Lili masih berdiri seperti biasa saja berbisik,
"Nona Lili, berlututlah untuk memberi hormat!"
Lili memandang heran.
"Apa-apaan ini? Mengapa aku disuruh berlutut? Kepada Sin Wan ini?"
"Bukan kepada orangnya, akan tetapi kepada bendera itu. Leng-ki itu adalah bendera kekuasaan dari Sribaginda dan kita menghormatinya sebagai wakil kehadiran Sribaginda sendiri. Berlututlah, nona......" kata pula sastrawan itu berbisik. Mendengar ini, mau tidak mau Lili lalu berlutut, walaupun mulutnya cemberut. Kalau berlutut menghormati kaisar, tentu saja ia akan melakukannya dengan senang. Akan tetapi kepada sehelai bendera yang dipegang oleh Sin Wan? Lucu!
Sementara itu, Pangeran Mahkota lalu berkata,
"Orang muda, kami telah melihat bahwa engkau memang memegang sebuah leng-ki. Simpanlah pusaka itu dan silakan duduk." Sikap pangeran itu kini menjadi hormat.
Sin Wan hanya ingin membuktikan bahwa dirinya memang menjadi wakil Ciu-sian yang mendapatkan leng-ki dari kaisar, bukan berniat mempergunakan kesempatan itu untuk menyombongkan diri. Dia cepat menggulung dan menyimpan kembali leng-ki, dan duduk di atas kursi, berhadapan dengan pangeran mahkota. Setelah sang pangeran duduk, Yauw Siucai dan Lili juga mengambil tempat duduk di belakang pangeran itu.
"Nah, sekarang katakan apa keperluan yang mengenai keselamatan kami itu, dan siapa namamu," kata sang pangeran.
Sin Wan memberi hormat sambil duduk dan berkata,
"Sebelumnya harap paduka maafkan saya yang telah berani menghadap paduka tanpa dipanggil dan mengganggu waktu paduka. Nama saya Sin Wan dan saya mewakili suhu Ciu-sian yang menerima titah Sribaginda Kaisar untuk melakukan penyelidikan tentang gerakan jaringan mata-mata Mongol yang merupakan ancaman bagi pemerintah."
"Hemm, kalau engkau melaksanakan tugas seperti itu, kenapa pagi ini datang menghadap padaku? Kami tidak ingin memusingkan kepala dengan segala macam urusan penjagaan keamanan!" Sang pangeran mulai marah lagi karena merasa terganggu.
"Maafkan saya, Yang Mulia. Tidak sekali-sekali saya berani mengganggu waktu paduka kalau saja malam tadi tidak terjadi sesuatu yang amat aneh sehingga terpaksa saya memberanikan diri menghadap paduka untuk mohon keterangan."
Pangeran Chu Hui San mengerutkan kening dan memandang heran.
"Terjadi apakah dan mengapa minta keterangan dari kami?"
Dengan singkat namun jelas Sin Wan lalu menceritakan pengalamannya semalam, betapa dia melihat tiga orang berkedok berada di rumah gedung peristirahatan milik pangeran mahkota diluar lingkungan istana, sebelum melihat sang pangeran berada di rumah itu.
"Demikianlah, Yang Mulia. Saya hanya ingin mohon keterangan, siapakah tiga orang berkedok itu."
Wajah Pangeran Mahkota menjadi merah.
"Memang benar semalam kami pergi ke rumah peristirahatan kami di luar istana, dikawal oleh sepasukan pengawal. Akan tetapi di sana tidak ada siapa-siapa lagi. Kami tidak mengerti apa yang kau maksudkan dengan orang-orang berkedok itu!"
Tiba-tiba Lili yang berada di belakang pangeran itu menegur.
"Sin Wan, semalam aku tidak disuruh mengawal yang mulia pangeran. Kalau engkau memang melihat tiga orang berkedok berada di rumah pangeran, kenapa engkau tidak menangkap mereka?"
"Benar sekali pertanyaan itu," kata sang pangeran.
"Engkau bertugas sebagai penyelidik, kenapa engkau tidak menangkap mereka?"
"Mohon maaf, yang mulia. Orang berkedok itu lihai bukan main dan saya tidak berhasil menangkapnya. Adapun si kedok hijau dan kedok biru yang melakukan pencurian di gedung pusaka, setelah saya kejar, dia melarikan diri dan menghilang pula di gedung peristirahatan paduka itu dan lenyap. Karena semalam saya melihat paduka berada di sana maka saya tidak berani melakukan pengejaran ke dalam."
Kini sastrawan berpakaian putih yang nampak lembut itu, memberi hormat kepada pangeran dan berkata dengan halus.
"Maaf, pangeran. Urusan yang diceritakan pemuda ini menyangkut nama paduka, oleh karena itu, haruslah dibuktikan kebenarannya. Pemuda ini harus dapat memperlihatkan bukti dari apa yang dia ceritakan."
"Tepat sekali! Nah, Sin Wan, apa buktinya bahwa semua ceritamu itu benar-benar terjadi?" tanya sang pangeran.
Pada saat itu, kepala pengawal masuk dan menjatuhkan diri berlutut di ambang pintu ruangan,
"Mohon ampun yang mulia. Jenderal Yauw Ti mohon menghadap paduka sekarang juga!"
Sebelum sang pangeran menjawab, jenderal yang tinggi besar itu sudah melangkah masuk dan dia menjatuhkan diri berlutut dengan sebelah kaki dan memberi hormat kepada pangeran mahkota. Kepala pengawal segera mengundurkan diri dengan hati lega karena kemunculan jenderal itu membebaskan dia dari kemarahan sang pangeran.
"Pangeran, hamba ingin bicara penting dengan paduka sekarang juga!" kata jenderal itu dengan sikap dan suara tegas. Pangeran mahkota mengerutkan alisnya dan memandang kepada jenderal itu. Biarpun sikapnya jelas menunjukkan bahwa hatinya tidak senang dengan semua gangguan ini, namun dia tahu bahwa jenderal yang datang ini adalah seorang kepercayaan ayahnya dan terkenal jujur dan keras, maka diapun mengangguk dan berkata.
"Hemm, kiranya engkau, Jenderal Yauw Ti. Ada urusan apakah pagi-pagi begini engkau sudah datang berkunjung?"
Jenderal itu tanpa dipersilakan lalu bangkit dan duduk, kemudian dia memandang kepada Sin Wan dan mukanya berubah kemerahan seperti orang marah.
"Yang Mulia, kebetulan sekali urusan yang hendak hamba bicarakan mengenai diri pemuda itu. Hamba mendengar dari Bhok-ciangkun bahwa pemuda itu, eh, siapa namanya, Sin Wan? Ya, dia memberi keterangan bahwa dia melihat penjahat dan pencuri bersembunyi di dalam rumah peristirahatan paduka. Urusan ini teramat penting, menyangkut nama baik paduka dan harus dibikin terang sekarang juga."
"Ahh, kamipun sedang membicarakan soal itu dengan Sin Wan ini dan kami sedang menuntut agar dia dapat membuktikan apa yang dia ceritakan itu," kata sang pangeran.
"Tepat sekali itu, Pangeran yang mulia!" seru Jenderal Yauw Ti.
"Memang hamba sendiripun merasa penasaran mendengar cerita itu dan hamba menuntut agar pemuda Uighur yang kebetulan menjadi murid Sam-sian ini membuktikan kebenaran ceritanya."
"Pangeran!" tiba-tiba Lili berseru dengan suara tegas.
"Urusan ini sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan suku bangsa atau keturunan! Saya memprotes kalau orang menekankan kepada kesukuan Sin Wan!"
Sin Wan sendiri terkejut. Dia tahu benar bahwa gadis liar ini memang mencintanya, akan tetapi membelanya secara demikian kasar, di depan Pangeran Mahkota dan seperti menyerang Jenderal Yauw Ti, sungguh merupakan perbuatan yang terlalu berani dan lancang. Pangeran Chu Hui San hanya tersenyum, agaknya dia sudah mengenal watak pengawal pribadinya yang baru itu sehingga tidak merasa heran melihat peledakan ini. Akan tetapi, jenderal Yauw Ti mengerutkan alisnya yang tebal dan memandang kepada Lili dengan mata melotot marah. Akan tetapi, gadis itupun memandang kepadanya dengan balasan mata melotot yang tidak kalah sengitnya!
"Yang Mulia, siapakah gadis yang kasar dan lancang ini?" tanya sang jenderal, menahan kemarahannya karena di depan Pangeran Mahkota tentu saja dia tidak berani bersikap kasar. Pangeran Mahkota segera menengahi dan menyabarkan Jenderal Yauw Ti.
"Jenderal Yauw Ti, harap jangan marah. Ia ini Lili, eh, nona Tang Bwe Li dan ia adalah pengawal pribadiku yang baru. Ia amat lihai dan boleh dipercaya, dan yang ini adalah Yauw Siucai. Eh, menarik sekali karena kebetulan nama keluarganya sama dengan margamu. Yauw Siucai ini adalah pengawal juga akan tetapi sekarang dia telah menjadi guru sastra untuk puteraku."
Jenderal Yauw Ti mengangguk-angguk, kemudian dia kembali memandang kepada Sin Wan dan berkata,
"Seperti hamba katakan tadi, pangeran. Tuntutan paduka memang tepat dan pemuda itu harus dapat membuktikan bahwa omongannya itu betul. Nah, Sin Wan, bagaimana jawabanmu?"
Sejak tadi Sin Wan hanya menjadi penonton saja. Dia tidak khawatir terhadap jenderal itu karena tahu bahwa jenderal itu adalah orang yang amat setia kepada Kerajaan Beng, seorang yang sudah berjasa besar. Adapun sastrawan itu, kalau dia itu pengawal dan juga guru sastra di istana, tentu merupakan orang yang boleh dipercaya. Hanya dia masih bingung dan harus heran melihat Lili secara tiba-tiba menjadi pengawal pribadi Pangeran Chu Hui San! Kini, menghadapi pertanyaan jenderal galak yang agaknya tidak suka kepada suku bangsa Uighur itu, dengan sikap tenang diapun menatap wajah jenderal itu.
"Kalau jenderal sekarang memeriksa ke gedung pusaka, tentu akan mendengar bahwa ada benda-benda yang hilang dan itu merupakan bukti kebenaran cerita saya. Juga para penjaga yang tertotok semalam, akan dapat bercerita. Itulah bukti saksi kebenaran keterangan saya."
"Hemm, itu hanya saksi bahwa memang gedung pusaka pernah dimasuki pencuri. Itu tidak ada sangkut-pautnya dengan nama yang mulia Pangeran Mahkota. Yang kami tuntut pembuktiannya adalah keteranganmu bahwa para penjahat berkedok berada di rumah gedung milik beliau. Nah, engkau harus dapat membuktikan itu. Mari kita bersama menggeledah rumah itu untuk mencari orang-orang berkedok yang kau ceritakan itu!"
"Sudah pasti kita tidak akan dapat menemukan seorangpun!" bantah Sin Wan sambil tersenyum.
"Mereka adalah orang-orang lihai dan tidak mungkin mereka begitu bodoh untuk tinggal diam saja disana menunggu ditangkap."
"Orang muda, hati-hati dengan kata-katamu. Engkau telah melempar fitnah dengan mengatakan bahwa ada penjahat bersembunyi di rumah yang mulia Pangeran Mahkota. Apakah engkau hendak mengatakan bahwa beliau bersekongkol dengan penjahat berkedok?"
Sin Wan terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa urusan membelok sedemikian rupa sehingga dia yang kini terancam bahaya! "Ah, sama sekali tidak, Jenderal!"
"Kaubilang sama sekali tidak? Akan tetapi bagaimana kalau orang-orang mendengar bahwa pencuri pusaka lari menghilang ke dalam rumah pangeran, dan mendengar bahwa engkau melihat tiga orang berkedok berada di rumah itu? Apakah tidak didesas-desuskan orang bahwa Pangeran Mahkota menyembunyikan penjahat-penjahat di rumah beliau? Hayo katakan, bagaimana engkau dapat membuktikan kehadiran para penjahat di rumah beliau. Kalau tidak, terpaksa aku akan menangkap dan menahanmu sebagai orang yang menghina dan melempar fitnah kepada Pangeran Mahkota!"
Sin Wan tak dapat menjawab dan dia semakin terkejut. Dia yang kini terancam bahaya, akan tetapi dia tidak menyalahkan kekerasan Jenderal Yauw Ti. Jenderal itu memang sudah sepantasnya kalau mencurigainya. Pria berpakaian sastrawan itu kini berkata dan suaranya tetap lembut.
"Saudara Sin Wan yang gagah, apa yang dikatakan tay-ciangkun (panglima besar) Yauw memang tidak keliru. Sebaiknya kalau engkau dapat membuktikan kebenaran keteranganmu dengan menangkap semua atau seorang di antara para penjahat berkedok itu, baru engkau mendapatkan bukti."
Sin Wan menggeleng kepala. '"Bagaimana mungkin saya dapat mencari mereka? Selain lihai, merekapun berkedok sehingga saya tidak mengenal wajah mereka."
"Kalau begitu, kami harus menangkap dan memeriksamu, mengusut perkara ini, dengan tuduhan engkau sudah menghina Yang Mulia Pangeran!" Jenderal itu lalu menengok ke arah pintu untuk memanggil pasukan.
"Tunggu........!!" Tiba-tiba Lili melangkah maju dan mengeluarkan suara bentakan yang mengejutkan semua orang.
"Sin Wan, keluarkan, leng-kimu tadi, cepat!"
Sin Wan yang tadinya sudah merasa bingung, tiba-tiba teringat bahwa dia memiliki senjata yang ampuh, yaitu bendera tanda kekuasaan dari kaisar itu. Kini, mendengar seruan Lili, demi untuk menyelamatkan diri, diapun mengeluarkan bendera kecil itu dan mengangkatnya ke atas kepala.
Lili segera menjatuhkan diri berlutut menghadap Sin Wan dan berseru dengan suara lantang.
"Banswe, ban-ban-swe (hidup Sribaginda Kaisar)!"
Seruan ini biasa dilakukan orang apabila menghadap kaisar untuk memberi hormat dan memujikan kaisar panjang umur sampai selaksa tahun! Melihat ulah gadis ini, mau tidak mau semua orang menjatuhkan diri berlutut dengan satu kaki memberi hormat kepada bendera kekuasaan kaisar itu dengan seruan yang sama.
"Siapa yang menghina pemegang leng-ki, sama dengan menghina kaisar sendiri!" seru Lili.
Jenderal Yauw Ti menjadi penasaran.
"Leng-ki berada di tangan orang yang salah! Aku harus menangkap Sin Wan ini!"
"Menangkap pemegang leng-ki sama dengan menangkap Sribaginda Kaisar! Apakah engkau hendak memberontak terhadap Sribaginda, Jenderal? Kalau begitu halnya, sebagai hamba yang setia aku akan menentangmu!" Lili juga berdiri dan sikapnya menantang.
Melihat ini, Pangeran Mahkota melerai.
"Hentikanlah keributan ini dan kita bicara dengan kepala dingin."
"Pangeran," kata Lili cepat mendahului jenderal itu.
"Aku mengenal benar siapa Sin Wan. Dia seorang pendekar yang gagah perkasa, dan aku yakin dia tidak akan melakukan hal yang salah, apalagi menghina dan menyebar fitnah kepada paduka! Dia pemegang leng-ki, kalau kita mengganggunya, tentu Sribaginda akan marah sekali." Saking emosinya, gadis itu sampai lupa diri dan menyebut diri sendiri aku begitu saja kepada Pangeran Mahkota!
Pangeran Chu Hui San maklum akan kebenaran pendapat Lili, maka diapun menyabarkan hati Jenderal yang galak itu.
"Sudahlah, Jenderal Yauw Ti. Apa yang dikatakan Lili memang benar. Engkau, tidak boleh terburu nafsu. Mungkin saja rumahku itu dijadikan tempat persembunyian penjahat di waktu saya tidak berada di sana. Siapa tahu? Penjahat itu lihai dan tentu cerdik. Kalau mereka bersembunyi di sana, siapa yang akan menduga dan menangkap mereka?"
Jenderal itu mengangguk.
"Baiklah, Yang Mulia. Akan tetapi hamba akan melapor dan memprotes kehadapan Yang Mulia Sribaginda Kaisar dan mohon agar leng-ki itu dicabut dari tangan bocah Uighur ini." Dia lalu berpaling kepada Lili dan melotot.
"Dan kau..... kau....
" Penuh kebencian sinar matanya seperti menyerang diri Lili.
Gadis itu membusungkan dadanya.
"Aku mengapa? Engkau jenderal, aku pengawal pribadi pangeran, kita sama-sama mengabdi kepada kerajaan. Kalau aku benar, engkau mau apa? Jangan dikira aku takut padamu, jenderal galak!"
Jenderal Yauw Ti mengepal tinjunya. Rasanya ingin sekali dia menerjang dan sekali pukul menghancurkan kepala gadis yang begitu beraninya memaki dan menentangnya di depan pangeran. Akan tetapi, di situ ada pangeran mahkota dan gadis itu adalah pengawal pribadi yang agaknya amat disayangnya, maka tentu saja dia hanya menekan kemarahannya dan setelah memberi hormat kepada sang pangeran, diapun meninggalkan ruangan itu dengan muka merah padam.
"Sin Wan, cepat kau pergi. Selidiki dan sedapat mungkin tangkaplah orang-orang berkedok itu, jangan lagi datang ke sini karena yang mulia pangeran tidak tahu apa-apa tentang mereka," kata Lili.
"Biar kuantar engkau keluar agar jangan diganggu jenderal galak itu!" Lili memberi hormat kepada Pangeran Mahkota.
"Pangeran, perkenankan saya mengantar Sin Wan keluar dari istana."
Pangeran itu. menghela napas panjang dan menggerakkan tangan memberi isyarat agar mereka pergi. Sin Wan memberi hormat, lalu dia keluar dari ruangan itu bersama Lili.
Dengan mudah mereka melewati semua penjagaan, karena para penjaga sudah mengenal gadis cantik yang menjadi pengawal pribadi yang baru dari Pangeran Mahkota. Tak lama kemudian rnereka sudah tiba di luar pintu gerbang istana.
"Nah, selamat jalan, Sin Wan. Berhati-hatilah engkau, agaknya jenderal galak itu membencimu."
"Terima kasih, Lili. Kenapa engkau melakukan, semua ini untukku? Kenapa engkau begini baik kepadaku dan berani menentang seorang jenderal berkuasa untuk membelaku?" tanya Sin Wan sambil menatap wajah cantik itu. Sebetulnya tidak perlu lagi dia bertanya, karena dia sudah tahu. Akan tetapi karena dia sangat berterima kasih dan terharu, karena tanpa pembelaan Lili mungkin dia sudah menjadi tawanan, dia mengajukan pertanyaan itu.
"Kenapa, Sin Wan? Engkau masih bertanya lagi, kenapa? Lupakah engkau bahwa aku cinta padamu? Aku rela mengorbankan nyawa untuk membelamu karena aku cinta padamu, Sin Wan. Selamat jalan." Gadis itu membalikkan diri dengan cepat dan memasuki lagi pintu gerbang daerah istana yang terlarang itu.
Sin Wan berdiri mematung, mengamati kepergian gadis itu sampai lenyap, di sebelah dalam pintu gerbang. Dia menghela napas dan membalikkan tubuh, pergi dari situ. Dia merasa iba kepada Lili dan merasa rmenyesal mengapa dia tidak dapat membalas cinta kasih yang demikian besarnya. Cintanya masih kepada Lim Kui Siang, namun gadis yang dicintanya dan yang tadinya juga mencintanya, sekarang berbalik membencinya karena dia dianggap musuh besarnya! Ayah tirinya, yang juga merupakan guru pertamanya, telah membunuh ayah gadis itu.
Sin Wan segera melupakan wajah kedua orang gadis itu dan menyadari kembali keadaannya. Penyelidikannya telah gagal, bahkan kini dia yang terancam oleh kecurigaan Jenderal Yauw Ti. Kalau jenderal itu melapor kepada kaisar, bukan tak mungkin dia akan ditangkap dan dituduh telah menghina pangeran mahkota.
Cepat dia melangkahkan kakinya menuju ke benteng, dan di sana dengan girang dia dapat menghadap Jenderal Shu Ta! Hanya jenderal inilah yang agaknya dapat menolongnya karena jenderal ini adalah atasan jenderal Yauw Ti. Setelah duduk berhadapan dengan Jenderal Shu Ta, Sin Wan melaporkan segala yang telah dialaminya semalam, kemudian betapa dia diancam oleh Jenderal Yauw Ti yang menganggap dia menghina pangeran mahkota.
Setelah mendengarkan semua laporan Sin Wan dengan penuh perhatian, Jenderal Shu Ta mengangguk-angguk,
"Jenderal Yauw Ti memang berwatak keras, dan secara tidak kebetulan bagimu, dahulu dia pernah tertawan bangsa Uighur dan mengalami siksaan sebagai tawanan musuh sehingga setelah dia dapat dibebaskan, dia menaruh dendam kebencian kepada bangsa Uighur. Biarpun demikian, apa yang dia lakukan terhadap dirimu bukan semata karena dendam kepada bangsamu itu, melainkan berdasarkan perhitungan yang tidak dapat disalahkan. Memang, kalau tidak ada bukti, keteranganmu itu dapat dianggap sebagai penghinaan dan pencemaran nama baik pangeran mahkota. Kurasa, benar seperti pendapat pangeran mahkota, para penjahat itu sengaja mempergunakan rumah peristirahatannya yang kosong untuk bersembunyi, dan aku sendiripun tidak akan menyangka bahwa rumah itu akan dijadikan tempat persembunyian penjahat. Sudahlah, aku akan menemui Jenderal Yauw Ti agar dia tidak menghadap Sribaginda Kaisar."
Lega rasa hati Sin Wan. Ketika dia meninggalkan benteng matahari telah naik tinggi dan dia merasa lapar. Sejak pagi dia belum makan. Sin Wan lalu pergi ke sebuah rumah makan besar di sudut kota yang tidak begitu ramai. Akan tetapi sebelum tiba di rumah makan itu, ketika melewati sebuah rumah penginapan, tiba-tiba dia melihat dua orang di pekarangan rumah penginapan yang membuat dia cepat menyelinap agar tidak kelihatan oleh mereka.
Jantungnya berdebar penuh ketegangan ketika dia mengenal seorang di antara mereka. Wanita cantik yang memasuki pekarangan, bersama seorang kakek tinggi kurus itu adalah Bi-coa Sianli Cu Sui In, bekas guru Lili yang kini menjadi sucinya! Dia tidak mengenal kakek itu, akan tetapi melihat Cu Sui In, diapun teringat kepada Lili dan timbul keinginan tahunya Lili sendiri sudah menjadi pengawal pribadi pangeran mahkota. Dia sendiri tidak menaruh curiga sedikitpun terhadap Lili, karena dia yakin bahwa Lili adalah seorang gadis yang pada dasarnya memiliki hati yang baik, walaupun ia kasar dan liar. Akan tetapi, lain lagi dengan Bi-coa Sianli! Wanita iblis ini telah menewaskan dua orang di antara tiga gurunya, yaitu Kiam-sian (Dewa Pedang) dan Pek-mau-sian (Dewa Rambut Putih).
Seorang wanita yang lihai bukan main, juga amat kejam. Kehadirannya di kota raja ini sungguh mencurigakan. Dan yang lebih menarik hatinya, kini dia tahu bahwa Cu Sui In yang masih tetap cantik dalam usia setengah tua itu dahulu adalah kekasih Bhok Cun Ki. Wanita inilah yang menyuruh Lili untuk membunuh Bhok Cun Ki. Dan kini ia datang sendiri ke kota raja. Siapa pula kakek yang tinggi kurus itu? Dia harus menyelidiki. Siapa tahu ada kaitannya antara mereka dengan orang-orang berkedok. Andaipun tidak ada kaitannya, dia harus menyelidiki demi Lili dan Bhok Cun Ki.
Setelah melihat kedua orang itu memasuki rumah penginapan, Sin Wan menggunakan kepandaiannya, memasuki rumah penginapan itu dengan mengambil jalan memutar dari kebun belakang. Ketika dia melewati sebuah kamar yang pintunya tertutup, dia mendengar suara Cu Sui In, atau yang diduganya suara iblis betina itu, suara wanita yang merdu dan dingin.
"Sungguh heran, di mana sumoi? Susah benar mencari jejaknya!"
Lalu terdengar suara parau dan dalam seorang pria, tentu pria yang sudah tua, didahului suara tawanya.
"Ha..ha..ha, engkau memang aneh sekali, Sui In! Heran aku mengapa ada kebencian yang dapat kaupendam sedemikian lamanya? Kebencian yang aneh. Kalau menghendaki dia mampus, apa sukarnya? Engkau malah menyuruh anakmu yang membunuh ayah kandungnya, dan sekarang engkau gelisah sendiri. Ha..ha..ha, sungguh mati, seorang wanita memang makhluk paling aneh di dunia ini."
"Ayah, lebih baik jangan bicara tentang itu!"
"Kenapa? Dia itu muridku, juga cucuku satu-satunya!"
"Sudahlah, ayah. Sudah kukatakan, jangan mencampuri urusan pribadiku yang satu ini!"
Sunyi di kamar itu dan Sin Wan cepat menyelinap pergi. Wajahnya berubah penuh ketegangan dan harus menenteramkan hatinya lebih dulu di jalan kecil, lorong di belakang rumah penginapan itu. Mereka bicara tentang Lili! Dan ternyata Lili adalah puteri Cu Sui In, dan pria tua yang disebut ayah oleh Bi-coa Sianli itu, yang mengakui Lili sebagai cucunya, siapa lagi lagi kalau bukan See-thian Coa-ong? Kenyataan ini terlalu hebat bagi Sin Wan, membuatnya terkesima dan seperti kehilangan akal.
Iblis betina itu mendendam secara aneh kepada Bhok Cun Ki! Dan Lili ternyata puterinya, puteri Cu Sui In dan puteri Bhok Cun Ki! Kini mengertilah Sin Wan. Ketika Bhok Cun Ki meninggalkan kekasihnya, Cu Sui In, wanita itu dalam keadaan mengandung. Hal ini agaknya tidak diketahui Bhok Cun Ki. Pantaslah, Cu Sui In demikian mendendam kepada kekasihnya atau ayah dari anaknya. Akan tetapi, betapa kejamnya iblis betina itu. Dendamnya hendak dibalasnya secara aneh, yaitu ia hendak mengadu anaknya agar bermusuhan dengan ayahnya sendiri. Ia hendak membuat ayah dan anak itu saling berbunuhan.
Hal ini harus dicegah! Sin Wan merasa amat iba kepada Lili, gadis yang malang itu, yang amat mencintanya, dan andaikata di sana tidak ada Kui Siang, betapa akan mudahnya membalas cinta kasih seorang gadis seperti Lili. Akan tetapi bagaimana cara mencegahnya? Menasehati mereka tidak akan ada gunanya, dan pula, diapun tidak berhak mencampuri urusan rumah tangga dan urusan pribadi mereka.
Akan tetapi satu hal sudah jelas, Bi-coa Sianli Cu Sui In dan ayahnya See-thian Coa-ong, tidak ada hubungannya dengan orang-orang berkedok yang bersembunyi di rumah peristirahatan pangeran mahkota. Agaknya ayah dan anak itu baru tiba sekarang dan mereka mencari-cari Lili yang oleh sucinya disuruh membunuh Bhok Cun Ki. Gadis yang malang itu sama sekali tidak menyadari bahwa yang disuruh bunuh adalah ayah kandungnya sendiri, dan yang menyuruhnya adalah ibunya sendiri!
Sin Wan teringat. Hampir saja Lili tewas ketika bertanding melawan Bhok Cun Ki, diserang oleh orang lain secara menggelap, kemudian diselamatkan atau ditolong oleh Bhok Cun Ki. Sebaliknya kalau mereka itu saling dipertemukan agar Lili dapat bercerita kepada sucinya tentang sikap Bhok Cun Ki. Mungkin saja kebaikan hati Bhok Cun Ki terhadap Lili akan mencairkan kebekuan hati mendendam dalam dada wanita itu.
Tidak terlalu lama dia menanti di depan rumah penginapan itu. Ketika dia melihat ayah dan anak itu keluar dari pintu depan rumah penginapan, cepat dia memasuki pekarangan dan menyongsong mereka. Cu Sui In masih tidak berubah, masih seperti dulu ketika dia melihatnya dalam pertemuan antara pimpinan kai-pang (perkumpulan pengemis) untuk merebutkan kedudukan pimpinan para kai-pang.
Peristlwa itu terjadi setahun lebih yang lalu ketika dia bersama Kui Siang mengikuti Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki yang akhirnya menjadi pemimpin besar para kai-pang kembali, kedudukan yang sebelum itu juga dipegangnya. Akan tetapi dipilihnya Pek-sim Lo-kai adalah karena keputusan atau perintah dari Raja Muda Yung Lo, sehingga para calon lainnya terpaksa mundur, di antara mereka terdapat pula Bi-coa Sianli Cu Sui In.
Ketika Sin Wan bertemu pandang dengan kakek yang berjalan di samping wanita cantik itu, diam-diam dia terkejut dan kagum. Sinar mata kakek ini mencorong seperti mata seekor naga. Biarpun tubuhnya tinggi kurus, namun kakek ini kelihatan gagah dan berwibawa, terutama sekali matanya.
"Harap ji-wi memaafkan saya......" Sin Wan memberi hormat dan mengangkat kedua tangannya ketika dia berdiri di depan kedua orang itu, menghadang perjalanan mereka.
"Hemm, orang muda, siapa engkau dan mau apa?" See-thian Coa-ong bertanya, senyumnya yang selalu menghias mulut seperti orang mengejek itu tidak pernah meninggalkan bibir.
"Heii, bukankah engkau...... murid Sam-sian yang bernama Sin Wan itu?" Cu Sui In berseru sambil menudingkan telunjuk kanannya ke arah muka Sin Wan. Ia teringat akan pengakuan sumoinya. Lili mencinta pemuda ini! "Mau apa engkau menghadangku? Apakah engkau hendak membalaskan kematian Kiam-sian dan Pek-mau-sian?"
"Tidak sama sekali. Saya hanya ingin memberitahu kepada ji-wi locianpwe bahwa saya pernah bertemu dengan Lili, dan ketika tadi melihat ji-wi, saya lalu bermaksud memberitahu."
Cu Sui In menatap tajam.
"Engkau bertemu dengan Lili? Di mana ia?" Pertanyaannya dilakukan tergesa-gesa karena hatinya gembira mendengar itu.
"Di dalam istana kaisar!" Jawab Sin Wan.
"Ahhh??" See-thian Coa-ong sendiri dan puterinya mengeluarkan seruan kaget. Bagaimana mungkin Lili berada di istana kaisar? "Apa maksudmu, Sin Wan?" tanya Bi-coa Sianli Cu Sui In.
"Saya bertemu Lili di dalam istana. Ia tinggal di istana Pangeran Mahkota Chu Hui San sebagai pengawal pribadi beliau. Hanya itu yang ingin saya sampaikan kepada jiwi, selanjutnya terserah kepada ji-wi." Sin Wan membalikkan diri hendak meninggalkan tempat itu.
"Haii, tunggu!" terdengar kakek itu membentak dan Sin Wan terpaksa menghentikan langkahnya, membalik dan kembali berhadapan dengan mereka.
"Sikapmu mencurigakan sekali. Hayo katakan terus terang apa maksudmu dengan pemberitahuan ini atau kau akan kubunuh sekarang juga!"
"Ayah, dia adalah pemuda yang dicinta Lili. Sin Wan, kenapa engkau memberitahukan tetang Lili kepadaku?"
"Lili telah menyelamatkan saya. Saya berhutang budi kepadanya, akan tetapi saya khawatir dengan kehadirannya di istana. Amat berbahaya bagi gadis seperti Lili, akan tetapi saya tidak berdaya, tidak dapat mencegahnya. Oleh karena itu ketika saya melihat ji-wi, saya memberitahu agar ji-wi dapat mengeluarkannya dari istana."
Sin Wan memberi hormat dan kini dia pergi tanpa dicegah oleh ayah dan anak itu. Setelah pemuda itu pergi, Cu Sui In berkata kepada ayahnya,
"Ayah, sekarang juga kita ke istana, menemui Lili dan mengajaknya keluar. Apa-apaan ia menjadi pengawal pribadi pangeran mahkota segala!"
"Ha..ha, siapa tahu ia ingin menjadi isteri pangeran mahkota agar kelak menjadi pemaisuri kaisar? Ha..ha..ha..ha!"
Akan tetapi datuk ini menurut saja ketika puterinya menarik tangannya dan mengajaknya pergi menuju ke istana!
Ketika Lili kembali ke istana pangeran setelah mengantar Sin Wan keluar istana, seorang pengawal menyambutnya dan memberitahu bahwa ia dipanggil oleh pangeran di dalam kamarnya. Lili tidak menyangka buruk dan iapun mengetuk daun pintu kamar yang tertutup itu.
"Yang Mulia, saya Lili siap menghadap paduka kalau diperlukan," katanya lirih.
"Masuklah, Lili, daun pintunya tidak dikunci," terdengar suara pangeran itu dari dalam.
Lili mendorong daun pintu, dibiarkan saja oleh empat orang pengawal yang berjaga di luar kamar, lalu ia melangkah masuk. Kamar pangeran itu luas dan terang, dengan perabot kamar yang serba mewah, dan tempat tidur yang luas pula. Pangeran hanya seorang diri saja, rebah miring di pembaringan.
"Tutupkan kembali daun pintunya, Lili," katanya.
Biarpun alisnya berkerut karena belum pernah ia disuruh masuk kamar berdua saja dengan pangeran itu, apalagi daun pintu kamar ditutup, Lili tidak berani membantah dan menutupkan daun pintu kamar.
"Kesinilah, Lili!" kata pula pangeran itu dengan suara lembut.
Karena mengira bahwa pangeran akan membicarakan urusan penting, Lili melangkah maju ke dekat pembaringan dan berlutut dengan kaki kanan.
"Siap menanti perintah, pangeran," katanya.
"Jangan berlutut di situ, Lili. Duduklah di pembaringan sini......"
"Tidak, pangeran, Saya di sini saja! kata Lili, suaranya mulai mendingin.
"Perintah apa yang harus saya laksanakan untuk paduka?"
"Lili, duduklah di sini dan kau pijitlah tubuhku, terasa lelah......"
Wajah Lili berubah merah dan iapun bangkit berdiri.
"Pangeran, memijit bukan pekerjaan saya. Saya bukan tukang pijit dan kalau paduka lelah dan minta dipijit, biar saya panggilkan selir atau dayang..........."
"Aku ingin engkau yang memijitiku, Lili." Pangeran itu bangkit duduk.
"Ke sinilah, aku sayang padamu, Lili. Sejak kau berada di sini, aku merindukanmu. Rebahlah di sini, di sampingku, Lili......."
"Pangeran! Apa yang paduka katakan ini? Apakah paduka mabok? Saya tidak sudi!"
"Lili, aku cinta padamu, aku ingin mengangkatmu menjadi selirku terkasih."
"Tidak, aku tidak sudi!"
"Ingat, aku seorang pangeran mahkota, Lili."
Lili sudah marah sekali, kalau ia tidak ingat bahwa pria ini seorang pangeran, putera mahkota, tentu sudah dicekiknya kepala orang itu sampai lumat.
"Tidak, aku tidak sudi, biar kau seorang pangeran mahkota, seorang dewa atau seorang iblis sekalipun! Sekarang juga aku akan pergi, aku tidak sudi menghambakan diri di sini lagi!" Gadis itu lalu meloncat keluar dan lari meninggalkan tempat itu.
"Pengawal.....!" Pangeran berteriak dan ketika para pengawal bermunculan, dengan geram dia memerintahkan untuk mengejar dan menangkap Lili.
Akan tetapi para pengawal itu jerih untuk mengejar bekas pengawal pribadi yang kabarnya amat lihai itu. Apalagi ketika muncul Yauw Siucai, juga pengawal pribadi pangeran dan guru sastra Pangeran kecil Chu Hong yang membujuk mereka agar bertindak lambat dan agar jangan bentrok dengan Lili karena hal itu akan membahayakan mereka sendiri.
Namun, bujukan ini hanya mempengaruhi beberapa orang pengawal saja. Mereka yang setia kepada pangeran bahkan melapor kepada kepala pengawal dan puluhan orang perajurit pengawal melakukan pengejaran kepada Lili yang berlari ke luar istana.
Bukan main marahnya hati Lili. Ia tidak tahu bahwa ketika Yauw Siucai memperkenalkan ia kepada Pangeran Chu Hui San, kemudian diterima sebagai pengawal pribadi, pangeran mata keranjang itu menerimanya bukan hanya karena Yauw Siucai memuji kelihaiannya, melainkan terutama sekali karena kecantikannya. Biarpun sudah ratusan mungkin ribuan orang wanita pernah melayaninya, namun pangeran ini belum pernah mempunyai seorang kekasih yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan juga memiliki watak yang keras dan berani seperti Lili.
Bagaimana mungkin ada seorang gadis yang sikapnya begitu berani terhadap seorang jenderal besar seperti Jenderal Yauw Ti? Semua itu membuat sang pangeran semakin tergila-gila dan melihat sikap gadis itu terhadap sang jenderal tadi, diapun merasa khawatir kalau suatu saat dia akan kehilangan Lili, maka gairahnya semakin memuncak dan dia mengambil keputusan untuk memiliki Lili saat itu juga. Namun, baru sekali itu selama hidupnya, ada wanita yang menolak keras ketika dirayunya!
Dalam keadaan marah Lili keluar dari istana. Ia bukan tidak tahu bahwa besar kemungkinan pangeran akan mengerahkan para pengawal untuk menangkapnya, namun ia tidak perduli dan siapa saja yang akan berani menghalanginya, akan dihajarnya.
"Lili...........!!"
Lili mengangkat muka dan melihat dua orang yang berada di luar pintu gerbang istana, iapun terbelalak dan segera lari menghampiri.
"Suci.....! Suhu.....!!" serunya girang bukan main melihat kakak seperguruannya dan gurunya berada di situ. Akan tetapi pada saat itu, dari pintu gerbang muncul berbondong-bondong para pengawal yang melakukan pengejaran. Melihat Lili, mereka berteriak-teriak dan mengejar, dipimpin beberapa orang perwira pengawal yang berteriak.
"Tangkap pemberontak!"
"Apa yang terjadi?" tanya Cu Sui In.
"Pangeran hendak memaksaku menjadi selirnya, aku tidak sudi dan melarikan diri," kata Lili dan gadis inipun segera menyambut serbuan para pengawal, merobohkan dua orang dengan tamparannya.
Akan tetapi para pengawal sudah menyerangnya dengan senjata di tangan. Tombak dan pedang golok menyambar-nyambar. Lili mencabut pedangnya Pek-coa-kiam (Pedang Ular Putih) mengamuk. Melihat betapa Lili dikepung banyak pengawal yang menyerang mati-matian, tanpa diminta Cu Sui In segera mencabut Hek-coa-kiam (Pedang Ular Hitam) dan terjun ke dalam pertempuran membantu gadis itu.
See-thian Coa-ong Cu Kiat memandahg dengan alis berkerut. Tentu saja dia tidak mengkhawatirkan dua orang wanita yang dikeroyok itu. Akan tetapi dia bukan seorang bodoh. Betapapun lihainya Lili dan Sui In, bahkan ditambah dia sendiri sekalipun, tidak mungkin dapat bertahan kalau datang pasukan besar mengeroyok mereka. Inilah yang merupakan ancaman karena mereka berada di kota raja, apalagi di depan pintu gerbang istana.
Mereka seperti berada di guha harimau dan selain itu, diapun tidak ingin menjadi pemberontak tanpa alasan yang kuat, hanya karena Lili akan diambil selir seorang pangeran. Bahkan kalau gadis itu mau, dia malah akan merasa senang sekali. Mengapa menolak jadi selir seorang pangeran mahkota dan mempunyai kesempatan baik untuk menjadi permaisuri? Bodoh sekali!
"Lili, Sui In, kita pergi dari sini!" serunya dan sekali dia menyerbu, kepungan itu terpecah dan dua orang wanita itu yang juga maklum akan bahaya, segera meloncat keluar dari kepungan yang pecah. Mereka bertiga berloncatan dengan cepat dan sebentar saja para pengawal itu sudah kehilangan bayangan mereka.
Para pengawal melakukan pengejaran dan kini pasukan pembantu sudah datang sehingga mereka menyebar ke seluruh kota untuk mencari tiga orang itu, terutama Lili. Di antara mereka yang melakukan pencarian, tentu saja nampak pula seorang pria berpakaian sastrawan serba putih, yaitu Yauw Siucai. yang berlagak marah-marah ketika mendengar akan peristiwa itu.
"Gadis tak mengenal budi!" Dia berseru di depan pangeran Chu Hui San.
"Jangan khawatir, yang mulia. Saya akan berusaha mencari dan menemukannya!"
Ketika tiga orang pelarian itu sedang berlari dan berloncatan di sebuah lorong, tiba-tiba saja di depan mereka muncul Yauw Siucai. Tempat itu sunyi, dan Yauw Siucai berkata cepat.
"Ke sinilah! Cepat, sam-wi masuk ke sini!"
Tiga orang itu, dipimpin Lili yang sudah mengenal Yauw Siucai dan mempercayainya, mengikuti pemuda berpakaian putih itu memasuki sebuah pintu samping sebuah rumah dan segera daun pintu itu ditutup dari dalam. Mereka tiba di sebuah kebun dan tanpa bicara lagi Yauw Siucai mengajak mereka masuk rumah itu dari belakang. Di sebuah gudang barang, terdapat sebuah pintu rahasia dan diapun membawa tiga orang pelarian memasuki sebuah lorong rahasia dan turun ke dalam sebuah ruangan bawah tanah yang luas dan mewah dan lengkap. Tiga orang itu sampai terheran-heran dan kagum, tidak mengira bahwa di bawah gedung itu terdapat ruangan bawah tanah yang demikian mewahnya.
"Untuk sementara, harap sam-wi (anda bertiga) bersembunyi dulu di sini sampai pencarian mereda," kata Yauw Siucai kepada mereka.
"Terima kasih atas bantuanmu, Yauw kongcu," kata Lili, lalu ia memperkenalkan gurunya dan kakak seperguruannya.
"Ini adalah suhu dan suciku........."
Yauw Siucai tercengang dan tersenyum girang bukan main.
"Locianpwe See-thian Coa-ong dan Bi-coa Sianli? Ah, sudah lama sekali saya mendengar akan nama besar ji-wi (anda berdua)," katanya memberi hormat.
"Suhu dan suci, ini adalah Yauw Kongcu, namanya Yauw Lu Ta dan kami berkenalan dalam perjalanan. Dia yang memperkenalkan aku dengan Pangeran Mahkota dan memasukkan aku menjadi pengawal pribadi. Akan tetapi ternyata Pangeran Chu Hui San hendak kurang ajar kepadaku, maka aku melarikan diri!"
See-thian Coa-ong yang merasa bahwa dia telah terlepas dari bahaya karena pertolongan pemuda tampan berpakaian putih-putih itu berkata,
"Hemm, hari ini Yauw Kongcu telah menyelamatkan kami. Aku tidak akan melupakan budi ini."
Cu Sui In tidak memperdulikan pria yang menolongnya itu, sebaliknya ia mengomel kepada Lili,
"Sumoi, apa saja yang kaulakukan di kota raja? Bukankah aku memberimu tugas penting? Engkau sudah mengabaikan tugasmu?"
Lili memandang sucinya.
"Sama sekali tidak, suci. Juga dengan bantuan Yauw Kongcu, aku sudah, dapat menemukan Bhok Cun Ki........"
"Dan kau sudah membunuhnya?" Wanita itu bertanya cepat dan suaranya terdengar gemetar.
Lili menundukkan mukanya yang agak kemerahan.
"Suci, maafkan aku. Aku telah menantangnya dan kami telah bertanding tapi....... aku kalah........."
Cu Sui In terbelalak dan nampak marah sekali.
"Sumoi, engkau kalah dan engkau masih hidup bahkan bersenang-senang di istana? Hemm, beginikah engkau membalas budi sucimu ini?"
"Hemm, bersabarlah, Sui In," kata See-thian Coa-ong.
"Lili, ceritakan apa yang terjadi. Kalau memang Bhok Cun Ki itu lihai sekali, biar kelak aku sendiri yang turun tangan."
"Jangan, ayah! Ayah jangan mencampuri urusan ini. Nah, Lili, kauceritakan apa yang terjadi."
Lili lalu menceritakan tentang pertandingannya melawan Bhok Cun Ki. Ia seorang gadis yang terbuka dan jujur, maka ia menceritakan semuanya. Betapa lihainya Bhok Cun Ki sehingga ia tidak mampu mengalahkannya, bahkan ia yang selalu terdesak.
"Selagi dia mendesakku, tiba-tiba ada senjata rahasia menyerangnya. Akan tetapi dia lihai dan pedangnya dapat menangkis. Celakanya, sebatang paku beracun terpental dan mengenai pundak kiriku. Aku pingsan. Ketika aku siuman, ternyata aku telah berada di rumah Bhok Cun Ki. Dia membawa aku ketika pingsan dan mengobatiku. Akan tetapi setelah siuman, aku menolak kebaikannya itu dan aku melarikan diri. Demikianlah, suci. Maafkan kegagalanku."
Wajah Cu Sui In menjadi merah sekali.
"Sumoi, aku malu sekali kepadamu! Engkau pernah mengatakan bahwa untuk melaksanakan permintaanku, engkau bersedia mempertaruhkan nyawa. Akan tetapi buktinya? Huh, engkau...... engkau sungguh mengecewakan!"
Dicela seperti itu, Lili menjadi marah.
"Suci, apa yang harus kulakukan sekarang? Katakan, biar aku harus mengorbankan nyawaku, akan kulakukan. Aku bukan pengecut seperti yang suci sangka!"
"Bagus!" Kalau begitu, sekarang juga pergilah cari Bhok Cun Ki dan ulangi tantanganmu. Sekali ini engkau harus berhasil membunuhnya! Kalau tidak, jangan lagi engkau berani mengakui aku sebagai sucimu!"
"Baik! Sekali ini, dia atau aku yang harus mati!" seru Lili.
"Itulah yang kumaksudkan. Dia atau engkau yang harus mati!" kata Sui In.
Lili hendak lari meninggalkan tempat itu, akan tetapi Yauw Siucai segera menghadangnya.
"Bersabarlah, nona Lili, dan kuharap engkau juga bersabar, toanio," katanya kepada Sui In.
"Kalau nona Lili nekat keluar, sebelum dapat bertemu dengan Bhok Cun Ki, tentu ia akan lebih dulu tertangkap oleh pasukan pengawal, dan semuanya akan gagal pula."
"Ha..ha, omongan Yauw Siucai ini benar sekali, Yauw Siucai kalau menurut pendapatmu, bagaimana sebaiknya?" kata See-thian Coa-ong.
"Sebaiknya dikirim surat tantangan kepada Bhok Cun Ki dan saya yang akan menyuruh orang menyampaikan. Kemudian, nona Lili dan ji-wi (anda berdua) harus keluar dari sini dengan berpencar dan menyamar menuju ke tempat yang ditentukan untuk bertanding. Dengan demikian aman. Tempat bertanding harus ditentukan di luar kota, sebaiknya di hutan buatan sebelah utara kota raja yang biasa dipergunakan untuk berburu keluarga kaisar. Di sana sepi dan baik sekali untuk bertanding tanpa gangguan."
Mendengar ini, Sui In mengangguk-angguk.
"Bagus, aturlah seperti itu, Yauw Siucai. Kiranya engkau seorang yang cerdik sekali, pantas Lili suka bersahabat denganmu," kata See-thian Coa-ong girang.
"Lili, cepat membuat surat tantangan!"
"Biar aku yang membuatnya!" kata Cu Sui In dan Yauw Siucai lalu mengeluarkan alat-alat tulis dari laci sebuah meja di ruangan itu. Sui In lalu membuat surat tantangan singkat dan dimasukkan ke dalam sampul.
"Sekarang saya akan pergi mengirim surat tantangan, sementara sam-wi melakukan penyamaran. Untuk itu, di lemari sudut itu terdapat alat penyamaran lengkap."
Yauw Siucai pergi dan ketika Sui In membuka lemari mereka bertiga tercengang dan kagum. Di situ tersedia alat penyamaran yang lengkap dari pakaian rambut palsu, pengubah warna kulit sampai alat-alat yang dapat membuat kulit mengeriput dan sebagainya. Mereka bertiga segera merias diri, menyamar. Lili dan Sui In menyamar sebagai pria yang tampan, sedangkan See-thian Coa-ong menyamar sebagai seorang pengemis tua yang bongkok!.
Setelah mereka bertiga selesai dengan penyamaran mereka, mereka menanti kembalinya Yauw Siucai. Tidak terlalu lama mereka menanti karena orang itu segera muncul di situ dengan wajah berseri.
"Sudah saya suruh antar surat tantangan itu dan Bhok Cun Ki pasti akan berada di hutan sebelah utara kota raja. Sekarang sam-wi boleh keluar dan saya melihat penyamaran sam-wi baik sekali."
Mereka semua keluar dari lorong rahasia itu, tiba di gudang dan ketika hendak membuka pintu kebun, Yauw Siucai yang lebih dahulu keluar. Setelah melihat bahwa lorong itu sunyi, tiga orang yang menyamar itu keluar seorang demi seorang, berpencar dan mengambil jalan masing-masing menuju ke pintu gerbang sebelah utara.
Kota raja masih penuh dengan para perajurit yang melakukan pencarian, akan tetapi tidak seorangpun mengenal Lili dalam penyamarannya sebagai seorang pemuda tampan yang berkumis dan berkulit gelap. Juga alisnya kini menjadi tebal, bentuk hidungnya menjadi besar. Dengan cepat Lili berhasil keluar dari pintu gerbang utara dan melanjutkan perjalanan dengan cepat ke utara.
Matahari condong ke barat, dan Lili merasa betapa hatinya gundah. Biarpun ia tahu bahwa ia tidak akan menang melawan Bhok Cun Ki, ia sama sekali tidak takut. Ia tidak takut kalah dan ia tidak takut mati karena watak seperti ini sudah ditekankan kepadanya sejak ia kecil oleh sucinya yang dahulu adalah gurunya. Yang membuat ia merasa gundah bukanlah kelihaian Bhok Cun Ki, melainkan kebaikannya. Tak mungkin ia dapat melupakan perkelahian yang pernah terjadi antara ia dan panglima itu.
Ia kini tahu benar bahwa pelepas senjata rahasia bukanlah panglima itu, seperti yang juga diterangkan oleh Sin Wan kepadanya. Ada pihak ke tiga yang melakukannya, dan yang diserang adalah panglima itu, bukan ia. Akan tetapi, yang terkena paku beracun itu ia dan musuh besar sucinya itu bahkan menolongnya, merawatnya! Biarpun ia telah bersikap keras dan tidak mau menerima budi itu, namun di dalam hatinya, ia bukanlah orang yang tidak mengenal budi. Dan sekarang, ia sedang pergi untuk membunuh atau dibunuh orang itu!
Wajahnya semakin muram kalau ia teringat akan sikap dan kata-kata sucinya. Sungguh sukar mengerti sikap sucinya. Kenapa sucinya memaksa ia yang membunuh Bhok Cun Ki, pada hal sucinya yang merasa sakit hati? Kenapa bukan sucinya sendiri yang membalas dendam? Bahkan ketika guru mereka, atau ayah sucinya hendak turun tangan membunuh Bhok Cun Ki, sucinya melarang dengan keras dan memaksanya agar ia yang melawan Bhok Cun Ki. Pada hal sucinya sudah mendengar bahwa ia pernah kalah oleh Bhok Cun Ki. Kenapa sikap sucinya begini aneh, pada hal ia merasakan benar bahwa sucinya amat sayang kepadanya? Sungguh sikap yang amat berlawanan dan aneh!
Biarpun kedua kakinya dengan ringan melangkah tanpa ragu ke arah tempat yang ditentukan untuk mengadu kepandaian, atau lebih tepat kalau dinamakan mengadu nyawa, namun hatinya terasa berat oleh kebimbangan.
JILID 10
Sin Wan cepat pergi ke rumah keluarga Bhok untuk mencari panglima itu. Dia harus mengabarkan kenyataan luar biasa itu, bahwa Lili adalah puterinya sendiri, kepada panglima itu! Akan tetapi, belum dia tiba di rumah keluarga Bhok Cun Ki, dia mendengar tentang keributan di depan istana. Dia teringat bahwa Lili berada di sana, maka cepat dia kembali lagi dan mendengar bahwa memang gadis itu yang membuat keributan, dan menurut kabar yang dia dengar, gadis itu melarikan diri dari istana dan dikejar-kejar oleh pasukan keamanan.
Juga dia mendengar bahwa ketika tiba di luar istana, gadis itu dibantu oleh seorang wanita cantik dan seorang kakek tinggi kurus dan amat lihai, akan tetapi tiga orang itu lalu melarikan diri dan sampai kini masih terus dicari oleh para perajurit keamanan. Sin Wan dapat menduga bahwa tentu Lili telah dilarikan oleh See-thian Coa-ong dan Bi-coa Sianli Cu Sui In. Dia segera kembali menuju ke rumah Bhok Cun Ki.
Ketika tiba di rumah keluarga-Bhok, yang menyambutnya adalah Bhok Cin Han dan Bhok Ci Hwa. Kakak beradik itu memberitahu kepadanya bahwa ayah mereka telah pergi sejak tadi, setelah mendengar akan keributan yang terjadi di depan istana.
"Kami mendengar bahwa yang membikin kacau adalah seorang pengawal wanita dari Pangeran Mahkota," kata Cin Han.
"Kabarnya ia melarikan diri setelah hampir membunuh Pangeran Mahkota. Agaknya ia seorang mata-mata yang dikirim musuh untuk membunuh Pangeran Mahkota."
"Ayah pergi untuk berusaha menangkap kembali gadis itu, yang kabarnya dibantu dua orang yang amat lihai," kata pula Cin Hwa.
Diam-diam Sin Wan merasa khawatir sekali. Tentu saja ia tidak memberitahu kepada mereka bahwa yang dimaksudkan dengan gadis pengacau itu bukan lain adalah Lili. Dia merasa khawatir kalau sampai Bhok Cun Ki bertemu dengan Lili dan See-thian Coa-ong bersama puteri datuk itu. Dapat berbahaya bagi panglima Bhok. Maka, tanpa banyak cakap lagi diapun meninggalkan kakak beradik itu dengan alasan untuk membantu ayah mereka mengejar pengacau.
Di sepanjang perjalanan Sin Wan berpikir. Dia merasa khawatir sekali terhadap keselamatan Lili dan juga Bhok Cun Ki. Teringatlah dia betapa secara aneh sekali Lili telah menjadi pengawal pribadi Pangeran Chu Hui San. Dan siapakah Yauw Siucai itu? Biarpun dia nampak lemah lembut dan ramah halus, namun kehadirannya dekat Lili amat mencurigakan.
Selagi dia berjalan sambil melamun, matanya tidak pernah mengurangi kewaspadaan melihat setiap orang yang berlalu-lalang di jalan-jalan yang menjadi ramai dan penuh ketegangan dengan adanya berita tentang kekacauan itu.
Tiba-tiba dia menyelinap dengan cepat sekali ke samping sebuah rumah di tepi jalan. Dia melihat sastrawan yang tampan itu berjalan seorang diri. Yauw Siucai! Baru saja dia mengenang sastrawan yang dianggap cukup mencurigakan itu dan kini dia melihat orang itu melangkah seorang diri dengan tergesa-gesa sehingga lupa menggunakan kipas besar yang dipegangnya untuk mengusir kegerahan, bahkan kini langkahnya tidak lagi langkah sastrawan yang lemah lembut.
Sepasang kaki itu melangkah dengan gesitnya, dan dari langkahnya saja Sin Wan dapat menduga bahwa orang ini tidaklah selemah tampaknya ketika berada di istana Pangeran Mahkota! Diapun cepat membayangi Yauw Siucai yang memasuki sebuah lorong kecil.
Akan tetapi, begitu memasuki lorong sempit itu, Yauw Siucai menghilang, entah ke mana! Sin Wan terkejut dan merasa heran, berhenti didepan sebuah dinding pagar yang tebal dan tinggi. Di balik pagar tembok itu nampak atap sebuah rumah besar. Tidak ada pintu pada dinding pagar itu. Akan tetapi kemana lenyapnya Yauw Siucai? Kecurigaannya bertambah dan diapun melompat ke atas pagar tembok. Ketika melihat betapa di sebelah dalam sunyi saja, diapun, melompat ke sebelah dalam. Pada saat dia melompat itu, ada bayangan orang berjalan memasuki lorong itu, akan tetapi Sin Wan yang sudah melompat masuk, tidak tahu bahwa ada orang melihat dia melompat dari atas pagar tembok ke sebelah dalam.
Dengan hati-hati sekali Sin Wan yang tiba di sebuah kebun, menghampiri rumah yang atapnya nampak dari luar pagar tembok. Rumah itu nampak sunyi sekali, seperti tidak berpenghuni. Apakah Yauw Siucai tadi menghilang ke rumah ini? Dia tidak dapat memastikannya. Dia harus menyelidiki karena sikap Yauw Siucai itu mencurigakan sekali.
Andaikata tidak ada hubungannya dengan Lili, tentu dia tidak akan bersusah payah mencurigai dan membayangi Yauw Siucai. Namun karena pada saat itu pikirannya penuh dengan bayangan Lili yang agaknya oleh ibu kandungnya sendiri, di luar pengetahuannya, hendak diadu melawan ayah kandungnya sendiri, disuruh saling serang dan saling bunuh antara anak dan ayah kandung, maka kemunculan Yauw Siucai itu menarik perhatiannya.
Sin Wan menyelinap ke dalam rumah melalui pintu samping yang kecil, dan dia hampir yakin bahwa rumah itu kosong. Tak mungkin Yauw Siucai bersembunyi di rumah ini, pikirnya. Pula, kenapa bersembunyi? Dia yang tadi kurang waspada. Mungkin sastrawan itu menghilang di sebuah tikungan di lorong itu, atau memasuki sebuah pintu kecil yang terbuka. Dia telah salah duga dan tergesa-gesa mengira sastrawan itu masuk ke sini. Namun, dia tetap penasaran. Dia sudah terlanjur masuk, maka diintainya setiap ruangan di rumah itu.
Ketika dia mengintai sebuah kamar yang besar dari balik jendela, dia terkejut. Dalam kamar yang tertutup dan remang-remang itu, dia melihat seseorang rebah terlentang di atas pembaringan dan dengkurnya terdengar lirih. Seseorang yang bertubuh tinggi besar dan perutnya gendut sekali. Dia mencurahkan perhatian dan mengamati.
Berdebarlah jantung Sin Wan, penuh ketegangan ketika dia mengenal orang itu. Sama sekali bukan Yauw Siucai, melainkan seorang tinggi besar gendut yang mengenakan kedok hitam! Si Kedok Hitam yang pernah bertanding dengan dia di gedung peristirahatan Pangeran Mahkota! Kedok Hitam yang amat lihai itu, yang menjadi pemimpin dari gerombolan berkedok, yang mengatur pencurian benda-benda dari gedung pusaka!
Dengan girang karena dapat menemukan tempat persembunyian pimpinan kedok hitam yang dia yakin tentulah mata-mata orang Mongol, karena telah mencuri benda-benda tanda kekuasaan milik bekas kaisar Mongol, Sin Wan siap untuk menangkapnya. Jasanya akan besar sekali kalau dia dapat menangkap pemimpin gerombolan mata-mata dan menyeretnya ke depan Jenderal Shu Ta!
Tanpa ragu lagi, dia membuka jendela dengan hati-hati, lalu meloncat ke dalam kamar itu. Suara dengkur lirih itu tidak terhenti, tanda bahwa Si Kedok Hitam itu masih tidur nyenyak. Agar tidak mencurigakan kalau-kalau ada orang lain berada di luar rumah itu. Sin Wan menutupkan kembali daun jendela dan pada saat dia hendak meloncat ke dekat pembaringan, tiba-tiba terdengar bunyi desis yang tajam.
Sin Wan terkejut, desis itu seperti desis ular dan dia menoleh ke kiri, akan tetapi terdengar bunyi desis-desis lain dari sekelilingnya dan tiba-tiba saja kamar itu telah penuh asap yang amat keras menyengat hidung. Asap beracun! Karena tadinya dia tidak menduga, hidungnya terlanjur menyedot sedikit asap yang membuat kepalanya tiba-tiba terasa pening. Ketika dia hendak meloncat keluar lagi, dia bingung mencari-cari di mana adanya jendela tadi. Kepeningan membuat pandang matanya berkunang dan tempat itu seperti berputar.
Pada saat itu ada angin menyambar dari belakang. Dia membalik sambil menangkis, berhasil menangkis tiga kali serangan, akan tetapi karena kepalanya pening, akhirnya sebuah totokan mengenai punggungnya dan diapun roboh dengan kedua kaki seperti lumpuh. Dia berjuang untuk menahan napas agar tidak menyedot asap yang semakin tebal, dan melihat bayangan Si Kedok Hitam meloncat keluar dari pintu kamar yang segera tertutup kembali.
"Ha..ha..ha..ha..ha.." Si Kedok Hitam yang keluar dari kamar itu, kini tertawa bergelak-gelak tanda kegembiraan hatinya dapat menangkap seorang musuh yang tangguh sedemikian mudahnya.
Pada saat itu, pimpinan gerombolan mata-mata Mongol ini memang sedang berada seorang diri di rumah persembunyian mereka. Ketika tadi melihat Sin Wan memasuki tempat itu, cepat dia memasang perangkap. Kamar itu memang kamar yang diperlengkapi dengan alat rahasia yang menyemprotkan asap beracun. Si Kedok Hitam yang pura-pura tidur telentang di pembaringan itu yang menekan tombolnya ketika Sin Wan melompat masuk ke kamar. Kemudian, pada saat Sin Wan terpengaruh asap beracun, dia menyerang dengan dahsyat dan berhasil merobohkan pemuda dengan totokan.
Untuk menghindarkan asap beracun, dia lalu melompat keluar kamar dan saking gembiranya dia tertawa bergelak.
"Ha..ha-ha..ha-ha! Mampus kau sekarang, bocah usil......... ha..ha..ha........" Tiba-tiba dia menghentikan tawanya dan melempar tubuh ke belakang, Tiga batang jarum lembut menyambar lewat dan pada saat itu, sesosok bayangan melayang turun dari atas genteng dan bagaikan seekor burung garuda, bayangan itu telah menyerang Si Kedok Hitam dengan sebatang pedang yang mengeluarkan hawa dingin sekali. Serangan itu cepat dan dahsyat bukan main, mengejutkan Si Kedok Hitam yang merupakan seorang yang sakti. Dia tidak berani memandang rendah dan cepat meloncat ke belakang. Ketika dia memandang, dia terheran-heran karena penyerangnya itupun mengenakan topeng hijau dan berpakaian serba hijau pula. Akan tetapi jelas bahwa ia seorang wanita! Seorang gadis yang masih muda, bertubuh padat langsing dan rambutnya hitam sekali.
Kembali gadis berpakaian dan bertopeng hijau itu menyerang dan serangannya lebih dahsyat lagi. Si Kedok Hitam dapat menilai bahwa dia berhadapan dengan lawan yang amat tangguh, maka dia pun cepat menggerakkan kedua tangannya yang berlengan baju lebar. Ujung kedua lengan bajunya itulah yang dia pergunakan sebagai senjata dan mereka telah saling serang dengan dahsyat sekali dalam waktu yang singkat itu. Keduanya terkejut, maklum bahwa lawan memang hebat dan tidak boleh dipandang ringan.
Si Kedok Hitam merasa khawatir. Tanpa dibunuhpun, pemuda yang sudah terjebak itu akan mati sendiri oleh asap heracun. Wanita berkedok hijau ini lihai bukan main. Walaupun dia tidak akan kalah, namun untuk merobohkan wanita ini bukan hal yang mudah. Dia khawatir kalau ada lawan lain yang datang. Dia bukan takut kalah, melainkan takut kalau keadaan dirinya diketahui. Dia memegang peran penting dalam jaringan mata-mata Mongol, maka tidak boleh sampai dikenal orang. Teringat akan ini, dia lalu mengeluarkan bentakan nyaring dan kedua ujung lengan bajunya menyambar-nyambar seperti kilat, membuat lawannya meloncat ke belakang dan kesempatan ini dipergunakan oleh Si Kedok Hitam untuk meloncat dan lenyap melalui sebuah pintu rahasia.
Wanita bertopeng dan berpakaian hijau itu tidak melakukan pengejaran karena iapun tahu betapa lihainya orang tadi sehingga mengejar orang selihai itu di tempat yang penuh alat rahasia ini dapat membahayakan diri sendiri. Yang terpenting adalah menolong pemuda yang tadi terperangkap, pikirnya. Ia memasuki kamar yang masih penuh dengan asap itu dan cepat menahan napas karena ia maklum bahwa asap itu berbahaya kalau sampai tersedot.
Sementara itu, tadi Sin Wan terpaksa menutup pernapasannya karena dia tidak mampu melarikan diri dari kamar penuh asap itu. Namun, dia hanya seorang manusia biasa, maka tak mungkin dapat, menahan pernapasan terlalu lama. Jalan pernapasannya tertutup dan karena kekurangan hawa udara, diapun merasa semakin pening dan roboh pingsan. Dia tidak tahu betapa wanita bertopeng hijau memasuki kamar itu dan memondong tubuhnya ke luar dari dalam kamar yang penuh asap, membawanya keluar rumah dan merebahkannya di atas rumput di kebun samping rumah itu.
Sunyi di situ, tidak nampak seorangpun manusia. Dan memang pada waktu itu, yang berada di rumah itu hanyalah Si Kedok Hitam yang telah melarikan diri karena khawatir kalau dirinya diketahui orang luar.
Wanita bertopeng itu memeriksa keadaan Sin Wan dengan cepat. Sepasang matanya yang bening dan mencorong dari balik topeng meneliti keadaan pemuda itu, jari-jari tangannya meraba-raba dan menotok punggung dan pundak, membebaskannya dari totokan. Melihat Sin Wan masih pingsan dan keadaan dadanya menggembung dan keras kaku, tahulah ia bahwa ada kemacetan pada paru-parunya, tentu karena pemuda itu menutup jalan pernapasannya sebelum pingsan agar tidak kemasukan asap beracun, pikirnya.
Hanya ada satu cara untuk menyelamatkan pemuda ini dari cengkeraman maut. Mukanya sudah mulai kehijauan karena kekurangan udara. Ia menyingkap bagian bawah topengnya sehingga nampak hidung dan mulutnya yang memiliki sepasang bibir yang merah basah karena sehat, lalu tanpa ragu-ragu ia menutup kedua lubang hidung pemuda itu dengan jari tangannya dan menempelkan mulutnya pada mulut Sin Wan yang dipaksanya membuka, lalu iapun meniup dengan kuatnya ke dalam dada Sin Wan melalui rongga mulutnya. Beberapa kali ia mengulangi dan karena tiupannya amat kuat, maka hawa yang keluar dari mulutnya dan ditiupkannya itu berhasil membuka jalan pernapasan Sin Wan, membuat dadanya kembang kempis dan paru-parunya bekerja kembali.
Wanita itu menarik napas lega, dan tiba-tiba kedua pipinya berubah merah sekali dan ia cepat menutupkan kembali topeng kain bagian bawah sehingga mulut yang mungil dan hidung mancung itupun lenyap tertutup topeng hijau. Ia mengamati wajah Sin Wan, menghela napas lagi dan menunduk, termenung. Ia tidak melihat betapa bulu kedua mata Sin Wan bergerak-gerak, kemudian kedua mata itu terbuka perlahan-lahan. Begitu melihat seorang memakai topeng di dekatnya, duduk di atas batu dan dia sendiri rebah di atas rumput, Sin Wan segera melompat dan menyerang dengan totokan tangannya yang ampuh.
Wanita bertopeng itu terkejut, akan tetapi tidak sempat mengelak lagi sehingga pundaknya tertotok dan iapun terkulai lemas. Sin Wan terbelalak, karena baru sekarang dia melihat bahwa yang ditotoknya roboh itu sama sekali bukanlah laki-laki tinggi besar perut gendut yang berkedok hitam. Bukan Si Kedok Hitam yang tadi menjebaknya sehingga dia roboh pingsan dalam kamar, dan tubuhnya tidak tertotok lagi! Orang ini adalah seorang wanita yang mengenakan topeng hijau dan berpakaian serba hijau.
"Eh..... ohh..... maaf..... kukira Si Kedok Hitam! Siapa..... engkau......?" Sin Wan berkata gagap karena bingung dan ragu.
Wanita itu tidak mampu bergerak, akan tetapi mampu melototkan matanya dan mengeluarkan suara yang nadanya marah dan mengejek.
"Bagus, kiranya yang kuselamatkan nyawanya adalah seorang manusia tak berbudi yang membalas pertolongan orang dengan serangan yang curang!"
Mendengar ini, teringatlah Sin Wan bahwa dia yang tadinya berada di dalam kamar dan terserang asap beracun, juga tertotok lumpuh ini telah berada di kebun dan totokannya juga sudah bebas, dan tidak ada lagi bekas keracunan asap.
"Ah, maafkan aku.....!" katanya cepat dan diapun segera membebaskan totokannya dengan muka berubah merah karena merasa malu dan menyesal. Dia melihat wanita itu bangkit berdiri dan cepat dia merangkap kedua tangan di depan dada, lalu memberi hormat sambil membungkuk rendah, menundukkan muka dan berkata penuh penyesalan,
"Maafkan aku...... kukira Si Kedok Hitam.........!"
Wanita itu menjadi semakin marah.
"Si Kedok Hitam? Yang tinggi besar dan perutnya gendut itu? Lihat, buka matamu baik-baik, apakah aku tinggi besar. Apakah perutku gendut? Lihat!"
Akan tetapi Sin Wan tidak berani melihat, bahkan tidak berani mengangkat muka karena tadi pun dia sudah melihat bahwa orang ini adalah seorang wanita yang berkulit putih mulus, bertubuh sedang dan mungil, dan pinggangnya ramping, perutnya kempis!
"Maafkan aku......." Saat itu, tangan si topeng hijau bergerak, cepat sekali dan di lain saat Sin Wan sudah terkulai, tertotok persis seperti yang dia lakukan kepada wanita bertopeng itu. Dia terkejut, akan tetapi juga kagum, karena tahulah dia bahwa wanita bertopeng ini sungguh lihai sekali. Tidak mengherankan kalau ia mampu menyelamatkannya.
Mulut di balik topeng itu mengeluarkan suara tawa mengejek.
"Heh..heh, apa kaukira hanya engkau sendiri yang mampu menotok roboh orang secara curang? Akupun bisa!"
"Nona, aku kesalahan tangan menotokmu tanpa memberi peringatan, dan engkau kini membalas dengan perbuatan yang sama, itu namanya sudah adil dan akupun tidak menyesal. Tadi engkau telah menyelamatkan nyawaku, kalau sekarang engkau hendak membunuhku, akupun tidak akan menyesal, berarti hutangku sudah lunas."
Mata di balik topeng itu terbelalak mendengar ucapan Sin Wan yang dilakukan dengan suara sungguh-sungguh itu.
"Apa katamu? Engkau tidak takut mati?"
Sin Wan tersenyum.
"Mati adalah bagian tak terpisahkan dari hidup. Kalau sudah tiba saatnya mati, ditakutipun tidak ada gunanya, tetap akan mati. Akan tetapi kalau belum tiba saatnya mati, diancam bagaimanapun juga, tidak akan mati."
"Hemm, kalau sekarang aku membunuhmu, siapa yang akan dapat membebaskanmu dari kematian? Nyawamu berada di tanganku!"
"Tidak, nona. Nyawaku, juga nyawamu dan nyawa setiap orang semua berada di tangan Tuhan. Kalau Tuhan tidak menghendaki aku mati, engkau atau siapapun tidak akan dapat membunuhku. Buktinya, tadi dalam ancaman maut, pada saat terakhir muncul engkau yang menyelamatkanku, itu berarti bahwa Tuhan belum menghendaki aku mati."
"Huh, sombong! Kalau sekarang aku menggerakkan tangan membunuhmu, apakah Tuhan akan menolongmu?"
"Aku yakin, nona. Kalau Tuhan menghendaki aku hidup, engkau tidak akan berhasil membunuhku!
Si topeng hijau itu merasa ditantang. Ia mengangkat tangan kanan ke atas, siap untuk memukul. Sin Wan maklum bahwa sekali tangan itu menyambar, dia akan tewas tanpa, dapat ditolong lagi. Akan tetapi sedikitpun dia tidak was-was, tidak takut dan bahkan tersenyum sambil memandang, berkedippun tidak! Mata di balik topeng itu berkilat, tangan itu menyambar turun, akan tetapi berhenti di tengah-tengah.
"Kenapa tidak dilanjutkan, nona?" tanya Sin Wan, tenang saja.
"Hemm, kalau tangan ini kulanjutkan, engkau pasti mati dan Tuhanpun tidak akan dapat menyelamatkanmu."
Sin Wan tersenyum.
"Nona, inilah buktinya bahwa Tuhan belum menghendaki aku mati, maka nona tidak melanjutkan pukulanmu."
"Huh! Tapi kenapa engkau tersenyum? Aku bukan pembunuh keji yang suka membunuh orang yang tidak melawan." Tangannya menyambar, akan tetapi bukan untuk memukul, melainkan untuk membebaskan totokannya tadi. Sin Wan dapat bergerak dan diapun berdiri sambil tersenyum.
"Nona, orang yang percaya kepada Tuhan, percaya lahir batin dan bukan hanya pengakuan dimulut saja, tentu akan bersikap pasrah dan menyerah terhadap kekuasaan Tuhan. Kalau Tuhan menghendaki aku mati, aku ingin mati dengan senyum di mulut, bukan dengan tangis dan ketakutan."
Sejenak nona itu memandang penuh selidik, lalu menggeleng kepala.
"Engkau orang aneh. Belum pernah selama hidupku bertemu dengan seorang manusia aneh macam kamu!"
"Dan akupun belum pernah selama hidupku bertemu dengan seorang gadis yang cantik dan lihai, juga berbudi mulia sepertimu, nona."
"Heiii! Bagaimana engkau dapat mengetahui semua itu?"
"Mengetahui apa, nona?"
"Engkau sebut aku nona, dan engkau katakan aku cantik...."
Sin Wan tersenyum.
"Ah, mudah sekali, nona. Dari bentuk tubuhmu, kulit lengan, dahi dan lehermu, rambutmu, sinar matamu dari balik topeng, kemudian suaramu yang bening merdu, mudah saja aku mengetahui bahwa engkau adalah seorang gadis muda yang cantik jelita."
"Hemm, ngawur! Engkau tidak pernah melihat wajahku, bagaimana bisa mengatakan cantik"
"Tentu saja bisa. Dengan rambut seperti itu, kulit seperti itu, mata seperti itu, tidak mungkin nona tidak memiliki kecantikan yang luar biasa."
"Lebih ngawur lagi! Wajahku amat jelek, penuh bekas cacar dan noda hitam, karena itu kusembunyikan di balik topeng."
"Kecantikan bukan karena wajah halus saja, nona. Kecantikan terletak lebih mendalam lagi, engkau memiliki semua kecantikan itu. Biar wajahmu penuh cacar dan noda hitam sekalipun, bagiku engkau tetap cantik. Sayang engkau penakut, tidak berani memperlihatkan wajahmu seperti aku memperlihatkan wajahku kepadamu tanpa kusembunyikan. Engkau seperti Si Kedok Hitam saja......."
"Lancang mulut! Aku memakai topeng bukan karena takut!"
Berkata demikian, ia merenggut topeng kain hijau itu terlepas dari depan mukanya dan Sin Wan tertegun, terpesona. Wajah itu berkulit putih mulus, berbentuk bulat dengan alis yang amat hitam seperti digambar. Hidungnya kecil mancung dan mulut itu memiliki bibir yang menggairahkan. Sepasang mata itupun indah seperti yang sudah dapat diduganya.
"Kenapa engkau bengong?" Gadis itu membentak.
Sin Wan bagaikan baru sadar dari mimpi. Dia menggeleng kepala dan menghela napas panjang.
"Engkau jauh sekali lebih dari pada yang kubayangkan, nona. Tuhan telah memberkahimu berlimpah-limpah, dengan segala kecantikan aseli, dengan suara merdu, dengan sinar mata indah mencorong seperti bintang, dan bentuk tubuhmu mungil..... kecantikanmu agak asing rasanya begitu, tidak seperti kecantikan gadis-gadis lain yang pernah kulihat."
Biarpun Sin Wan bukan seorang laki-laki perayu yang pandai menyenangkan hati wanita dengan pujiannya, bahkan kata-katanya agak kaku, namun tetap saja gadis itu merasa. Wanita mana yang tidak senang akan pujian tentang kecantikannya, apalagi yang memuji itu seorang laki-laki yang berkenan di hatinya. Dan dalam pandangan pertama ketika Sin Wan masih pingsan, apalagi setelah ia terpaksa menghidupkan kembali pemuda itu melalui pernapasan dari mulut ke mulut, pemuda itu mendatangkan kesan yang amat mendalam di hati gadis itu.
"Aku memang bukan seorang gadis Han aseli, aku keturunan Jepang."
"Aih, pantas kalau begitu, tubuhmu begini mungil dan alismu begitu hitam!"
"Sudah, simpan sisa pujianmu. Sekarang katakan, siapa engkau dan apa artinya semua peristiwa yang terjadi di rumah itu" Ia menunjuk ke arah rumah gedung yang nampak sunyi.
"Akupun bukan orang Han, nona. Ayah ibuku berbangsa Uighur, akan tetapi sejak kecil aku dididik seperti orang Han. Namaku Sin Wan. Dan, kalau boleh aku mengetahui namamu......"
"Namaku Ouwyang Kim," jawab gadis itu dengan singkat.
Sin Wan memandang dengan mata terbelalak.
"Ah, kalau begitu nona tentulah puteri dari locianpwe (orang tua gagah) Ouwyang Cin yang berjuluk Tung-hai-liong!"
Ouwyang Kim mengerutkan alisnya dan sinar matanya menyambar tajam penuh selidik.
"Bagaimana pula engkau dapat tahu?"
"Mudah sekali, nona Ouwyang! Nama keturunanmu Ouwyang, ilmu silatmu dahsyat dan engkau keturunan Jepang. Siapa lagi kalau bukan puteri Tung-hai-liong Ouwyang Cin yang namanya sudah kudengar di mana-mana?"
Kembali gadis itu mengerutkan alisnya. Tak nyaman rasa hatinya mendengar pemuda itu mengenal nama ayahnya. Ia tahu bahwa di dunia persilatan, nama ayahnya tidaklah nama yang sedap, karena ayahnya adalah seorang datuk yang menguasai semua bajak laut dan para perampok di sepanjang pantai.
"Sudahlah, ceritakan apa yang terjadi di sini dan apa maksudmu memasuki tempat ini seperti maling tadi."
Sin Wan memandang penuh selidik dan dia ragu. Gadis ini adalah puteri seorang datuk sesat, dan Si Kedok Hitam juga memimpin mata-mata dan pencuri gudang pusaka. Mereka itu segolongan! Akan tetapi hatinya membantah. Biarpun ayah gadis ini datuk sesat, akan tetapi gadis ini jelas menentang Si Kedok Hitam dan buktinya telah menyelamatkannya. Setelah dia diselamatkan orang, apakah dia harus tidak percaya kepada penolongnya? Tidak, dia harus jujur dan berterus terang karena dari sinar matanya, bicaranya, dan sikapnya, dia tidak percaya kalau gadis seperti ini akan berpihak kepada pemberontak atau penjahat, biarpun ayahnya seorang datuk sesat.
"Nona Ouwyang........"
"Ah, sudahlah, sebut saja aku Akim dan ceritakan yang jelas."
Sin Wan tersenyum. Tepat penilaiannya. Gadis ini selain lembut hati dan baik budi, juga jujur dan bersahaja.
"Baiklah. Akim. Aku adalah seorang penyelidik yang bertugas untuk menentang jaringan mata-mata Mongol yang beraksi di kota raja."
Akim teringat akan nasihat ibunya dan ia mengangguk-angguk.
"Bagus, orang Mongol memang penjajah yang harus ditentang dan mereka sudah kalah. Lanjutkan ceritamu, Sin Wan."
Mendengar ucapan itu, semakin senang dan yakinlah hati Sin Wan bahwa kepada gadis ini dia boleh mempercayainya. Dia melanjutkan,
"Ketika terjadi pencurian benda-benda pusaka dari gudang pusaka kerajaan, aku pernah melihat Si Kedok Hitam, akan tetapi aku gagal menangkapnya karena dia memang ihai. Oleh karena itu, ketika tadi aku melihat seorang siucai yang kucurigai lenyap di lorong itu, aku menduga bahwa dia menghilang di sini dan aku mencurigai rumah ini. Maka, melihat lorong itu sepi, aku lalu meloncati pagar tembok dan masuk ke sini."
"Hemm, saat engkau meloncat itulah aku melihatmu, maka aku cepat mengenakan topeng ini dan kubayangi engkau."
"Setelah aku mengintai, rumah ini sunyi dan dapat kaubayangkan betapa girang hatiku ketika aku melihat Si Kedok Hitam tidur mendengkur di sebuah kamar........"
"Kamar rahasia penuh perangkap dan engkau terjeblos!" gadis itu mencela.
Sin Wan tersipu. Harus diakuinya bahwa dia memang agak ceroboh tadi. Dia mengangguk.
"Aku sudah berhati-hati, sama sekali tidak mengira akan diserang dengan asap beracun karena dia sendiri tidur di situ. Pada saat aku pening, sebelum sempat menerjang keluar, si Kedok Hitam berhasil menotokku roboh. Aku hanya dapat menghentikan jalan pernapasan dan tidak ingat apa-apa lagi. Maka, ketika aku siuman di sini dan melihat seorang mengenakan topeng, tentu saja aku mengira bahwa engkau Si Kedok Hitam atau setidaknya seorang anak buahnya, karena memang dia mempunyai anak buah yang mengenakan kedok. berbagai warna, ada yang hijau."
"Hemm, penyelidik macam apa engkau ini, begitu mudah tertawan musuh. Siapa sih yang menyuruhmu melakukan penyelidikan?"
"Aku mendapat kekuasaan dari Kaisar sendiri dan aku bekerja sama dengan seorang panglima. Sekarang, ceritakan keadaanmu, Akim. Bagaimana engkau dapat begitu kebetulan melihat aku melompati pagar tembok dan membayangi sehingga dapat menolongku."
"Hemm, cerita tentang diriku tidak menarik. Aku meninggalkan tempat tinggal kami di lembah Muara Huang-ho untuk melakukan perantauan. Aku berkunjung ke kota raja karena perantauanku adalah untuk menyusul ayah dan kukira ayah berada di kota raja. Aku mempersiapkan topeng dan selalu mengenakan pakaian hijau karena aku tidak ingin ayah melihatku. Dia akan marah kalau melihat aku menyusulnya. Nah, ketika aku berjalan-jalan, kebetulan aku memasuki lorong itu untuk mencari jejak ayah, dan aku melihatmu melompati pagar tembok. Aku lalu membayangimu dan ketika aku melompat ke dalam, aku kehilangan bayanganmu dan rumah itu sunyi sekali. Selagi aku mencari ke sana sini, tiba-tiba aku mendengar suara orang tertawa. Dia adalah seorang laki-laki tinggi besar berperut gendut yang memakai kedok hitam, dan dia berdiri di depan sebuah kamar dari mana mengepul asap yang dari baunya aku tahu bahwa asap itu asap beracun. Akupun dapat menduga apa yang terjadi. Tentu engkau terjebak di kamar itu, maka aku lalu menyerang Si Kedok Hitam itu. Ternyata dia lihai bukan main, akan tetapi agaknya dia tidak ingin berkelahi terus. Dia melarikan diri dan aku tidak mengejarnya, melainkan cepat memasuki kamar dan membawamu keluar ke sini."
"Dan engkau menyelamatkan nyawaku, Akim. Entah bagaimana aku dapat membalas budimu yang besar. Engkau telah membawaku keluar dari kamar berasap itu, lalu membebaskan totokanku dan bagaimana engkau dapat mengobatiku sedemikian cepatnya?"
Tiba-tiba saja wajah gadis itu menjadi kemerahan.
"Aku.... aku melihat engkau pingsan, dadanya melembung besar dan keras, kaku, pernapasanmu berhenti sama sekali. Kukira engkau sudah mati........."
"Ah, aku ingat sekarang. Sebelum pingsan, aku mengambil satu-satunya cara untuk mencegah asap beracun memasuki dadaku. Aku menghentikan jalan pernapasanku dan karena tidak tahan aku lalu tidak ingat apa-apa lagi."
Akim mengangguk.
"Engkau sudah kaku dan mukamu kebiruan........"
"Engkau ahli pula dalam pengobatan agaknya."
Akim menggeleng kepalanya. Ia seorang gadis yang jujur dan terbuka, akan tetapi sekali ini, ia seperti tenggelam dalam perasaan sungkan dan malu kalau harus menceritakan bagaimana ia tadi menyelamatkan Sin Wan.
"Lalu bagaimana engkau dapat membuat jalan pernapasanku bekerja kembali?"
Sin Wan ingin tahu sekali karena menurut pengetahuannya, jalan pernapasan yang sudah dihentikannya itu, dalam keadaan dia jatuh pingsan, tak mungkin dapat terbuka sendiri atau bekerja sendiri. Dia sendiripun tidak akan dapat menolong orang yang keadaannya seperti dia tadi.
"Aku memberimu pernapasan......"
"Eh? Memberi pernapasan? Bagaimana maksudmu, Akim?"
"Aih, Sin Wan Kenapa engkau cerewet, sih? Bukankah yang penting aku sudah berhasil membuatmu bernapas kembali?"
"Akim, aku berterima kasih sekali kepadamu. Bukan maksudku untuk menjadi cerewet, akan tetapi aku ingin sekali tahu agar sewaktu-waktu ada peristiwa seperti itu, aku dapat mengobati orang yang keadaannya seperti aku tadi."
Akim termenung.
"Sin Wan, terus terang saja, kalau bukan engkau kebetulan mendatangkan perasaan iba dan percaya kepadaku, kalau orang lain, sampai matipun aku tidak akan sudi memberi pengobatan seperti itu, dengan jalan memberi pernapasan."
"Sekali lagi terima kasih, Akim. Akan tetapi aku tidak mengerti apa maksudnya memberi pernapasan itu."
"Ya memberi pernapasan, meniupkan napas ke dalam paru-parumu! Bodoh benar sih kau ini!"
Gadis itu nampak jengkel dan mukanya menjadi semakin merah. Biar ia sudah berusia duapuluh tahun, namun Ouwyang Kim belum pernah bergaul dekat dengan pria, bahkan ia merasa jemu dan jengkel melihat suhengnya, Maniyoko, kelihatan begitu mencintanya. Bergaul akrab dengan priapun belum, apa lagi beradu mulut seperti yang ia lakukan ketika meniupkan kehidupan kepada Sin Wan!
"Meniupkan napas ke dalam paru-paruku..... Tapi..... tapi.... bagaimana caranya?" Sin Wan bertanya dengan jujur, tidak dibuat-buat karena memang dia sama sekali tidak pernah membayangkan cara yang mustahil itu.
"Tolol benar, tentu saja aku meniupkan napas ke dalam paru-parumu, melalui mulutmu dan dengan menutupi hidungmu!"
Akim menjawab cepat, akan tetapi ia menundukkan mukanya, tidak berani menentang pandang mata Sin Wan yang terbelalak dengan mulut terbuka saking kaget dan herannya.
Sejenak suasana menjadi hening. Akim menunduk dan Sin Wan memandang kepadanya dengan bengong, tidak berani berkata apa-apa karena apa yang dikatakan gadis itu sungguh di luar dugaannya sama sekali.
Kini dia membayangkan betapa mulut yang indah itu tadi meniupkan napas ke dalam dadanya melalui mulutnya. Mulut mereka tadi bertemu entah berapa lama dan entah berapa kali. Walaupun jantungnya berdebar keras dan dia ingin sekali tahu berapa lama dan berapa kali, namun dia tidak memiliki keberanian untuk menanyakannya. Melihat gadis itu menunduk dan kelihatan malu sekali, dia merasa kasihan. Pantas gadis yang demikian gagah menjadi seperti seorang perawan desa yang malu-malu, kiranya dia memaksa gadis itu menceritakan adegan yang mustahil!
"Ahhh.... maafkan aku, Akim....... semakin besar jasa dan budimu. Aku tidak akan melupakannya selama hidupku. Engkau.... engkau sungguh teramat baik kepadaku, Akim."
"Cukup, aku bisa menjadi muak tiada hentinya engkau berterima kasih seperti itu. Aku ingin tahu, apakah engkau seorang perwira, atau seorang pejabat pemerintah yang bertugas sebagai penyelidik"
Sin Wan menggeleng kepala.
"Bukan sama sekali. Aku tidak akan mau mengikatkan diri dengan jabatan."
"Bagus, aku akan membencimu kalau engkau seorang petugas bayaran. Lalu, kenapa engkau bertugas menentang jaringan mata-mata Mongol dan mendapat kekuasaan dari Kaisar sendiri?"
"Sebetulnya, guruku yang mendapat tugas dan kekuasaan akan tetapi karena guruku merasa sudah tua, beliau mewakilkan kepadaku. Karena hendak berbakti dan mentaati guruku itulah maka sekarang aku melakukan penyelidikan."
"Ketika engkau menotokku, gerakanmu hebat. Siapa sih gurumu itu, Sin Wan?"
"Guruku adalah Sam-sian, sekarang hanya tinggal suhu Ciu-sian saja."
Gadis itu mengangkat kedua tangan ke atas.
"Wah, Sam-sian? Ayahku pernah bercerita tentang Sam-sian, dan memuji mereka. Jadi engkau murid mereka? Dan kalau engkau tidak menjadi perwira, kenapa engkau tadi mengatakan bahwa engkau bekerja sama dengan seorang panglima......"
"Celaka, aku sampai melupakan dia!" Sin Wan berseru,
"Panglima itu, dia...... terancam bahaya maut, aku harus cepat menolongnya!" Dia bangkit berdiri.
"Sin Wan, biarkan aku ikut. Aku akan membantumu."
"Tapi........" dia meragu.
Gadis itu bertolak pinggang, sikapnya menantang.
"Baru saja engkau berterima kasih berulang-ulang sampai menjemukan, sekarang, aku hendak ikut dan membantumu saja engkau melarangku. Begitukah macamnya terima kasihmu itu?" Gadis itu cemberut, membalikkan badan dan meloncat pergi ke atas pagar tembok, terus keluar.
Sesosok bayangan berkelebat di sampingnya dan Sin Wan telah berada di sampingnya, di lorong sempit itu. Hal ini saja membuat Akim menyadari bahwa pemuda murid Sam-sian ini memang hebat, memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang luar hiasa.
"Maafkan aku, Akim. Mari kita pergi bersama."
Seketika wajah, yang cemberut itu berubah menjadi cerah dan tersenyum yang manis mengembang.
"Aku sedang kebingungan seorang diri di kota raja yang besar dan ramai ini, Sin Wan, dan kini mendapatkan seorang teman baik. Mari!"
Diam-diam Sin Wan merasa kagum kepada gadis puteri datuk timur ini. Seorang gadis yang baik hati, walaupun juga aneh, mengingatkan dia kepada Lili Hanya bedanya, gadis ini agaknya tidak berhati ganas dan kejam seperti Lili yang pernah menyiksanya, hanya untuk membalas dendam ketika kecil pernah dia tampari pinggulnya. Dengan gadis seperti Akim ini di dekatnya, dia merasa mendapatkan seorang teman yang boleh diandalkan dan boleh dipercaya. Mereka berdua melakukan perjalanan cepat menuju ke rumah Bhok Cun Ki.
Kembali Sin Wan tidak bertemu dengan Bhok Cun Ki dan seperti tadi, yang menyambutnya adalah Ci Han dan Ci Hwa. Kakak beradik ini kelihatan muram dan bingung, dan mereka berdua memandang penuh selidik dan kecurigaan ketika melihat seorang gadis cantik berpakaian serba hijau datang bersama Sin Wan. Tadinya mereka mengira bahwa gadis yang datang bersama Sin Wan itu Lili, gadis yang mengancam ayah mereka. Akan tetapi setelah Sin Wan dan Akim datang dekat, mereka meiihat bahwa gadis itu adalah seorang asing yang tidak mereka kenal.
"Siapakah enci ini, Wan-toako?" tanya Ci Hwa dengan alis berkerut dan hati merasa tidak senang. Ia merasa kagum kepada Sin Wan bahkan mengharapkan bantuan pemuda ini untuk menyelamatkan ayahnya. Ia tertarik kepada pemuda Uighur ini, maka melihat dia datang bersama seorang gadis cantik, tentu saja hatinya merasa tidak nyaman.
"Ini nona Ouwyang Kim, seorang sahabat. Akim, ini adalah kakak beradik Bhok Ci Han dan Bhok Ci Hwa, putera puteri panglima Bhok.
Adik Ci Han dan Ci Hwa, di manakah ayah kalian?"
"Ah, gawat sekali, toako," jawab Ci Han.
"Ayah menerima surat tantangan lagi dan sekali ini dia ditantang untuk bertemu musuhnya di sebelah utara kota raja."
"Dan ayah melarang keras kepada kami agar kami tidak menyusul ke sana. Kami merasa gelisah sekali, toako!" kata Ci Hwa dengan pandang mata penuh harapan agar Sin Wan membela ayahnya.
Mendengar ini, Sin Wan terkejut bukan main.
"Kalau begitu, aku harus cepat mencarinya ke sana. Mari kita pergi, Akim! Tanpa banyak keterangan lagi Sin Wan lalu pergi dengan cepat, diikuti Akim.
Ci Hwa memandang kepada kakaknya, wajahnya semakin muram.
"Koko, mari kita pergi menyusul ayah."
"Hwa-moi, ayah tadi sudah memperingatkan kita dengan keras agar kita tidak menyusul ke sana. Ayah tentu akan marah sekali kalau kita melanggarnya."
"Tapi, bagaimana mungkin kita dapat berdiam diri begini saja? Kita harus membela ayah!"
"Sudah ada Wan-toako yang menyusul ke sana, Hwa-moi."
"Justeru itulah yang membuat aku penasaran. Kau lihat tadi? Gadis itu adalah seorang asing sama sekali dan ia saja ikut Wan-toako menyusul ayah. Kalau seorang gadis asing boleh ke sana, kenapa kita putera puterinya tidak boleh? Kalau engkau tidak mau, biar aku sendiri yang akan menyusul ke sana."
"Hwa-moi, ayah melarang kita karena pihak musuh amat berbahaya. Ayah tidak ingin melihat kita celaka, dan juga ayah menekankan bahwa urusan itu adalah urusan pribadi yang tidak bolen dicampuri siapapun juga."
"Tapi gadis yang pergi bersama Wan-toako tadi? Kenapa boleh? Apa ia lebih hebat, lebih lihai daripada aku?"
"Aih, Hwa-moi, kau....... agaknya kau...... cemburu kepadanya!"
Wajah Ci Hwa berubah merah, akan tetapi ia tidak membantah, dan berkata,
"Sudahlah, aku mau pergi menyusul sekarang. Kalau engkau mau ikut baik, kalau tidak, aku akan pergi sendiri. Kalau ayah marah, biar aku yang bertanggung jawab!" Setelah berkata demikian, Ci Hwa bergegas meninggalkan rumah. Tentu saja Ci Han tidak tega membiarkan adiknya menyusul seorang diri, maka diapun segera mengejarnya. Biarlah mereka berdua yang akan bertanggung-jawab kalau sampai ayah mereka marah.
Bhok Cun Ki telah menerima surat tantangan yang ditulis oleh Cu Sui In. Hari itu dia ikut mencari Lili yang menjadi orang buruan, namun tidak berhasil. Adalah kedua orang anaknya yang mendapatkan surat itu. Sehelai surat yang tahu-tahu telah berada di daun pintu rumah mereka, tertancap di daun pintu, tertusuk sebatang pisau. Surat itu singkat saja, menantang Bhok Cun Ki untuk mengadu nyawa di hutan sebelah utara kota raja.
Tentu saja kakak beradik itu menjadi marah sekali, akan tetapi mereka tidak tahu siapa yang menyambitkan pisau bersurat itu pada daun pintu rumah mereka. Ketika ayah mereka pulang, mereka memberitahu akan surat itu. Setelah membaca surat itu, berubahlah wajah Bhok Cun Ki karena dia masih ingat akan tulisan Cu Sui In, bekas kekasihnya! Surat itu tanpa nama pengirim, namun dia tahu bahwa sekarang yang menantangnya adalah Sui In sendiri.
Andaikata yang menantangnya itu sumoi dari Sui In, tentu dia tidak akan memperdulikannya. Akan tetapi kini yang mengirim surat tantangan adalah Cu Sui In! Dia harus pergi menemui bekas kekasihnya itu. Dia memang merasa bersalah terhadap wanita itu, maka dia akan minta maaf, dan andaikata Sui In berkeras untuk menantangnya, dia akan mencari jalan agar wanita itu dapat memaafkan, atau kalau tidak, terpaksa dia akan menghadapinya. Bagaimanapun juga akibatnya, dia harus menemui Sui In.
"Kalian di rumah saja, jangan sekali-kali menyusulku. Urusan ini adalah urusan pribadi yang terjadi ketika aku masih muda, dan tidak seorangpun boleh mencampuri," demikian dia berpesan kepada Ci Han dan Ci Hwa. Dia tahu bahwa kalau anak-anaknya muncul, hal itu hanya akan menambah panas dan marahnya hati Sui In saja dan dia tidak ingin melihat anak-anaknya terancam bahaya.
Demikianlah, dengan membawa surat tantangan itu, Bhok Cun Ki meninggalkan rumah pada sore hari itu, keluar dari pintu gerbang utara dan terus menuju ke sebuah hutan yang kecil yang sudah dikenalnya. Hutan itu terletak di lereng bukit, menyimpang dan agak jauh dari jalan raya sehingga tempat itu tentu sunyi, apalagi di waktu sore seperti itu.
Ketika tiba di tengah hutan dan mendapatkan hutan itu sunyi, Bhok Cun Ki berdiri tegak dan kedua kakinya terpentang, lalu dia menengadah dan berseru dengan lantang,
"Cu Sui In, aku telah datang memenuhi tantanganmu. Keluarlah untuk bertemu denganku!"
Tempat itu merupakan lapangan terbuka yang cukup luas, dikelilingi pohon-pohon rindang. Cuaca sudah mulai redup karena matahari mulai bergeser ke barat. Suara Bhok Cun Ki bergema di sekeliling tempat itu.
"Bhok Cun Ki, bersiaplah untuk mati sekali ini!" terdengar bentakan halus dan ketika Bhok Cun Ki membalikkan tubuh, wajahnya berkerut karena kecewa. Yang muncul bukanlah Sui In yang diharapkan, melainkan Lili, gadis yang pernah memaksanya bertanding itu.
"Hemm, engkau lagi, nona. Di mana Sui In? Suruh sucimu itu saja yang keluar dan bicara sendiri denganku. Aku tidak mempunyai urusan pribadi denganmu," katanya.
Lili yang telah menanggalkan penyamarannya setelah tiba di hutan itu, kini menghadapi Bhok Cun Ki, matanya berkilat tajam dan mulutnya tersenyum mengejek walaupun hatinya terasa tidak enak sekali. Hidungnya kembang kempis, tanda bahwa hati gadis ini sebenarnya tegang sekali. Ia merasa terpaksa sekali harus berhadapan kembali dengan panglima ini untuk saling serang dan saling bunuh! Setelah apa yang dilakukan panglima ini kepadanya, sikapnya yang demikian baik dan ramah, sungguh menyiksa sekali ia harus menantangnya kembali! Maka, iapun tidak ingin banyak bicara lagi.
"Bhok Cun Ki, suci mewakilkan kepadaku untuk membunuhmu. Nah, tidak perlu banyak cakap lagi. Mari kita lanjutkan pertandingan kita yang dahulu terganggu sekali, seorang di antara kita harus roboh dan mati, barulah pertandingan dihentikan! Bersiaplah engkau, Bhok Cun Ki!" Lili mencabut pedangnya, pedang yang berbentuk ular putih, memasang kuda-kuda dan wajahnya membayangkan kenekatan.
Akan tetapi, Bhok Cun Ki seperti tidak melihatnya dan panglima ini memandang ke sekeliling, mencari-cari.
"Bhok Cun Ki, bersiaplah dengan pedangmu!" Lili membentak.
"Sui In, di mana engkau? Keluarlah dan jangan menyuruh sumoimu yang menghadapi aku. Aku hanya mau berurusan denganmu, bukan dengan orang lain!" Bhok Cun Ki berseru, tidak memperdulikan Lili yang menantang. Akan tetapi tidak ada jawaban, juga tidak nampak bayangan orang lain di hutan itu.
"Bhok Cun Ki, sekali lagi, bersiaplah karena aku akan menyerangmu!" kembali Lili berseru, mukanya kemerahan karena ia marah sekali melihat panglima itu tidak memperdulikan dirinya, seolah memandang rendah atau menganggap ia anak kecil saja. Panglima itu tetap celingukan ke sekelilingnya, mencari-cari.
"Cu Sui In, aku hanya mau menyerahkan nyawaku kepadamu! Keluarlah dan mari kita bicara baik-baik!"
Lili menjadi marah sekali. Ia mengelebatkan pedangnya di depan muka panglima itu dan sekali bergerak, pedang itu telah menodong. Ujung pedang Pek-coa-kiam menempel pada dada panglima itu.
"Bhok Cun Ki, kalau engkau tidak mau melawan, terpaksa aku akan membunuhmu! Apakah engkau seorang pengecut yang tidak berani melawanku? Apakah engkau ingin mati konyol seperti seekor babi?" Lili sengaja memaki untuk memanaskan hati orang itu. Biarpun ia tahu bahwa ia akan sukar sekali menang kalau bertanding melawan panglima ini, akan tetapi ia tidak sudi membunuh orang yang tidak mau melawan.
Ketika pedang itu, menodong dadanya, seakan baru sadarlah Bhok Cun Ki bahwa di situ tidak ada Sui In, yang ada hanyalah gadis sumoi dari bekas kekasihnya yang kini siap untuk menyerangnya.
"Nbna, sejak dulupun aku tidak ingin bertanding denganmu. Katakan kepada Sui In bahwa aku hanya mau bertanding dengannya, bukan dengan wakilnya. Pula, mengapa engkau mati-matian mewakili sucimu dan siap membunuhku atau terbunuh olehku? Kenapa tidak ia sendiri yang maju?"
"Bhok Cun Ki! Aku datang bukan untuk mengobrol denganmu, melainkan untuk membunuhmu! Aku rela mati untuk suci. Kalau aku tidak berhasil membunuhmu, aku akan melawan terus sampai mati!" Lili menarik pedangnya dan kembali memasang kuda-kuda, siap bertanding.
Akan tetapi Bhok Cun Ki tidak bernapsu untuk bertanding dengan Lili. Dia ingin bertemu dengan Sui In karena hanya kalau berhadapan dengan wanita itulah maka semua urusan akan dapat dibereskan dan diselesaikan. Kalau memang dia telah menghancurkan kebahagiaan Sui In, biarlah wanita itu boleh membunuhnya. Akan tetapi bukan oleh tangan orang lain!
"Cu Sui In, keluarlah sendiri!" kembali dia berteriak lantang. Lili marah sekali, merasa tidak dipandang, merasa diremehkan.
"Akulah Cu Sui In, anggap saja aku Cu Sui In! Nah, aku akan menyerangmu, jangan salahkan aku kalau engkau terbunuh oleh serangan ini. Sambutlah!" Pedang itu berubah menjadi sinar putih dan meluncur ke arah tenggorokan Bhok Cun Ki.
Bhok Cun Ki memang enggan untuk bertanding lagi melawan gadis yang sama sekali tidak mempunyai urusan dengannya itu, akan tetapi tentu saja diapun tidak mau mati konyol di tangannya. Maka, melihat pedang meluncur ke tenggorokannya dalam serangan maut, dia cepat melompat ke kanan menjauh sehingga serangan itu gagal. Akan tetapi Lili menyerang terus dengan dahsyatnya. Gadis ini memang sudah nekat.
Hanya ada dua pilihan baginya, sesuai dengan kehendak sucinya, yaitu membunuh Bhok Cun Ki atau terbunuh olehnya! Tentu saja ia memilih membunuh dari pada dibunuh dan iapun menyerang terus dengan gencar dan dahsyat. Bhok Cun Ki terpaksa mencabut pedang Ceng-kong-kiam dan nampaklah sinar hijau bergulung-gulunq, saling belit dengan gulungan sinar putih dari pedang di tangan Lili.
Terjadilah pertandingan untuk kedua kalinya. Namun, sekali ini lain sekali keadaannya. Kalau Lili menyerang mati-matian dan mengerahkan segala daya untuk membunuh lawan, sebaliknya Bhok Cun Ki ragu-ragu dan selalu hanya mengelak atau menangkis saja, jarang sekali balas menyerang kalau tidak terpaksa untuk membendung gelombang serangan lawan yang berbahaya. Karena itu, walaupun Bhok Cun Ki lebih tinggi tingkatnya, pertandingan itu menjadi seru sekali bahkan Bhok Cun Ki mulai terdesak.
Ketika Lili memainkan Pek-coa Kiam-sut yang membuat gerakan bagaikan seekor ular yang amat berbahaya, serangannya mengandung daya kekuatan dari bawah bagaikan seekor ular yang ganas, hanya dengan gerakan seperti seekor burung saja, Bhok Cun Ki masih mampu mempertahankan diri. Bagaimanapun juga karena dia tidak ingin mengalahkan Lili, hanya melindungi diri, dia yang selalu terdesak dan beberapa kali nyaris termakan pedang.
Karena setiap serangan ia lakukan dengan pengerahan seluruh tenaga, maka setelah lewat lima puluh jurus, tubuh Lili sudah mandi keringat, dan napasnya agak terengah. Demikian pula dengan Bhok Cun Ki, dia sudah berpeluh dan gerakannyapun mulai mengendur karena bergerak dengan loncatan-loncatan seperti burung itu menguras banyak tenaganya.
"Lili, sumoi, bunuh dia.......! Bunuh dia........!"
Mendengar suara lembut yang tiba-tiba itu, Bhok Cun Ki melirik dan ketika dia melihat Cu Su In berdiri di sana, dia tertegun.
"Sui In........!" Dia berseru dan terbelalak memandang kepada wanita bekas kekasihnya yang masih nampak cantik jelita dan anggun itu. Sekarang barulah dia menyadari bahwa selama ini dia masih mencinta wanita itu, sejak dahulu dia mencintanya, dan hanya keangkuhan saja yang memaksanya meninggalkan Sui In dan menikah dengan wanita lain.
"Singgg...... singg......!" Sinar putih menyambar-nyambar. Biarpun Bhok Cun Ki berusaha mengelak, namun karena sebagian besar perhatiannya ditujukan kepada Sui In, maka sambaran yang ke tiga dari pedang Pek-coa-kiam itu tak dapat dihindarkan lagi telah menusuk paha kirinya dan diapun roboh terguling!
Setelah melihat lawannya roboh dan darah bercucuran dari celana bagian paha, Lili berdiri seperti patung. Kalau ia menyusulkan serangan, pasti panglima itu tidak akan mampu melindungi diri lagi. Akan tetapi, pada dasarnya Lili memiliki watak yang gagah. Merobohkan lawan yang sejak tadi tidak pernah membalas saja sudah membuat ia merasa menyesal sekali, apalagi sekarang melihat lawan yang selalu bersikap baik kepadanya itu sudah terluka. Ia merasa jijik kepada diri sendiri kalau harus menyusulkan serangan lagi. Maka ia berdiri mematung dengan hati bimbang.
Bhok Cun Ki tidak mengeluh, juga tidak perduli akan luka di pahanya. Dia memaksa diri bangkit duduk, memandang kepada Sui In yang melangkah mendekatinya. Sukar dilukiskan wajah wanita berusia empatpuluh tiga tahun yang masih nampak cantik seperti seorang gadis itu ketika memandang kepada laki-laki yang telah menghancurkan kebahagiaan hidupnya selama puluhan tahun ini.
"Sui..... In-moi...... aku memang bersalah kepadamu, baru sekarang aku melihat kesalahanku itu. Dosaku terhadap dirimu amat besar, aku telah menghancurkan kebahagiaanmu, merusak kehidupanmu, aku memang layak mati di tanganmu, Karena itu, marilah..... mari kaubunuh aku agar aku dapat menebus dosaku kepadamu, agar engkau memperoleh kebahagiaan dari balas dendammu ini. Pergunakan pedangku ini, In moi......" Bhok Cun Ki dengan wajah cerah disertai senyum menjulurkan tangan kanannya yang memegang pedang Ceng-kong-kiam kepada Bi-coa Sianli Cu Sui In.
Akan tetapi Cu Sui In hanya berdiri menatap wajah pria itu seperti orang terpesona, dan kedua matanya berubah kemerahan, kedua pipinya menjadi pucat dan kedua mata itu perlahan-lahan menjadi basah. Ia seperti tidak mampu mengalihkan pandang matanya dari wajah itu, lalu dengan paksa ia merenggut lepas pandang mata yang melekat itu, menoleh kepada sumoinya dan suaranya terdengar tidak semerdu tadi, melainkan agak parau dan lirih, namun tegas mendesak.
"Sumoi, cepat kaubunuh dia! Cepat kataku! Bunuh dia!" Akan tetapi sekali ini Lili tidak bergerak.
"Suci, dia sudah terluka dan tidak akan mampu melawan. Dia sudah menyerah untuk kaubunuh, kenapa suci tidak segera melaksanakannya sendiri dan memaksaku untuk membunuhnya? Suci, kalau engkau hendak membunuhnya, lakukanlah sendiri, apa susahnya?"
"Engkau begitu sakit hati kepadaku, kenapa menyuruh sumoimu, Sui In? Kalau sumoimu yang membunuhku, dendammu tidak akan pernah padam. Sumoimu benar, kalau engkau hendak membunuhku, lakukanlah sendiri. Aku tidak akan melawan, aku akan tersenyum menyambut kematian di tanganmu, In moi." Tiba-tiba Cu Sui In seperti mendapat semangat baru. Sekali tangannya bergerak, pedang yang disodorkan Bhok Cun Ki itu sudah dirampasnya, kemudian ia mengangkat pedang itu, siap membacok leher Cun Ki yang sudah pasrah. Panglima itu menengadah memandang dengan senyum, sedikitpun tidak nampak takut, dan matanya tidak ber kedip.
"Singgg......!!" Pedang itu menyambar, berubah menjadi sinar hijau yang menyilaukan saking kuatnya tangan yang menggerakkannya. Leher Bhok Cun Ki tentu akan terpenggal dengan mudah. Akan tetapi, ketika pedang meluncur lewat, leher itu masih tetap utuh dan pedang Ceng-kong-kiam menancap, amblas di dalam tanah di dekat tubuh panglima itu, menancap ke tanah sampai ke
JILID 11
gagangnya! Cu Sui In menutup mukanya dengan kedua tangannya, tubuhnya gemetar, kedua pundaknya terguncang karena ia telah menangis tanpa suara, akan tetapi air matanya merembes keluar dari celah-celah jari tangannya.
"Aku..... aku tidak bisa melakukannya.... aku selalu mencintamu.... selamanya..... aih, Cun Ki..... kenapa engkau begitu tega menyia-nyiakan diriku dan menghancurkan kebahagiaan hidupku.....
" Ia terisak-isak menangis.
Wajah Bhok Cun Ki menjadi pucat sekali. Pendengaran dan penglihatan ini baginya lebih menyakitkan, bagaikan ribuan pedang menusuk-nusuk jantungnya. Tak tertahankan lagi olehnya, kedua matanya menjadi basah dan air mata mengalir ke atas pipinya. Baru terbuka kesadarannya bahwa Cu Sui In amat mencintanya, dan dia sendiripun selamanya mencinta Sui In. Akan tetapi, demi menjaga namanya sebagai seorang pendekar besar, dia meninggalkan Sui In, menghancurkan cinta kasih di antara mereka. Padahal, sebagai seorang gadis, Sui In telah menyerahkan segalanya kepadanya, menyerahkan batin dan badannya.
"In-moi..... ah, Inmoi...... sungguh aku telah bersikap kejam kepadamu. Aku...... aku....... apa yang harus kulakukan sekarang In moi? Aku tidak akan membantah, apa saja akan kulakukan demi menebus kesalahanku itu........."
Tiba-tiba Sui In menurunkan kedua tangannya. Wajahnya nampak pucat sekali, basah air mata, mulutnya tertarik-tarik di kedua ujung bibirnya karena ia menahan tangisnya, hidungnya kemerahan dan air mata masih berderai turun ke atas kedua pipinya.
"Lili! Perintahku yang penghabisan kepadamu. Gerakkan pedangmu dan bunuh laki-laki ini sekarang juga! Kalau engkau tidak mematuhi perintahku, mulai detik ini hubungan di antara kita putus!"
"Suci....."
"Cepat, kuhitung sampai tiga. Kalau belum kaulakukan, aku akan menyerangmu sebagai seorang musuh besar!" kata wanita itu.
Wajah Lili menjadi pucat, akan tetapi ia tidak mempunyai pilihan lain, apalagi ketika terdengar suara sucinya,
"Satu.... dua....."
Lili memejamkan matanya, lalu menerjang ke depan dan meggayun pedang Pek-coa-kiam. Bagaimanapun juga, ia berhutang segalanya kepada sucinya. Sejak kecil ia dipelihara, dididik, dan dilimpahi kasih sayang oleh Cu Sui In. Ia rela mengorbankan nyawanya sekalipun untuk sucinya, maka biarpun hatinya terasa berat, ia akan melaksanakan perintah itu.
"Singgg........!!" Pedang Pek-coa-kiam berubah menjadi sinar putih menyambar ke arah leher Bhok Cun Ki, dipandang oleh Cu Sui In yang terbelalak.
"Trangggg....... !!" bunga api berpijar ketika pedang Ular Putih itu yang menyambar ke arah tubuh Bhok Cun Ki, tiba-tiba tertahan dan tertangkis oleh sebatang pedang yang nampaknya buruk, Pedang Tumpul!
Lili terkejut, membuka matanya dan memandang terbelalak kepada Sin Wan yang sudah berdiri di situ dengan pedang buruknya di tangan.
"Sin Wan......!" teriaknya.
"Apa yang kaulakukan ini?"
Sin Wan memandang tajam, sikapnya tegas dan seperti orang marah.
"Lili, akulah yang bertanya kepadamu, apa yang kaulakukan ini?"
"Perlu apa bertanya lagi." Lili membantah,
"Aku memenuhi perintah suciku, hendak membunuh laki-laki yang menghancurkan kehidupan suci, kenapa engkau berani menghalangiku?"
"Kau pandanglah baik-baik laki-laki ini, Lili. Pandanglah baik-baik, apakah hatimu tidak tergetar dan membisikkan suatu rahasia kepadamu. Dia ini bukan musuhmu, dia adalah ayah kandungmu, Lili......"
"Aihhh......!!" Lili menjerit tak percaya.
"Dan yang menyuruhmu membunuhnya, wanita ini, adalah ibu kandungmu!"
"Sui In......!!" Kini terdengar jerit dari mulut Bhok Cun Ki dan biarpun kakinya terluka parah, dia merangkak ke depan kaki Sui In.
"Sui In...... benarkah ia ini anakku..... anak...... anak...... kita.......?"
"Suci......! Apa artinya ini? Benarkah seperti yang dikatakan Sin Wan tadi? Dia ini ayahku dan suci adalah..... ibuku....?" Wajah Lili pucat seperti mayat dan matanya terbelalak liar seperti mendadak menjadi gila.
Kini Sui In terisak dan menangis, mengeluarkan suara tangisan mengguguk dan ia mengangguk.
"Benar......., benar......... aaaaahhh.......!"
"Sui In........!" Bhok Cun Ki merangkul kedua kaki Sui In.
"Ibu.....! Kau ibuku........!" Lili menubruk dan merangkul ibunya, menangis di dada wanita yang selama ini ia anggap gurunya, lalu sucinya. Tiga orang itu menangis semua.
"Aku..... aku tak dapat menahan kenyerian.... hatiku..... aku...... aku menderita sekali Cun Ki..... ketika kau meninggalkan aku, aku telah mengandung dua bulan.... aku sengaja tidak memberitahu, aku sakit hati sekali, kudidik anak kita.... hanya untuk dapat melihat ia dan ayahnya saling serang dan saling bunuh. Itulah hukumanku kepadamu, pembalasanku kepadamu...... tapi.... tapi... ah, betapa lemah hatiku......" Ia menangis tersedu-sedu.
Bhok Cun Ki melepaskan kedua kaki Sui In dan merangkul kaki Lili.
"Kau..... kau anakku....... ahhh, begini gagah dan cantik, ha..ha..ha...... aku bangga, aku senang sekali.... kau anakku........!" Pendekar besar dan panglima muda yang gagah itu tertawa dan menangis sambil merangkul kaki Lili.
Gadis itu menjerit, menjatuhkan diri dan jatuh ke dalam rangkulan pria yang baru saja dikenalnya sebagai ayahnya, pria yang dua kali bertanding mati-matian dengan dia, pria yang tadi hampir saja dibunuhnya.
"Ayah......!!" betapa manisnya sebutan ini, sebutan pertama kali keluar dari mulutnya, sebutan yang didambakannya sejak ia masih kecil disamping sebutan ibu.
"Lili..... Bwe Li namamu.....? Ha..ha..ha, dan siapa shemu, anakku........?"
"Ayah, ibuku yang selama ini kukenal sebagai guru dan suci, memberi nama, Tang Bwe Li kepadaku?"
"Tang.....?" Pria itu mengangkat muka memandang kepada Sui In yang masih berdiri sambil menangis.
"Aduh, Sui In.... betapa selamanya engkau tak pernah dapat melupakan aku. Nama kecilku adalah Tang Cun dan kau memberi she Tang kepada anak kita....." ayah dan anak itu saling berangkulan di bawah kaki Sui In.
Sin Wan, dengan mata basah pula karena terharu dan bahagia, mundur dan hanya menonton pertunjukan yang amat mengharukan itu dari bawah pohon. Dia terharu dan gembira bukan hanya keluarga itu dapat bertemu dalam keadaan masih hidup walaupun Bhok Cun Ki terluka pahanya, melainkan juga dia teringat kepada ayah dan ibu kandungnya sendiri. Lili menemukan ayah dan ibu kandungnya, akan tetapi dia telah kehilangan mereka!
"Ha..ha..ha..ha. Pertunjukan lawak macam apa ini? Sungguh memalukan sekali anak dan cucuku menjadi orang-orang lemah dan cengeng. Sui In, Lili mundurlah kalian. Kalau kalian begitu lemah, biarlah aku yang mewakili kalian membunuh orang ini!"
Muncullah See-thian Coa-ong Cu Kiat dan dengan langkah lebar menghampiri mereka.
"Ayah, jangan......!" Tiba-tiba Cu Sui In melompat dan menghadang di depan orang tua itu.
See-thian Coa-ong terbelalak, memandang kepada puteri tunggalnya penuh perhatian. Dia melihat betapa wajah puterinya telah berubah. Muka itu masih basah air mata, hal ini saja sudah luar biasa sekali karena selama ini belum pernah puterinya menangis. Wajah itu masih pucat akan tetapi ada kecerahan aneh, seolah setangkai bunga yang telah lama semakin layu kini mendadak dapat siraman embun pagi yang menyegarkan.
"Apa maksudmu jangan, Sui In? Selama bertahun-tahun dengan mati-matian engkau mengingkari anak kandungmu sendiri, menganggapnya sebagai murid dan sumoi, mendidiknya dengan sungguh-sungguh agar ia dapat membunuh Bhok Cun Ki! Sekarang, setelah kalian gagal membunuhnya, aku yang akan menyempurnakan dendammu ini, engkau mengatakan jangan! Apa maksudmu?"
"Ayah, hampir aku menjadi gila karena dendam pribadi, karena sakit hati yang kutanggung selama bertahun-tahun sehingga aku ingin sekali menghukumnya dengan mengadu antara ayah dan anak kandung. Aku tahu bahwa Lili tidak akan menang dan kalau sampai Lili tewas ditangannya, lalu aku memberitahu bahwa yang dibunuhnya itu anak kandungnya sendiri, tentu dia akan menderita selama hidupnya. Akan tetapi aku..... aku tidak tega..... aku masih mencintanya, ayah tidak pernah aku berhenti mencintanya, dan Lili adalah anakku yang kusayang. Sekarang baru aku tahu bahwa aku telah menjadi gila oleh dendam. Sudahlah, aku memaafkan dia. Lili, mari kita pergi.
"Ibu.....!" Lili merangkul ibunya dengan air mata bercucuran.
"Tidak, ibu, aku tidak ingin berpisah dari ayah......"
Sui In mengerutkan alisnya, lalu menghela napas panjang.
"Engkau benar kalau memilih ayahmu. Dia seorang pendekar, seorang panglima besar yang berkedudukan mulia, yang mempunyai kehormatan dan nama bersih, mana bisa disamakan dengan ibumu, seorang wanita sesat, seorang wanita jahat yang namanya tersohor hitam dan kotor?"
Seluruh kepahitan hatinya karena ditinggalkan kekasihnya tersalur lewat ucapan itu.
"Tidak, ibu, akupun tidak ingin berpisah darimu. Aku ingin berkumpul dengan ayah dan ibu!" kata Lili dengan suara mengandung getaran penuh kesedihan dan kerinduan. Betapa rindunya untuk dapat berkumpul dengan dua orang yang menjadi ayah ibunya. Seolah-olah diciptakan menjadi manusia baru yang tadinya merasa yatim piatu kini tiba-tiba menemukan kembali ayah dan ibu kandungnya!
"Sui In, aku mengaku bersalah, aku telah berdosa, aku terlalu sombong dan bodoh, aku sudah menyerah dan rela kau bunuh. Kalau engkau tidak mau membunuhku, aku bersumpah untuk memperbaiki kesalahanku. Belum terlambat bagiku untuk membahagiakan engkau dan anak kita Lili. Marilah, Sui In, marilah kita hidup bersama anak kita dan tidak saling berpisah lagi........."
Sui In memandang bekas kekasihnya itu. dengan sinar mata berkilat, mulutnya mencibir.
"Huh, dan aku merampasmu dari isteri dan anak-anakmu? Engkau akan mencampakkan mereka begitu saja? Laki-laki macam apa engkau ini?"
"Tidak, Sui In. Jangan salah mengerti. Aku tidak akan mengulang perbuatanku yang jahat. Maksudku, kita tinggal bersama menjadi keluarga besar. Marilah, engkau dan Lili ikut bersamaku, tinggal bersama kami menjadi anggauta keluargaku."
"Dan setiap hari menghadapi kebencian isterimu dan anak-anakmu?"
"Tidak! Percayalah, Sui In. Isteriku adalah seorang bijaksana dan selama ini aku tidak pernah mempunyai isteri lain atau selir. Ia pasti akan menerimamu, apalagi kalau aku berterus terang tentang masa lalu. Kedua orang anakku juga anak-anak yang berbakti dan baik."
"Aku tidak percaya! Aku tidak sudi dari keadaan menderita karena rindu dan kesepian, kini pindah ke dalam keadaan menderita karena dimusuhi keluargamu."
Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita, lemah lemhut dan halus.
"Bhok Cun Ki berkata benar, enci. Kami sudah mendengar semuanya dan aku merasa iba kepadamu dan kepada anakmu. Kalau kalian berdua suka, datanglah dan tinggallah bersama kami. Kami menerima kalian dengan hati dan tangan terbuka......., bahkan aku rela menjadi isteri kedua karena sesungguhnya, engkau yang lebih dahulu menjadi isterinya."
Cu Sui In dan Lili menengok, juga Bhok Cun Ki. Kiranya yang bicara itu adalah nyonya Bhok, isteri panglima itu bersama kedua orang anaknya, Ci Han dan Ci Hwa! Karena merasa khawatir terhadap ayah mereka, kedua orang kakak beradik ini lalu memberitahu kepada ibu mereka dan isteri panglima inipun khawatir sekali, maka ia mengajak kedua orang anaknya untuk menyusul cepat menggunakan kereta. Mereka turun dari kereta, memasuki hutan dan sempat mendengar dan melihat pertemuan yang mengharukan antara Bhok Cun Ki dan bekas kekasihnya dan anak mereka. Nyonya Bhok adalah seorang wanita yang berperasaan peka dan halus, dan ia merasa, terharu sekali, iba terhadap Cu Sui In dan Lili.
Melihat seorang wanita yang lembut dan halus gerak geriknya, seorang wanita bangsawan sejati, Cu Sui In merasa canggung. Ia melangkah menghampiri, dan sejenak kedua orang wanita itu saling pandang.
"Nyonya, sesungguhnyakah kata-katamu tadi, atau hanya sekedar basa-basi dan karena engkau takut kepada suamimu saja?" tanya Sui In.
Wanita itu tersenyum lembut dan dari seri wajah dan senyum itu saja Sui In maklum bahwa biarpun bertubuh lemah, wanita ini memiliki kepribadian yang kuat dan tidak mungkin ia takut terhadap suaminya.
"Demi Tuhan, aku bicara dari hati yang tulus, enci. Pula, harap jangan menyebutku nyonya. Aku adalah adikmu, madumu yang lebih muda dan marilah kita bersama hidup sebagai sebuah keluarga besar."
Sui In merasa demikian terpukul dan terharu sehingga ia tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Sementara itu, Ci Hwa menghampiri Lili dan memegang tangan gadis itu.
"Aih, aku girang sekali mendapatkan seorang cici seperti engkau. Kau harus mengajarkan aku ilmu silatmu yang hebat itu, enci Lili!"
Seperti ibunya, Lili juga merasa tertegun. Tak disangkanya sama sekali bahwa isteri dan anak-anak ayah kandungnya bersikap seperti itu! Ci Han juga tidak mau kalah, maju mendekat.
"Enci Lili, jangan lupa mengajarkan silat kepadaku pula. Kalau hanya Ci Hwa yang kau ajari dan ia lebih menang dariku, tentu ia akan sewenang-wenang terhadap aku!"
"Ihh, Han-ko, engkau ini hanya ikut-ikutan saja!" adiknya menegur. Mau tidak mau Lili tersenyum, kagum dan juga bangga. Adik-adik tirinya ini mengagumkan!
Terdengar suara tawa bergelak. See-thian Coa-ong yang tertawa, lalu berkata dengan suara lantang.
"Ha..ha..ha..ha, seperti adegan wayang panggung saja! Heii, Bhok Cun Ki, kalau sekali ini engkau tidak benar-benar membahagiakan anak dan cucuku, aku pasti akan datang untuk mematahkan batang lehermu dan seluruh keluargamu!"
"Locianpwe adalah ayah mertua saya, saya persilakan locianpwe untuk tinggal sementara di rumah kami agar locianpwe dapat menyaksikan sendiri apakah saya benar-benar hendak membahagiakan Sui In dan Lili ataukah sebaliknya."
Kembali kakek itu tertawa. Dalam hatinya, dia merasa gembira sekali melihat puterinya agaknya akan mendapatkan kembali kebahagiaannya setelah selama duapuluh tahun lebih menyiksa diri dan tenggelam dalam duka dan dendam. Juga cucunya akan mendapatkan seorang ayah kandung dan rumah tangga yang pantas. Sebagai puteri seorang panglima, tentu saja Lili akan dihormati orang dan derajatnya naik.
"Ha..ha..ha, tidak perlu aku tinggal di rumahmu. Akan tetapi sewaktu-waktu aku akan singgah untuk menengok keadaan anak dan cucuku."
Lili teringat akan Sin Wan dan ia melepaskan diri dari pelukan Ci Hwa dan lari menghampiri pemuda yang berdiri agak menjauh itu.
"Hei, Sin Wan, kenapa engkau diam saja di sana?" teriaknya dan setelah tiba di depan pemuda itu, Lili memegang kedua tangannya dengan sikap mesra.
"Sin Wan, aku sungguh, berterima kasih kepadamu! Kalau tidak ada engkau yang membuka rahasia, entah bagaimana jadinya. Sin Wan, agaknya kebahagiaan akan selalu menyertaiku kalau engkau berada di dekatku!" Lili memang seoranq gadis yang polos, maka ia tidak menyembunyikan perasaan hatinya dan semua orang dapat menduga dengan mudah bahwa gadis lincah dan lihai ini jatuh hati kepada pemuda Uighur itu.
Sin Wan juga merasakan keterus terangan Lili yang membuat mukanya berubah merah. Akan tetapi dia tersenyum dan ketika dia hendak menarik kedua tangannya, Lili mempertahankannya sehingga bagi penglihatan orang-orang di situ, kedua orang muda ini saling berpegang tangan dengan mesra dan enggan melepaskan.
"Lili, jangan berkata demikian. Engkau adalah sahabatku yang pernah menolongku, dan Bhok-ciangkun juga sahabatku yang kuhormati. Aku hanya ingin mencegah terjadinya malapetaka kalau anak dan ayah saling serang dan saling bunuh. Aku ikut bergembira bahwa urusan berakhir dengan baik seperti ini. Kuucapkan selamat kepada keluarga ini dan kepadamu Lili."
Bhok Cun Ki merasa berbahagia sekali melihat betapa Sui In dan isterinya nampak saling menyukai, dan kini mereka berdua menghampirinya, dan Sui In tanpa berkata apa-apa sudah memeriksa pahanya yang terluka dan memberi obat. Obat dari Sui In amat manjur karena rasa nyeri berkurang banyak, dan dia sudah mampu bangkit berdiri.
"Sebaiknya kalau bersama pulang dan bicara di rumah. Tidak baik bicara di tengah hutan seperti ini. Bagaimana pendapatmu, Sui In?"
Sui In menatap wajah pria yang tak pernah dilupakannya itu. Wajahnya menjadi kemerahan dan sinar matanya lembut, malu-malu akan tetapi mulutnya tersenyum manis.
"Aku hanya menurut saja....." katanya sambil melirik ke arah Nyonya Bhok.
"Ha..ha..ha, memang sebaiknya begitu. Kalian semua pulanglah, aku masih ingin melihat-lihat kota raja sebelum pergi mempersiapkan pemilihan bengcu di Thai-san. Sewaktu-waktu akan singgah di rumah kalian. Nah, aku pergi dulu!" Kakek itu membalikkan tubuhnya dan berkelebat lenyap ke dalam hutan.
"Lili, kau ajaklah kedua ibumu dan adik-adikmu pulang.....
" kata Bhok Cun Ki, enak saja menyebut kedua ibumu seolah-olah memang sejak dahulu Sui In mejadi isteri dan anggauta keluarganya.
"Aku datang membawa kereta. Mari, enci Sui In, kita naik kereta bersama. Juga kalian, Lili dan Ci Hwa......"
"Tidak, ayah sedang terluka. Biar ayah yang naik kereta bersama ibu berdua," kata Lili. Gadis ini juga merasa tidak canggung menyebut ibu berdua. Sikapnya sungguh membuat semua orang merasa enak dan senang.
"Aku dan kedua adik Ci Han dan Ci Hwa akan berjalan kaki saja, dan engkau juga, Sin Wan. Engkau ikut dengan kami, bukan?"
Sin Wan meragu, akan tetapi Bhok Cun Ki berkata,
"Lili benar, Sin Wan. Kita pulang dulu dan kita bicarakan tentang kepergian Lili dari istana, tentang semua keributan yang terjadi."
"Baiklah, paman. Aku juga jngin melaporkan beberapa peristiwa yang baru saja kualami bersama..... eh, ke mana ia?" Sin Wan teringat akan Ouwyang Kim dan diapun melompat ke tempat persembunyian mereka tadi sebelum dia mencegah Lili membunuh ayah kandungnya. Akan tetapi, Akim yang tadi mengintai di balik pohon, tidak nampak lagi bayangannya, Gadis itu telah pergi tanpa pamit!
Tanpa diketahui siapapun, ketika Lili dan Sin Wan saling berpegang kedua tangan tadi, yang dilihat oleh orang lain seperti suatu kemesraan, ada dua orang yang merasa jantungnya seperti ditusuk. Orang pertama adalah Ci Hwa. Gadis ini telah tertarik kepada Sin Wan, mengaguminya dan ingin bergaul lebih akrab. Ketika melihat adegan itu, Ci Hwa menggigit bibir dan menundukkan muka agar tidak nampak oleh orang lain.
Orang ke dua yang merasa tertusuk hatinya melihat adegan itu adalah Akim! Gadis ini sudah berusia duapuluh tahun, dan biarpun ia belum banyak bergaul dengan pria, namun ia dapat menqetahui isi hatinya. Ia tahu bahwa sejak ia meniupkan pernapasan ke dalam dada Sin Wan melalui mulut dengan mulut, ia telah jatuh cinta! Maka, hatinya merintih melihat kemesraan antara Sin Wan dan Lili, lalu diam-diam iapun pergi meninggalkan tempat itu.
"Engkau mencari siapa, Sin Wan?" tanya Lili.
Ci Hwa yang merasa cemburu, mendapat kesempatan untuk melampiaskan cemburunya.
"Wan-toako yang kaucari tentulah enci Akim yang cantik jelita itu, bukan?"
Sin Wan adalah seorang yang berwatak jujur dan tidak mempunyai prasangka, maka pertanyaan Ci Hwa itupun dianggapnya biasa saja karena memang dia meninggalkan rumah keluarga Bhok bersama Akim yang sudah dia perkenalkan kepada kakak beradik itu.
"Benar, tadi ia menanti di sini."
"Siapa sih Akim yang cantik jelita itu, Sin Wan?" Pancingan Ci Hwa berhasil dan Lili bertanya kepada Sin Wan dengan sinar mata penuh selidik. Sin Wan mengerutkan alisnya. Pandang mata Ci Hwa dan Lili membuat dia merasa tidak enak. Kedua orang gadis itu memandang kepadanya seperti menuduhkan sesuatu yang tidak baik.
"Sudahlah, ia sudah pergi tanpa pamit. Mari kita berangkat," katanya sambil membantu Cin Han yang memapah Bhok Cun Ki keluar dari hutan itu, menuju ke kereta yang tadi ditumpangi Nyonya Bhok dan kedua orang anaknya. Kusir dan lima orang pengawal masih menanti di situ. Mereka merasa heran melihat majikan mereka dalam keadaan terpincang dan luka di paha yang sudah dibalut, akan tetapi mereka tidak berani bertanya.
Bhok Cun Ki bersama dua orang wanita yang kini menjadi isterinya, duduk dalam kereta. Ci Han lalu minta empat ekor kuda dari para pengawal untuk dia, Ci Hwa, Lili dan Sin Wan. Mereka berempat menunggang kuda mengawal kereta, dan para pengawal yang kehilangan kuda itu terpaksa harus berjalan kaki pulang ke kota raja.
Di sepanjang perjalanan itu, Bhok Cun Ki yang duduk sekereta dengan kedua isterinya, menceritakan masa lalunya bersama Sui In kepada Nyonya Bhok yang mendengarkan dengan penuh kesabaran. Mendengar betapa suaminya dahulu kekasih Sui In dan suaminya itu meninggalkan Sui In yang tidak diketahuinya dalam keadaan mengandung, membuat Sui In menderita selama duapuluh tahun lebih, Nyonya Bhok menegur suaminya.
"Kalau dahulu aku tahu, tentu aku tidak mau menerima pinanganmu, kecuali kalau engkau juga menarik enci Sui In menjadi isterimu. Akan tetapi, sudahlah, semua ini sudah takdir, tidak perlu disesalkan lagi asalkan di kemudian hari engkau dapat menebus kesalahan itu terhadap enci Sui In," demikian isteri yang berbudi luhur ini menasihati suaminya.
"Memang aku sudah merasa bersalah, hanya sesungguhnya aku sama sekali tidak pernah menduga bahwa Sui In telah mengandung ketika kutinggalkan," kata sang suami.
"Sudahlah," kata Sui In menghibur.
"Benar seperti dikatakan adik tadi, semua sudah terjadi dan sudah takdir. Kalau saja tidak ada Lili, aku pun tentu akan merasa malu untuk mengganggu ketenteraman rumah tangga kalian."
"Aih, enci Sui In harap jangan berkata demikian. Demi Tuhan, kami sama sekali tidak merasa terganggu, bahkan merasa berbahagia sekali," kata Nyonya Bhok.
Sui In memandang tajam penuh selidik, sukar untuk percaya ada seorang wanita yang sebaik ini.
"Engkau mendapatkan seorang madu yang tidak disangka-sangka, bagaimana engkau dapat merasa berbahagia sekali?"
Nyonya Bhok tersenyum dan melirik suaminya. Banyak keuntungan yang membuat aku merasa berbahagia. Pertama, suamiku tidak lagi terancam musuh yang amat berbahaya, bahkan mengubah musuh itu menjadi orang terdekat. Ke dua, suamiku akan selalu merasa berdosa dan tertekan batinnya, akan tetapi kini dia mendapat kesempatan untuk menebus dosa, bukankah itu melegakan hati sekali? Ke tiga, aku sendiri akan merasa kecewa sekali kalau melihat suamiku menghancurkan kehidupan seorang wanita, dan kalau dia tidak mau menerima enci dan Lili, kiranya aku tidak mungkin mau mendekatinya lagi. Ke empat, dengan adanya enci dan Lili yang demikian lihai, tentu berkurang bahaya ancaman orang-orang jahat yang selalu memusuhi suami kita dan ke lima......."
"Cukup, cukup........" Sui In tersenyum dan memegang tangan madunya.
"Sungguh beruntung sekali aku dapat bertemu dan bersaudara dengan seorang sepertimu."
Setelah mereka semua tiba di rumah, disambut dengan heran oleh para pengawal dan pelayan, mereka segera berkumpul di ruangan dalam, mengelilingi meja besar dengan sikap gembira dan suasana berbahagia, Sin Wan yang tadinya dengan sopan hendak mengundurkan diri ke kamarnya karena merasa tidak berhak hadir dalam pertemuan kekeluargaan yang berbahagia itu terpaksa hadir juga karena ditahan oleh Bhok Cun Ki.
"Sin Wan, pertemuan ini terutama sekali hendak membicarakan peristiwa yang ada hubungannya dengan tugas kita. Pula, bukankah engkau hendak menceritakan pengalamanmu yang penting?" demikian Bhok Cun Ki menahannya.
"Benar kata ayah, Sin Wan. Pula, kalau engkau tidak hadir, rasanya kurang lengkap!" kata Lili dan kembali Ci Hwa menundukkan mukanya yang berubah kemerahan.
Demikianlah, mereka duduk mengelilingi meja, Bhok Cun Ki di kepala meja, diapit oleh kedua isterinya di kanan kiri. Lili duduk di sebelah kiri ibu tirinya, didampingi Ci Hwa, dan Ci Han duduk bersebelahan dengan Sin Wan.
"Nah, sekarang engkau ceritakan lebih dahulu tentang pengalamanmu di istana Pangeran Mahkota, Lili. Kami hanya mendengar bahwa engkau melarikan diri dari sana dan menjadi orang buruan. Nanti aku akan menghubungi Jenderal Shu Ta untuk membebaskanmu dari buruan, setelah aku mendengar ceritamu," kata Bhok-ciangkun kepada puterinya yang baru saja tadi hampir membunuhnya.
"Akupun ingin sekali mendengar bagaimana engkau tiba-tiba saja dapat berada di istana pangeran, kemudian bahkan menjadi buronan. Aku belum mendengar sejelasnya," kata pula Cu Sui In kepada puterinya.
Lili tersenyum. Senang bahwa ia menjadi pusat perhatian, dan merasa lucu bahwa kalau baru tadi ia masih menjadi musuh Bhok Cun Ki dan menjadi sumoi Cu Sui In, kini ia menghadapi mereka sebagai ayah dan ibu kandung. Seperti dalam mimpi saja!
Ia lalu menceritakan dengan terus terang akan semua pengalamannya sejak meninggalkan Bukit Ular sampai ia yang mencari Bhok Cun Ki ke kota raja, dalam perjalanan bertemu dengan Yauw Lu Ta yang dikenalnya sebagal Yauw Kongcu. Kemudian, betapa atas bantuan Yauw Kongcu ia diterima menjadi pengawal pribadi Pangeran Mahkota, sedangkan Yauw Kongcu menjadi penasihat dan guru sastra Pangeran kecil Chu Hong, putera Pangeran Mahkota Chu Hui San.
"Ketika Sin Wan menghadap Pangeran Mahkota, masih belum terjadi sesuatu sehingga aku masih menganggap Pangeran Mahkota itu baik dan aku setia kepadanya. Eh, tidak tahunya, setelah Sin Wan pergi, pangeran laknat itu memanggilku ke kamarnya dan dia hendak berbuat kurang ajar! Kalau aku tidak ingat dia itu putera kaisar, pangeran yang menjadi putera mahkota, tentu sudah kucekik mampus dia! Aku marah dan meninggalkannya tanpa menyerangnya. Eh, tidak tahunya pangeran gila itu berteriak memanggil pasukan pengawal sehingga aku menjadi buronan. Untung di depan istana aku bertemu dengan suci eh, dengan ibu dan kong-kong (kakek) sehingga dapat lolos dari kepungan pasukan keamanan."
Ia lalu menceritakan betapa ia, ibunya dan kakeknya yang sedang melarikan diri, ditolong oleh Yauw Kongcu atau Yauw Siucai, bersembunyi dan berhasil keluar dari kota raja dengan menyamar, sampai terjadi peristiwa tadi di dalam hutan.
Semua orang kagum mendengar pengalaman yang hebat dari Lili itu.
"Wah, enci Lili sungguh seorang pemberani!" puji Ci Han kagum. Betapa dia tidak akan kagum mendengar seorang gadis muda seperti kakak tirinya ini sempat membikin geger istana pangeran mahkota dengan perbuatannya yang gagah berani menentang seorang pangeran mahkota calon kaisar? Sungguh membuat dia sebagai adiknya merasa bangga!
Bhok Cun Ki mengerutkan alisnya.
"Hemm, aku sudah mendengar akan watak yang kurang baik dari putera mahkota. Akan tetapi dia memiliki kekuasaan besar sekali. Kalau dia mendengar bahwa engkau adalah anakku, mungkin dia akan mempergunakan kekuasaannya untuk menuntut agar engkau kuserahkan kepadanya."
"Huh, kalau begitu, biar kubunuh saja pangeran keparat itu, ayah!" Lili berseru.
"Lili, ingat bahwa kita sekarang bukan lagi menjadi penghuni Bukit Ular yang bebas liar dan boleh berbuat sesuka hati kita. Ingat bahwa engkau adalah puteri ayahmu yang menjabat pangkat panglima! Serahkan saja urusan ini kepada ayahmu, tentu dia akan mengetahui apa yang terbaik untukmu," kata Sui In.
Kalau orang yang sudah lama mengenalnya mendengar ucapan ini, tentu akan merasa heran bukan main. Dalam sekejap mata saja wanita yang tadinya terkenal liar dan ganas ini tiba-tiba berubah menjadi seorang ibu yang baik, yang taat dan patuh kepada suami!
"Ibumu benar, kata Bhok Cun Ki, wajahnya berseri ketika dia memandang kepada Sui In.
"Akan tetapi jangan khawatir. Selain pangeran mahkota, yang dapat megatasai pangeran itu adalah atasanku, yaitu Jenderal Shu Ta. Jenderal Shu tentu akan mampu membebaskanmu dari pengejaran dan dia yang berani menegur pangeran mata keranjang dan lemah itu. Sekarang harap engkau suka menceritakan pengalamanmu yang penting itu, Sin Wan."
Sin Wan lalu bercerita tentang pertemuannya dengan Yauw Siucai di jalan, dan dia melihat sastrawan itu memasuki lorong tergesa-gesa, maka dia cepat membayangi dan melihat sastrawan itu hilang di lorong itu. Lalu dia menceritakan betapa dia terjebak oleh Si Kedok Hitam yang pernah dijumpainya di rumah peristirahatan Pangeran Mahkota!
"Saya tentu telah tewas oleh Si Kedok Hitam yang licik dan lihai paman, kalau saja tidak tertolong oleh Akim." Dia lalu menceritakan tentang pertolongan gadis perkasa itu sehingga dia dapat lolos, akan tetapi tidak berhasil menemukan Si Kedok Hitam.
Setelah dia selesai bercerita, Lili cepat bertanya,
"Apakah Akim itu gadis yang kata adik Ci Hwa cantik jelita dan yang kaucari di hutan itu, Sin Wan? Kalau benar, siapa sih ia yang begitu lihai?"
Pertanyaan yang begitu jujur dan kembali membayangkan kecemburuan! Sin Wan mengerutkan alisnya dan menjawab,
"Memang benar, panggilannya Akim, dan namanya yang sebenarnya adalah Ouwyang Kim,"
"Ouwyang..........??" Cu Sui In berseru.
"Ada hubungannya dengan Tung-hai-liong Ouwyang Cin?"
Sin Wan mengangguk.
"Memang ia puteri Tung-hai-liong Ouwyang Cin. Akan tetapi melihat sepak terjangnya, ia tidak dapat dimasukkan golongan sesat. Lili, aku sungguh curiga melihat Yauw Siucai itu. Menurut ceritamu tadi, selain dia ahli sastra, juga dia pandai silat?"
Lili mengacungkan jempul kanannya.
"Dia lihai bukan main! Ilmu silatnya tinggi, mungkin tidak kalah olehmu, Sin Wan." Tentu saja ini hanya bual kosong, mungkin hanya untuk membalas kisah Sin Wan tentang Akim, karena sebetulnya, Lili belum pernah menguji ilmu kepandaian Yauw Siucai. Ia memang dapat menduga bahwa sastrawan itu lihai ketika Yauw Siucai menghukum mati dua orang anak buahnya dengan sekali pancung dan pedangnya tidak bernoda darah sedikitpun.
Mendengar ini, Sin Wan mengerutkan alisnya "Kalau begitu, sungguh mencurigakan. Tahukah engkau akan asal usulnya, Lili?"
Lili menggeleng kepala,
"Kami bertemu, berkenalan akan tetapi tidak pernah aku bertanya tentang riwayatnya, akan tetapi aku yakin bahwa dia bukan golongan sesat." Kembali ucapan khusus ditujukan untuk membalas pujian Sin Wan tentang Akim tadi.
Bhok Cun Ki juga mengerutkan alisnya.
"Memang mencurigakan. Asal-usulnya tidak jelas, pandai silat akan tetapi tahu-tahu menjadi guru sastra putera Pangeran Mahkota. Dan setelah itu, Sin Wan melihat Si Kedok Hitam di rumah peristirahatan Pangeran Mahkota, kemudian melihat Yauw Kongcu di lorong itu yang kemudian mempertemukan Sin Wan dengan Si Kedok Hitam lagi. Apakah ada hubungan antara dia dan Si Kedok Hitam? Lili, apakah engkau pernah melihat Yauw Siucai itu mengadakan hubungan dengan orang berkedok hitam?"
Lili mengerutkan alisnya, mulutnya cemberut dan menggeleng kepala.
"Ayah, kalau perlu, dapat kutemui dia dan dapat kutanyakan dia apakah mempunyai hubungan dengan Si Kedok Hitam."
"Jangan, Lili. Hal itu akan berbahaya sekali bagimu. Bahaya datangnya bukan saja dari Si Kedok Hitam, akan tetapi terutama sekali dari Pangeran Mahkota sendiri. Dia merupakan putera mahkota yang besar kekuasaannya, sehingga menyelidiki keadaannya saja sudah dapat diangqap sebagai pemberontak. Aku akan berunding dengan Jenderal Shu Ta bagaimana untuk menghadapi pangeran itu. Setidaknya hanya Jenderal Shu yang akan mampu membebaskan dari pada pengejaran pasukan keamanan."
"Paman Bhok, bagaimanapun juga, rumah di lorong itu amat mencurigakan dan aku yakin bahwa rumah itu pasti menjadi sarang dari jaringan mata-mata yang beraksi di kota raja. Karena itu, bagaimana pendapat paman kalau saya memimpin pasukan untuk melakukan penggeledahan?"
"Itu baik sekali, Sin Wan. Kalau aku tidak terluka, tentu akan kupimpin sendiri. Nah, sekarang juga akan kusuruh kepala pengawal mempersiapkan pasukan!" Panglima itu memanggil kepala pengawal dan segera memerintahkan untuk menyiapkan dua losin perajurit untuk dipimpin Sin Wan melakukan penggeledahan dan pembersihan.
Setelah Sin Wan pergi melaksanakan tugas itu, keluarga itu masih berkumpul dan bercakap-cakap saling menceritakan riwayat dan pengalaman masing-masing, dan sebuah pesta keluarga yang meriah diadakan untuk menyambut masuknya anggauta keluarga baru itu. Cu Sui In merasa berbahagia sekali karena sekarang ia dapat membuktikan sendiri betapa besar cinta kasih Bhok Cun Ki kepada dirinya, dan terutama sekali sikap yang amat baik dari madunya dan anak-anak tirinya.
Lili juga merasa berbahagia sekali. Nyonya Bhok memang seorang wanita bijaksana. Tanpa segan dan dengan rela hati ia mengumumkan kepada semua pelayan di dalam keluarganya bahwa nyonya yang baru itu adalah Toa-hujin (Nyonya Pertama) sedangkan ia sendiri adalah Nyonya Kedua. Hal ini ia lakukan dengan penuh kesadaran bahwa memang Sui In lebih dahulu menjadi isteri suaminya, dan Lili adalah anak sulung.
Biarpun merasa heran karena belum pernah mendengar majikan mereka menikah dengan nyonya baru yang telah mempunyai seorang anak yang sudah dewasa itu, para pelayan tidak ada yang berani bertanya atau membicarakan, dan menerima Sui In dan Lili sebagai Toa-hujin dan Nona Lili.
Sementara itu, Sin Wan memimpin dua losin perajurit, memasuki lorong dan menyerbu rumah besar di mana dia terjebak siang tadi. Para perajurit membawa obor dan rumah itu dikepung lalu diserbu. Mereka bersikap hati-hati sekali dan mentaati semua petunjuk Sin Wan yang tidak ingin melihat pasukan itu menjadi korban perangkap yang di pasang di rumah itu. Namun segera mereka mendapatkan rumah itu kosong, tanpa seorangpun penghuni. Tidak ditemui tanda-tanda tentang adanya jaringan mata-mata di situ, hanya terdapat perabot rumah biasa. Bahkan semua alat perangkap juga tidak bekerja karena sudah dirusak. Agaknya, penghuni rumah itu sudah lebih dahulu menghilangkan semua jejak kemudian melarikan diri meninggalkan sarang itu.
Bhok Cun Ki sendiri, setelah dapat berjalan dan luka di pahanya hampir sembuh, mengunjungi Jenderal Shu Ta yang mendengarkan dengan penuh perhatian semua laporannya. Jenderal itu menghela napas panjang dan berkata,
"Sebelum engkau melaporkan, kami sendiri sudah menyuruh seorang penyelidik untuk menyelidiki Yauw Siucai yang tiba-tiba saja muncul dan bergaul dengan akrab sekali mendekati pangeran mahkota, bahkan lalu diangkat menjadi guru sastra bagi pangeran kecil Chu Hong. Ternyata pangeran bertemu dengan sastrawan itu di sebuah rumah pelesir, ketika pangeran itu menggoda seorang wanita dan suaminya marah-marah. Hampir saja pangeran mahkota celaka, akan tetapi muncul Yauw Siucai yang menolongnya. Semenjak itulah, pangeran lalu mengajak Yauw Siucai ke istananya dan mengangkatnya menjadi guru sastra puteranya. Agaknya tidak ada yang mencurigakan pada diri Yauw Siucai, apalagi pangeran mahkota demikian percaya kepadanya."
Bhok Cun Ki yang menjadi orang kepercayaan Jenderal Shu Ta itu, terus terang menceritakan tentang Lili, puterinya yang baru saja dia temukan.
"Bwe Li secara kebetulan bertemu dan berkenalan dengan Yauw Siucai, dan sastrawan itulah yang mengusulkan kepada pangeran mahkota agar puteriku diberi berkedudukan sebagai pengawal pribadi. Semua berjalan dengan baik, akan tetapi pada suatu waktu, puteriku hendak dipaksa menjadi selir pangeran. Ia tidak mau dan melarikan diri dari istana, dan sejak itulah ia dijadikan orang buruan, dikejar-kejar seperti penjahat. Saya mohon bantuan Goanswe (jenderal) agar pengejaran terhadap puteri saya itu dihentikan karena Bwe Li sama sekali tidak bersalah."
Jenderal Shu Ta menggeleng-geleng kepalanya.
"Sungguh mengecewakan sekali kalau diingat bahwa pangeran mahkota adalah calon kaisar yang baru kalau tiba saatnya nanti. Bagaimana mungkin pemerintahan dipimpin oleh seorang yang kini hanya mengutamakan kesenangan dan pemuasan nafsu-nafsunya belaka. Bermain perempuan, tidak segan mengganggu anak isteri orang, pelesir di rumah-rumah pelesir, bermabok-mabokan, bahkan terakhir ini para penyelidik kami melaporkan bahwa beliau mulai menghisap candu. Baiklah, akan kubujuk sang pangeran agar menghentikan pengejaran terhadap puterimu, akan tetapi berhati-hatilah, ciangkun, jangan sampai menyinggungnya secara langsung karena kalau sampai terjadi dia menuntut seseorang dengan bukti, aku sendiripun tidak akan mampu mencegahnya. Kita amati saja keadaannya dari jauh dengan waspada, terutama sekali kita awasi gerak-gerik Yauw Siucai. Walaupun belum ada bukti bahwa dia mempunyai hubungan dengan jaringan mata-mata, namun kita harus waspada."
Demikianlah, dengan bantuan Jenderal Shu Ta, Pangeran Chu Hui San membebaskan Lili dan tidak lagi ada pengejaran terhadap gadis itu. Dan karena semenjak itu, tidak nampak Yauw Siucai mengadakan aksi apapun yang mencurigakan, melainkan dengan tekun dia mendidik pangeran kecil Chu Hong, maka Bhok Cun Ki juga tidak mempunyai alasan untuk mencurigainya, apa lagi menindaknya.
"Hwa-moi, mengapa selama ini engkau bermuram durja saja seperti orang yang berduka dan kecewa? Siauw-moi (adik kecil), bukankah kehadiran ibu tiri dan kakak tiri di rumah ini menambah kecerahan kehidupan keluarga kita? Lihat, setelah ibu tiri berkumpul dengannya, ayah selalu nampak riang gembira dan wajahnya selalu cerah, seolah dia menjadi muda kembali. Juga ibu selalu nampak gembira, dan pergaulannya akrab sekali dengan ibu tiri kita. Bahkan selama satu bulan ini, kita sendiri seringkali menerima petunjuk dalam ilmu silat darinya dan dapat berlatih silat di bawah bimbingan enci Lili. Kenapa engkau kelihatan bersedih, adikku manis?" Ci Han membujuk dan bertanya kepada adiknya ketika pada sore hari itu mereka berdua selesai berlatih silat di taman bunga. Sekali itu, Lili tidak berada bersama mereka. Setelah tadi memberi petunjuk, Lili meninggalkan kedua orang adik tirinya itu sehingga terbuka kesempatan bagi Ci Han untuk menanyai adiknya.
Mendengar ucapan kakakmya itu, Ci Hwa menundukkan mukanya dan diam saja. Akan tetapi, kakaknya melihat betapa beberapa titik air mata berjatuhan ke atas kedua pipi adiknya. Dia terkejut. Tak disangkanya keadaan hati adiknya sudah separah itu, kesedihannya agaknya bersungguh-sungguh.
Ci Han duduk di atas bangku dekat adiknya, memegang tangan Ci Hwa.
"Adikku yang baik, selama ini tidak ada rahasia di antara kita, Katakanlah, apa yang menyusahkan hatimu, adikku? Aku pasti akan membantumu. Katakanlah kepadaku!"
"Koko......" Akhirnya Ci Hwa berkata lirih dan menghela napas panjang, lalu menggunakan punggung tangannya untuk menghapus air mata yang membasahi pipinya.
"Han-koko, hanya kepadamulah aku tidak akan merahasiakan sesuatu. Engkau tentu tahu bagaimana perasaan hatiku terhadap Wan-toako........" Gadis itu menundukkan mukanya dan kedua pipinya kemerahan.
Ci Han terbelalak. Hampir ia lupa bahwa adiknya ini sekarang bukan anak kecil lagi! Adiknya ini sudah merupakan seorang gadis dewasa, berusia delapanbelas tahun lebih! Tadinya, dia mengira bahwa adiknya, seperti juga dia sendiri, hanya merasa kagum kepada Sin Wan yang lihai dan yang berjasa besar mempersatukan kembali keluarga ayah mereka. Baru sekarang matanya seperti dibuka sehingga dia dapat melihat bahwa perasaan adiknya terhadap Sin Wan lebih jauh lagi, perasaan seorang gadis dewasa terhadap seorang pria yang dikaguminya.
"Hwa-moi, kau...... kau cinta kepada Wan-toako?"
Wajah itu semakin merah dan semakin menunduk, akan tetapi Ci Hwa masih mengangguk. Ci Han memegang kedua tangan adiknya dan tersenyum lebar.
"Aihh, adikku yang manis. Kalau engkau cinta kepadanya, kenapa engkau bersedih? Aku yang akan mendekati Wan-toako dan menceritakan tentang cintamu......."
"Jangan, koko!" Kini Ci Hwa mengangkat muka seperti orang terkejut.
"Berjanjilah, jangan kau ceritakan kepadanya atau kepada siapapun juga. Berjanjilah!"
Ci Han menggerakkan pundaknya.
"Baiklah, baiklah. Akan tetapi katakan, kenapa cintamu itu membuat engkau bersedih?"
Sampai beberapa saat lamanya Ci Hwa hanya menundukkan mukanya, seolah jawaban pertanyaan itu amat sukar keluar dari mulutnya. Beberapa kali kakaknya mendesak dan akhirnya ia menjawab.
"Koko, lupakah engkau akan sikap enci Lili terhadap Wan-twako?"
"Enci Lili.... ?" Ci Han mengerutkan alisnya dan diapun teringat. Tentu saja dia ingat akan sikap itu dan sekarang mengertilah dia mengapa adiknya ini bersedih.
"Mereka...... mereka saling mencinta....... ah, koko......!" Dan tak dapat ditahannya lagi Ci Hwa menangis lirih. Ci Han, pemuda berusia duapuluh tahun yang juga belum berpengalaman dalam urusan cinta, hanya duduk diam dengan alis berkerut, merasa kasihan kepada adiknya akan tetapi tidak tahu harus berkata atau berbuat apa.
Cemburu! Itulah yang menggoda hati Ci Hwa. Sudah menjadi pendapat umum bahwa cemburu merupakan hal yang wajar bagi orang yang sedang jatuh cinta. Bahkan ada yang begitu yakin berpendapat bahwa cemburu adalah kembangnya cinta, bahwa cemburu merupakan pertanda adanya cinta! Kalau pendapat ini dibenarkan, berarti bahwa di dalam cinta terkandung cemburu, atau cemburu sama dengan cinta!
Kalau kita mau membuka mata melihat kenyataan, akan nampaklah bahwa apa vang dinamakan cinta itu, kalau disamakan dengan cemburu, maka cinta itu bukanlah cinta! Cemburu timbul karena nafsu karena cemburu mendatangkan kemarahan, kebencian, kekecewaan yang berakhir dengan penderitaan. Bukanlah cinta kalau mendatangkan kesengsaraan atau penderitaan. Hanya ulah nafsu yang menyeret kita ke dalam jurang penderitaan.
Cemburu pasti timbul kalau terdapat ikatan. Apakah ikatan itu membelenggu kita kepada benda, kepercayaan, kepada cita-cita, gagasan, ataukah kepada seseorang. Ikatan membuat kita merasa berarti, membuat kita merasa memiliki. Kita tidak ingin kehilangan yang kita miliki itu, yang telah mengikat kuat dalam hati kita.
Kalau kita merasa mencinta seseorang kita terikat kepada orang itu dan kita tidak ingin kehilangan. Kita akan merasa sedih, merasa khawatir kalau-kalau orang yang kita miliki itu direnggut lepas dari diri kita, membuat kita tidak berarti karena tidak memiliki apa-apa lagi. Kekhawatiran inilah yang menimbulkan cemburu! Khawatir akan kehilangan orang yang membuat dirinya berarti. Yang beginikah yang dianggap sama dengan cinta?
Kalau cinta itu bersifat memiliki, menguasai, ikatan lalu mendatangkan kekhawatiran kalau kehilangan, maka cinta seperti itu bukan lain adalah cinta nafsu belaka. Kalau cinta nafsu, tentu saja tiada bedanya dengan buah nafsu lainnya seperti ketakutan, kemarahan, kebencian, keinginan untuk senang sendiri, termasuk pula cemburu.
Kalau cinta kasih, bukan nafsu, bagaikan cahaya terang, maka cemburu adalah kegelapan. Kalau ada cahaya terang, maka tidak ada kegelapan. Kalau ada cinta kasih, tidak ada cemburu. Kalau ada cemburu, jelas nafsu yang memegang peran, walaupun nafsu itu diberi pakaian indah yang disebut cinta!
"Hwa-moi, sikap mereka yang akrab belum menjadi bukti bahwa mereka saling mencinta. Enci Lili memang memiliki watak terbuka dan ramah terhadap siapa saja. Aku belum yakin. Siapa tahu Wan-twako diam-diam juga membalas cintamu."
Mendengar ini, seolah timbul harapan baru dalam hati Ci Hwa dan iapun menyusut air matanya.
"Mudah-mudahan begitu, koko. Akan tetapi kuminta kepadamu jangan beritahukan siapapun, terutama jangan sampai enci Lili mengetahui bahwa aku........"
Ci Han mengangguk-angguk.
"Aku tahu, adikku, dan jangan khawatir."
Akan tetapi tentu saja diam-diam Ci Han merasa prihatin melihat keadaan adiknya dan sebagai kakak yang menyayangnya, tentu-saja dia ingin membela adiknya. Beberapa hari kemudian, pada suatu malam terang bulan yang cerah, ketika dia melihat Ci Hwa seorang diri berada di taman bunga, dia cepat menemui Sin Wan.
"Wan-twako, aku sungguh mengharapkan bantuanmu......" begitu bertemu dengan pemuda itu di dalam kamarnya, Ci Han berkata dengan sikap serius.
"Hemm, tentu saja setiap saat aku siap untuk membantumu, Han-te (adik Han). Apakah yang dapat kulakukan untuk membantumu?" Dengan sikapnya yang tenang Sin Wan bertanya dan mempersilakan pemuda itu duduk.
"Bukan aku yang membutuhkan bantuanmu, toako, melainkan Ci Hwa."
"Ehh? Apakah yang terjadi dengannya?"
"Selama beberapa hari ini, adikku itu selalu bersedih. Aku sudah berusaha untuk menghiburnya, namun sia-sia. Ia tenggelam ke dalam kesedihan dan aku khawatir, kalau berlarut-larut, ia dapat jatuh sakit."
"Ah, pantas saja wajah Hwa-moi selalu tidak gembira. Kenapa ia bersedih Han-te? Apakah yang terjadi?"
"Aku sudah berkali-kali membujuk dan bertanya, akan tetapi ia hanya menggeleng kepala dan sekali pernah ia berkata lirih bahwa Wan-twako membencinya."
Sepasang mata Sin Wan terbelalak dan mulutnya tersenyum tak percaya dan heran.
"Aku....? Membenci Hwa-moi.......?"
"Aku juga merasa heran mendengarnya, Wan-twako. Mungkin ia merasa bahwa twako kurang memperhatikannya. Ci Hwa memang kadang masih seperti anak kecil. Tolonglah, twako, hiburlah ia dan katakan bahwa twako sayang kepadanya. Ia sekarang, seperti sudah beberapa malam ini, duduk termenung seorang diri di taman, tenggelam dalam kesedihannya. Maukah twako menolongnya?"
Sin Wan tersenyum dan mengangguk.
"Tentu saja, Han-te. Aku akan segera menemuinya dan menghiburnya."
Dengan hati girang Ci Han mengucapkan terima kasih lalu dia kembali ke dalam kamarnya sendiri. Dia telah melaksanakan tugasnya sebagai seorang kakak, dan dia hanya dapat mengharapkan agar adiknya tidak hanya bertepuk tangan sebelah dalam cintanya. Dia sendiri setuju sepenuhnya kalau Ci Hwa dapat berjodoh dengan Sin Wan yang dikagumi.
Dengan hati merasa heran dan penasaran mengapa Ci Hwa menganggap dia membencinya, Sin Wan memasuki taman bunga keluarga itu. Malam itu bulan purnama dan cahayanya yang lembut mendatangkan suasana yang romantis. Pergaulannya dengan keluarga itu sudah sedemikian akrabnya sehingga dia tidak merasa canggung untuk menemui Ci Hwa pada malam hari itu di taman bunga. Dia merasa bahwa Ci Hwa seperti adiknya sendiri. Hanya terhadap Lili sajalah dia merasa canggung dan tidak enak karena gadis itu bersikap jatuh cinta kepadanya.
Taman bunga keluarga Bhok itu indah karena terawat, apalagi karena Ci Hwa memang suka sekali memperhatikan keadaan taman bunga itu, sering memberi petunjuk kepada tukang kebun bagaimana sebaiknya mengatur taman itu. Malam itu indah dan sunyi di situ, dan udara sejuk dan segar oleh keharuman bunga-bunga yang beraneka warna.
Sin Wan menghampiri Ci Hwa yang sedang duduk melamun seorang diri di atas bangku panjang dekat kolam ikan. Banyak ikan emas di kolam itu dan Sin Wan melihat gadis itu duduk seorang diri memandang bulan yang berada di dalam air kolam. Gadis itu seolah berada di dunia lain dalam lamunannya sehingga tidak tahu bahwa Sin Wan telah menghampiri dan berdiri di belakangnya. Sin Wan maju melangkah lagi dan memandang wajah itu dari belakang kanan. Dari samping, wajah gadis itu nampak cantik jelita, apa lagi tertimpa cahaya bulan keemasan, membuat wajah itu seperti bercahaya pula.
"Hwa-moi.....!" Sin Wan memanggil lirih agar tidak mengejutkan gadis itu.
Ci Hwa terkejut mendengar panggilan ini. Bagaikan baru sadar dari mimpi, ia bangkit berdiri dan membalikkan tubuhnya. Ternyata Sin Wan telah berdiri di situ, kini mereka berdiri berhadapan.
"Ah, Wan-twako......." kata Ci Hwa lirih pula dan mukanya berubah kemerahan.
Mereka saling pandang. Sin Wan tersenyum lalu melangkah maju, mendekati.
"Hwa-moi, kenapa malam-malam begini engkau berada di taman seorang diri?"
Ci Hwa sudah dapat menguasai dirinya dan ia menjawab,
"Aku sedang mencari hawa sejuk dan menikmati keindahan bulan purnama di taman ini, twako."
Sin Wan memperhatikan dan melihat bahwa memang ada perubahan pada diri Ci Hwa. Biasanya, Ci Hwa adalah seorang gadis yang lincah jenaka, akan tetapi kini sikapnya pendiam dan bahkan lebih banyak menundukkan muka.
"Ci Hwa, kulihat selama beberapa hari ini kalau aku bertemu denganmu, engkau nampak seperti orang yang bersedih. Kenapakah, Hwa-moi?"
Mendengar pertanyaan yang diucapkan dengan suara lembut itu, keluar dari mulut orang yang menjadi sebab kedukaannya, Ci Hwa merasa hatinya seperti diremas. Ia berusaha untuk menahan diri, akan tetapi rasa iba diri membuat ia bersedih dan lemas. Ia menjatuhkan diri di atas bangku dan menutupi wajahnya untuk menyembunyikan tangisnya.
Sin Wan terkejut. Benar seperti yang dikatakan Ci Han, gadis ini sedang menderita sedih. Diapun lalu duduk di atas bangku di sebelah gadis itu, maklum bahwa biarpun gadis itu menahan diri tidak mengeluarkan suara tangis dan menyembunyikan muka di balik kedua tangannya, namun sesungguhnya ia menangis. Kedua pundaknya terguncang dan air mata mengalir keluar dari celah jari-jari tangannya.
"Hwa-moi, kenapa engkau menangis? Apa yang membuat hatimu merasa sedih?" tanya Sin Wan dengan hati-hati.
Akan tetapi gadis itu tidak menjawab, hanya menggeleng kepala berkali-kali tanpa menurunkan kedua tangan dari depan mukanya. Karena beberapa kali ditanya tetap tidak mau menjawab, Sin Wan teringat akan keterangan Ci Han bahwa gadis yang sedang menangis sedih di depannya ini mempunyai perasaan bahwa dia membencinya.
Bahkan Ci Han minta kepadanya agar dia menghibur Ci Hwa dan mengatakan bahwa dia sayang kepada gadis ini. Pengakuan seperti itu tidaklah sukar baginya, karena memang dia sayang kepada Ci Hwa, gadis yang biasanya lincah jenaka dan baik budi ini.
"Hwa-moi, kalau ada hal-hal yang menyusahkan hatimu, kalau ada persoalan yang mengganggumu, katakanlah kepadaku. Aku pasti akan membantumu, Hwa-moi. Aku sayang kepadamu, Hwa-moi, dan tidak ingin melihat engkau berduka........"
Mendengar ucapan itu, tiba-tiba Ci Hwa membiarkan tangisnya pecah, tidak lagi membendungnya dan iapun terisak-isak. Sin Wan menyentuh pundaknya untuk menghiburnya dan sentuhan ini semakin mengharukan hati Ci Hwa sehingga iapun tersedu dan merangkul, menyandarkan mukanya di dada Sin Wan sambil sesenggukan.
"Twa-ko...... hu..hu..huuhh, twako........." tangisnya. Sin Wan menahan senyumnya, hatinya lega karena gadis itu sudah mau bicara.
"Bicaralah, Hwa-moi, tidak baik menekan kesedihan di dalam hati. Katakanlah apa yang menyusahkan hatimu, sayang."
Gadis itu mengangkat muka memandang. Wajah yang cantik itu basah air mata, dan suaranya gemetar,
"Wan-twako,..... benarkah kata-katamu tadi.......?"
Sin Wan mengelus rambut kepala gadis itu, merasa seolah dia menghibur hati seorang adik sendiri yang sedang rewel.
"Kata-kataku yang mana?"
JILID 12
"Bahwa engkau.... sayang padaku.........?"
Kini baru Sin Wan percaya kepada keterangan Ci Han yang tadinya dia anggap berlebihan. Gadis ini bersedih karena mengira dia membencinya, atau setidaknya tidak suka kepadanya.
"Tentu saja, Hwa-moi!" katanya dengan suara tegas.
"Tentu saja aku sayang padamu, sejak kita berjumpa, aku sudah sayang padamu dan akan tetap sayang padamu."
Apa sukarnya mengobral pernyataan sayang kepada seorang gadis seperti Ci Hwa! Bersumpahpun dia mau bahwa dia sayang kepada Ci Hwa. Siapa yang tidak akan merasa sayang kepada seorang gadis yang begini cantik, lincah jenaka dan berbudi mulia?
Wajah yang masih basah air mata itu kini berseri, mulut itu tersenyum dan mata yang bening itu kini bersinar-sinar walaupun masih agak merah oleh tangis tadi. Ci Hwa membenamkan mukanya ke dada itu, kedua lengannya merangkul pinggang dan terdengar ia berbisik-bisik.
"Terima kasih, Wan-twako....... terima kasih.... akupun sangat sayang padamu, aku...... sangat cinta padamu......"
Sin Wan terbelalak dan hampir saja dia merenggut lepas dirinya yang dipeluk gadis itu. Akan tetapi dia masih menyadari keadaan. Jelaslah sekarang baginya. Ci Hwa mencintanya! Gadis ini, dengan caranya sendiri, seperti Lili, telah jatuh cinta kepadanya.
Gadis ini salah paham, mengira bahwa sayangnya terhadap gadis ini sama dengan cinta seorang pria terhadap seorang wanita. Padahal, dia menyayang Ci Hwa seperti seorang kakak menyayangi adiknya karena dia merasa iba. Terpaksa dia mendiamkan saja, karena dia maklum bahwa kalau saat itu dia melepaskan diri dan mengaku bahwa dia tidak mencinta Ci Hwa tentu gadis ini akan merasa terpukul sekali, akan merasa malu dan mungkin akan putus asa.
Setelah sejenak membiarkan gadis itu tenggelam ke dalam kemesraan, dengan hati-hati dan perlahan-lahan Sin Wan melepaskan dirinya dan berkata dengan lembut.
"Hwa-moi, jangan begini. Kalau terlihat orang lain tentu tidak baik. Marilah kita bicara dengan tenang."
Mendengar ini dan merasakan gerakan Sin Wan yang hendak melepaskan diri, Ci Hwa melepaskan rangkulan kedua lengannya dan kini ia duduk menghadapi Sin Wan, kedua pipinya kemerahan bagaikan setangkai bunga mawar yang baru saja bermandikan embun pagi yang sejuk segar.
"Wan-ko, aku tidak akan perduli andaikata ada orang lain yang melihatnya. Yang penting, kita berdua saling mencinta......."
Sin Wan merasa betapa kepalanya pening. Celaka, pikirnya, ini kesalahpahaman yang berbahaya sekali! Maju salah mundur salah! Dia tidak mencinta gadis ini seperti yang dimaksudkan Ci Hwa. Kesayangannya adalah perasaan sayang seorang kakak terhadap adiknya, atau kesayangan seorang sahabat, bukan cinta kasih seorang pria terhadap wanita yang mengharapkannya menjadi jodohnya. Menerimanya berarti menjerumuskan diri sendiri ke dalam perjodohan yang pincang, apa lagi dia sama sekali belum mempunyai niat untuk mengikatkan diri dengan perjodohan. Kalau dia menolak dan berterus terang menyatakan bahwa dia tidak mencinta gadis itu, berarti dia akan menghancurkan perasaan Ci Hwa. Sungguh serba salah.
Kembali dengan mesra kedua tangan Ci Hwa sudah menggenggam kedua tangannya. Sin Wan terpaksa menarik ke dua tangannya itu dan mulutnya tidak berani mewakili hatinya, hanya mengeluarkan kata-kata,
".... tapi..... tetapi......"
Tiba-tiba nampak sesosok bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu di situ telah berdiri Lili! Gadis ini berdiri memandang kepada mereka seperti sebuah patung, tidak mengeluarkan suara dan hanya memandang dengan alis berkerut.
"Bagus sekali!"
Seruan ini membuat Ci Hwa terkejut, menengok dan terbelalak ketika melihat Lili berdiri di situ. Wajahnya berubah pucat dan ia bangkit berdiri, lalu berkata, suaranya gemetar,
"Enci, maafkan aku.... kami...... kami saling mencinta, enci...." Jelas nampak betapa Ci Hwa takut kalau enci tirinya itu marah karena ia tahu bahwa encinya ini mencinta Sin Wan pula.
"Ci Hwa, tidak ada yang perlu kumaafkan. Engkau tidak bersalah apapun."
"Lili, aku...... aku.... kami....." Sin Wan yang juga terkejut bukan main melihat kemunculan Lili yang tiba-tiba itu, menjadi gugup dan biarpun hatinya ingin sekali menjelaskan keadaan yang sebenarnya, namun mulutnya tidak mampu mengeluarkan pernyataan yang akan menghancurkan hati Ci Hwa itu.
Lili tersenyum. Senyum yang tulus walaupun matanya memandang penuh keheranan.
"Aku tahu, Sin Wan. Engkau mencinta Ci Hwa! Ingatkah engkau ketika engkau mengobati lukaku dahulu? Ketika itu aku sudah menduga bahwa engkau mencinta Ci Hwa."
"Lili, engkau keliru, dan Ci Hwa salah paham. Aku..... aku menyayang Ci Hwa seperti adikku sendiri, tidak mencinta seperti yang dimaksudkan......."
"Wan-koko.......!!" Ci Hwa terbelalak dan menjerit, memandang kepada pemuda itu seperti melihat setan.
Sepasang alis Lili berkerut semakin dalam dan sinar matanya mencorong marah.
"Sin Wan, apakah engkau hendak mengecewakan hatiku dan menjadi seorang pangecut yang tidak bertanggung jawab? Mataku sendiri menyaksikan adegan mesra tadi dan sekarang engkau berani mengatakan bahwa engkau tidak mencinta adikku Ci Hwa? Hemm, Sin Wan. Kalau engkau tidak membalas cintaku, hal itu masih kuanggap ringan karena aku memang seorang gadis liar dan buruk. Akan tetapi, engkau hendak menolak Ci Hwa, gadis cantik jelita dan berbudi? Kau gila! Lalu apa artinya engkau tadi saling rangkul dan bermesraan dengan adikku? Apakah engkau hanya hendak mempermainkannya?"
"Lili, tenanglah dan jangan terburu nafsu. Aku sayang kepada Ci Hwa, sayang seorang kakak kepada adiknya, bukan cinta seperti yang kalian maksudkan."
"Wan-koko....." kembali Ci Hwa menjerit dan sekali ini ia menjatuhkan diri di atas bangku dan menangis.
Lili marah sekali dan mukanya menjadi merah.
"Sin Wan, aku pernah jatuh cinta kepadamu dan engkau tidak menghiraukan aku. Hal itu masih dapat kumaafkan. Akan tetapi kalau engkau mempermainkan adikku Ci Hwa, aku akan membunuhmu!"
"Lili, ini hanya suatu kesalahpahaman saja. Sungguh, aku tidak mempermainkan adik Ci Hwa. Aku melihat ia berduka, aku hanya ingin menghiburnya dan aku tidak pernah mengaku cinta kepadanya."
"Wan-ko....," seru Ci Hwa di antara isaknya.
".... kenapa engkau bersikap seperti ini....? Tadi..... tadi engkau begitu menyayangku..... kurasakan itu dalam rangkulanmu..... koko, kenapa begini......?"
Ingin rasanya Sin Wan menampar kepalanya sendiri. Karena iba, dan karena hendak menghibur hati Ci Hwa, dia tadi memperlihatkan kasih sayangnya dan kenapa dia tidak menolak ketika Ci Hwa merangkul dan menangis di dadanya? Tadipun dia sudah menyadari bahwa adegan itu berbahaya dan tidak benar, akan tetapi kenapa dia tidak tega untuk menolaknya? Dan sekarang dia harus menghadapi akibatnya.
"Tadi aku menyatakan suka dan sayangku kepadamu sebagai seorang sahabat, sebagai seorang saudara, sama sekali tidak terbayangkan olehku perasaan cinta seorang pria terhadap wanita seperti yang kaumaksudkan."
Mendengar ucapan ini, Ci Hwa hanya mampu menangis dengan hati yang perih seperti ditusuk-tusuk rasanya.
"Sin Wan, engkau sudah keterlaluan! Engkau mempermainkan adikku! Aku tidak bisa membiarkannya saja. Akan kubunuh kau!" Lili mencabut pedang Ular Putih dan hendak menyerang Sin Wan dengan kemarahan berkobar.
"Enci......!" Ci Hwa sudah menubruk dan menjatuhkan diri berlutut, merangkul kedua kaki Lili.
"Enci Lili jangan.... jangan bunuh dia. Bunuh saja aku, enci....." dan dengan hati sedih sekali Ci Hwa menangis tersedu-sedu di depan kaki Lili.
Pada saat itu terdengar suara banyak orang dan muncullah Bhok Cun Ki, Cu Sui In, Bhok Ci Han dan Nyonya Bhok.
"Heii, apa yang terjadi ini? Lili, apa yang telah terjadi?" tanya Sui In sambil meloncat ke dekat puterinya.
"Ci Hwa, apa yang telah terjadi?" seru Nyonya Bhok kepada puterinya, melihat puterinya menangis di depan kaki Lili yang berdiri marah dengan pedang terhunus di tangan. Ci Hwa bangkit lalu berlari menubruk ibunya sambil menangis.
"lbuu......!" Nyonya Bhok merangkul puterinya yang terisak-isak dan tidak mampu bicara itu.
"Ibu, aku akan membunuh Sin Wan!" teriak Lili marah.
"Laki-laki tak tahu diri ini berani mempermainkan adik Ci Hwa. Kulihat sendiri mereka saling bermesraan di sini, akan tetapi dia tidak mau mengaku cinta, dia mengingkari cintanya terhadap adik Ci Hwa!"
"Apa?" Sui In berseru marah.
"Pemuda ini berani menghina anakku Ci Hwa? Kalau begitu, biar aku sendiri yang akan memberi hajaran kepadanya!"
Wanita ini sekali menggerakkan tubuhnya sudah melayang ke depan Sin Wan dan mengirim tamparan bertubi-tubi, gerakannya cepat dan amat kuat.
Sin Wan yang tidak diberi kesempatan untuk bicara melihat datangnya serangan yang amat berbahaya, setiap tamparan merupakan cengkeraman maut, cepat bergerak mengelak dan menangkis. Sampai tujuh kali berturut-turut kedua tangan Cu Sui In menyambar-nyambar, namun selalu dapat dihindarkan oleh Sin Wan.
"In-moi, tahan dulu.....!" Bhok Cun Ki berseru dan meloncat ke depan, melerai dan memegang lengan kiri isterinya.
"Harap jangan tergesa dan terburu nafsu. Kalau ada persoalan, kita bicarakan dulu dengan tenang." Karena dicegah suaminya, Cu Sui In terpaksa menurut ketika ditarik mundur ke belakang.
Bhok Cun Ki yang melihat gawatnya persoalan, segera mengambil alih pimpinan dan dia bertanya kepada puterinya.
"Ci Hwa, katakan, apa yang telah terjadi di sini antara engkau dan Sin Wan."
Akan tetapi Ci Hwa tidak mampu menjawab, hanya menangis dalam pelukan ibunya. Melihat betapa Ci Hwa hanya menggeleng kepala sambil sesenggukan, Sui In lalu bertanya kepada Lili,
"Lili, karena adikmu tidak mampu menjawab, engkaulah yang harus menceritakan kepada ayahmu, apa yang telah terjadi!"
Bhok Cun Ki mengangguk ketika Lili memandang kepadanya. Tidak mungkin memaksa Ci Hwa bicara kalau sedang menangis seperti itu.
"Ceritakanlah, Lili," katanya.
"Begini, ayah, ibu. Tadi secara kebetulan aku memasuki taman dan melihat Sin Wan dan adik Ci Hwa sedang duduk di bangku ini, bermesraan, saling berpelukan. Kedatanganku membuat mereka terkejut dan adik Ci Hwa ketakutan. Akan tetapi aku mengatakan bahwa aku bahkan bergembira kalau mereka saling mencinta. Eh, ternyata dia ini, laki-laki tidak bertanggung jawab ini, dia menyangkal bahwa dia mencinta Ci Hwa! Nah, hati siapa tidak menjadi panas melihat adiknya dipermainkan orang!"
Mendengar keterangan ini, Bhok Cun Ki yang biasanya berpikiran panjang dan dapat menahan perasaannya, mau tidak mau mengerutkan alisnya dan mukanya berubah merah. Sebagai seorang ayah, tentu saja dia tidak senang mendengar laporan itu, walaupun dia masih meragukan kebenaran laporan itu karena selama ini dia mengenal Sin Wan sebagai seorang pemuda yang gagah perkasa dan berkelakuan sopan.
Bhok-ciangkun kini menatap wajah Sin Wan. Bulan sedang terang-terangnya sehingga cuaca menjadi cerah.
"Sin Wan, kami harap engkau bersikap sebagai seorang gagah dan suka menceritakan semuanya dengan jujur. Nah, benarkah apa yang diceritakan Lili tadi?"
Sin Wan menghela napas panjang. Keadaan sudah sedemikian rupa sehingga jalan satu-satunya hanya berterus-terang dan tidak lagi merahasiakan sesuatu walau dengan resiko menyinggung hati Ci Hwa atau siapapun saja. Kalau tidak, maka tentu suasana akan menjadi semakin gawat.
"Baiklah, paman Bhok. Memang seharusnya saya berterus terang. Karena ketidak terus-terangan sayalah yang menyebabkan semua ini terjadi. Laporan Lili tadi tidak dapat saya salahkan, karena memang kelihatannya benar seperti yang ia terangkan. Akan tetapi sesungguhnya tidaklah demikian, paman. Biarlah akan saya ceritakan dari awal. Mula-mula, adik Ci Han yang datang menemui saya di kamar saya dan dia menceritakan kepada saya bahwa adik Ci Hwa sedang bersedih. Menurut keterangan adik Ci Han, adik Ci Hwa bersedih karena mengira bahwa saya membencinya. Tentu saja saya merasa heran dan terkejut, maka ketika adik Ci Han minta tolong kepada saya untuk menghibur dan mengaku sayang kepada adik Ci Hwa yang sedang berada di taman, tanpa ragu lagi saya lalu menemuinya di dalam taman ini."
"Benarkah semua keterangannya itu, Ci Han?" tanya Bhok Cun Ki kepada puteranya yang sejak tadi hanya mendengarkan saja dengan wajah tegang.
"Benar, ayah. Memang aku yang menceritakan tentang keadaan Hwa-moi kepada Wan-toako dan minta bantuannya agar dia menghibur Hwa-moi dan mengatakan bahwa dia tidak membencinya, melainkan menyayangnya."
"Hemm, Sin Wan, lanjutkan keteranganmu," kata Bhok Cun Ki kepada Sin Wan.
"Setelah tiba di taman, saya melihat adik Ci Hwa duduk seorang diri dan memang kelihatan berduka sekali. Saya lalu mendekatinya, duduk di bangku dan mengatakan bahwa saya sayang kepadanya dan agar ia tidak berduka. Mendengar pengakuan saya itu, adik Ci Hwa menangis dan merangkul saya, menangis di dada saya dan mengatakan bahwa ia mencinta saya. Pada saat itu saya sudah menyadari akan adanya kesalah-pahaman, paman. Akan tetapi apa yang harus saya lakukan? Terus terang mengatakan bahwa saya tidak mencintanya? Tentu hal itu akan merupakan pukulan hebat kepadanya dan saya tidak tega melakukannya. Saya menyayangnya sebagai seorang kakak terhadap adiknya, paman. Dan pada saat itu Lili muncul! Karena keadaan menjadi gawat, maka saya lalu berterus terang bahwa saya tidak mencinta adik Ci Hwa seperti yang mereka sangka, tidak mencinta sebagai seorang pria kepada seorang wanita melainkan, hanya kesayangan seorang kakak kepada adiknya. Lili marah dan selanjutnya, paman melihat dan mendengar sendiri. Saya memang bersalah tidak berani berterus terang sehingga terjadi kesalahpahaman yang menyakiti hati adik Ci Hwa. Maafkan saya."
Melihat gawatnya persoalan itu, Bhok Cun Ki menghela napas panjang. Bagaimanapun juga, hal ini menyangkut kebahagiaan dan kehormatan diri puterinya, maka dia lalu berkata,
"Mari kita semua masuk ke rumah dan membicarakan urusan penting ini di dalam saja."
Kedua orang isterinya juga maklum akan pentingnya urusan itu, maka mereka mengangguk dan semua orang meninggalkan taman, memasuki rumah tanpa mengeluarkan suara, hanya masih terdengar isak tertahan dari Ci Hwa yang dirangkul dan digandeng ibunya memasuki rumah. Sin Wan yang berjalan paling belakang, merasa seperti seorang pesakitan masuk ke dalam ruangan sidang pengadilan yang akan mengadilinya.
Mereka duduk di ruangan dalam dan tidak ada seorangpun pelayan yang diperbolehkan masuk. Sin Wan duduk di sudut, dihadapi oleh seluruh keluarga itu. Dia bersikap tenang, dengan keyakinan bahwa dia tidak melakukan suatu kesalahan, tidak mempunyai niat untuk mengganggu siapa saja, dan urusan yang dihadapinya ini adalah suatu kesalahpahaman belaka.
Begitu mereka duduk, Lili yang sejak tadi menahan perasaannya, perasaan bermacam-macam, ada kecewa, ada pula kemarahan, bukan karena ia melihat kenyataan pahit bahwa pemuda yang dicintanya ternyata mencinta gadis lain, akan tetapi juga karena kemudian pemuda itu menyatakan tidak menerima cinta kasih Ci Hwa.
"Ayah, adik Ci Hwa mencinta Sin Wan dan diapun tidak pernah menolak cintanya. Oleh karena itu, aku menuntut agar mereka menjadi suami isteri. Kalau Sin Wan menolak, dia akan kuanggap sebagi musuhku!"
"Aku sendiripun tidak akan menerima begitu saja kalau anakku Ci Hwa diperhina orang!" kata pula Cu Sui In.
Ibu dan anak ini memandang kepada Sin Wan dengan sinar mata mencorong.
Bhok Cun Ki mengangkat kedua tangan sebagai isyarat agar isteri dan puterinya itu berdiam diri. Kemudian dia memandang kepada Sin Wan dan suaranya terdengar tenang namun tegas.
"Sin Wan, kami menyadari sepenuhnya bahwa peristiwa ini terjadi karena kesalah-pahaman di pihak anak kami Ci Hwa. Akan tetapi, engkaupun tidak bebas dari pada kesalahan karena sikapmu yang tidak berterus terang. Andaikata pada saat itu engkau berterus terang menyatakan isi hatimu yang sebenarnya kepada Ci Hwa, tentu tidak akan berlarut-larut kesalah-pahaman itu. Sekarang, semua telah terjadi dan engkaupun tentu maklum betapa akan kecewa dan malu hati kami semua kalau Ci Hwa tidak berjodoh denganmu. Oleh karena itu, kami harap kebijaksanaanmu agar suka menyetujui ikatan perjodohan antara engkau dan Ci Hwa."
Sin Wan mengerutkan alisnya. Bayangan Lim Kui Siang, sumoinya itu, berkelebat di depan matanya. Selama hidupnya dia hanya mencinta seorang saja, yaitu Kui Siang dan sampai saat ini, walaupun Kui Siang telah berubah menjadi benci kepadanya, dia tidak mampu melupakan gadis itu. Memang dia tidak lagi mengharapkan untuk dapat berjodoh dengan Kui Siang mengingat betapa Kui Siang sudah memandangnya sebagai musuh, namun bagaimana mungkin dia dapat berjodoh dengan gadis lain kalau hal ini bertentangan dengan perasaan hatinya? Dia memang suka dan sayang kepada Ci Hwa, iba kepadanya, akan tetapi tidak ada perasaan cinta di dalam hatinya seperti perasaan cintanya terhadap Kui Siang.
Dengan tulus Sin Wan kini memandang kepada mereka semua, seorang demi seorang, lalu berkata dengan suara lembut namun tegas dan sejujurnya.
"Paman Bhok, bibi berdua, adik Ci Hwa, Ci Han dan Lili, saya mengerti bahwa terkadang pengakuan sejujurnya mendatangkan kepahitan dan ketidak-senangan. Akan tetapi sayapun yakin bahwa kebohongan, walaupun kadang menyenangkan, akan mendatangkan akibat yang jauh lebih buruk lagi. Apa yang baru saja terjadi antara saya dengan adik Ci Hwa, hanya merupakan suatu kesalah-pahaman belaka. Saya menyayang adik Ci Hwa sebagai seorang kakak terhadap adiknya, atau sebagai seorang sahabat yang ikut prihatin melihat sahabatnya berduka dan ingin menghiburnya, akan tetapi adik Ci Hwa salah sangka, mengira saya mencintainya sebagai seorang pria mencinta wanita. Setelah sekarang semua itu kita mengerti, dan saya sudah minta maaf kepada adik Ci Hwa dan kepada semua keluarga, mengapa ikatan perjodohan ini akan dipaksakan dan dilaksanakan juga? Kalau perjodohan seperti ini kelak mengalami kegagalan, bukankah kita semua pula yang akan menanggung derita? Paman, saya tidak ingin kelak mengecewakan dan menghancurkan perasaan hati adik Ci Hwa. Karena itu, dari pada kelak terpaksa mengkhianati cintanya dan menyusahkan hatinya, sebaiknya kalau dari sekarang saya menjauhkan diri. Saya terpaksa tidak dapat memenuhi permintaan paman untuk berjodoh dengan adik Ci Hwa."
Mendengar ucapan ini, Ci Hwa terisak, lalu melepaskan rangkulan ibunya, dan iapun lari ke kamarnya sambil menangis. ibunya bangkit dan menyusulnya.
"Bagus, kalau begitu, engkau harus menebus penghinaan ini dengan nyawamu!" bentak Lili dan iapun sudah menyerang Sin Wan dengan dahsyat.
Sin Wan yang maklum bahwa kemarahan keluarga itu mungkin saja membuat mereka ingin membunuhnya, sudah siap waspada sejak tadi dan begitu Lili menyerangnya, diapun sudah meloncat ke belakang dan menghindarkan diri dari totokan maut yang dilakukan gadis itu.
"Biar aku yang menghajarnya!" bentak Bi-coa Sianli Cu Sui ln. Nampak sinar hitam berkelebat ketika wanita itu mencabut Hek-coa-kiam (Pedang Ular Hitam) dan menyerang Sin Wan. Juga Lili sudah mencabut Pek-coa-kiam (Pedang Ular Putih) dan siap mengeroyok Sin Wan.
"Tahan! teriak Bhok Cun Ki yang sudah melompat ke depan menghadang isteri dan puterinya.
"Simpan pedang kalian dan jangan serang dia. Kita tidak begitu rendah untuk memaksa seseorang yang tidak mau menjadi anggauta keluarga kita."
Biarpun dengan alis berkerut, Cu Sui In menyimpan kembali pedangnya dan mengomel,
"Akan tetapi dia telah menghina anak kita Ci Hwa!"
Lili juga menyimpan pedangnya dan berkata tak puas,
"Dia telah menghancurkan hati adik Ci Hwa dan membuatnya berduka."
Bhok Cun Ki menghela napas panjang.
"Semua itu kesalahan Ci Hwa sendiri. Siapa menyuruh ia mencinta seorang pria yang tidak membalas cintanya? Sudahlah, mungkin seorang pendekar besar yang memiliki kepandaian tinggi seperti dia, merasa terlalu tinggi untuk berjodoh dengan seorang gadis bodoh seperti Ci Hwa. Akan tetapi, aku tidak akan sudi memaksanya."
Mendengar ucapan keluarga itu, dan melihat Ci Han duduk saja dengan muka pucat, Sin Wan menghela napas panjang dan memberi hormat kepada mereka, kemudian berkata kepada Bhok Cun Ki.
"Paman Bhok, saya mengerti bahwa semua ucapan tadi hanya timbul dari hati yang kecewa. Saya telah mengecewakan keluarga paman, dan menyusahkan hati adik Ci Hwa. Karena itu, saya berpamit, paman. Sekarang juga saya akan meninggalkan rumah ini, dan banyak terima kasih saya ucapkan atas semua kebaikan paman dan keluarga paman yang telah melimpahkan kepada saya. Selamat tinggal."
Sin Wan pergi ke kamarnya, mengemasi pakaiannya lalu pergi meninggalkan rumah itu.
Ci Han, yang sejak tadi diam saja, diam-diam merasa menyesal sekali. Dialah yang menjadi biang-keladi, keluhnya dalam hati. Dia yang menyuruh Sin Wan menghibur adiknya, tidak disangkanya akan berakibat begini. Dia pun meninggalkan ruangan itu, disusul Lili yang juga pergi dari situ.
Tinggal Bhok Cun Ki yang masih duduk dan berulang kali menghela napas panjang, ditemani Cu Sui ln.
"Aihh, mengapa cinta selalu mendatangkan duka kepada manusia? Kita berdua menderita banyak kesengsaraan, terutama engkau, karena cinta. Sekarang anak kita, gadis yang masih bersih dari pada noda, terpaksa harus menderita pula karena cinta."
"Akan tetapi, biar dahulu menderita, sekarang aku menemui kebahagiaan. Akan tetapi bagaimana dengan anak kita Ci Hwa? Hemm, kalau tidak kau larang, sudah kubunuh pemuda yang berani menolak cintanya itu!"
Bhok Cun Ki tersenyum. Wanita yang sejak dahulu dicintanya ini, biarpun hidup sebagai puteri datuk dan selalu terbiasa dengan kekerasan, namun pada hakekatnya memiliki watak yang baik. Ia menganggap Ci Hwa sebagai puterinya sendiri.
"Hemmmm, cinta......., apa sih sebenarnya cinta itu? Cinta membuat orang hari ini tertawa senang, besoknya menangis susah. Cinta mendatangkan cemburu, kemarahan, bahkan kebencian. Cinta, siapakah sebenarnya kamu dan apa sebenarnya perasaan yang selalu mempermainkan hati setiap orang manusia ini? Tidak perduli pria atau wanita, pintar atau bodoh, kaya atau miskin, semua menjadi permainan cinta dan setiap orang pernah atau akan menderita karena cinta!"
Ucapan Bhok Cun Ki yang seperti ditujukan kepada dirinya sendiri itu, membuat isterinya, Cu Sui In, ikut pula duduk termenung. Keduanya tenggelam ke dalam renungannya sendiri tentang cinta yang kalau diukur lebih dalam dari pada samudera dan lebih tinggi dari pada langit itu.
Renungan tentang cinta dilakukan orang sepanjang masa, sejak jaman nenek moyang kita dahulu sampai kini. Namun, adakah manusia yang pernah menemukan jawabnya yang tepat. Banyak memang pendapat orang tentang cinta, akan tetapi apakah pendapat itu sudah dapat membuat kita mengenal cinta? Kalau mendatangkan cemburu yang disusul kebencian dan permusuhan, apakah itu cinta? Kalau mendatangkan kesenangan disusul kesusahan, apakah itu cinta? Ingin memiliki dan dimiliki sendiri, itukah cinta? Menjadi pembangkit, penyalur dan pemuasan berahi, itukah cinta? Membela dengan mempertaruhkan nyawa, membunuh atau dibunuh seperti dalam perang membela tanah air, itukah cinta? Mengorbankan diri untuk anak cucu, itukah cinta? Ataukah cinta mencakup kesemuanya? Apakah cinta merupakan kebalikan dari benci? Apakah benar bahwa cemburu menjadi kembangnya cinta?
Kalau dilanjutkan, masih ada satu macam pertanyaan yang tak terjawab mengenai cinta. Bagaimana mungkin hati yang tidak pernah mengenal cinta, dapat mencari apa sebenarnya cinta itu? Hati akal pikiran ini hanya mampu menemukan sesuatu yang pernah dikenalnya, pernah dialaminya, dapat menemukan hal yang telah lalu.
Yang mendatangkan cemburu, mendatangkan suka dan duka, mendatangkan kebencian dan permusuhan, yang memuaskan berahi, yang membelenggu dalam ikatan, jelas bukanlah CINTA, melainkan nafsu. Nafsu selalu menimbulkan keinginan untuk mendapatkan kesenangan dan menjauhi ketidak-senangan. Nafsu selalu mempermainkan manusia, mengombang-ambingkan manusia antara suka dan duka, puas dan kecewa.
Nafsu membuat kita mencinta seseorang karena daya tarik yang khas, yang sesuai dengan keinginan nafsu. Kita mencinta orang karena kecantikannya atau ketampanannya, karena kekayaannya, kedudukannya, kepintarannya dan sebagainya. Kalau yang menjadi daya tarik itu sudah luntur, maka cinta kitapun ikut luntur karena ikatan itu mengendur. Cinta yang didorong nafsu membuat kita ingin memiliki sendiri yang kita cinta, baik itu berupa benda, binatang peliharaan, tanaman, atau orang. Kalau ini dilanggar, kita cemburu, kita marah, kita benci. Kalau kita berhasil memiliki, timbullah rangkaian yang mendatangkan penderitaan pula.
Memiliki berarti menjaga dan kehilangan! Memiliki dapat menimbulkan kebosanan. Cantik dan indah hanya terasa sebelum didapatkan, atau paling banyak terasa untuk jangka waktu yang pendek saja. Sesudah itu, cantik dan indah mulai luntur kalau tidak membosankan malah. Betapa banyaknya pasangan yang cantik dan tampan cekcok atau bercerai. Betapa banyaknya pasangan yang kaya raya, tidak cocok dan menderita.
Cinta yang kita puja-puja pada umumnya hanyalah permainan nafsu belaka. Cinta kita berpamrih seperti menjadi sifat nafsu, dan permainan nafsu tak dapat tiada menyeret kita ke dalam permainan suka duka, yang lebih banyak dukanya dari pada sukanya. Kita mencinta untuk mendapatkan sesuatu. Cinta kita merupakan cinta jual-beli dan setiap jual-beli selalu mendambakan keuntungan.
Selama nafsu pamrih masih ada, cinta tidak akan ada. Kalau nafsu dan pamrih sudah tidak ada, apakah cinta akan ada? Tak dapat kita mengharapkan cinta, tidak dapat kita mengundang cinta. Cinta akan datang menghampiri kita seperti air suci mengisi cawan yang sudah kosong dan bersih!
Di lembah Sungai Huang-ho, di luar kota Cin-an, nampak meriah. Suasananya seperti dalam pesta besar. Memang terdapat pesta besar di tempat itu. Bangunan mewah di tepi sungai yang menjadi tempat peristirahatan kaum bangsawan, dihias meriah. Apa yang terjadi di pagi hari itu? Pertemuan keluarga besar diadakan di tempat itu.
Pangeran Chu Hui San, yaitu putera mahkota, mengundang adiknya, yaitu Raja Muda Yung Lo di Peking, untuk mengadakan pertemuan di tempat itu. Hal ini dilakukan Pangeran Mahkota Chu Hui San untuk menghormati adiknya yang sudah menjadi raja muda di Peking. Kota Cin-an terletak di antara kota raja Nan-king dan Peking. Agar tidak nampak saling merendahkan, maka tempat itu dipilih oleh Pangeran Chu Hui San untuk mengadakan pertemuan dengan Raja Muda Yung Lo. Untuk berkunjung ke kota itu, keduanya harus melakukan perjalanan yang hampir sama jauhnya. Raja Muda Yung Lo harus menyeberangi Huang-ho sebelum tiba di Cin-an, dan Pangeran Mahkota harus menyeberangi sungai Yang-ce ketika keluar dari kota raja menuju ke utara.
Dengan alasan rindu dan ingin mengajak adiknya itu bercakap-cakap tentang kenegaraan, Pangeran Mahkota Chu Hui San mengundang Raja Muda Yung Lo. Dia melakukan hal ini atas bujukan dan nasihat Yauw Siaucai yang telah menjadi guru sastra puteranya, juga menjadi penasihatnya.
"Hamba mendengar bahwa kekuasaan Raja Muda Yung Lo di Peking semakin besar dan kuat. Karena paduka yang diangkat menjadi pangeran mahkota maka kekuasaan Raja Muda Yung Lo itu kelak dapat merupakan ancaman bagi kedudukan paduka kalau paduka sudah menjadi kaisar. Oleh karena itu, perlu sekali paduka mendekatinya dan berbaik dengannya. Juga untuk sekedar menguji kesetiaannya dan mengukur kekuatannya." Demikian antara lain Yauw Siucai membujuk.
"Akan tetapi, perjalanan itu amat jauh dan berbahaya," Pangeran Mahkota membantah.
"Paduka dapat mengerahkan pasukan keamanan untuk mengawal. Bukankah terdapat jenderal-jenderal besar yang boleh dipercaya seperti jenderal besar Shu Ta atau kalau beliau sibuk dengan tugasnya, dapat paduka mengutus Jenderal Yauw Ti dengan pasukan pengawalnya yang kuat. Tentu saja paduka harus mendapatkan persetujuan Sribaginda Kaisar dan karena niat itu baik sekali, tentu beliau tidak akan keberatan."
Akhirnya Pangeran Chu Hui San menurut dan seperti yang telah dikemukakan oleh Yauw Siucai, Kaisar memberi restu, dan penjagaan keamanan dan pengawalan diserahkan kepada Jenderal Yauw Ti yang sudah dipercaya sebagai wakil Jenderal Shu Ta yang sibuk dengan tugasnya.
Demikianlah, pada pagi hari itu, rombongan Pangeran Mahkota tiba di Cin-an dan pada siang harinya, baru rombongan Raja Muda Yung Lo datang dari utara. Rombongan Raja Muda Yung Lo tidak besar, hanya dikawal pasukan yang tiga losin orang banyaknya. Akan tetapi dia ditemani seorang pengawal pribadi wanita yang cantik dan gagah perkasa, yang bukan lain adalah Lim Kui Siang!
Seperti telah kita ketahui, Raja Muda Yung Lo yang merasa amat kagum dan berhutang budi kepada Lim Kui Siang, telah jatuh hati kepada gadis perkasa itu. Raja Muda Yung Lo yang berwatak keras dan jujur itu, dengan terang-terangan menyatakan cintanya dan ingin memperisteri Kui Siang. Melihat gadis itu bimbang mendengar pinangannya, dia memberi waktu sebulan kepadanya untuk memberi jawaban.
Dalam waktu sebulan itu Kui Siang merasa tersiksa hatinya. Usianya sudah duapuluh tiga tahun dan bagi seorang gadis pada masa itu, usianya sudah lebih dari pada dewasa. Yang meminangnya adalah seorang raja muda yang hebat, yang ia kagumi.
Andaikata tidak ada bayangan Sin Wan selalu menggodanya, kiranya tidak akan sukar untuk menerima pinangan Raja Muda Yung Lo itu, bahkan akan diterimanya dengan hati bersyukur dan berbahagia. Akan tetapi, di sana ada Sin Wan. Ia tidak dapat melupakan pemuda itu yang masih tetap dicintanya. Ia sudah berusaha melupakan Sin Wan, berusaha meyakinkan dirinya bahwa Sin Wan adalah anak tiri dan murid musuh besarnya.
Mendiang Se Jit Kong, ayah tiri Sin Wan, telah menghancurkan keluarganya dengan membunuh ayahnya. Bagaimana mungkin ia berjodoh dengan anak tiri dan murid musuh itu? Namun, semua usahanya untuk melupakan Sin Wan sia-sia belaka dan akhirnya, setelah masa sebulan lewat, dengan terus terang Kui Siang menjawab kepada Raja Muda Yung Lo bahwa ia tidak, dapat menerima pinangannya karena ia sudah mencinta orang lain.
Biarpun hatinya merasa kecewa sekali, namun dengan sikap yang tenang dan hati yang besar Raja Muda Yung Lo menerima kenyataan itu. Dia adalah seorang yang bijaksana, dan menomor duakan urusan pribadi di bawah urusan negara. Biarpun dia kecewa atas penolakan Kui Siang, namun dia tidak ingin kehilangan gadis perkasa ini sebagai pengawal pribadinya yang boleh diandalkan dan dapat dipercaya pula.
"Aku dapat menghargai kejujuranmu, Kui Siang, dan penolakanmu ini bahkan membuat aku semakin kagum padamu. Engkau seorang gadis yang cantik jelita, gagah perkasa, dan tidak tertarik akan kemuliaan dan kedudukan. Engkau hebat sekali dan aku dapat menduga siapa pria yang telah menempati hatimu. Dia tentu Sin Wan, bukan?"
Kui Siang menundukkan mukanya yang berubah kemerahan, akan tetapi ia membuat gerakan mengangguk. Setelah ketegangan hatinya mereda oleh sikap bijaksana raja muda itu, iapun berkata dengan hati terharu.
"Yang Mulia, andaikata di dunia ini tidak ada dia dan hati hamba tidak lebih dahulu terikat oleh dia, maka pinangan paduka akan merupakan anugerah yang hamba terima dengan penuh kehormatan dan kebahagiaan. Harap paduka suka memaafkan hamba."
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Kui Siang. Engkau memang telah melakukan pilihan hati yang amat tepat. Sin Wan adalah seorang pendekar yang budiman dan gagah perkasa. Akan tetapi di mana dia sekarang? Kenapa tidak menerima tawaranku yang kuberikan kepadanya agar bekerja di sini sehingga tidak berjauhan darimu?"
Wajah Kui Siang berubah muram dan ini, Raja Muda Yung Lo yang berpengalaman itu dapat menduga bahwa tentu terjadi sesuatu yang meretakkan hubungan antara gadis ini dengan kekasihnya.
"Kui Siang, karena engkau tidak dapat menerima pinanganku, tidak dapat menjadi isteriku, biarlah engkau menjadi saudaraku atau sahabat baikku. Nah, ceritakanlah apa yang terjadi dan aku berjanji akan membantumu untuk memecahkan kesulitanmu."
"Terima kasih, Yang Mulia. Memang kami berpisah,..... bukan kesalahannya, akan tetapi......."
Melihat keraguan Kui Siang, Raja Muda Yung Lo semakin tertarik. Dia harus menolong Kui Siang dan Sin Wan, pikirnya, untuk membalas budi mereka.
"Katakanlah, Kui Siang, apa yang telah terjadi dan mengapa kalian saling berpisah?"
"Dia...... dia seorang Uighur......" Kui Siang berhenti lagi karena masih merasa ragu apakah ia akan menceritakan persoalan pribadinya kepada raja muda itu.
Raja Muda Yung Lo tertawa.
"Ha..ha..ha, kami sudah tahu akan hal itu, Kui Siang dan apa salahnya! Bangsa kita memiliki tanah air yang amat luas di mana tinggal ratusan juta orang dari ratusan macam suku bangsa. Kalau kita masih membeda-bedakan antara suku bangsa, ada yang merasa lebih tinggi derajatnya ada pula yang merasa lebih rendah, lalu bagaimana kita dapat menjadi suatu bangsa yang besar? Perbedaan antara suku hanya mendatangkan perpecahan dan tanpa adanya kesatuan dari seluruh rakyat dari pelbagai suku itu bagaimana mungkin negara kita akan menjadi besar dan kuat? Membedakan antara suku merupakan suatu kepicikan karena pada hakekatnya, semua manusia itu sama, dilahirkan sebagai bangsa apapun merupakan kehendak Tuan."
"Bukan itu yang menjadi persoalan, Yang Mulia. Hamba sendiripun tidak membeda-bedakan keturunan atau suku. Akan tetapi..... ah, bagaimana mungkin hamba berjodoh dengan anak tiri dan murid seorang...... musuh besar yang membunuh ayah hamba?"
Kini raja muda itu tertegun. Sungguh keterangan yang sama sekali tidak pernah dia duga.
"Siapakah ayah tiri dan gurunya itu?"
"Namanya Se Jit Kong........"
"Ahh! Apakah Hwe-ciang-kwi (Iblis Tangan Api)?"
"Benar, Yang Mulia."
"Akan tetapi, bukankah katanya Sin Wan murid dari Sam-sian (Tiga Dewa) dan menjadi suhengmu (kakak seperguruanmu)?"
"Itupun benar, Yang Mulia. Akan tetapi sejak kecil dia menjadi anak tiri Se Jit Kong dan baru-baru saja, setelah kami berada di sini, hamba tahu bahwa dia anak tiri dan murid musuh besar hamba. Oleh karena itu, hamba mengusirnya dan tidak mau lagi bertemu dengannya." Kui Siang menunduk dan wajahnya menjadi sedih.
"Hemm, kurasa engkau keliru, Kui Siang. Dia hanya anak tiri, dan kejahatan yang dilakukan ayah tirinya itu tidak ada sangkut-pautnya dengan dirinya. Bukankah Sin Wan itu murid Sam-sian dan tidak pernah berbuat jahat seperti ayah tirinya?"
"Hamba menyadari hal itu, akan tetapi....... ketika hamba mengetahui bahwa dia anak tiri mendiang Se Jit Kong, hamba merasa kecewa dan marah sehingga hamba mengusirnya dan memutuskan hubungan dengannya. Sekarang hamba menyadari bahwa hamba telah bersikap tidak adil kepadanya..........."
"Jangan khawatir, Kui Siang. Tenang-tenang sajalah. Aku akan rnenyuruh orang mencari Sin Wan dan aku yang akan menjelaskan kepadanya dan mendamaikan kalian berdua. Aneh, dalam hati mencinta, akan tetapi diluarnya menyatakan benci dan bermusuhan."
Demikianlah, Kui Siang tidak lagi didesak oleh Raja Muda Yung Lo yang sudah melepaskan keinginannya mempersunting gadis itu, bahkan menjanjikan untuk mendamaikan antara ia dan Sin Wan. Ketika Raja Muda Yung Lo menerima undangan dari Putera Mahkota yang menjadi kakaknya, tentu saja dia tidak dapat menolak. Bagaimanapun juga, kakaknya itu adalah putera mahkota, calon pengganti kaisar ayah mereka yang berarti calon junjungannya. Kalau pangeran Mahkota sudah mengalah dan datang ke Cin-an, berarti itu menaruh hormat. kepadanya.
Ketika Kui Siang menyatakan kekhawatirannya, Raja Muda Yung Lo tersenyum.
"Kami menerima undangan dari kakanda Pangeran Mahkota untuk mengadakan pertemuan di Cin-an. Kenapa engkau merasa khawatir, Kui Siang? Apakah engkau mencurigai Pangeran Mahkota?"
"Tentu saja sama sekali tidak, Yang Mulia. Akan tetapi, kita mengetahui bahwa pihak Mongol selalu berdaya untuk merampas kembali kekuasaannya, maka mereka akan melakukan segala cara untuk mencelakakan keluarga Sribaginda Kaisar. Perjalanan ke Cin-an tidak dekat, maka hamba khawatir kalau-kalau kesempatan ini dipergunakan oleh pihak musuh untuk menghadang dan mencelakai paduka atau Pangeran Mahkota."
"Jangan khawatir, Kui Siang. Aku bukan seorang yang mudah dijebak begitu saja oleh siapapun. Kita berangkat dengan pasukan pengawal dan engkau menjadi pengawal pribadiku. Kalau ada engkau di dekatku, siapa yang akan mampu menggangguku!" kata Raja Muda Yung Lo setengah berkelakar.
Hati Kui Siang selalu penuh kekhawatiran dan ia melakukan penjagaan ketat, teliti dan waspada di sepanjang perjalanan karena ia menganggap bahwa pasukan pengawal tiga losin orang itu jauh dari pada cukup untuk menjamin keselamatan seorang raja muda, seperti Yung Lo.
Akan tetapi ternyata tidak ada gangguan di sepanjang perjalanan, bahkan para pembesar setempat yang mendengar akan datangnya Raja Muda Yung Lo yang melakukan perjalanan ke selatan, mengadakan penyambutan di setiap kota dengan penuh penghormatan.
Ketika rombongan Raja Muda Yung Lo tiba di luar kota Cin-an, di tempat peristirahatan dekat sungai Kuning itu, mereka disambut oleh Putera Mahkota sendiri dan Raja Muda Yung Lo saling berpelukan dengan kakaknya. Kemudian, dua orang bangsawan ini memasuki gedung yang disediakan untuk pertemuan itu. Raja Muda Yung Lo ditemani Kui Siang yang memimpin enam orang pengawal wanita sebagai anak buahnya. Tujuh orang gadis yang rata-rata cantik ini nampak gagah dan berwibawa sehingga Pangeran Mahkota Chu Hui San memandang dengan senyum menyeringai lalu berkata kepada adiknya.
"Adinda Yung Lo, pasukan pengawal pribadimu sungguh hebat, cantik dan gagah!"
Raja Muda Yung Lo hanya tersenyum saja dan diapun memperhatikan orang-orang yang mengawal kakaknya. Dia melihat Jenderal Yauw Ti yang tadi sudah cepat memberi hormat kepadanya secara militer. Tentu saja dia mengenal jenderal besar ini, yang merupakan orang kepercayaan dari ayahnya Sribaginda Kaisar dan merupakan orang yang berjasa dan menjadi pembantu Jenderal Shu Ta. Melihat hadirnya jenderal itu, hati Raja muda Yung Lo menjadi semakin tenang. Jenderal ini tentu membawa pasukan besar dan tentu saja keadaan menjadi aman.
Di samping Jenderal Yauw Ti, yang menemani Pangeran Mahkota hanya ada seorang lagi saja, seorang pria muda berusia tigapuluh lima tahun yang tampan dan bersikap sopan dan halus gerak-geriknya, berpakaian seperti seorang sastrawan, bermata tajam dan nampaknya cerdik sekali. Raja Muda Yung Lo tidak mengenal pria itu, hanya dia merasa heran mengapa kakaknya tidak diiringkan pengawal pribadi melainkan seorang sastrawan!
"Kakanda Pangeran, siapakah sastrawan ini?" tanyanya heran.
"Ahh, engkau belum pernah mengenalnya? Dia memang belum lama menjadi penasihatku dan diapun menjadi guru keponakanmu Chu Hong. Dia kami sebut Yauw Siucai."
Yauw Siucai cepat memberi hormat dengan menekuk sebelah lutut kepada Raja Muda Yung Lo, yang diterima dengan sikap anggun oleh bangsawan itu. Akan tetapi selanjutnya, Raja Muda Yung Lo tidak lagi menaruh perhatian kepada sastrawan itu. Sebaliknya, sejak mengikuti raja muda itu dan melihat sastrawan itu, diam-diam Kui Siang amat memperhatikannya. Biarpun pakaiannya seperti sastrawan, namun ada sesuatu dalam sikap orang itu, terutama kilatan pandang matanya, yang membuat dia patut diawasi karena jelas bahwa, sastrawan ini bukan sembarang orang.
Pertemuan dua orang saudara keluarga Kaisar ini berlangsung meriah dan ketika mereka berdua bercakap-cakap di ruangan paling dalam, mereka tidak ingin dihadiri orang lain. Bahkan Kui Siang sendiri terpaksa harus berjaga di luar ruangan itu di mana ia melihat sastrawan yang disebut Yauw Siaucai itu berjalan mondar-mandir dengan tenang dan mengipasi tubuhnya dengan kipas putih yang besar. Juga Jenderal Yauw Ti hanya mengatur anak buahnya melakukan penjagaan ketat di luar gedung dan di sekitar tempat pertemuan itu.
Dua orang pangeran yang bercakap-cakap itu saling menceritakan keadaan masing-masing, juga keadaan di utara dan di selatan. Dengan sejujurnya Raja Muda Yung Lo mendukung kakaknya yang menjadi pangeran mahkota itu, dan menyatakan bahwa kelak kalau kakaknya menjadi kaisar, dia akan mendukung kekuasaan kakaknya itu di wilayah utara. Akan tetapi dengan jujur pula dia mengatakan bahwa dia mendengar desas-desus tentang pangeran mahkota itu yang dikabarkan hanya mengejar kesenangan. Mendengar teguran halus adiknya ini, Putera Mahkota tertawa.
"Ha..ha..ha, berita yang kaudengar itu berlebihan, adinda Yung Lo. Selagi kita muda, apa salahnya kalau kita bersenang-senang? Sudah menjadi hak setiap orang, apalagi kita para pangeran, untuk bersenang dan menikmati hidup, bukan?"
"Memang benar, kakanda pangeran. Akan tetapi, kakanda adalah seorang pangeran mahkota yang kelak akan menggantikan ayahanda Kaisar, menjadi kaisar yang mempunyai tugas berat memimpin seluruh rakyat dan negara. Sudah semestinya kalau mulai sekarang kakanda pangeran memperhatikan dan mempelajari soal pemerintahan agar kelak kalau tiba saatnya, kakanda akan dapat mengemudikan pemerintahan dengan sebaik mungkin."
"Hemm, adinda Yung Lo. Tidak usah kaunasihatipun, aku sudah mengerti. Kalau seorang kaisar harus pusing sendiri memikirkan semua tugas itu, lalu apa gunanya kaisar memiliki penasihat dalam segala urusan? Sekarangpun, aku telah memiliki seorang penasihat yang bijaksana dan pandai. Kelak, kalau aku sudah menjadi kaisar, tentu akan kumiliki penasihat-penasihat yang pandai, baik dalam urusan pemerintahan urusan keamanan dan sebagainya. Jangan khawatir, adinda. Bukankah engkau sendiri juga sudah merupakan seorang di antara para calon penasihatku kalau kelak aku sudah menjadi kaisar?"
Biarpun di dalam hatinya merasa tidak puas dengan sikap kakaknya itu, namun Raja Muda Yung Lo tidak berani mendesak atau menegur terlalu keras, karena bagaimanapun juga, kakaknya itu adalah seorang atasan baginya.
Setelah bercakap-cakap, maka seperti telah direncanakan, Pangeran Mahkota mengadakan pesta perjamuan yang meriah untuk adiknya dan dengan royal Pangeran itu makan minum sambil menonton para penyanyi pilihan dan penari yang cantik-cantik menghibur mereka.
Raja Muda Yung Lo yang tidak begitu suka berpesta pora dan bersenang-senang, sekali ini terpaksa menuruti kehendak kakaknya. Dalam perjamuan ini, Lim Kui Siang diperbolehkan ikut serta, disamping Yauw Siucai. Namun Jenderal Yauw Ti menolak hadir dengan alasan bahwa dia harus mengatur penjagaan keamanan di luar dan di dalam gedung.
Di luar gedung itu, ketika dua orang bangsawan itu sedang pesta pora, terjadi hal lain yang amat menarik hati. Sesosok bayangan berkelebat dan melakukan pengintaian dan penyelidikan, menyusup di antara penonton dan dengan hati-hati dia meneliti keadaan. Bayangan ini bukan lain adalah Sin Wan! Bagaimana pemuda ini dapat berada di tempat itu?
Seperti kita ketahui, Sin Wan meninggalkan rumah keluarga Bhok. Karena kini tidak mungkin lagi baginya untuk bekerja sama dengan Bhok Cun Ki setelah peristiwa dengan Bhok Ci Hwa, dia lalu bermalam di rumah penginapan dan baru pada keesokan harinya dia pergi menghadap Jenderal Shu Ta. Jenderal itu menerimanya dengan ramah dan ketika dia bertanya kepada Sin Wan akan maksud kunjungannya, pemuda itu mengatakan bahwa dia ingin bekerja sendiri, terlepas dari Bhok-ciangkun.
"Bekerja sama dengan Bhok-ciangkun membuat saya tidak leluasa bergerak, karena pihak musuh tentu akan dapat mengikuti gerak gerik saya sebagai pembantu Bhok-ciangkun. Akan tetapi, dengan bekerja sendiri, saya merasa lebih bebas dan dapat bergerak lebih leluasa. Saya ingin sekali dapat membongkar rahasia Si Kedok Hitam yang amat lihai itu, karena saya yakin bahwa dialah pemimpin jaringan mata-mata Mongol yang bergerak di kota raja, thai-ciangkun."
Jenderal Shu Ta mengangguk-angguk dan dapat menerima alasan itu.
"Akan tetapi sebelum engkau melanjutkan penyelidikanmu di kota raja, kini kami ingin menyerahkan sebuah tugas yang teramat penting, tai-hiap."
Jenderal besar itu lalu bercerita tentang undangan yang dilakukan Pangeran Mahkota untuk mengadakan pertemuan ramah tamah dengan Raja Muda Yung Lo yang akan diadakan di luar kota Cin-an. Dia menambahkan,
"Biarpun Pangeran Mahkota sudah dikawal oleh Jenderal Yauw Ti atas permintaan beliau, dan Jenderal Yauw tentu saja memimpin pasukan pengawal yang cukup kuat, namun hatiku merasa tidak enak. Peristiwa ini terjadi diluar tahu Sribaginda Kaisar, dan kami ingin sekali mengetahui apa yang menjadi latar belakang pertemuan tingkat tinggi yang agaknya dirahasiakan itu. Nah, kami beri tugas kepadamu untuk pergi ke Cin-an dan melakukan penyelidikan rahasia ini, tai-hiap. Syukur kalau engkau dapat mengetahui apa yang dibicarakan dua orang putera Sribaginda Kaisar yang keduanya memiliki kedudukan penting itu, dan setidaknya, harap engkau ikut menjaga agar keselamatan kedua orang pangeran itu terjamin."
Sin Wan menerima tugas itu dan dan maklum betapa pentingnya tugas yang diserahkan kepadanya, walaupun di anggapnya tidak terlalu gawat, karena bukankah Pangeran Mahkota telah dikawal oleh Jenderal Yauw Ti bersama pasukan pengawalnya yang kuat? Dan tentang Raja Muda Yung Lo..... tiba-tiba dia teringat dan menundukkan muka agar tidak nampak perubahan pada wajahnya oleh Jenderal Shu Ta.
Begitu teringat kepada Raja Muda Yung Lo, tiba-tiba saja diapun teringat bahwa Lim Kui Siang tentu telah menjadi pengawal pribadi raja muda itu! Tentu pertemuan penting yang membuat raja muda itu melakukan perjalanan jauh ke selatan, akan disertai pula oleh Kui Siang! Besar kemungkinannya di Cin-an dia akan bertemu dengan Kui Siang!
Bermacam perasaan mengaduk hatinya. Ada perasaan gembira karena dia merasa amat rindu kepada sumoinya yang dia cinta itu, ada pula perasaan tegang dan khawatir akan sikap sumoinya terhadap dirinya ketika mereka akan saling berpisah. Sumoinya itu sudah membencinya dan menganggap dia sebagai musuh. Perasaan gembira kini bercampur perasaan sedih.
Demikianlah, pada sore itu, ketika dua orang pangeran sedang mengadakan pesta dan cuaca di luar gedung sudah mulai remang-remang, Sin Wan yang baru tiba di Cin-an siang hari itu, segera mengadakan penelitian dan penyelidikan. Dia melihat betapa di sekitar kota Cin-an penuh dengan perajurit anak buah pasukan Jenderal Yauw Ti. Demikian pula di tempat pertemuan di luar kota, dekat sungai Kuning, berkeliaran perajurit pengawal, baik yang berpakaian seragam rnaupun yang berpakaian preman.
Melihat penjagaan ini, tentu saja Sin Wan merasa lega dan dia boleh bersantai saja karena siapa yang akan berani mengganggu keselamatan kedua orang pangeran yang terjaga ketat itu? Kini tugasnya adalah menyelidiki apa gerangan arti pertemuan itu, dan terselip pula keinginan pribadinya untuk melihat apakah Kui Siang ikut pula mengawal Raja Muda Yung Lo. Kalau sumoinya itu benar berada di situ, ingin dia bertemu dengannya, atau setidaknya dapat melihatnya.
Dengan kepandaiannya yang tinggi, tidak sukar bagi Sin Wan untuk menyelinap tanpa menimbulkan kecurigaan sehingga dia dapat mendekati gedung di mana kedua orang pangeran itu mengadakan pesta atas pertemuan mereka. Dari luar gedung terdengar suara musik dan nyanyian. Bahkan bau arak yang keras dan anggur yang harum tercium dari luar. Sin Wan menghela napas panjang. Dua orang kakak beradik bangsawan itu sedang berpesta pora, bergembira atas pertemuan di antara mereka.
Dan untuk pesta itu, begitu banyak perajurit pasukan keamanan dikerahkan untuk menjaga keamanan mereka. Bahkan dia sendiri mendapat tugas khusus dari Jenderal Shu Ta untuk menyelidiki, juga ikut menjamin keselamatan mereka. Nampaknya sungguh ganjil. Siapa sih yang begitu gila untuk berani mencoba melakukan gangguan terhadap kedua orang pangeran itu?
Tiba-tiba Sin Wan bergerak cepat, menyusup ke bawah pohon dan bersembunyi di balik semak yang tumbuh di belakang gedung itu karena dia melihat bayangan berkelebat cepat dari arah kiri. Betapa kagetnya ketika dia melihat bahwa bayangan itu adalah tokoh yang selama ini menjadi perhatiannya dan di cari-carinya. Si Kedok Hitam!
Mudah dikenal karena selain pakaian dan kedok hitamnya, juga tubuhnya yang tinggi besar dengan perut yang besar menggendut. Namun gerakannya amat ringan dan beberapa kali loncatan saja membuat tubuh yang tinggi besar itu berkelebatan dan lenyap ke arah barat, yaitu ke arah tepi sungai di mana terdapat sebuah hutan kecil. Sin Wan tadi sudah melakukan penyelidikan dan tahu bahwa di dalam hutan kecil itu terdapat pondok-pondok darurat yang dijadikan markas pasukan pengawal Pangeran Mahkota yang besar jumlahnya. Maka, diapun melakukan pengejaran.
Dia melihat bayangan Si Kedok Hitam, sebaliknya, begitu dia tiba di hutan itu, dia dihadang oleh belasan orang perajurit keamanan dari kota raja. Mereka mengepungnya dengan senjata tajam di tangan, siap menyerangnya.
"Tangkap mata-mata!"
"Tangkap penjahat!"
Teriakan-teriakan ini membuat Sin Wan maklum bahwa dia dalam bahaya, maka diapun cepat memperkenalkan diri.
"Sobat sekalian, harap jangan salah sangka. Aku adalah Sin Wan, seorang penyelidik dari kota raja yang diutus oleh Jenderal Shu Ta!"
Seorang perajurit berkumis tebal yang menjadi pemimpin mereka maju dan mencoba untuk mengamati wajah Sin Wan dalam cuaca yang mulai remang-remang.
"Hemm, apa buktinya bahwa engkau utusan Jenderal Shu Ta?"
Sin Wan hanya membawa leng-ki, yaitu bendera kecil tanda sebagai utusan kaisar. Akan tetapi dia menganggap bahwa tidak sepantasnya kalau berhadapan dengan pasukan penjaga ini dia harus memperlihatkan benda berharga itu.
"Jenderal Yauw Ti mengenalku, kalau kalian tidak percaya, boleh laporkan aku kepada beliau."
Dia memang harus menghadap jenderal itu untuk memperingatkan bahwa dia melihat Kedok Hitam di tempat ini, yang berarti bahwa ada mata-mata musuh yang amat berbahaya hadir pula di tempat pertemuan antara kedua orang pangeran itu dan berarti bahaya mungkin mengancam diri mereka.
Belasan orang perajurit itu ketika mendengar bahwa Sin Wan mengenal atasan mereka, tidak berani bersikap bengis lagi akan tetapi mereka tetap curiga dan mengawal pemuda itu dengan kepungan ketat untuk menghadapkannya kepada Jenderal Yauw Ti.
Melihat banyaknya perajurit di hutan itu, diam-diam Sin Wan merasa heran. Untuk mengawal Putera Mahkota, kenapa dikerahkan pasukan yang sedikitnya ada seratus orang banyaknya? Bukankah di Cin-an sendiri juga terdapat pasukan keamanan? Sungguh Jenderal Yauw Ti agak berlebih-lebihan, pikirnya. Atau memang jenderal itu sudah mencium adanya niat jahat dari jaringan mata-mata? Sebetulnya, dia segan untuk bertemu dengan Jenderal Yauw Ti. Biarpun jenderal itu adalah wakil Jenderal Shu Ta dan merupakan orang kepercayaan kaisar, namun dalam dua kali pertemuan, jenderal itu selalu memperlihatkan sikap memusuhinya.
Pertama, ketika dia memperkenalkan diri, Jenderal Yauw Ti sudah menghinanya sebagai seorang suku Uighur yang amat dibenci oleh jenderal itu karena dahulu pernah tertawan dan dimusuhi orang-orang Uighur. Kemudian dalam pertemuan kedua, jenderal itu bahkan menuduhnya menghina Putera Mahkota dan hendak menangkapnya. Dan kini terpaksa dia harus bertemu lagi dengan jenderal yang galak dan jujur itu. Benar saja seperti yang dia khawatirkan, begitu dia berhadapan dengan jenderal itu, Jenderal Yauw Ti memandang kepadanya dengan alis berkerut. Alisnya yang tebal bergerak naik turun, wajahnya yang galak itu nampak kemerahan dan tangannya yang berjari besar itu terkepal. Dia nampak marah sekali mendengar laporan kepala jaga bahwa pemuda ini nampak berkeliaran di dalam hutan dan mereka menangkapnya dan membawanya ke depan sang jenderal.
"Hemm, sejak dahulu sudah kuduga. Engkau pastilah anggauta kelompok mata-mata musuh! Kalau tidak demikian, mau apa engkau berkeliaran di sini dan memata-matai pasukan kami?"
"Maaf, tai-ciangkun. Saya bukan memata-matai pasukan pemerintah, sebaliknya saya membantu pemerintah karena saya berada di sini atas perintah Jenderal Shu Ta. Beliau yang mengutus saya untuk ikut membantu dan menjaga keamanan kedua orang pangeran yang sedang mengadakan pertemuan di sini."
"Tidak mungkin! Aku sendiri yang memimpin pasukan Pangeran Mahkota, masa Jenderal Shu Ta masih mengutus engkau untuk menjaga keamanan beliau? Kami tidak percaya! Sin Wan, engkau seorang Uighur, kami tidak percaya dan tetap curiga kepadamu. Engkau harus kami tahan dulu, dan kelak akan kami hadapkan kepada Sribaginda Kaisar untuk membuktikan apakah benar engkau mendapat kepercayaan Beliau atau leng-ki yang kaubawa itu hanya palsu. Tangkap dia dan jebloskan ke dalam kamar tahanan!"
"Jenderal Yauw Ti, apakah engkau akan menangkap seorang utusan Kaisar?" Sin Wan berseru sambil mengeluarkan leng-ki. Akan tetapi jenderal yang tinggi besar dan galak itu kini tidak memperdulikannya.
JILID 13
"Kami masih menghargaimu dan tidak langsung membunuhmu. Akan tetapi kalau engkau banyak tingkah, terpaksa kami akan membunuhmu. Masukkan dia ke dalam kamar tahanan, perlakukan sebagai tamu akan tetapi jaga ketat jangan sampai dia melarikan diri!"
Sin Wan tidak diberi kesempatan untuk membantah lagi karena para perajurit sudah memegang kedua lengan dan pundaknya dari belakang dan mendorongnya keluar dari situ. Dia tidak memberontak, maklum bahwa kalau dia menggunakan kekerasan, dia akan berhadapan dengan puluhan orang perajurit dan tentu saja dia tidak ingin berkelahi melawan pasukan pemerintah. Hanya dia diam-diam merasa heran mengapa jenderal ini demikian membencinya. Apakah hanya karena dia seorang berbangsa Uighur, atau ada sebab lain?
Untuk sementara ini, sebaiknya dia mengalah sambil melihat perkembangan selanjutnya. Dia hanya merasa penasaran karena tadi dia benar-benar melihat Si Kedok Hitam yang gendut itu memasuki hutan. Kenapa si gendut itu tidak tertangkap oleh penjaga, sebaliknya malah dia yang ditangkap? Apakah ada hubungan antara Si Kedok hitam dengan......? Ah, tidak mungkin sama sekali? Biarpun galak, keras dan mau menang sendiri, Jenderal Yauw Ti adalah wakil Jenderal Shu Ta dan dia merupakan seorang yang banyak jasanya bagi pemerintah, dan dipercaya pula oleh kaisar.
Sin Wan didorong masuk ke dalam sebuah kamar yang kokoh. Agaknya markas darurat ini dibangun dengan lengkap, berikut tempat tahanan pula! Di luar kamar tahanan itu, selosin orang perajurit melakukan penjagaan ketat. Sin Wan tak mampu berbuat apa-apa, hanya duduk di atas lantai penjara itu.
Kalau dia menggunakan kekerasan, sebetulnya tidaklah sukar untuk meloloskan diri sebelum terkepung, akan tetapi hal itu akan membuat dia menjadi pelarian dan dimusuhi pasukan pemerintah, bahkan tentu Jenderal Yauw Ti akan menjadi semakin curiga dan menganggap dia benar-benar mata-mata musuh! Untuk melarikan diri dan melapor kepada Jenderal Shu Ta, jarak dari situ ke Kota raja terlampau jauh. Tidak, dia harus bersabar dan mencari kesempatan melarikan diri tanpa menimbulkan perkelahian. Masih baik baginya bahwa pedangnya, yang dia sembunyikan di balik bajunya tidak dirampas, dan tak lama kemudian, seorang penjaga memasukkan makanan dan minuman melalui lubang di bahwa jendela beruji besi.
Sin Wan makan dan minum sampai kenyang untuk menjaga kesegaran dan kekuatan tubuhnya karena dia menghadapi keadaan yang gawat, lalu duduk bersila di sudut kamar. Dia mengambil keputusan untuk keluar dari situ dan melarikan diri tanpa menimbulkan keributan.
Tiba-tiba terdengar suara berdebukan di luar kamar tahanan itu. Dia cepat bangkit dan menghampiri jendela beruji untuk melihat keluar. Di bawah sinar penerangan lampu yang tergantung di luar, Sin Wan melihat betapa selosin orang yang tadinya berjaga di luar, kini telah roboh malang melintang. Agaknya mereka telah dirobohkan orang tanpa menimbulkan suara, entah dengan cara bagaimana. Selagi matanya mencari-cari, dia melihat bayangan berkelebat di luar kamar tahanan itu berdiri seorang yang mengenakan pakaian dan kedok serba hijau.
"Akim!" Sin Wan berkata lirih.
"Hemm, engkau masih ingat kepadaku?" Gadis berkedok itu berkata lirih seperti orang menegor atau mengejek.
"Bagaimana mungkin melupakan engkau, Akim? Engkau telah menolongku, dua kali malah dengan sekarang!"
"Sudah, jangan banyak cakap sekarang, mari kita lari!" kata gadis itu dan ia agaknya sudah merampas kunci dari kepala jaga, maka dengan mudah ia membuka pintu kamar tahanan tanpa harus menjebol dan menimbulkan banyak suara berisik. Inilah yang dikehendaki Sln Wan. Melarikan diri tanpa ribut-ribut agar dia tidak berkelahi dengan pasukan pemerintah.
Bagaikan dua ekor kucing saja, Sin Wan dan gadis berkedok yang bukan lain adalah Akim, menyelinap keluar dari tempat tahanan itu, meloncat ke atas membuka atap genteng dan lolos melalui atap tanpa diketahui oleh para penjaga lain yang berada di luar tempat tahanan itu.
Malam telah tiba dan cuaca di luar gelap sekali, hanya diterangi cahaya bintang yang lemah. Akan tetapi agaknya Akim sudah mengenal jalan.
"Mari kau ikuti aku, kita pergi dari hutan ini," bisiknya.
"Tapi, Akim......."
"Ssshh..., bukan waktunya bicara. Nanti saja," bisik lagi gadis itu dan iapun menyelinap di antara pondok-pondok dan pohon-pohon, lalu keluar dari dalam hutan kecil itu diikuti oleh Sin Wan yang merasa kagum kepada gadis ini. Puteri datuk besar di pantai Lautan Timur ini memang hebat, pikirnya.
Mirip Lili, akan tetapi biarpun sama anehnya, sama-sama penuh rahasia, kalau Lili wataknya keras dan galak, sebaliknya puteri datuk dari timur ini lebih halus.
Ternyata Akim mengajak Sin Wan ke tepi Huang-ho dan tak lama kemudian mereka duduk di balik semak belukar yang penuh duri, duduk di atas rumput tebal di tepi sungai, terlindung dan tidak nampak dari daratan. Dari situ hanya nampak sungai yang amat luas itu seperti lautan.
"Nah, Sekarang engkau boleh bicara, sambil menanti datangnya fajar, kata Akim yang sudah menanggalkan kedok hijaunya, kedok kain yang kini tergantung di lehernya. Ia duduk bersandar batu besar dan mereka saling pandang dalam cuaca remang-remang, hanya nampak garis bentuk wajah mereka saja.
"Akan tetapi, aku yang akan bicara dan bertanya lebih dahulu. Kenapa kalau kita bertemu, engkau menjadi tawanan melulu?"
Sin Wan tersenyum.
"Aku selalu menjadi tawanan yang tak berdaya dan engkau yang menjadi bintang penolongku. Memang aneh, agaknya memang engkau ditakdirkan untuk selalu menjadi penolongku, menjadi dewi penyelamatku."
"Hemm, jangan main-main, Sin Wan. Aku melihat perbedaan yang besar antara kedua peristiwa itu. Dahulu engkau dijebak dan ditawan orang berkedok hitam yang amat lihai itu, sedangkan sekarang ini, engkau ditawan seorang jenderal besar tanpa engkau melakukan perlawanan. Apa artinya semua ini? Kenapa engkau berada di sini dan kenapa pula engkau ditawan?"
Sin Wan tidak dapat mengelak dan memang dia merasa tidak perlu berbohong kepada gadis ini. Baru dua kali dia bertemu dan berkenalan dengan AKim, akan tetapi puteri datuk timur ini agaknya memang dapat dipercaya sepenuhnya. Oleh karena itu, dengan berbisik diapun menceritakan dengan terus terang betapa dia menerima tugas dari Jenderal Shu Ta untuk menyelidiki pertemuan antara kedua pangeran itu dan juga membantu agar keamanan kedua orang pangeran penting itu terjamin.
"Dan kautahu siapa yang kujumpai sore tadi?" Dia menutup ceritanya.
"Aku melihat Si Kedok Hitam!"
"Ehhh? Di sini?" Akim berseru heran.
"Ya, di tempat pertemuan itu, aku membayanginya dan dia lenyap ketika menuju ke hutan itu. Karena aku mengira dia memasuki hutan, aku lalu mengejar ke dalam hutan dan aku bertemu dengan para perajurit anak buah Jenderal Yauw Ti yang menangkapku dan menghadapkan kepada jenderal itu. Jenderal Yauw Ti marah dan mencurigaiku, maka dia lalu menyuruh anak buahnya menahanku."
"Dan engkau tidak melawan sama sekali?"
"Tentu saja tidak mungkin aku memusuhi perajurit keamanan kerajaan. Sudah kuberitahukan kepadanya bahwa aku diutus Jenderal Shu Ta, akan tetapi dia tidak percaya dan memang dia membenciku."
"Kenapa?"
"Pernah dahulu dia ditawan oleh suku yang memusuhinya, yaitu suku Uighur, maka dia membenci suku bangsa itu, dan karena aku adalah orang, maka dia agaknya juga membenciku."
"Hemm, kiranya engkau berbangsa Uighur?" tanya Akim.
Sin Wan merasa perutnya panas, karena dia teringat akan sikap Kui Siang dan Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki yang menjauhinya karena dia seorang peranakan Uighur dan putera tiri Se Jit Kong.
"Aku memang seorang peranakan Uighur, bukan pribumi asli. Lalu kenapa?"
Mendengar ucapan yang nadanya ketus itu, Akim terbelalak, akan tetapi Sin Wan tidak dapat melihat mata yang terbelalak itu. Dia menunduk dan bersungut, siap mendengar yang paling buruk, mendengar bahwa gadis inipun akan berubah sikapnya mendengar dia seorang peranakan Uighur.
Akan tetapi Akim tertawa, merdu akan tetapi lembut dan ditahan karena gadis inipun menjaga diri agar suaranya tidak terlalu nyaring sehingga akan terdengar orang lain.
"Hi-hik, kenapa engkau marah-marah, Sin Wan? Engkau tidak senang menjadi seorang peranakan Uighur?"
"Memang tidak enak, bukan tidak senang. Semua orang mencibirkan bibir dan menaikkan hidung mendengar aku seorang peranakan Uighur, bukan penduduk asli bangsa Han. Nah, kalau engkau tidak senang kepadaku, katakan saja, aku sudah terbiasa mendengar itu."
Mendengar suara merajuk itu, Akim semakin geli.
"Hi-hik, engkau lucu. Siapa yang tidak suka mendengar engkau peranakan asing? Aku sendiripun peranakan Jepang! Apa sih jeleknya peranakan? Apa sih salahnya? Kita dahulu tidak minta kepada Tuhan untuk dilahirkan sebagai peranakan, sebagai keturunan bangsa ini atau itu!"
"Bagus, kalau engkau juga peranakan dan tidak membenciku, berarti aku mempunyai orang senasib. Tentu saja tidak semua orang membenci golongan seperti kita ini, akan tetapi ada saja yang beranggapan bahwa orang-orang seperti kita ini tidak asli, dan yang tidak asli itu apa lagi kalau bukan palsu?"
"Aih, aihh...".. jangan merendahkan diri seperti itu, Sin Wan. Kukira hanya perasaanmu sendiri saja demikian, dan kalaupun benar ada yang mempunyai anggapan seperti yang kaukatakan itu, maka anggapan itu berada dalam pikiran orang-orang yang belum mengerti."
"Sudahlah, tidak perlu kita bicara tentang hal-hal yang tidak mengenakkan hati kita itu. Apapun anggapan orang terhadap diriku, akan kubuktikan bahwa aku adalah orang yang berguna bagi negara dan bangsa Han karena aku dibesarkan sebagai orang Han, bahkan merasa asing dengan bangsa Uighur yang menurunkan diriku. Nah, sekarang engkau mendapat giliran menceritakan mengapa engkau juga berkeliaran di tempat ini, Akim? Dan..."".. haiiiii, baru aku ingat. Mengapa kalau aku bertemu Si Kedok Hitam, selalu muncul engkau Si Kedok Hijau?"
"Apa? Ihh, sialan! Kaukira aku ini ekor Si Kedok Hitam?"
"Maaf, Akim, aku hanya berkelakar. Nah, ceritakan bagaimana engkau dapat mengetahui aku berada dalam tahanan dan dapat membebaskan aku."
"Jangan mengejek. Kalau engkau menghendaki, tentu engkau dapat nembebaskan diri dari sana. Sebetulnya, aku tidak mempunyai urusan denganmu, juga tidak mempunyai urusan dengan Pangeran Mahkota atau Raja Muda Yung Lo, atau dengan Si Kedok Hitam sekalipun. Aku tidak perduli semua itu. Aku kebetulan saja berada di sini, bahkan kebetulan saja ketika berada di kota raja. Aku membayangi dan mencari ayahku."
"Hemm, dan engkau menemukan jejak ayahmu menuju ke sini?" Sin Wan bertanya dan merasa tertarik sekali.
Akim menghela napas panjang.
"Karena engkau sudah bicara jujur kepadaku, akupun akan bersikap jujur. Sebetulnya, aku membayangi ayahku karena khawatir kalau dia sampai terpikat oleh orang-orang Mongol. Ketahuilah, utusan orang-orang Mongol mendatangi ayah dan menawarkan kerja-sama dengan janji-janji muluk sehingga ayah tertarik. Dia pergi memenuhi undangan mereka bersama suhengku, Maniyoko."
"Maniyoko......! Hemm, pernah aku bertemu dengan dia, bahkan bertanding melawan dia ketika terjadi perebutan kedudukan pemimpin besar para kai-pang. Dia lihai akan tetapi..." hemm...". curang dan kejam."
"Aku tidak marah. Memang dia curang dan kejam, dan akupun tidak suka kepada suhengku itu. Nah, ayah bersama Maniyoko pergi memenuhi undangan orang-orang Mongol, maka aku atas desakan ibuku yang menentang sikap ayah itu menyusul untuk membujuk ayah dan bahkan menghalangi dia menjadi kaki tangan orang Mongol. Jejaknya menuju ke kota raja, bahkan menuju ke Cin-an, maka akupun mengejar ke sini. Ketika mendengar akan pertemuan antara kedua orang pangeran, aku merasa khawatir sekali.
Siapa tahu orang-orang Mongol akan mencelakai kedua orang bangsawan itu, dan ibu sama sekali tidak ingin melihat ayah membantu pemberontakan, apa lagi pemberontakan itu dilakukan oleh bangsa Mongol yang hendak mendirikan kembali pemerintah penjajah. Aku lalu melakukan penyelidikan dan kebetulan melihat engkau dimasukkan tempat tahanan itu, maka aku lalu membebaskanmu."
"Akan tetapi, bagaimana engkau dapat merobohkan belasan orang penjaga itu tanpa menimbulkan suara ribut sama sekali?"
Gadis itu tersenyum dan menepuk-nepuk saku di balik bajunya.
"Aku melihat mereka sedang minum arak. Aku berhasil menaburkan sedikit bubuk pembius dan begitu mereka minum lagi arak mereka, seorang demi seorang roboh tanpa mengeluarkan suara."
Sin Wan tersenyum kagum dan merasa lega bahwa gadis itu tidak ganas, tidak melakukan pembunuhan semena-mena.
"Engkau hebat, Akim, cerdik bukan main. Ada satu hal yang ingin kutanyakan kepadamu. Ketika kita berdua menyaksikan pertandingan antara panglima Bhok Cun Ki dengan ibu dan anak itu, kenapa engkau tahu-tahu menghilang, pergi meninggalkan aku tanpa pamit?"
Yang ditanya menundukkan mukanya dan sampai beberapa lama ia tidak menjawab.
"Kenapa, Akim?" Sin Wan mengulang, penasaran.
Didesak pertanyaan ulang itu, Akim mengangkat muka memandang, lalu menjawab dengan pertanyaan lain.
"Sin Wan, apakah gadis yang hampir membunuh ayah kandungnya itu, yang menggunakan pedang sinar putih itu, apakah ia itu kekasihmu, tunangan atau calon isterimu?"
Tentu saja Sin Wan tertegun heran, sama sekali tidak mengira akan mendapat pertanyaan seperti itu. Dia menggeleng kepala dan menjawab singkat.
"Bukan!"
"Apakah engkau mencinta gadis itu?"
Sin Wan semakin heran dan kembali menggeleng kepala.
"Tidak, kenapa engkau bertanya demikian dan apa hubungannya dengan pertanyaanku kepadamu tadi?"
"Dekat sekali hubungannya. Aku ketika itu melarikan diri tanpa pamit karena aku cemburu!"
Sin Wan terbelalak, dan mulutnya ternganga saking kaget dan herannya.
"Kau...".. cemburu? Kenapa cemburu..."...?"
"Gadis itu bersikap demikian mesra kepadamu. Jelas sekali nampak bahwa ia mencintamu, Sin Wan. Aku.... aku mengira bahwa engkaupun cinta padanya.
Sin Wan menjadi semakin heran. Sepasang matanya sampai menjadi bulat karena terbelalak.
"Apa artinya ini? Aku menjadi bingung. Aku memang tidak mencinta Lili, akan tetapi andai kata aku mencinta juga, apa hubungannya denganmu? Dan kenapa pula engkau cemburu?"
Gadis itu mengeluarkan suara dengus ejekan.
"Huh, engkau ini laki-laki tolol. Aku tentu saja cemburu melihat sikap gadis itu begitu mesra kepadamu karena aku cinta padamu, Sin Wan!"
Ini merupakan pukulan yang membuat Sin Wan seperti berubah menjadi patung. Dia duduk tegak, matanya terbelalak memandang gadis itu, sedikitpun tidak bergerak dan ketika hendak bicara, tidak ada kata-kata keluar dari mulutnya. Bukan main! Dahulu, ketika Lili dengan cara yang jujur dan terbuka menyatakan cinta kepadanya, dia mengira bahwa di dunia ini hanya ada seorang saja gadis seperti Lili. Akan tetapi sekarang, ada gadis lain yang mengaku cinta padanya dengan cara yang sama, begitu terus terang, terbuka dan tanpa pura-pura lagi.
"Sin Wan, kenapa kau diam saja? Aku cinta padamu, dan bagaimana pendapatmu tentang ini?"
"Aku...". aku..."" tapi...""""
"Sin Wan, apakah engkau tidak suka kepadaku? Katakan terus terang, apakah engkau tidak suka padaku?"
"Tentu saja, Akim. Aku kagum kepadamu, aku suka padamu tapi..."""
"Sin Wan, itupun sudah cukup!" Akim berseru gembira dan gadis itu sudah mendekat lalu merangkul leher Sin Wan dan merebahkan mukanya di dada pemuda itu.
"Asal engkau tidak membenciku, asal engkau suka kepadaku, maka cintaku tidak sia-sia dan....."
"Akim, bagaimana sih engkau ini? Bagaimana begitu mudahnya engkau mengaku cinta, pada hal baru dua kali kita saling jumpa?"
"Sin Wan, dalam perjumpaan kita yang pertama, sejak aku meniupkan napas ke dalam dadamu melalui mulutmu, sejak saat itulah aku telah jatuh cinta padamu. Karena itu, melihat Lili bersikap demikian mesra kepadamu, tentu saja aku merasa cemburu dan sakit hati, lalu aku pergi meninggalkanmu. Biarpun aku mencintamu, aku belum begitu rendah untuk merebut pacar orang. Maka aku tadi bertanya apakah engkau mencintanya, karena kalau engkau mencinta gadis lain, tentu aku tidak akan sudi mengganggumu. Engkau ternyata tidak mencinta Lili, ah, betapa lega dan gembira rasa hatiku sekarang!"
Gadis itu merangkul semakin ketat dan seolah hendak membenamkan mukanya ke dada Sin Wan. Pemuda itu tentu saja menjadi bingung dan salah tingkah. Ingin dia menolak, akan tetapi hatinya merasa tidak tega. Dia maklum bahwa dia akan menghancurkan hati gadis ini kalau menolak begitu saja secara langsung. Tidak, dia harus bicara perlahan menyadarkan Akim bahwa cintanya itu tidak dapat dilanjutkan karena dia tidak dapat membalasnya. Akan tetapi karena merasa tidak tega, diapun membiarkan saja sejenak gadis itu melepaskan dan mencurahkan perasaannya melalui dekapan ketat itu.
Kemudian, dengan lembut, dia melepaskan kedua lengan Akim yang merangkul lehernya, dan berbisik lirih,
"Akim, tenanglah dan mari kita bicara dengan baik-baik. Jangan terlalu menuruti perasaan hatimu, Akim."
Akan tetapi, betapa heran rasa hatinya ketika merasa betapa tubuh gadis itu lemas lunglai dan terkulai ketika dia melepaskan rangkulan kedua lengannya. Dengan hati-hati dia merangkul dan ternyata gadis itu telah tertidur! Entah apa yang terjadi dia tidak tahu. Mungkin gadis itu terlalu lelah dan karena pelepasan perasaannya, gadis itupun terkulai dan tertidur, mungkin dengan mimpi yang indah! Sin Wan tersenyum geli, lalu perlahan-lahan dia merebahkan gadis itu di atas rumput, kemudian dia melepaskan jubahnya dan menyelimuti tubuh yang rebah telentang dan tidur pulas itu.
Bulan sepotong muncul dan kini cuaca tidaklah segelap tadi. Seberkas cahaya lembut bulan sepotong membantu cahaya bintang menimpa wajah Akim. Sin Wan yang duduk di dekatnya, dapat melihat wajah itu dengan cukup jelas. Wajah yang cantik memang. Kecantikan yang berlainan dengan kecantikan wajah Lili, atau wajah Bhok Ci Hwa. Akan tetapi tidak kalah manis dan menariknya. Wajah yang bentuknya bundar dengan kulit muka yang putih mulus sehingga nampak alis dan rambutnya yang hitam. Bibir yang mungil itu tersenyum, agak terbuka sehingga nampak kilatan gigi putih. Ouwyang Kim memang seorang gadis yang cantik menarik. Dan lebih dari itu, seperti juga Lili dan Ci Hwa, gadis ini mencintanya!
Sin Wan menghela napas panjang karena perlahan-lahan, wajah Akim seperti berubah dan nampaklah wajah yang selalu terbayang baik dalam tidur maupun sadar, yaitu wajah Liem Kui Siang!
"Sumoi...".!" Sin Wan menghela napas panjang. Cintanya hanya pada Kui Siang seorang. Andaikata di sana tidak ada Kui Siang yang telah menguasai seluruh ruang dalam dadanya, betapa akan mudahnya untuk membalas cinta gadis-gadis seperti Lili, Ci Hwa atau Akim ini!
Sin Wan membiarkan bayangan Kui Siang memenuhi kepala dan dadanya, lalu diapun duduk bersamadhi untuk menenangkan hati dan memulihkan tenaga karena dia tahu bahwa mereka berdua masih belum bebas benar dari ancaman pengejaran pasukan keamanan. Apalagi dia masih harus menyelidiki tentang Si Kedok Hitam yang dilihatnya berkeliaran di sekitar Cin-an.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Akim sudah terbangun. Begitu ia membuka mulut, ia memanggil,
"Sin Wan..."." walaupun matanya masih terpejam. Agaknya gadis itu semalam suntuk bermimpi tentang Sin Wan!
"Selamat pagi, Akim," kata Sin Wan dan gadis itu membuka kedua matanya, memandang kepada pemuda itu dan tersenyum manis.
"Aih, Sin Wan, lamakah aku tertidur? Wah, sudah pagi!" Gadis itu biarpun baru bangun tidur, nampak segar seperti setangkai bunga pagi yang bermandikan embun.
"Di sana ada sumber air yang jernih, aku ke sana dulu!" Gadis itu menyelinap keluar dari balik semak belukar, tidak lupa membawa pedangnya dan topeng hijau masih tergantung di lehernya. Ia menoleh dan tersenyum manis.
"Sin Wan, kau tunggu di sini sebentar, ya? Nanti setelah aku selesai, baru engkau ke sana membersihkan dan menyegarkan badan."
"Kenapa kita tidak pergi bersama saja, Akim?" kata Sin Wan yang merasa khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu dengan gadis itu.
Kini wajah itu berubah kemerahan dan sepasang mata yang indah itu mengerling tajam, senyumnya dikulum.
"Ihh! Tidak malukah engkau berkata demikian? Bagaimana mungkin kita mandi berbareng? Kita belum menikah!" Setelah berkata demikian, sambil tertawa terkekeh gadis itupun menyelinap pergi, tidak memberi kesempatan kepada Sin Wan untuk menjawab.
Tidak nyaman rasa hati Sin Wan menanti seorang diri di balik semak belukar itu. Akhirnya, setelah menanti agak lama dan menurut perkiraannya tentu Akim sudah selesai mandi, diapun keluar dari balik semak belukar dengan hati-hati. Dia tadi melihat Akim pergi ke arah kanan, maka diapun pergi ke sana.
Belum jauh dia berjalan, tiba-tiba dia mendengar suara senjata tajam beradu di sebelah depan. Sin Wan segera meloncat dan berlari cepat ke arah suara itu dan ketika dia tiba di balik rumpun tebal, dia melihat Akim yang kini sudah mengenakan topeng hijaunya sedang bertanding pedang melawan seorang laki-laki tinggi besar berperut gendut yang mengenakan kedok pula. Si Kedok Hitam!
Sin Wan terkejut, akan tetapi juga girang karena kini dapat menemukan tokoh yang selalu menghilang dengan rahasia itu, tokoh yang memang dia cari-cari. Dia maklum akan kelihaian Si Kedok Hitam itu dan kini Akim juga sudah mulai terdesak walaupun puteri datuk timur itupun bukan seorang lawan yang lemah. Pedang yang berada di tangan gadis itu berubah menjadi gulungan sinar yang berkilauan lembut dan mengandung hawa dingin.
Akan tetapi, Si Kedok Hitam yang memegang sebatang pedang pendek, hanya menggunakan pedangnya untuk menangkis sambaran sinar dari gulungan pedang Akim, sedangkan tangan kirinya melakukan totokan-totokan yang membuat Akim terdesak karena totokan itu amat berbahaya. Jari tangan kiri Si Kedok Hitam yang menotok itu mengeluarkan bunyi bercuitan, seolah jari telunjuk yang menotok itu menjadi sebatang senjata runcing yang amat dahsyat.
Maklum bahwa Akim terancam bahaya, Sin Wan mengeluarkan bentakan nyaring dan diapun sudah melompat ke depan sambil menggerakkan pedangnya, pedang yang tumpul dan buruk, akan tetapi begitu pedang itu bertemu dengan pedang pendek di tangan Si Kedok Hitam, orang tinggi besar gendut itu terpental ke belakang. Dia mengeluarkan suara gerengan marah, apalagi ketika mengenal Sin Wan sebagai pemuda yang beberapa kali telah menggagalkan pekerjaannya bahkan merupakan halangan besar.
"Bagus, kau datang mengantar nyawa!" bentak Si Kedok Hitam dan agaknya mulutnya menggigit sesuatu sehingga suaranya menjadi aneh, bukan seperti suara manusia biasa. Setelah mengeluarkan gerengan, Si Kedok Hitam sudah menyerang dengan pedang pendeknya, tubuhnya berpusing amat cepatnya sehingga mengejutkan Sin Wan.
"Wut..wut..wutt.... cinggg " berulang kali pedang pendek itu menyambar, mencuat dari gulungan sinar gulungan sinar pedang, namun Sin Wan dapat mengelak atau menangkis, lalu membalas dengan gerakan pedangnya yang amat tangguh.
"Cring..cring..tranggg.....!!" Bunga api berpijar-pijar dan Si Kedok Hitam mengeluarkan gerengan marah ketika melihat betapa mata pedang pendeknya patah ketika beberapa kali bertemu pedang tumpul di tangan Sin Wan.
Kini putaran tubuhnya semakin hebat sehingga sukar dilihat bentuk tubuhnya, seperti benda berpusing dan menerjang ke arah Sin Wan.
Menghadapi serangan yang amat dahsyat dan aneh ini, Sin Wan segera memainkan Sam-sian Sin-ciang, ilmu andalannya yang merupakan gabungan dari semua ilmu ketiga orang gurunya. Karena ilmu ini mengandung daya tahan yang kokoh kuat, maka dia mampu menahan terjangan lawan sehingga terjadilah saling serang yang amat hebat. Kilatan kedua pedang mereka menyambar-nyambar ganas dan lengah sedikit saja cukup untuk kehilangan nyawa.
"Cuinggg.....!" Sinar pedang Si Kedok Hitam mencuat dan meluncur ke arah leher Sin Wan. Pemuda ini meloncat ke samping untuk mengelak. Tubuh Si Kedok Hitam sudah berputar beberapa kali dan pedangnya klni menyambar dengan bacokan ke arah pundak kanan Sin Wan.
Kembali Sin Wan mengelak ke samping, akan tetapi dengan membentuk sinar bergulung, pedang pendek yang kehilangan sasaran itu melayang dengan gerakan melengkung dan kini membacok dari atas ke arah kepala Sin Wan. Pemuda ini merasa kewalahan juga menghadapi serangan bertubi yang membuat dia sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk membalas. Kini melihat pedang lawan membacok dari atas, meluncur ke bawah agaknya hendak membelah kepalanya menjadi dua, diapun cepat menggerakkan pedang tumpul dan mengerahkan sin-kang.
"Trakkk!" Dua batang pedang bertemu di udara dan pedang tumpul itu seperti memiliki tenaga magnit yang amat kuat, menempel pedang pendek sehingga pedang itu tidak dapat terlepas. Si Kedok Hitam marah dan penasaran, mengerahkan tenaga untuk melepaskan pedangnya dan pada saat itu, nampak sinar lembut berkelebat menyambar dan ternyata Ouwyang Kim sudah membantu Sin Wan dan menusuk ke arah perut yang gendut itu!
Pada saat itu, Si Kedok Hitam sedang mengadu tenaga dengan Sin Wan sehingga seluruh tubuhnya digetarkan oleh tenaga dahsyat. Kalau orang biasa yang menusuknya, maka terkena getaran tenaga itu, si penusuk tentu akan celaka sendiri. Akan tetapi, yang melakukan tusukan adalah Ouwyang Kim, puteri Tung-hai-liong (Naga Lautan Timur) Ouwyang Cin, maka tentu saja ia bukan lawan biasa, melainkan seorang gadis yang amat lihai dan telah memiliki tenaga sin-kang yang hebat pula. Tusukannya itu amat cepat, tidak mungkin dapat dielakkan lagi oleh Si Kedok Hitam yang seolah-olah sedang melekat kepada Sin Wan melalui pedang mereka.
"Crottt!!" Sebagian dari ujung pedang di tangan Akim menusuk dan terbenam ke dalam perut gendut Si Kedok Hitam! Melihat ini, Sin Wan melepaskan lekatan pedangnya dan melompat ke belakang karena dia melihat betapa Si Kedok Hitam tidak nampak terkejut, bahkan tersenyum mengejek!
Akim juga terkejut dan cepat menarik kembali pedangnya. Si Kedok Hitam sama sekali tidak mengeluh, juga dari perut gendut yang tertutup baju itu tidak kelihatan darah, agaknya dia tidak merasa sakit sama sekali, bahkan kini tubuhnya berpusing lagi menyerang ke arah Akim, pedangnya bergulung-gulung dengan dahsyatnya, membuat Akim yang masih terkejut dan gentar melihat lawan itu sama sekali tidak terluka apalagi roboh terkena tusukan pedangnya, kini menjadi terdesak hebat dan terpaksa ia memutar Goat-im-kiam (Pedang Tenaga Bulan) untuk menjadi perisai melindungi dirinya. Namun ia terdesak dan mundur.
Sin Wan hendak maju membantu Akim, akan tetapi pada saat itu muncul lima orang, kesemuanya berkedok beraneka warna, menggunakan senjata mereka mengeroyok Sin Wan. Rata-rata lima orang itu memiliki kepandaian yang tinggi sehingga Sin Wan harus mencurahkan perhatiannya terhadap pengeroyokan mereka dan tidak dapat membantu Akim yang terus didesak oleh Si Kedok Hitam.
Sebetulnya, tingkat kepandaian Ouwyang Kim sudah cukup tinggi sehingga walaupun ia masih belum mampu mengatasi kepandaian Si Kedok Hitam, akan tekapi agaknya tidak terlalu mudah bagi Si Kedok Hitam untuk merobohkannya. Akan tetapi, hati gadis ini masih terkejut dan agak gentar melihat kehebatan lawan. Ia mengenal banyak ilmu, bahkan ia sendiri pernah mempelajari ilmu kebal. Kalau tubuh Si Kedok Hitam mampu melawan tusukan senjata tajam biasa, ia tidak akan merasa heran.
Akan tetapi, lawan ini mampu menerima tusukan Goat-Im-kiam! Dan bukan merupakan kekebalan biasa yang membuat kulitnya tidak dapat ditembus melainkan kekebalan yang aneh. Pedangnya sudah memasuki perut, akan tetapi orang itu tidak terluka, bahkan tidak mengeluarkan darah. Inilah yang membuat hatinya menjadi kecil dan gerakannya kacau, apalagi Si Kedok Hitam menyerangnya sambil berpusing seperti gasing.
"Trang-trang...".!!" Untuk ke sekian kalinya, pedang Goat-im-kiam di tangan Akim hanya mampu menangkis, akan tetapi tiba-tiba dari pusingan tubuh gendut itu, jari tangan kiri Si Kedok Hitam mencuat dan tiba-tiba saja Akim terkulai karena ia sudah terkena totokan yang amat lihai, dari ilmu It-tok-ci (Jari Tunggal Beracun). Pedang Goat-im-kiam terlepas dari tangannya dan dilain saat tubuh Akim sudah disambar dan dipanggul oleh Si Kedok Hitam.
Sin Wan terkejut sekali dan marah. Dia mengeluarkan seruan panjang dan pedang tumpul di tangannya membuat sinar melengkung. Dua di antara lima orang pengeroyoknya terpaksa melepaskan senjata mereka dan dua orang lagi terpelanting ke kanan kiri. Sin Wan meninggalkan mereka untuk mengejar, akan tetapi dia melihat Si Kedok Hitam itu lari ke tepi sungai sambil memondong tubuh Akim, lalu tiba-tiba orang itu meloncat ke bawah! Sin Wan terkejut dan cepat meloncat ke tepi sungai. Kiranya Si Kedok Hitam yang menawan Akim itu meloncat ke sebuah perahu kecil yang agaknya memang sudah dipersiapkan di sana. Kini, Si Kedok Hitam melepaskan tubuh Akim yang rebah miring ke dalam perahu sedangkan dia sendiri cepat mendayung perahu ke tengah.
Sin Wan yang termangu dan pada detik itu dia teringat akan lima orang pengeroyoknya tadi. Dia harus dapat menangkap seorang di antara mereka untuk memaksanya memberitahu siapa adanya Si Kedok Hitam dan di mana sarangnya agar dia dapat menolong Akim yang tertawan. Akan tetapi ketika dia menengok, dia melihat lima orang itu lari menghampiri tepi sungai. Dia mengejar akan tetapi mereka berloncatan ke bawah. Terdengar suara berdeburnya air dan ketika dia menjenguk ke bawah, lima orang itu bagaikan ikan-ikan saja, berenang dengan cepatnya menuju ke tengah sungai di mana sudah terdapat sebuah perahu lain yang menanti, didayung seorang yang berkedok pula. Mereka naik ke perahu itu dan segera mendayung perahu ke tengah. Mereka lenyap, seperti juga Si Kedok Hitam yang menawan Akim!
Sin Wan mengepal tinju, lalu dia memungut pedang Goat-im-kiam milik Akim, lalu menyimpannya. Bagaimanapun juga, dia harus dapat menolong Akim! Sin Wan lalu menyusuri tepi sungai untuk menyewa perahu, agar dia dapat mulai mencari. Akim yang dilarikan orang dengan perahu ke tengah sungai.
"Yang Mulia Pangeran, bagaimanapun juga, hamba merasa curiga sekali terhadap semua ini dan hamba mengharapkan kewaspadaan paduka agar jangan sampai terjadi sesuatu yang hanya mendatangkan penyesalan yang sudah terlambat." Demikian antara lain Liem Kui Siang membujuk Raja Muda Yung Lo ketika akhirnya mereka dapat bicara empat mata saja setelah pesta malam itu usai.
Kalau tadinya Raja Muda Yung Lo hanya tersenyum saja dan menganggap kekhawatiran pengawal pribadinya itu kekanak-kanakan, kini pandang matanya berubah dan sikapnya bersungguh-sungguh.
"Benarkah engkau mencurigai kakakku, Pangeran Mahkota yang mengundangku ke sini, Kui Siang?"
"Pangeran, kecurigaan hamba bukan hanya ngawur belaka, melainkan berdasarkan pemikiran yang mendalam melihat keadaan yang tidak wajar. Pertama, kalau Pangeran Mahkota mengundang paduka, kenapa tidak di kota raja? Ke dua, kenapa pula pertemuan diadakan di tempat yang sepi ini? Ke tiga, Pangeran Mahkota membawa pasukan yang dipimpin sendiri oleh Jenderal Besar Yauw Ti, seolah-olah hendak perang atau pamer kekuatan. Lalu ke empat, selama pertemuan antara paduka dengan Pangeran Mahkota, menurut pengamatan hamba, tidak pernah terjadi percakapan yang penting, hanya basa-basi biasa saja sehingga pertemuan itu sungguh tidak sepadan dengan perjalanan yang demikian jauhnya. Juga hamba mencurigai sastrawan yang tak pernah terpisah dari Pangeran Mahkota itu, Pangeran. Pandang matanya bukan pandang mata orang biasa dan dia dapat menjadi lawan yang berbahaya."
Raja Muda Yung Lo mengangguk-angguk.
"Bagus, engkau sungguh mengagumkan sekali, Kui Siang. Tidak keliru pilihanku dan menjadikan engkau sebagai pengawal pribadi. Engkau waspada dan wawasanmu jauh dan tepat. Kecurigaanmu berdasar dan tidak ngawur, atas dasar nalurimu yang tajam. Lalu menurut pendapatmu, bagaimana baiknya?" Pandang mata pangeran yang menjadi raja muda itu bersinar, penuh rasa bangga dan gembira. Sayang, katanya dalam hati, gadis ini tidak membalas cintanya!
"Maaf, Pangeran. Kalau menurut pendapat hamba, sebaiknya paduka menolak undangan untuk berpesta di atas perahu besok pagi, dan lebih baik segera kembali saja ke utara."
Raja Muda Yung Lo mengelus jenggotnya yang terpelihara rapi sambil tersenyum dan berkata,
"Bagaimana mungkin, Kui Siang? Kalau aku melakukan seperti apa yang kau usulkan, tentu kakanda Pangeran Mahkota akan tersinggung dan kalau dia melapor kepada ayahanda Kaisar, tentu aku akan mendapat teguran. Apakah yang kau khawatirkan? Tidak mungkin kakanda Pangeran hendak mencelakakan aku."
"Yang hamba khawatirkan bukan dari Yang Mulia Pangeran Mahkota, melainkan dari pihak ketiga yang mempergunakan kesempatan ini untuk mencelakai paduka. Lupakah paduka akan penyerangan terhadap diri paduka di istana yang di lakukan oleh orang-orang Mongol? Menurut hamba, kesempatan ini amat baik bagi orang-orang Mongol yang hendak mencelakakan paduka atau Pangeran Mahkota. Paduka hanya membawa sedikit pasukan pengawal, bagaimana kalau terjadi penyerangan besar-besaran di sini? Walaupun hamba akan membela paduka dengan taruhan nyawapun, apa artinya kalau pihak musuh terlalu kuat dan semua perlawanan kita akan gagal?"
Tiba-tiba Raja Muda Yung Lo tertawa bergelak sehingga mengherankan hati Kui Siang.
"Ha..ha..ha..ha, Kui Siang. Agaknya engkau terlalu memandang rendah kepadaku. Ingat, aku adalah seorang panglima perang yang sudah banyak pengalaman, dan tidak akan mudah dikelabui dan ditipu musuh begitu saja, ha..ha..ha!"
"Apa maksud paduka, Pangeran?" Kui Siang memandang heran.
"Ha..ha, kaulihat sendiri saja dan kau akan mengerti!" Setelah berkata demikian, Raja Muda Yung Lo menuju ke pintu, membuka daun pintu dan memberi isyarat kepada seorang di antara perajurit pengawalnya lalu membisikkan sesuatu setelah perajurit itu mendekat. Tak lama kemudian, daun pintu diketuk orang dari luar.
"Gan-ciangkun, masuklah," kata Raja Muda Yung Lo.
Daun pintu terbuka dan masuklah laki-laki berusia limapuluhan tahun dan biarpun tubuhnya tinggi kurus, namun sikapnya tegak dan berwibawa, juga gagah. Melihat orang ini, Kui Siang memandang heran. Dia tahu bahwa orang ini adalah Panglima Gan, seorang di antara para panglima kepercayaan Raja Muda Yung Lo. Setahunya, panglima ini tidak ikut dalam pasukan pengawal, bagaimana sekarang tiba-tiba dapat dipanggil masuk?
Setelah panglima itu memberi hormat dan dipersilakan duduk, Raja Muda Yung Lo berkata,
"Bagaimana, ciangkun. Apakah pasukanmu sudah siap dan berapa jumlahnya yang kau kerahkan?"
"Semua sudah siap tinggal menanti perintah paduka. Hamba sudah mempersiapkan tigaratus orang perajurit yang memasang barisan pendam di luar kota Cin-an."
"Bagus! Nah, malam ini juga kau kerahkan pasukanmu untuk mengepung bagian sungai yang besok pagi akan dijadikan tempat pesta. Siapkan pengepungan di tepi dan juga perahu-perahunya. Begitu ada gejala tidak beres, kalau ada kelompok orang hendak mengacaukan pesta, serbu saja dan tangkap. Engkau sudah mengerti jelas apa yang kumaksudkan, Gan-ciangkun?"
Panglima tinggi kurus itu bangkit berdiri dan memberi hormat.
"Hamba mengerti dan siap melaksanakan perintah paduka!"
"Nah, kerjakan sekarang juga."
Setelah panglima Gan pergi, barulah Kui Siang dapat bicara dengan suara yang gembira dan penuh kagum.
"Aih, maafkan hamba, Pangeran. Bukan sekali-kali hamba memandang ringan kepada paduka, hanya hamba sama sekali tidak pernah menduga bahwa paduka telah mempersiapkan segala-galanya, bahkan sebelum kita berangkat! Kalau begitu, semua kecurigaan hamba tidak ada artinya, karena hamba jauh kalah dulu oleh paduka!"
Raja Muda Yung Lo tersenyum.
"Bukan begitu, Kui Siang. Kalau aku mempersiapkan pasukan, hal itu hanya demi penjagaan keselamatan belaka, sebaliknya kecurigaanmu itu berdasarkan alasan yang kuat, sebagai hasil dari pengamatanmu yang waspada. Nah, sekarang perasaanmu sudah merasa tenteram, bukan?"
Kui Siang mengangguk.
"Berkat kebijaksanaan paduka! Hamba ingin sekali melihat perkembangan selanjutnya dari peristiwa yang penuh rahasia ini. Mudah-mudahan paduka akan dapat membongkarnya kalau terdapat kecurangan dan campur tangan pihak ke tiga untuk mengacaukan keadaan dan mengancam keselamatan paduka dan Pangeran Mahkota."
Sementara itu, di bagian lain dari gedung-gedung peristirahatan itu, yang menjadi tempat bermalam Pangeran Mahkota, pangeran inipun berbincang-bincang berdua saja dengan penasihatnya, yaitu Yauw Siucai. Para pengawal pribadi hanya berjaga-jaga di luar gedung, di sekitar gedung dan di luar ruangan di mana pangeran itu sedang bercakap-cakap dengan penasihatnya.
"Ah, Yauw Siucai, kurasa perjalanan jauh dan melelahkan ini tidak banyak gunanya. Betapa sukarnya menyenangkan hati adinda Pangeran Yung Lo. Dia tidak begitu suka dengan pesta dan kesenangan, yang dia bicarakan bahkan urusan ketatanegaraan yang membuat kepalaku menjadi pening. Bagaimana kalau kita hentikan saja pesta pertemuan ini dan kembali ke kota raja?" Pangeran Mahkota Chu Hui San mengeluh kepada penasihatnya.
"Hamba kira tidak bijaksana kalau paduka menghentikan pesta sebelum selesai, Pangeran. Biarpun Pangeran Yung Lo tidak begitu menyukai pesta, setidaknya beliau akan terkesan oleh keramahan dan itikad baik paduka, dan hal ini akan menambah perasaan kesetiaannya kelak kalau paduka menjadi kaisar. Menurut rencana, hanya tinggal besok melaksanakan pesta air di perahu yang telah dipersiapkan, maka hamba mohon paduka bersabar, demi kekuatan dan kebaikan kedudukan paduka sendiri kelak."
"Hemm, kalau begitu baiklah. Akan tetapi jangan lupa, datangkan penari-penari dan para penyanyi yang muda dan cantik. Tampilkan seluruh gadis-gadis penari tercantik dari Cin-an dan daerahnya, agar hati kami dapat merasa gembira."
"Tentu saja, Yang Mulia. Akan tetapi sebaiknya kalau dalam bersenang-senang, paduka tidak mengurangi kewaspadaan. Kita tidak tahu apa yang dipikirkan Pangeran Yung Lo, maka sebaiknya kalau paduka memerintahkan Jenderal Yauw Ti untuk melakukan penjagaan besok pagi. Sebaiknya kalau dia mengepung tempat pesta dan tidak membolehkan siapapun mendekat, baik itu anak buah Pangeran Yung Lo atau orang-orang lain. Dengan demikian, keamanan paduka dan Pangeran Yung Lo dapat terjamin karena terkepung oleh pasukan Jenderal Yauw Ti."
"Bagus, sebaiknya begitu. Nah, panggil sekarang juga Jenderal Yauw Ti datang menghadap," perintah pangeran itu yang selalu menuruti nasihat Yauw Siucai.
Ketika Jenderal Yauw Ti yang tinggi besar dan gagah perkasa itu datang menghadap, Pangeran Mahkota Chu Hui San segera memberi perintah seperti yang dikemukakan penasihatnya tadi. Jenderal yang tidak banyak cakap itu memberi hormat, menyatakan kesiap-siagaannya melaksanakan perintah, lalu dipersilakan keluar lagi.
Seperti biasa, malam itu tidak dilewatkan sia-sia begitu saja oleh Pa geran Chu Hui San. Dan kebutuhan bangsawan yang sudah menjadi budak nafsunya sendiri ini selalu dipenuhi, bahkan diberi semangat oleh Yauw Siucai yang diam-diam telah mempersiapkan dua orang gadis panggilan yang tercantik untuk menemani sang pangeran tidur pada malam hari itu. Setelah dua orang gadis itu memasuki kamar, Yauw Siucai meninggalkan kamar itu untuk mengaso dalam kamarnya sendiri dengan pesan kepada para petugas pengawal di luar kamar untuk melakukan penjagaan ketat.
Malam itu, di luar gedung pesanggrahan yang berada dalam suasana pesta dan dijaga ketat itu, terjadi pula hal yang aneh. Sebuah perahu kecil meluncur cepat menuju ke sebuah perahu besar yang berada di dekat seberang, dan perahu besar itu berhenti, tidak terbawa arus air yang lambat di bagian itu, karena tertahan jangkar yang dilepas. Ketika perahu kecil tiba di dekat perahu besar, penumpang perahu kecil melemparkan kaitan ke arah perahu besar. Besi kaitan itu tiba di dek, mengait tiang dan diperkuat dengan cepat oleh dua orang anak buah perahu besar. Kemudian, bagaikan seekor burung saja, penumpang perahu kecil meloncat ke atas perahu besar dan ternyata dia adalah Si Kedok Hitam yang bertubuh tinggi besar dan berperut gendut.
Perahu besar itu sama sekali tidak terguncang ketika dia melompat ke sana, dan empat orang anak buah perahu besar menyambutnya dengan sikap hormat, bahkan mereka berlutut dengan kaki kiri.
"Apakah kedua orang tamu yang kami undang itu belum tiba?" tanya Si Kedok Hitam kepada mereka.
"Belum, Yang Mulia. Akan tetapi sudah ada yang menjemput dan mungkin sebentar lagi mereka datang," jawab seorang di antara anak buah itu.
"Begaimana dengan tawanan kita? Tidak banyak tingkah, bukan?"
"Mula-mula ia meronta dan mengamuk, akan tetapi belenggu kaki tangannya diperkuat dan penjagaan diperketat sehingga ia tidak lagi dapat membuat ribut."
Si Kedok hitam mengangguk, lalu melangkah memasuki lorong di perahu besar itu menuju ke sebuah kamar di sudut yang terjaga oleh enam orang anak buahnya. Dia membuka daun pintu dan menjenguk ke dalam. Ouwyang Kim nampak telentang di atas dipan dengan kaki tangan terbelenggu erat pada dipan itu, topengnya sudah terbuka dan wajah yang cantik itu nampak marah sekali. Akan tetapi ia tidak lagi meronta dan ketika melihat Si Kedok Hitam menjenguk dari luar pintu, iapun berkata lantang,
"Si Kedok Hitam pengecut besar! Lepaskan aku dan mari kita bertanding sampai seorang di antara kita mampus!"
Namun, dari balik kedok hitam itu hanya terdengar suara tawa aneh dan diapun menutupkan kembali daun pintu kamar tawanan itu lalu pergi ke ruangan tengah dan duduk menanti. Tak lama kemudian, bermunculan belasan orang yang semua memakai topeng yang beraneka warna. Begitu mereka tiba di ruangan itu, mereka memberi hormat kepada Si Kedok Hitam dan mengambil tempat duduk, membentuk setengah lingkaran menghadap Si Kedok Hitam yang duduk dengan kedua kaki terpentang, sikapnya gagah dan berwibawa walaupun perutnya gendut sekali seperti tergantung ke bawah.
"Kalian sudah hadir selengkapnya?" tanya Si Kedok Hitam dan belasan orang itupuh menyatakan bahwa mereka sudah lengkap.
"Sebaiknya kita cepat membuat rencana sebelum Ouwyang Cin dan muridnya tiba. Mereka belum dapat dipercaya sepenuhnya karena mereka masih nampak ragu-ragu. Malam ini merupakan penentuan untuk menguji mereka dan membuktikan apakah mereka itu boleh ditarik sebagai kawan. Untung bahwa tanpa disengaja, kami dapat menawan puterinya. Nah, sekarang dengarkan baik-baik rencana yang sudah kita atur. lni merupakan pengulangan saja agar semua dapat dilaksanakan dengan baik."
Tiba-tiba Si Kedok Hitam menghentikan bicaranya ketika daun pintu ruangan itu diketuk orang. Dengan nada suara yang masih aneh dan parau namun kini ditambah nada suara marah, dia menoleh ke pintu dan membentak,
"Siapa berani mengganggu tanpa dipanggil?"
Seorang penjaga muncul dengan sikap takut-takut.
"Ampun, Yang Mulia. Saya terpaksa menghadap untuk menyampaikan berita yang amat buruk dan mencelakakan.
"Cepat bicara, apa yang terjadi!" Si Kedok Hitam membentak tak sabar.
"Yang Mulia, kami baru saja mendengar laporan penyelidik bahwa di luar penjagaan pasukan dari kota raja, terdapat pasukan besar Raja Muda Yung Lo yang membuat gerakan seolah mengepung daerah ini. Mereka itu dalam keadaan siap seperti hendak bertempur, dan jumlah mereka menurut taksiran para penyelidik, tidak kurang dari tigaratus orang."
Hening sejenak dan tubuh yang tinggi besar berperut gendut itu sejenak tidak bergerak seperti patung. Kemudian terdengar suaranya yang parau aneh,
"Sudah yakin benarkah hasil penyelidikan itu, dan siapa pemimpin pasukan?"
"Kalau belum yakin, tentu para penyelidik tidak berani membuat laporan, Yang Mulia. Pemimpin pasukan besar dari utara itu adalah Gan-ciangkun."
"Hemm, sudah. Keluarlah dan jaga baik-baik tawanan itu," katanya. Pelapor itu keluar dan daun pintu ditutup kembali. Setelah itu, Si Kedok Hitam mengangkat muka dan sepasang matanya yang tajam mencorong itu dari balik kedoknya menyapu belasan orang yang menghadap padanya.
"Telah terjadi berubahan besar, akan tetapi hal ini bahkan lebih baik lagi, menyempurnakan gerakan kita," katanya.
"Maaf, Yang Mulia. Bagi kami, berita itu merupakan malapetaka. Bagaimana paduka mengatakan hal itu menyempurnakan gerakan kita? Mohon penjelasan!" kata seorang di antara mereka dan kawan-kawannya mengangguk menyetujui.
"Siasat kita ditambah sedikit, yaitu mengusahakan agar terjadi saling mencurigai antara pasukan utara dan pasukan selatan. Sebarkan berita di antara para perwira pasukan dari kota raja bahwa pasukan dari utara telah melakukan pengepungan dan akan melucuti dan menyerbu pasukan selatan. Kita harus berusaha agar mereka saling mencurigai dan sedapat mungkin saling serang dengan mendahuluinya melakukan seranganserangan kecil di antara mereka. Kalau mereka sudah saling serang, kita mempunyai peluang yang amat baik untuk bergerak. Sebelah dalam, menghabisi kedua pangeran, atau setidaknya membuat mereka saling bermusuhan. Kalian semua sudah tahu apa yang harus kalian lakukan, dan sekali lagi kutekankan agar kalian menjaga baik-baik sehingga nama baik Pangeran Yaluta tidak terbawa-bawa dan kedudukan beliau di dekat Pangeran Mahkota tidak sampai terganggu, terutama apabila gerakan kita ini gagal. Nah, sekarang, seorang di antara kalian yang menjadi penghubung, cepat beritahukan Pangeran Yaluta tentang perubahan atau penambahan rencana kita ini."
Setelah perundingan selesai, terdengar laporan bahwa Ouwyang Cin dan Maniyoko telah tiba. Sebuah perahu kecil meluncur cepat di tengah malam itu menuju ke perahu besar tadi dan dari dalam perahu berloncatan dua orang yang bukan lain adalah Tung-hai-liong Ouwyang Cin dan Maniyoko, muridnya.
Seperti kita ketahui, guru dan murid ini terbujuk oleh si Kedok Hitam yang mengutus Bu-tek Kiam-mo untuk menghubungi Ouwyang Cin dan mengirim banyak barang hadiah yang berharga. Bersama muridnya Maniyoko, Ouwyang Cin berangkat ke kota raja memenuhi undangan Yang Mulia, yaitu nama yang dikenal sebagai pemimpin jaringan mata-mata itu, tanpa memperdulikan teguran dan cegahan isterinya.
Setelah tiba di kota raja, guru dan murid ini disambut oleh Si Kedok Hitam secara rahasia. Kemudian Si Kedok Hitam bahkan mengajak mereka untuk pergi ke Cin-an agar mereka membantu dalam suatu urusan penting yang belum diberitahukan kepada mereka.
Biarpun menjadi tamu dari Si Kedok Hitam, namun Ouwyang Cin dan Maniyoko masih asing dengan gerakan mereka karena agaknya Si Kedok Hitam masih belum percaya benar kepada mereka. Semua hal dirahasiakan, hanya kalau Si Kedok Hitam ingin bicara dengan mereka, muncul seorang utusan yang mengundang mereka datang di suatu tempat. Malam ini pun, mereka berdua dijemput dan diantar dengan sebuah perahu kecil menuju ke perahu besar itu karena Yang Mulia mengundang mereka.
Setelah Tung-hai-liong Ouwyang Cin dan Maniyoko dipersilakan masuk ke dalam ruangan besar di perahu itu, mereka disambut oleh Si Kedok Hitam yang sudah duduk di situ, dan di situ hadir pula belasan orang yang kesemuanya bertopeng dengan berbagai warna. Melihat ini, Tung-hai-liong Ouwyang Cin yang selalu bersikap angkuh dan tidak mau tunduk itu tertawa bergelak.
"Ha..ha..ha, aku merasa seperti berada di atas panggung wayang, menghadapi orang-orang berkedok! Yang Mulia, aku sudah mengalah dan memanggilmu dengan sebutan Yang Mulia, akan tetapi kiranya sudah tiba saatnya engkau memperkenalkan diri siapa engkau dan siapa pula anak buahmu ini. Bagaimana mungkin aku dapat bekerja sama dengan orang-orang berkedok yang tidak kukenal?" Si Kedok Hitam tidak menjadi marah. Dia sudah mengenal watak para datuk dan tidak mengherankan kalau Ouwyang Cin bersikap angkuh. Dia adalah datuk di daerah timur yang kekuasaannya seperti seorang raja muda saja! Si Kedok Hitam tertawa di balik kedoknya.
"Tung-hai-liong dan Maniyoko, silakan duduk. Ketahuilah bahwa kami adalah orang-orang rahasia yang bekerja cara rahasia, oleh karena itu, wajah kami hanya dapat kami perlihatkan kepada kawan-kawan seperjuangan yang telah kami percajai sepenuhnya saja." Berkerut sepasang alis dari datuk yang berkepala botak dan berperut gendut itu.
"Bagus! Kalau kalian belum percaya kepada kami berdua, mengapa kami diundang untuk bekerja sama?" kata Tung-hai-liong Ouwyang Cin suaranya dingin.
"Pekerjaan kami, adalah pekerjaan besar, sebuah perjuangan yang teramat penting. Untuk dapat mempercaya seorang yang bersekutu-dengan kami, haruslah kami uji dahulu agar cita-cita kami tidak akan gagal. Malam inilah saat penentuan, dan besok pagi-pagi engkau harus dapat membuktikan kesetiaanmu ke pada kami, baru kami akan memperkenalkan diri kepadamu, Tung-hai-liong."
Kalau saja yang bicara seperti itu bukan Si Kedok Hitam yang memimpin suatu persekutuan besar yang kuat, tentu Ouwyang Cin sudah marah dan menyerangnya. Dia memandang dengan mata melotot, seperti hendak menembusi kedok itu dengan pandang-matanya, kemudian dia bertanya, suaranya masih kaku dan dingin,
"Hemm, bukti kesetiaan macam apa yang harus kulakukan, Yang Mulia?"
"Engkau dan muridmu pada hari esok harus mampu membunuh Raja Muda Yung Lo dan Pangeran Mahkota, atau seorang di antara mereka!"
Ouwyang Cin meloncat bangkit dari kursinya, diikuti oleh Maniyoko.
"Gila! Ini sama saja dengan menyuruh kami berdua memasuki lautan, api! Tidak, kami tidak sudi!"
"Kami akan melindungimu, Tung-hai-liong," bujuk Si Kedok Hitam.
"Tidak, sekali lagi tidak! Kami mau bekerja sama, akan tetapi aku bukan pembunuh bayaran, apa lagi membunuh pangeran! Aku mau bertempur, memimpin pasukan dan anak buahku, bukan menyelinap seperti maling untuk melakukan pembunuhan gelap."
"Tung-hai-liong, kalau engkau ingin bekerja sama dengan kami, kalau kelak ingin menjadi raja muda, haruslah taat kepada kami dan membuktikan kesetiaanmu."
"Hemm, sejak kecil aku tidak pernah mentaati perintah siapapun juga! Aku hanya mau bekerja sama, bukan menghambakan diri kepadamu. Sudahlah, agaknya di antara kita tidak ada kecocokkan, lebih baik kami pergi saja. Maniyoko, mari kita pergi!" Datuk itu sudah marah sekali.
"Tunggu dulu, Tung-hai-liong! Kami kira kalian tidak akan pergi begitu saja, karena mau tidak mau, kalian harus melaksanakan perintah kami! Kalian tidak dapat menolak lagi."
"Hemm, Kedok Hitam, apa maksud ucapanmu itu?" Ouwyang Cin membentak, kini tidak mau lagi menyebut Yang Mulia.
"Lihatlah sendiri!!" Si Kedok Hitam bangkit, diikuti belasan orang pembantunya dan memberi isyarat kepada Ouwyang Cin dan Maniyoko untuk mengikuti mereka. Setelah tiba di depan kamar perahu paling ujung, Si Kedok Hitam memberi isyarat kepada penjaga untuk membuka daun pintunya.
"Lihatlah, Tung-hai-liong, kalau engkau dan muridmu menolak permintaan kami, aku akan menyuruh orang-orangku menghina dan menyiksa puterimu sampai mati di depan matamu!"
Ouwyang Cin dan Maniyoko terbelalak melihat Ouwyang Kim rebah telentang dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya dan terikat tubuhnya pada sebuah dipan.
"Ayah, suheng, jangan perdulikan mereka! Serang saja, aku tidak takut mati. Lebih baik mati dari pada menyerah!" Ouwyang Kim berteriak-teriak, akan tetapi tidak dapat meronta, hanya mampu menoleh ke arah ayahnya karena tubuhnya lemas tertotok dan terbelanggu kuat-kuat.
JILID 14
Tung-ha-liong Ouwyang Cin marah bukan main. Sungguh tidak pernah disangkanya dia akan melihat puterinya tertawan gerombolan ini, puterinya yang disangkanya berada di rumah bersama ibunya.
"Kedok Hitam, bebaskan puteriku!" bentaknya dengan suara menggereng seperti seekor binatang liar.
"Ha..ha..ha, Tung-hai-liong, lebih baik engkau memenuhi permintaan kami dan kita menjadi sekutu, puterimu akan kubebaskan."
Pada saat itu terdengar suara keras, perahu terguncang dan nampak api bernyala di ujung belakang perahu besar itu. Kiranya sebuah balok besar yang agaknya diikat kain yang basah dengan minyak bakar, telah melayang dan jatuh ke sana, lalu ada yang membakarnya sehingga tempat itu berkobar api yang besar.
Tentu saja semua orang menjadi terkejut dan saat itu dipergunakan oleh Tung-hai-liong Ouwyang Cin dan Maniyoko untuk mencabut senjata dan mengamuk. Si Kedok Hitam sudah menggunakan pedang pendeknya menghadapi Tung-hai-liong yang juga sudah mencabut pedangnya yang mengeluarkan sinar berkilauan menyilaukan mata.
"Jaga tawanan!" Si Kedok Hitam masih sempat berteriak sebelum dia sibuk menghadapi datuk timur yang lihai sekali itu. Dua orang tokoh besar ini bertanding dan keduanya memang sama hebatnya, sedangkan Maniyoko agak repot dikeroyok banyak anak buah Si Kedok Hitam. Bahkan Ouwyang Cin juga dikeroyok, sehingga datuk ini tidak sempat untuk menolong puterinya yang terbelenggu di atas dipan dalam kamar itu.
Sesosok bayangan berkelebat dan merobohkan empat orang penjaga yang menghadang di depan pintu kamar tahanan itu. Entah bagaimana, tahu-tahu empat orang itu terpelanting ke kanan kiri dan bayangan itu menerobos masuk ke dalam kamar.
"Sin Wan"""..!" Gadis itu berseru girang.
"Akim, cepat bantu ayahmu," kata Sin Wan yang menggunakan pedang tumpulnya membabat putus semua belenggu dan membebaskan totokan pada tubuh Akim yang segera dapat bergerak kembali.
"Nih, pedangmu!"
Melihat pemuda yang dicintanya itu membebaskannya dan bahkan mengembalikan pedangnya, dan ia maklum bahwa Sin Wan pula yang menimbulkan kebakaran pada perahu. Akim merangkul dan menciumnya, membuat Sin Wan gelagapan.
"Sekarang engkau yang menyelamatkan aku dan ayah," bisik Akim yang segera melepaskan rangkulannya dan tubuhnya sudah berkelebat keluar, lalu iapun menyerang Si kedok Hitam membantu ayahnya.
Sin Wan juga keluar dan dia segera dikepung, dan dikeroyok. Akan tetapi Sin Wan merobohkan empat orang lagi lalu berteriak,
"Akim, ajak ayah dan suhengmu lari, perahu ini segera akan terbakar habis dan tenggelam!"
MENDENGAR ini, Tung-hai-liong Ouwyang Cin dan puterinya memutar pedang, membuat para pengeroyok mundur, lalu mereka meneriaki Maniyoko untuk melarikan diri pula. Mereka bertiga segera meloncat keluar dari perahu yang masih terbakar hebat karena usaha pemadaman dari anak buah Si Kedok Hitam tidak berhasil sama sekali. Tung-hai-liong dan puterinya, juga muridnya, adalah orang-orang yang ahli dalam ilmu renang. Mereka memang tinggal di dekat lautan dan sebagai datuk para bajak laut, tentu saja Ouwyang Cin menguasai ilmu dalam air yang diajarkannya pula kepada puterinya dan muridnya. Maka, begitu tubuh mereka jatuh ke air, mereka menyelam dan lenyap.
Si Kedok Hitam juga tidak mau tinggal lebih lama di atas perahu yang terbakar itu.
"Bunuh jahanam busuk itu!" teriaknya berulang-ulang melihat Sin Wan dikeroyok anak buahnya. Dia sendiri lalu meloncat keluar dari perahu besar, tiba di atas perahu kecil yang sudah dipersiapkan anak buahnya dan perahu itupun didayung cepat meninggalkan perahu besar yang masih berkobar.
Sin Wan terpaksa berloncatan ke sana-sini menghadapi pengeroyokan belasan orang dan amukan api. Dia tidak dapat meniru apa yang dilakukan Akim dan ayahnya. Kepandaiannya di air hanya sekadar dapat mencegah tubuhnya tenggelam saja. Itu di air yang tenang. Membayangkan terjun ke air sungai yang arusnya kuat dan amat dalam itu, dia sudah merasa ngeri, apalagi harus meloncat ke sana!
Bagaimanapun juga, hatinya sudah merasa lega karena dia dapat menyelamatkan Akim. Dengan susah payah malam itu dia mencari-cari Akim, menyewa sebuah perahu dan mencari di sepanjang kedua tepi sungai. Akhirnya, ketika melihat perahu besar itu berlabuh di tempat sunyi timbul kecurigaannya dan dia membayar tukang perahu yang ketakutan, meninggalkan perahu dan bergantung pada rantai jangkar perahu besar, merayap ke atas. Dan dia memang sudah mempersiapkan segalanya ketika menyewa perahu. Sebuah balok besar yang tadinya dia sediakan untuk menolongnya kalau-kalau harus meloncat ke air, kini dia pergunakan untuk membakar perahu dengan bantuan kain dan minyak bakar yang didapatnya dari tukang perahu.
"Trang-trang-trangg..."..!" Tiga batang golok para pengeroyoknya yang menyambar kepadanya dari tiga penjuru dapat ditangkisnya sehingga patah-patah. Akan tetapi, belasan orang itu agaknya taat sekali atas perintah Si Kedok Hitam, yaitu agar mereka membunuh Sin Wan, maka mereka mengeroyok lebih ketat lagi.
Tiba-tiba, dua orang roboh ketika ditampar oleh tangan Akim yang basah. Gadis itu muncul secara tiba-tiba mengamuk dan menghampiri Sin Wan lalu berteriak,
"Sin Wan, apa kau ingin menjadi sate bakar? Hayo pergi!"
Akan tetapi tentu saja Sin Wan tidak berani.
"Aku.... aku tidak pandai renang..."" katanya. Akim tidak perduli, menyambar lengannya dan menarik tubuh pemuda itu, diajaknya melompat ke air.
Sin Wan cepat menyimpan pedangnya dan menutup kedua matanya ketika tubuhnya melayang dari atas perahu.
"Byuurrr...".." Dia gelagapan, kedua kakinya menendang-nendang dan tubuhnya dapat timbul. Sebuah tangan yang kuat menangkap punggung bajunya dan iapun diseret di atas permukaan air. Kiranya yang mencengkeram dan menariknya adalah Akim dan Sin Wan kagum bukan main melihat dalam keremangan cuaca betapa gadis itu berenang seperti ikan saja, sama sekali tidak nampak kesulitan biarpun sebelah tangannya mencengkeram baju di punggungnya.
Akhirnya Akim dapat menangkap pinggiran sebuah perahu kecil yang terapung lepas, dan membantu Sin Wan naik ke atas perahu kecil. Perahu itu hanyut terbawa air dan keduanya bersimpuh di perahu, terengah-engah dan basah kuyup. Akan tetapi ketika mereka saling pandang di bawah sinar bulan sepotong, mereka saling tatap dan keduanya tertawa melihat betapa muka dan pakaian mereka basah kuyup, tertawa lepas mungkin karena perasaan lega dan berbahagia telah dapat terlepas dari bahaya maut! Dan Akim menubruk, merangkul dan menciumi muka Sin Wan yang basah kuyup, membuat untuk ke dua kalinya pemuda itu gelagapan seperti dibenamkan ke dalam air.
"Sin Wan, engkau telah menyelamatkan aku, ayah dan suheng. Aih, aku cinta padamu, Sin Wan, aku cinta padamu dan aku berbahagia...".." Dengan suara mengandung isak seperti menangis Akim merapatkan tubuhnya dan mendekap, sehingga mukanya merapat di dada Sin Wan.
Celaka, pikir Sin Wan yang teringat akan pengalamannya dengan Lili dan dengan Ci Hwa. Apakah aku harus selalu mengalami kesalah-pahaman cinta seperti ini yang akhirnya hanya akan menyiksa? Dalam keadaan seperti inilah timbulnya salah paham antara dia dan Lili, antara dia dan Ci Hwa. Memang membutuhkan kekerasan hati untuk menyangkal balasan cinta terhadap seorang gadis seperti Akim, atau seperti Lili dan Ci Hwa. Akan tetapi dia tidak menghendaki terulangnya kembali peristiwa salah-paham karena cinta itu, tidak ingin melihat kesalah-pahaman Akim berlarut-larut.
Dengan lembut namun kuat dia mendorong kedua pundak gadis itu, dan menahannya sejauh kedua lengannya dilempangkan. Merasa gerakan ini, Akim mengangkat muka memandang penuh perhatian. Kebetulan udara jernih dan bulan sepotong menyinari muka mereka berdua.
"Akim, maafkan aku. Sebaiknya kalau sekarang juga aku membuat pengakuan agar engkau menyadari kesalah-pahaman ini. Kesalah-pahaman tentang perasaan kita berdua...""."
"Sin Wan, apa maksudmu? Aku cinta padamu, dan engkaupun cinta padaku, bukan? Kesalah-pahaman apa lagi?"
"Akim, ingat. Belum pernah aku menyatakan cintaku kepadamu."
"Aihh..."..? Bukankah engkau cinta padaku, Sin Wan. Engkau bilang bahwa engkau kagum dan suka kepadaku, bukan?"
"Memang, sampai sekarang aku kagum dan suka kepadamu, akan tetapi itu bukan cinta, Akim. Aku suka kepadamu sebagai seorang sahabat, dan terus terang saja, agar tidak sampai, berlarut kesalah-pahaman ini, kuakui bahwa aku telah mencinta seorang gadis lain, Akim."
Wajah yang masih basah itu berubah pucat sekali, lalu merah dan sampai lama Akim tidak mampu mengeluarkan suara. Akhirnya, suaranya terdengar lirih,
"Lili..."? Tapi kau bilang tidak mencintanya...""."
"Memang bukan Lili. Aku suka kepada Lili sebagai seorang sahabat, seperti aku suka kepadamu, akan tetapi aku telah mencinta seorang gadis lain, jauh sebelum aku mengenalmu...".."
"Siapakah gadis itu?"
"Dia sumoiku sendiri. Maaf, Akim, bukan maksudku untuk menyinggung dan mengecewakan hatimu," kata Sin Wan melihat betapa wajah yang tadinya cantik manis itu kini berubah muram.
Akan tetapi Akim sudah bangkit berdiri.
"Kau.... kau..... siapa kecewa? Persetan denganmu, Sin Wan!" Dan gadis itupun mendorong Sin Wan yang sama sekali tidak menduga, membuat pemuda itu terdorong dan terjengkang keluar dari dalam perahu kecil.
"Byuurrr...".!!" Sin Wan jatuh ke air dan ketika dia menggunakan tangan dan kaki untuk timbul, dia melihat perahu itu sudah didayung cepat oleh Akim menggunakan tangannya karena memang perahu itu tidak mempunyai dayung.
"Akim, tunggu..."..!" Dia berteriak akan tetapi gadis itu tidak menghiraukannya. Sin Wan gelagapan terseret arus air dan dia berusaha sekuat tenaga untuk melawan arus, agar tidak tenggelam. Ketika dia melihat sepotong kayu sebesar pahanya dan cukup panjang, diapun menyambar kayu itu dan bergantung pada kayu, terpaksa membiarkan dirinya hanyut.
Ketika matahari telah muncul dipermukaan air sungai sebelah timur, Sin Wan masih hanyut perlahan-lahan. Dia tidak berani melepaskan kayu, karena dia berada di tengah sungai, jauh dari daratan. Perlahan-lahan dia menggunakan tangan untuk mendayung kayu itu ke tepi, akan tetapi selalu disambut arus sungai dan kembali ke tengah.
Ketika tiba di sebuah tikungan, arus menyeretnya ke tepi, akan tetapi di bagian yang amat dalam dan yang airnya hanya berputar-putar, dan pada saat itu, muncul dua buah perahu yang didayung oleh masing-masing tiga orang laki-laki. Ketika dekat, Sin Wan terkejut melihat betapa mereka itu semua mengenakan topeng beraneka warna. Anak buah Si Kedok Hitam! Dia hanya dapat memandang dengan hati khawatir, mencari akal bagaimana dia akan mampu melawan mereka di air, di mana dia sudah tidak berdaya, kedinginan dan kele lahan.
Kini dua buah perahu itu mengelilinginya.
"Heii, lihat, dia memang pemuda yang dimaksudkan Yang Mulia. Hayo tangkap dia!"
"Kita bunuh dia! Dia sudah hampir mati lemas!"
Sin Wan sudah merasa girang. Harapan satu-satunya adalah agar perahu-perahu itu, atau sebuah di antara mereka, mendekat dan kalau dia berhasil naik ke atas perahu, dia pasti akan dapat mengatasi enam orang itu.
"Heii, tahan, jangan kalian mendekat!" teriak seorang di antara enam orang itu.
"Jauhkan perahu, jangan sampai dia dapat mencapai perahu kita. Akan berbahaya kalau begitu. Kita serang dia selagi dia tak berdaya di air!" Kini, empat orang berloncatan ke air dan menyelam, sedangkan dua buah perahu itu dikendalikan dua orang di antara mereka.
Sin Wan terkejut bukan main. Matanya liar memandang ke kanan kiri karena dia tidak melihat adanya empat orang yang meloncat ke dalam air tadi. Tiba-tiba dia merasa betapa kedua kakinya dipegang tangan-tangan dari bawah permukaan air. Dia cepat menggerakkan kedua kakinya untuk melepaskan kedua kaki itu dari cengkeraman. Akan tetapi, di dalam air gerakannya lemah dan tenaganya seperti hilang. Biarpun dia meronta-ronta, tetap saja kedua kakinya dipegang banyak tangan dan kini tubuhnya ditarik ke bawah! Mati-matian Sin Wan menggunakan lengan kanan memeluk kayu pengapung, dan tangan kirinya berusaha meraih ke bawah untuk menangkap atau memukul para pengeroyok, namun tangannya tidak sampai ke bawah. Dia hanya dapat meronta-ronta dan menggerak-gerakkan kedua kaki.
Tarikan dari bawah itu terlalu kuat, dilakukan empat orang yang sudah berpengalaman dan ahli bermain di air, maka akhirnya tubuh Sin Wan tertarik ke dalam air bersama kayu yang masih dirangkulnya. Dia gelagapan dan berhasil mendorongkan kedua kakinya sekuat tenaga ke bawah sehingga tubuhnya kini dapat dapat timbul kembali. Dia megap-megap dan meronta-ronta karena kembali para musuh di bawah menarik-narik kedua kakinya. Dia maklum bahwa dia berada dalam ancaman bahaya. Dia tentu akan tertawan atau terbunuh, tanpa berdaya untuk membela diri sebaiknya.
Sudah empat kali Sin Wan terseret ke bawah permukaan air sampai gelagapan dan minum banyak air Dia sudah lemas ketika berhasil timbul kembali setelah meronta sekuat tenaga di dalam air. Pada saat yang amat gawat itu, tiba-tiba sebuah perahu kecil meluncur datang dan sebatang bambu panjang yang dipergunakan orang dalam perahu itu untuk menggerakkan perahunya, dua kali menyambar dan dua orang yang menunggang perahu-perahu pertama, berteriak dan terpelanting ke dalam air.
Kemudian, si penunggang perahu itu meloncat keluar dari perahunya dan bagaikan seekor ikan hiu, iapun menyelam. Sin Wan hanya melihat betapa penunggang perahu itu merobohkan dua orang dengan sebatang bambu, dan melihat orang itu meloncat ke air. Dia tidak melihat jelas siapa orang itu dan apa maunya, karena dia sendiri sudah lemas dan hampir seluruh perhatiannya dia curahnya ke bawah, ke arah empat orang musuh yang masih memegangi kedua kakinya dan berusaha menenggelamkannya.
Tiba-tiba Sin Wan merasa betapa terjadi gerakan-gerakan kuat di bawah, dan tangan-tangan yang tadi memegang kedua kakinya menjadi kacau. Kemudian, satu demi satu, delapan buah tangan itu melepaskan kedua kakinya. Dia bebas! Kemudian muncul orang tadi dan dia melihat tubuh enam orang itu terseret air. Orang yang telah menolongnya itu, tanpa mengeluarkan suara, sudah mencengkeram punggung bajunya dan menariknya ke perahu yang masih terapung dan berputar di situ. Dalam keadaan setengah pingsan, dengan perut membesar penuh air, Sin Wan diangkat dan dilempar ke dalam perahu.
Orang itu lalu naik ke perahu, menelungkupkan tubuh Sin Wan di perahu itu, lalu menduduki punggung Sin Wan dan menghimpit-himpit perutnya sehingga air dari dalam perut Sin Wan keluar dari mulutnya seperti dituangkan!
Setelah perut Sin Wan mengempis, pemuda ini mengeluh dan karena orang itu sudah melepaskan punggungnya yang tadi diduduki, diapun merangkak dan bangkit duduk. Ketika dia menoleh dan memandang, kiranya dia berhadapan dengan Akim!
"Kau..."..?" katanya lemah dan mengguncang kepalanya karena kepala itu masih berdenyut-denyut pening.
"Ya, aku! Engkau mau berkata apa sekarang?" kata Akim dengan sikap menantang dan gadis ini mendayung perahu ke arah selatan, ke tepi dari mana tadi mereka datang.
Sin Wan menarik napas panjang dan menghimpun hawa murni untuk menyehatkan kembali tubuhnya. Peningnya lenyap dan tenaganya mulai pulih.
"Apa yang dapat kukatakan, Akim? Engkau yang medorong aku ke dalam air dan aku hampir mati karenanya, kemudian engkau pula yang menyelamatkan aku dari tangan mereka. Aku tidak mengerti akan sikapmu ini, Akim."
"Huh, engkau memang laki-laki yang tolol, bagaimana dapat mengerti?"
Gadis itu kelihatan marah-marah dan mendayung perahu sekuat tenaga. Perahu meluncur cepat sekali dan melihat gadis itu marah-marah, Sin Wan tidak berani mengeluarkan kata-kata, khawatir membuat gadis itu menjadi semakin marah. Diapun mengambil dayung yang terdapat di dalam perahu dan membantu gadis itu mendayung perahu. Dan ketika dia teringat akan enam orang tadi, dia pun memberanikan diri bertanya, suaranya halus dan tidak mengandung teguran karena dia tidak ingin menyinggung lagi hati gadis itu.
"Akim, kau bunuhkah mereka tadi?"
"Hemm, aku pukul mereka, entah mampus entah pingsan aku tidak perduli!" kata gadis itu ketus dan ia terus mendayung. Sin Wan juga memperkuat gerakan dayungnya dan sebentar saja perahu sudah tiba di tepi. Akim meloncat ke darat, disusul Sin Wan.
Mereka berdiri berhadapan.
"Akim, maafkanlah kalau aku menyinggung perasaanmu dan membuat hatimu tidak senang. Dan terima kasih atas pertolonganmu tadi."
"Huh! Kau laki-laki bodoh! Aku.. aku.... benci padamu!" Dan gadis itu lalu berkelebat pergi meninggalkan suara isak seperti menangis.
Sampai beberapa lamanya Sin Wan berdiri seperti patung. Betapa persisnya sikap Akim dengan sikap Lili. Tadinya menyatakan cinta dengan terus terang, kemudian cinta mereka berubah pernyataan benci! Aneh memang cinta seorang gadis dan dia tetap tidak mengerti Kui Siang sendiripun tadinya sudah saling mencinta dengan dia, akan tetapi akhirnya gadis itupun menjauhkan diri dan membencinya!
Haruskah semua cinta seorang wanita berakhir dengan kebencian? Dia sungguh tidak mengerti. Dia sendiri hanya merasa kasihan kepada Lili, kepada Ci Hwa, dan kepada Akim. Juga dia merasa kasihan kepada Kui Siang, rasa iba yang bercampur dengan rasa rindu dan duka.
Ketika dia teringat akan tugasnya, dia sadar dari lamunannya dan cepat meninggalkan tempat itu. Dia masih merasa penasaran kepada Jenderal Yauw Ti yang sudah menangkap dan menahannya. Jenderal itu amat membencinya dan sungguh merupakan seorang yang keras hati, juga tidak bijaksana. Biarpun Jenderal itu membencinya karena dia seorang Uighur, akan tetapi setidaknya dia harus ingat bahwa dia adalah utusan kaisar yang membawa leng-ki atau bendera tanda kekuasaan dari kaisar!
Tiba-tiba dia mendengar suara ribut-ribut di depan. Cepat dia berlari menghampiri dan melihat tiga buah kereta berhenti dan banyak orang sedang berkerumun dan terdengar ribut-ribut suara orang yang marah-marah. Banyak Pula terdapat gadis-gadis cantik di antara mereka dan bau harum tercium olehnya dari jarak yang cukup jauh itu. Dia merasa heran sekali dan mengintai sambil menyelinap mendekati. Kini dia melihat betapa seorang laki-laki berkedok biru sedang mencengkeram pundak seorang setengah tua yang agaknya merupakan pemimpin rombongan tiga buah kereta itu, dan si kedok biru marah-marah. Dia mengguncang laki-laki setengah tua itu dan menghardik.
"Engkau tinggal menerima saja tidak usah banyak bertanya atau akan kubunuhi semua rombongan ini! Aku hanya titip tiga orang ini agar ikut dalam rombongan penabuh musik, dan engkau berani menolak?"
Laki-laki setengah tua itu nampak ketakutan, akan tetapi diapun kukuh menolak.
"Bagaimana kami berani menerima penyusupan orang luar? Kami dipercaya oleh para penguasa, kalau sampai ketahuan, tentu kami akan celaka."
"Kalau ketahuan! Kalau tidak, tentu tidak apa-apa. Akan tetapi sekarang, ketahuan atau tidak, kalau engkau menolak, akan kubunuh kalian semua! Nah, pilih mana?"
Laki-laki setengah tua itu nampak kebingungan dan memandang kepada si topeng biru dan tiga orang laki-laki tinggi besar yang berwajah bengis itu, tidak tahu harus menjawab bagaimana. Dia menengok dan memandang kepada anak buahnya yang terdiri dari delapan orang pria pemain musik dan limabelas orang gadis cantik penyanyi dan penari, seperti ingin minta pendapat mereka.
Dari rombongan penari wanita yang cantik-cantik dengan bedak tebal dan gincu menyolok, muncul seorang gadis yang bertubuh ramping dan ia kini melangkah maju, kemudian sekali tangannya bergerak, pegangan orang bertopeng pada pundak pemimpin rombongan kesenian itu terlepas.
"Jahanam busuk! Engkau berani mengancam orang di tengah perjalanan? Engkau ini perampok busuk, pengecut besar. Buka kedokmu kalau memang engkau berani, dan kalau engkau tidak cepat pergi, terpaksa aku akan menghajar kalian berempat!"
Sin Wan yang mendengar suara itu, terkejut dan jantungnya berdebar.
Lili! Wajah gadis itu dirias sedemikian rupa seperti para penari lain sehingga dia tidak akan dapat mengenalnya, akan tetapi suara itu! Suara yang bisik-bisik basah, suara khas Lili!
Si Kedok biru marah sekali, demikian pula tiga orang laki-laki besar yang akan diselundupkan ke dalam rombongan itu. Mereka berempat sama sekali tidak menyangka bahwa ada seorang gadis penari yang akan berani bersikap seperti kepada mereka.
"Engkau sudah bosan hidup!" bentak si topeng biru dan diapun menggerakkan tangan kanan menampar ke arah kepala Lili.
"Huh, kalian yang sudah bosan hidup!" kata gadis itu sambil tersenyum mengejek dan mendengus, suara dengusan yang sudah dikenal baik oleh Sin Wan dan dari tempat pengintaiannya Sin Wan dapat membayangkan betapa kalau sudah mengeluarkan suara mendengus seperti itu, cuping hidung Lili pasti kembang kempis dengan lucunya. Dan senyumnya pasti menimbulkan lesung pipit yang amat manis, yang sekarang tentu saja tertutup oleh bedak tebal yang membuat kulit mukanya menjadi kaku.
Si Kedok Biru itu benar-benar mencari penyakit, pikir Sin Wan sambil tersenyum, akan tetapi diam-diam dia waspada dan siap membantu kalau sampai gadis itu terancam bahaya.
Melihat tamparan itu, Lili tidak mengelak melainkan mengangkat tangan menyambut sambii mengerahkan tenaganya.
"Dukkkk!!" Akibat pertemuan kedua tangan itu, Si Kedok Biru terhuyung ke belakang dan Lili berdiri sambil bertolak pinggang, tertawa lalu menggunakan telunjuk kirinya memberi isyarat kepada tiga orang tinggi besar anak buah Si Kedok Biru yang akan diselundupkan itu untuk maju. Sikapnya menantang dan mengejek sekali, telunjuknya digerak-gerakkan menyuruh mereka maju.
Dengan geram, tiga orang itu mencabut senjata pedang yang mereka sembunyikan di balik jubah mereka dan menyerang Lili. Namun, gadis ini sudah siap. Dengan gerakan yang amat lincah dan lucu, dengan tubuh yang ramping itu berlenggang-lenggok seperti tubuh ular, pinggulnya yang bulat itu bergoyang, semua tusukan dan bacokan tiga batang pedang itu dapat ia hindarkan, nampak lucu dan aneh gerakannya, akan tetapi semua serangan lawan luput dan begitu tubuhnya menyusup ke depan, kaki tangannya bergerak, tiga orang itu terpental seperti ditiup badai!
Mereka menjadi penasaran dan menerjang lagi, akan tetapi sekali ini Lili tidak memberi ampun lagi. Tubuhnya seperti menyelinap di antara sinar golok dan terdengar teriak-teriakan kesakitan ketika ia sudah membagi-bagi tamparan yang seperti patukan ular cepatnya namun yang datangnya amat keras karena mengandung tenaga sin-kang sehingga tiga orang itu kini terpelanting keras dan terbanting sampai terguling-guling!
Si Kedok Biru semakin marah. Dia pun sudah mencabut pedangnya dan begitu dia bergerak memainkan pedangnya. Lili terkejut karena lawan ini memiliki ilmu pedang yang cukup lihai. Iapun cepat mencabut pedang yang disembunyikan di balik bajunya dan nampaklah sinar putih bergulung-gulung. Itulah Pek-coa-kiam (Pedang Ular Putih) yang ampuh. Si Kedok Biru juga terkejut menyaksikan kehebatan sinar pedang yang bergulung-gulung itu. Dia menyerang dengan pedangnya dan disambut oleh gulungan sinar putih, dan terjadilah serang menyerang yang cukup hebat. Namun, belum sampai sepuluh jurus, Si Kedok Biru maklum bahwa gadis itu memang lihai bukan main dan tingkat ilmu pedangnya jauh lebih tinggi darinya.
"Trangg...""..!!" Hampir saja tangannya yang memegang pedang terbabat kalau dia tidak cepat melepaskan pedangnya yang terpukul jauh, dan diapun melarikan diri, mengikuti tiga orang anak buahnya yang sudah lari lebih dahulu!
"Pengecut..."""!!" Lili berseru akan tetapi ia tidak mengejar karena ia tidak mau meninggalkan rombongan pemusik itu.
Si Kedok Biru melarikan diri sambil berloncatan secepat dan selebar mungkin untuk segera meninggalkan tempat berbahaya itu dan menjauhkan diri dari gadis yang mengerikan hatinya itu. Akan tetapi tiba-tiba ada sebatang kaki yang panjang terjulur keluar dari balik semak-semak dan tak dapat dihindarkan lagi, Si Kedok Biru jatuh tersungkur! Dia marah sekali. Selain terhadap gadis cantik tadi, tentu saja dia berani menghadapi siapapun juga.
Akan tetapi, ketika dia bangkit dan melihat siapa orangnya yang menjegalnya, melihat wajah Sin Wan, mata di balik kedok itu terbelalak.
"Kau...".!" Dan diapun menggerakkan kaki hendak melarikan diri lebih cepat lagi. Akan tetapi tiba-tiba dia roboh terpelanting dalam keadaan lemas tertotok.
Sin Wan mencengkeram punggung baju Si Kedok Biru, lalu menyeret tubuh yang tinggi kurus itu ke arah rombongan pemusik yang tadi hanya menjadi penonton yang tegang dan ketakutan.
Lili juga terkejut ketika melihat betapa Si Kedok Biru itu ditawan oleh seorang pemuda yang bukan lain adalah Sin Wan! Akan tetapi ia teringat bahwa ia dalam penyamaran sebagai seorang anggauta penari, maka ia pura-pura tidak mengenalnya. Melihat sikap Lili, Sin Wan tersenyum. Dia tahu bahwa Lili mengandalkan bedak dan gincu tebal yang membuat wajahnya seperti anak wayang dan tiada bedanya dengan para penari lain itu untuk mengelabuinya. Dia sendiri kalau tadi tidak mengenal suara Lili, tentu tidak akan tahu bahwa gadis ini adalah Lili.
Sin Wan melepaskan tubuh yang lemas itu ke depan kaki Lili. Tubuh itu roboh telentang dan tidak mampu bergerak, hanya mata di balik kedok itu nampak ketakutan. Sejenak, Lili dan Sin Wan berhadapan dan saling pandang, keduanya pura-pura tidak saling mengenal! Karena setelah melepaskan Si Kedok Biru itu Sin Wan diam saja hanya saling tatap dengannya. Lili mengerutkan alisnya dan bertanya, suaranya sungguh jauh berbeda dari tadi. Kini suaranya tiba-tiba menjadi kecil dipaksakan, tidak berbisik-bisik basah seperti suara aslinya.
"Kenapa engkau menyeret dia ke sini?"
Diam-diam Sin Wan merasa geli sekali, akan tetapi menahan diri untuk tidak tertawa. Dia mengikuti permainan sandiwara Lili itu dan membungkuk.
"Nona, engkau yang mengalahkannya, maka engkau pula yang berhak menentukan apa yang harus dilakukan terhadap orang berkedok ini."
Lili mengira bahwa Sin Wan tidak mengenalnya. Untung pemuda itu baru muncul, kalau sudah tadi-tadi, tentu mengenal Pek-coa-kiam yang kini ia sembunyikan lagi di balik bajunya, pikirnya.
Tanpa menjawab, Lili menggunakan tangan kiri merenggut lepas kedok biru yang menutupi muka orang itu. Lili mengerutkan alisnya.
"Hemm, siapa engkau dan apa maksudmu hendak menyelundupkan orang ke dalam rombongan kami? Siapa yang menyuruhmu?"
Orang itu tidak menjawab, hanya mengerutkan alisnya dan mengatupkan bibirnya.
"Nona, dia adalah Bu-tek Kiam-mo, seorang di antara Bu-tek Cap-sha-kwi yang terkenal jahat," kata Sin Wan.
"Hemm, kiranya penjahat kecil yang namanya saja besar itu," kata Lili. Ia lalu memberi isyarat kepada seorang laki-laki pendek yang ikut dalam rombongan penabuh gamelan.
"Kau bawa dia pergi dan tahan dia, jangan sampai lari."
"Baik, nona," kata si pendek dan sekali menggerakkan tangan kiri, si pendek ini sudah mencengkeram punggung baju orang itu dan memanggul tubuh yang lemas sedemikian mudahnya, seolah tubuh yang tinggi kurus itu amat ringan baginya, kemudian dia lari cepat sekali sudah lenyap dari situ.
"Wah, kebetulan sekali. Sekarang rombongannya kurang seorang, biar aku yang menggantikan si pendek tadi. Akupun ingin nonton keramaian!" kata Sin Wan. Lili diam saja, hanya memutar tubuh memandang kepada laki-laki setengah tua yang menjadi pemimpin rombongan. Laki-laki itu menghampiri Sin Wan dan dengan sikap hormat berkata.
"Maafkan kami, sicu (orang gagah). Kami tidak berani menerima sicu, karena kami ditugaskan menghibur orang orang penting."
"Hemm, begitukah? Lalu mengapa di sini ada nona ini yang jelas bukan penari melainkan seorang yang menyusup dan menyamar sebagai anggauta rombonganmu?" tanya Sin Wan sambil tersenyum mengejek.
"Kalau aku melapor kepada ke dua orang pangeran yang mengadakan pesta itu, bukankah engkau akan bersalah besar?"
Wajah pemimpin rombongan itu nampak ketakutan. Dia menoleh kepada Lili yang nampak tenang dan acuh saja.
"Akan tetapi, sicu. Nona ini membawa surat perintah dari Jenderal Besar Shu ta untuk melindungi mereka!"
"Bagus, dan aku mendapat perintah dari Sribaginda Kaisar sendiri! Apakah engkau masih berani menolak?"
Pemimpin rombongan itu menjadi bingung, lalu menoleh kembali kepada Lili. Gadis ini juga memandang kepadanya lalu mengangguk.
"Dia boleh menggantikan pembantuku yang tadi membawa pergi Bu-tek Kiam-mo."
Mendengar ini, pemimpin rombongan nampak lega karena dengan demikian, yang bertanggung-jawab masuknya Sin Wan ke dalam rombongan itu adalah gadis perkasa itu. Agar dirinya tidak dikenal, Sin Wan lalu minta kepada kepala rombongan agar mukanya dirias dan diubah agar pihak musuh tidak mengenalnya. Seorang di antara anggauta rombongan yang mempunyai keahlian merias, segera menangani pekerjaan itu dan tak lama kemudian, Sin Wan telah menjadi seorang laki-laki setengah tua yang rambutnya penuh uban, berjenggot dan berkumis!
Rombongan melanjutkan perjalanan dan ketika Sin Wan melihat betapa Lili berjalan seorang diri di bagian belakang, dia lalu sengaja mendekati hanya mengerling saja lalu berjalan terus. Akan tetapi ketika melihat betapa Sin Wan terus menerus memandangnya dan berjalan mendampinginya, ia menggunakan suara yang meninggi itu untuk menegurnya.
"Mau apa engkau dekat-dekat dan memandangku terus menerus!" suaranya memang berubah tinggi, akan tetapi nadanya galak, nada yang biasa diucapkan Lili kalau ia marah!
Sin Wan tersenyum dan sengaja meninggikan suaranya,
"Maafkan aku, nona. Aku kagum melihat penyamaranmu!"
Lili memandang dengan sinar mata berkilat mendengar betapa pemuda ini sengaja mengubah suaranya, meninggi seperti yang dilakukannya dalam penyamarannyanya.
"Hemm, apa-apaan dengan suaramu itu?" bentaknya.
Sin Wan tertawa.
"Ha..ha, aku hanya menirumu, Lili."
Kini gadis itu terbelalak dan terdengar suaranya seperti biasa, berbisik basah, suara khas Lili.
"Eh, bagaimana engkau dapat mengenalku?"
Sin Wan tersenyum.
"Tak mungkin aku dapat mengenal wajahmu yang persis dengan wajah semua penari itu, Lili, kalau saja tadi ketika engkau bicara dengan empat orang penjahat sebelum aku muncul, aku mendengar dan mengenal suaramu. Apa lagi setelah engkau bicara padaku suaramu berubah meninggi, akupun dapat menduga bahwa engkau sengaja menyamar."
Lili menghela napas panjang. Tidak mudah mengelabuhi seorang yang cerdik seperti Sin Wan ini.
"Sudahlah, memang nasibku yang buruk harus bertemu denganmu dan bekerja sama denganmu. Kalau bukan ayah yang menyuruh, aku tidak sudi bertemu dan bekerja sama denganmu!"
Melihat gadis itu masih marah kepadanya, Sin Wan bersikap lunak. Dia merasa kasihan kepada Lili yang mencintanya namun yang tidak dibalasnya. Apalagi Lili masih marah karena diapun menolak untuk berjodoh dengan adik tiri gadis ini, Bhok Ci Hwa, seperti dikehendaki Lili dan ibunya.
"Aku memang sedang mencari jalan untuk menyusup ke perahu pesta, dan kebetulan bertemu rombongan ini. Akan tetapi, kalau aku boleh mengetahui, bagaimana pula engkau dapat menjadi anggauta rombongan kesenian ini, Lili? Benarkah kata paman pemimpin tadi bahwa engkau diutus oleh Jenderal Shu Ta?"
"Jenderal Shu Ta memerintahkan ayah untuk membantumu melakukan penyelidikan tentang pertemuan antara Raja Muda Yung Lo dengan Pangeran Mahkota. Karena tidak mungkin ayah sendiri yang hadir, dia dikenal semua orang, maka ayah menyuruh aku untuk mewakilinya dengan membawa surat kuasa Jenderal Shu Ta."
"Jadi engkau diutus untuk membantuku?" tanya Sin Wan gembira.
"Aih, terima kasih, Lili."
"Sin Wan jangan engkau anggap ringan pekerjaan ini. Menurut ayah, Jenderal Shu Ta merasa khawatir dan menaruh curiga kalau-kalau akan terjadi sesuatu yang dapat mengancam keselamatan Pangeran Mahkota. Oleh karena itu, Jenderal Yauw Ti sendiri mengawal dengan pasukan yang cukup besar. Namun Jenderal Shu khawatir kalau-kalau apa yang ia khawatirkan itu terjadi dari dalam, maka dia memerintahkan ayah untuk membantumu. Dan akulah yang dikirim ke sini, menyelundup dengan rombongan ini."
"Aih, bagus sekali kalau begitu. Dengan menjadi anggauta rombongan ini, kita dapat melakukan penjagaan yang lebih baik dan lebih dekat."
Lili lalu menceritakan kepada Sin Wan bahwa rombongan itu adalah rombongan kesenian dari kota Cin-an yang paling terkenal dan mereka akan menghibur pesta dalam perahu yang diadakan oleh kedua orang bangsawan itu. Mereka diharuskan tiba lebih dahulu di perahu itu agar kalau kedua orang bangsawan itu tiba, mereka sudah disambut oleh musik yang merdu.
Ketika rombongan tiba di perahu besar di mana diadakan pesta, Lili dan Sin Wan melihat betapa penjagaan amat ketat, baik di tepi sungai maupun di sekitar perahu besar, dijaga oleh perahu-perahu yang ditumpangi banyak perajurit pasukan keamanan yang mengawal Pangeran Mahkota dari kota raja. Melihat ini, dua orang muda itu merasa lega dan mereka heran. Bahaya apa yang dapat mengancam kedua orang bangsawan itu, yang telah dikurung rapat oleh penjagaan ketat? Siapa dapat menghampiri perahu besar tanpa tertahan oleh penjagaan pasukan yang demikian kuatnya? Agaknya Jenderal Shu Ta dan Jenderal Yauw Ti terlalu berlebihan, pikir mereka.
Para penjaga di perahu memeriksa surat jalan yang diberikan oleh kepala daerah kota Cin-an kepada kepala rombongan, mencocokkan jumlah peserta dan sama sekali tidak menaruh curiga kepada mereka. Rombongan kesenian itu segera mengatur tempat di sudut, menghadap ke arah meja di mana dua orang bangsawan akan berpesta, dan tak lama kemudian, mulailah mengalun suara musik yang mereka mainkan.
Ketika rombongan kedua orang bangsawan itu tiba, dengan perahu-perahu menuju ke perahu besar, mereka disambut musik yang merdu dan tari-tarian kehormatan untuk mengelu-elukan mereka. Sin Wan yang duduk di antara para pemain musik, dengan jantung berdebar penuh ketegangan, kegembiraan dan kerinduan, melihat betapa Raja Muda Yung Lo dikawal oleh seorang gadis cantik yang bukan lain adalah Liem Kui Siang! Hatinya menjerit memanggil nama sumoinya itu, namun mulutnya dikatupkan dan dia mengamati sumoinya itu dengan sepasang mata yang tak pernah berkedip. Sumoinya kini nampak lebih dewasa, wajahnya yang bulat telur dengan dagu runcing dan tahi lalat di dagu kanan, nampak cantik jelita dan manis sekali.
Akan tetapi, mata yang biasanya lembut dan mencorong itu kini nampak redup membayangkan hati yang tidak bahagia, dan tubuh yang biasanya padat ramping itu kini nampak agak kurus. Pakaian Kui Siang tidak terlalu mewah, namun gagah, pakaian yang serba hijau dengan pedang tergantung di pinggang kiri. Sin Wan masih mengenal pedang itu. Jit-kong-kiam (Pedang Sinar Matahari), dan di pinggangnya bagian depan terselip sebatang suling perak yang terukir indah.
Semua pasukan pengawal tidak ikut masuk ke perahu dan yang mengiringkan Raja Muda Yung Lo memasuki perahu pesta yang besar hanyalah Kui Siang. Adapun Pangeran Mahkota dikawal oleh seorang saja pula, yaitu Yauw Siucai yang dicurigai oleh Sin Wan akan tetapi ternyata tidak terbukti melakukan suatu kesalahan dan yang agaknya telah mendapat kepercayaan besar Pangeran Mahkota sehingga tidak ada yang berani mengganggunya.
Musik semakin meriah mengikuti suara para penyanyi dan gerakan para penari, sedangkan pelayan-pelayan wanita yang muda dan cantik, yang sengaja didatangkan oleh Pangeran Mahkota khusus untuk melayani mereka berpesta, mulai berdatangan seperti sekawanan kupu-kupu terbang membawa hidangan. Kedua orang pangeran itu bercakap-cakap sambil tertawa-tawa gembira karena suasana pesta memang meriah dan membuat mereka merasa akrab dan gembira.
Sementara itu, di luar tahunya mereka yang berpesta dan semua yang berada di perahu besar itu, perahu yang dipasangi banyak lentera yang beraneka warna dan indah terang sehingga malam itu seperti siang saja, di luar sana terjadi peristiwa yang amat hebat. Entah siapa yang memulai lebih dahulu, terjadilah bentrokan dan pertempuran antara pasukan penjaga keamanan dari kota raja yang dipimpin Jenderal Yauw Ti dan pasukan yang diam-diam dikerahkan oleh Raja Muda Yung Lo untuk menjaga keamanannya.
Mula-mula, tersiar desas-desus di kalangan pasukan keamanan dari kota raja bahwa ada pasukan asing yang mengepung tempat itu dalam jumlah besar. Ada pula desas-desus yang membisikkan bahwa pasukan itu adalah pasukan dari utara, pasukan dari Raja Muda Yung Lo yang hendak memberontak dan sengaja hendak membunuh Sang Pangeran Mahkota dari kota raja! Desas-desus yang semula membingungkan para perwira itu akhirnya pecah menjadi bentrokan dan dilanjutkan dengan pertempuran yang semakin berkobar di antara kedua pasukan!
Ini memang merupakan siasat yang sudah diatur terlebih dulu oleh jaringan mata-mata Mongol yang hendak mengadu domba di antara kedua pasukan itu agar pengawalan menjadi lengah dan terbuka kesempatan bagi jaringan mata-mata itu untuk memberi pukulan terakhir yang akan mengakibatkan kelemahan Kerajaan Beng, yaitu mereka akan membunuh kedua orang bangsawan tinggi itu!
Sin Wan dan Lili yang menumpahkan seluruh perhatian ke dalam perahu itu, diam-diam mereka berdua melakukan penjagaan dan siap siaga untuk melindungi keselamatan Pangeran Mahkota, biar pun mereka merasa tidak enak dan menduga ada apa-apa melihat kesibukan perahu-perahu di luar perahu besar, mereka tidak berani meninggalkan tempat mereka dan bersikap lebih waspada.
Tiba-tiba, hal yang mereka khawatirkan tiba! Terdengar teriakan-teriakan dan enam orang pengawal yang berdiri di tangga perahu besar, mendadak diserang oleh belasan orang dan merekapun roboh dan tercebur ke dalam air. Kemudian, tujuhbelas orang yang berpakaian seragam pasukan pengawal dari kota raja, berloncatan naik ke perahu besar dengan pedang terhunus. Jelas bahwa mereka bermaksud buruk.
"Bunuh kedua pangeran itu!" terdengar teriakan mereka dan kalau Pangeran Mahkota dengan muka pucat bersembunyi di belakang Yauw Siucai, Raja Muda Yung Lo mencabut pedangnya dan berdiri berdampingan dengan Kui Siang yang juga sudah mencabut pedang, siap melindungi Raja Muda Yung Lo dengan taruhan nyawa!
Tiba-tiba, nampak dua bayangan orang berkelebat dan seorang laki-laki setengah tua, dan seorang gadis penari, telah menghadang belasan orang itu dengan pedang di tangan. Melihat laki-laki setengah tua yang memegang sebatang pedang buruk, Kui Siang terbelalak dan mengamati lebih teliti. Hatinya menjerit, memanggil suhengnya, satu-satunya pria yang dicintanya dan selama ini dirindukannya, akan tetapi mulutnya tidak mengeluarkan suara.
Apalagi saat itu, Sin Wan dan Lili sudah menerjang maju dikeroyok oleh belasan orang yang nampaknya ganas dan kejam itu. Sin Wan dan Lili maklum bahwa mereka terdiri dari duabelas orang Bu-tek Cap-sha-kwi, yaitu rekan-rekan Bu-tek Kiam-mo yang telah mereka tangkap, dan Hek I Ngo-liong. Tujuhbelas orang itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi sehingga keadaannya berbahaya, maka mereka berdua tidak mau membuang waktu lagi, mengamuk dengan pedang mereka. Akan tetapi mereka tidak mampu mencegah beberapa orang di antara para penyerbu itu kini menyerbu dan menyerang kedua orang bangsawan.
Kui-Siang dan Raja Muda Yung Lo menyambut mereka dengan pedang mereka, sedangkan Pangeran Mahkota masih bersembunyi di belakang Yauw Siucai yang kini menggunakan kipasnya yang lebar untuk melindungi sang pangeran dan menangkis setiap serangan yang ditujukan kepada pangeran itu.
Perhitungan para mata-mata Mongol itu sekali ini keliru sama sekali. Mereka memang berhasil menghasut dan mengadu domba sehingga kedua pasukan itu saling serang sehingga pengawalan terhadap perahu pesta itu menjadi lengah, mereka berhasil pula menyelundupkan tujuhbelas orang penjahat itu untuk membunuh kedua orang pangeran. Akan tetapi, mereka tidak tahu bahwa di antara anggauta rombongan musik terdapat Sin Wan dan Lili!
Andaikata kedua orang muda ini tidak berada di situ, tentu tenaga Kui Siang saja tidak akan cukup untuk menahan serbuan tujuhbelas orang, walaupun Raja Muda Yung Lo juga bukan orang lemah, dan di situ terdapat pula Yauw Siucai yang lihai. Akan tetapi, kalau tidak ada Sin Wan dan Lili, tentu Yauw Siucai akan berganti bulu dan nampaklah musangnya yang kini berbulu ayam itu. Tentu Yauw Siucai akan berubah menjadi Pangeran Yaluta, yaitu pangeran Mongol yang memimpin jaringan mata-mata dibantu oleh Si Kedok Hitam yang lihai.
Melihat betapa tiba-tiba muncul dua orang yang amat lihai, apa lagi setelah dia mengenal bahwa gadis penari itu bukan lain adalah Lili, Yauw Siucai tidak berani mengubah diri menjadi Pangeran Yaluta. Bahkan terpaksa diapun harus melindungi Pangeran Mahkota agar tidak ketahuan belangnya. Melihat munculnya kedua orang itu, Yauw Siucai seketika maklum bahwa semua siasat yang diaturnya telah gagal sama sekali! Oleh karena diapun tetap menjadi Yauw Siucai yang setia kepada Pangeran Mahkota, melindungi pangeran itu dan menghalau serangan setiap orang yang hendak membunuhnya.
Memang tepat seperti yang diperhitungkan Yauw Siaucai. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, Sin Wan dan Lili, Kui Siang dan juga Raja Muda Yung Lo telah mampu merobohkan tujuhbelas orang pengacau yang hendak membunuh kedua orang bangsawan tinggi itu.
Sementara itu, Jenderal Yauw Ti yang melihat adanya pertempuran antara anak buahnya dengan pasukan yang mengepung tempat itu, mula-mula menjadi marah dan memerintahkan anak buahnya untuk menggempur pasukan musuh. Akan tetapi, ketika dia mendengar dari para penyelidiknya bahwa pasukan itu adalah pasukan yang membuat barisan pendam mengawal Raja Muda Yung Lo, dia terkejut dan cepat memerintahkan pasukannya untuk menghentikan pertempuran. Diapun segera menemui para perwira pasukan dari utara itu. Setelah mendapatkan penjelasan tentang desas-desus yang saling mengadu domba, Jenderal Yauw Ti memarahi para perwira, baik para perwira anak buahnya sendiri maupun para perwira dari utara. Kemudian dia cepat-cepat pergi ke perahu besar untuk menghadap kedua orang bangsawan.
Pada saat Jenderal Yauw Ti dan beberapa orang perwiranya naik ke perahu pesta, pertempuran di perahu itu telah selesai. Tujuhbelas orang penyerbu itu sudah roboh semua, ada yang tewas, dan hanya ada tujuh orang yang masih hidup, yaitu mereka yang dirobohkan Sin Wan karena pemuda ini tidak mau membunuh orang. Melihat orang-orang berpakaian seragam pasukannya malang melintang di situ, tentu saja Jenderal Yauw Ti terkejut bukan main. Setelah memberi hormat kepada Raja Muda Yung Lo dan Pangeran Mahkota, diapun bertanya.
"Apa yang telah terjadi di sini? Mengapa para perajurit yang tewas dan terluka ini?" Lalu dia melihat Lili dan Sin Wan yang masih dalam penyamaran mereka.
"Dan siapa pula dua orang ini?" Pertanyaan ini diucapkan begitu saja tanpa ditujukan kepada orang tertentu saking kaget dan herannya.
Sebelum ada yang menjawab, Raja Muda Yung Lo melangkah maju, memandang kepada Jenderal itu dengan sinar mata mencorong penuh selidik, lalu katanya dengan suara mengejek.
"Hemm, Paman Jenderal Yauw Ti, engkau yang bertugas menjaga keamanan di sini dan mereka ini adalah anak buahmu, tidak terbalikkah pertanyaanmu itu? Sepatutnya aku yang bertanya kepadamu, mengapa anak buahmu ini menyerbu ke sini dan berusaha membunuh aku dan kakanda pangeran!"
Jenderal itu terbelalak dan nampak bingung, menoleh dan mengamati tujuhbelas orang yang malang melintang itu. Dia melihat pula ke arah rombongan kesenian yang semua berlutut dan bergerombol di sudut, saling rangkul dengan wajah pucat dan tubuh gemetar, seolah dari mereka dia mengharapkan jawaban. Tiba-tiba Pangeran Mahkota mengeluh dan dia tentu roboh terguling kalau saja tidak dengan cepat Yauw Siucai merangkulnya dan memondongnya, lalu merebahkan tubuh pangeran itu ke atas bangku panjang.
Semua orang menjadi bingung dan khawatir, dan Raja Muda Yung Lo bersama Kui Siang cepat melakukan pemeriksaan. Sebagai murid mendiang Pek-mau-sian yang ahli pengobatan, Kui Siang sedikit banyak mengerti akan ilmu pengobatan, maka setelah memeriksa tubuh Pangeran Mahkota, ia lalu menerangkan kepada Raja Muda Yung Lo bahwa sang pangeran itu lemah sekali dan tadi menerima guncangan batin yang menakutkan sehingga dia jatuh pingsan.
Setelah semua orang merasa lega bahwa sang pangeran hanya pingsan karena takut, Yauw Siucai lalu memberi keterangan kepada Jenderal Yauw Ti.
"Hendaknya paduka ketahui, Jenderal, bahwa belasan orang ini tadi menyerbu ke perahu dan berusaha membunuh kedua orang pangeran. Untung di sini terdapat dua orang anggauta rombongan kesenian yang lihai, ditambah lagi perlawanan Raja Muda Yung Lo dan gadis pengawalnya, juga saya sendiri melindungi sang pangeran maka tujuhbelas orang itu berhasil dirobohkan. Mereka adalah perajurit-perajurit paduka sendiri, mungkin mereka hendak memberontak, ciangkun."
"Ah, tidak mungkin!" Jenderal Yauw Ti menggapai seorang perwira yang tadi datang bersamanya.
"Coba periksa, mereka ini perajurit dari pasukan mana dan siapa pula perwira yang menjadi atasan mereka. Cepat!"
Jelas bahwa Jenderal itu marah bukan main karena tentu saja dia merasa terkejut, malu dan penasaran mendengar bahwa belasan orang perajurit anak buahnya melakukan pemberontakan dan berusaha membunuh dua orang pangeran. Tentu saja hal itu menjadi tanggung jawabnya karena memang dia yang memimpin pasukan melakukan penjagaan keamanan dalam pertemuan antara dua orang bangsawan itu.
Perwira itu, dibantu dua orang rekannya yang lain, cepat melakukan pemeriksaan dan sebentar saja mereka melapor dengan suara lantang bahwa tujuh belas orang ini bukan perajurit pasukan kerajaan, melainkan penyelundup yang mengenakan pakaian seragam palsu. Pada saat para perwira itu memberi keterangan ini, Pangeran Mahkota sudah sadar kembali dan dibantu oleh Yauw Siucai, dia sudah bangkit duduk dan ikut mendengarkan.
Bukan main marahnya Jenderal Yauw Ti mendengar keterangan itu, dan dia melangkah lebar ke arah para penjahat yang masih belum tewas, lalu tangannya bergerak beberapa kali dan terdengar suara kepala pecah ketika tangan itu memukuli mereka yang belum tewas. Dalam waktu singkat, lima orang tewas dengan kepala retak-retak, akan tetapi tiba-tiba Raja Muda Yung Lo berseru nyaring.
"Tahan! Jangan bunuh mereka, paman!"
Mendengar bentakan yang merupakan perintah ini, Jenderal Yauw Ti menahan diri dan membiarkan dua orang yang masih hidup dan yang memandang dengan ketakutan.
"Maaf, Yang Mulia. Hamba tidak dapat menahan kemarahan mendengar bahwa mereka adalah penjahat yang menyelundup dan hampir melakukan pembunuhan keji."
"Jangan bunuh dulu, mereka harus ditanya siapa yang berdiri di belakang usaha pembunuhan itu," kata Raja Muda Yung Lo.
"Ah, paduka benar, Yang Mulia," kata Jenderal yang bertubuh tinggi besar dan gagah itu.
"Seret yang dua orang itu ke sini!" teriaknya kepada para perwira pembantunya.
Dua orang yang masih hidup di antara tujuhbelas orang itu adalah mereka yang dirobohkan Sin Wan, dengan tulang kaki patah disambar pedang tumpul, akan tetapi tidak terluka berat. Mereka ketakutan sekali karena maklum bahwa tidak mungkin lagi mereka dapat meloloskan diri dari ancaman maut. Mereka hanya dapat mengharapkan agar pimpinan mereka dapat menolong mereka. Ketika mereka diseret dengan kasar dan dilemparkan ke depan kaki Jenderal Yauw Ti dan Raja Muda Yung Lo, Jenderal itu membentak dengan suara keren.
"Hayo mengaku, kalian siapa, dan siapa pula teman-teman kalian ini! Mengapa atau kalian akan disiksa!"
Orang yang bermuka hitam dan bertubuh sedang menjawab, mewakili temannya yang berwajah tampan dan usianya sebaya dengannya, kurang lebih empatpuluh tahun.
"Hamba...... bernama Kwan Su dan dia adalah rekan hamba bernama Bhe Siu. Kami berdua bersama tiga orang bersaudara yang lain..."" dia menunjuk ke arah mayat-mayat yang malang melintang,
"kami disebut Hek I Ngo-liong...".."
"Hek I Ngo-liong?" Jenderal Yauw Ti berseru.
"Kiranya tokoh-tokoh sesat jahanam melakukan pemberontakan! Dan siapa lagi belasan orang yang lain itu?"
"Duabelas orang yang lain adalah Bu-tek Cap-sha-kwi (Tiga Belas Setan Tanpa Tanding), yang seorang lagi entah ke mana...".."
"Hayo cepat katakan, siapa pemimpin kalian? Jawab yang tepat!" Kini Raja Muda Yung Lo yang membentak mereka.
"Hamba........ hamba tidak mengenalnya, hanya tahu bahwa dia disebut Yang Mulia, berkedok hitam dia pemimpin jaringan mata-mata Mongol...".."
"Jahanam!" Jenderal Yauw Ti berseru marah.
"Di mana dia? Di mana sarang kedok hitam itu? Jawab!!"
"Hamba.... tidak tahu..... tidak pernah mempunyai tempat tinggal tertentu, hamba.... hamba...." Tiba-tiba saja ada angin menyambar dari luar perahu besar dan dua orang tawanan itu menjerit dan terkulai roboh, tewas seketika, dengan tubuh berubah kehitaman! Jenderal Yauw Ti dan yang lain-lain terkejut, cepat memburu ke tepi perahu, akan tetapi di kegelapan malam itu mereka hanya melihat bayangan sebuah perahu kecil meluncur dan lenyap ditelan kegelapan.
Dibantu oleh Kui Siang, Raja Muda Yung Lo memeriksa mayat kedua orang itu, dan Kui Siang menggeleng kepala.
"Pukulan jarak jauh yang mengandung racun, amat jahat sekali dan dilakukan oleh orang yang berbahaya dan sakti," katanya.
"Siapakah kiranya yang dapat melakukan pembunuhan jarak jauh seperti itu?" tanya Raja Muda Yung Lo kepada Kui Siang, akan tetapi gadis itu menggeleng kepala tanda bahwa iapun tidak tahu dan tidak menduga siapa orang yang amat lihai itu.
"Kalau saja tidak salah duga, pembunuh itu adalah Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli karena pukulan itu mirip Toat-beng Tok-ciang (Tangan Beracun Pencabut Nyawa)," kata Sin Wan.
Mendengar ucapan itu, Raja Muda Yung Lo mengamati wajah pria setengah tua itu dan mengerutkan alisnya.
"Siapakah engkau yang tadi telah merobohkan para penyerbu dan kini tahu pula siapa yang melakukan pembunuhan dengan pukulan beracun jarak jauh?"
Sin Wan belum menjawab, didahului Kui Siang,
"Yang Mulia, dia adalah suheng yang menyamar......." Suara gadis itu terdengar penuh perasaan dan terharu. Raja Muda Yung Lo terbelalak, memandang pula pria setengah tua itu. Sungguh penyamaran yang sempurna karena sama sekali tidak nampak bahwa rambut ubanan dan kumis jenggot itu adalah buatan. Sama sekali dia tidak dapat mengenal wajah Sin Wan yang pernah dijumpai dan dikenalnya.
"Sin Wan..."?" tanyanya dan Sin Wan cepat memberi hormat kepada raja muda itu.
"Sin Wan..."??" Jenderal Yauw Ti juga berseru ketika mengetahui bahwa pria setengah tua itu adalah Sin Wan.
"Yang Mulia, dia adalah orang Uighur yang patut dicurigai! Hamba sudah menangkap dan menahannya, kiranya dia dapat meloloskan diri. Dia berbahaya dan mungkin sekali dia bekerja sama dengan jaringan mata-mata pemberontak! Sin Wan, menyerahlah engkau!" Jenderal itu sudah mencabut pedangnya.
"Jenderal galak, engkau sungguh tak tahu diri! Berani memberontak terhadap Sribaginda Kaisar di depan Yang Mulia Raja Muda Yung Lo pula!" Tiba-tiba terdengar seruan nyaring dan yang berseru itu bukan lain adalah Lili.
"Sln Wan adalah utusan Sribaginda Kaisar yang mempunyai tanda kuasa leng-ki, menyerang dia sama dengan menyerang Sribaginda Kaisar. Dan kau hendak menyerangnya di depan Yang Mulia kedua pangeran putera Sribaginda Kaisar?"
JILID 15
"Eh, kiranya engkau, gadis berandal! Engkaupun harus kutangkap!" teriak Jenderal Yauw Ti yang galak itu.
"Paman Jenderal, hentikan semua ini!" bentak Raja Muda Yung Lo.
"Sin Wan adalah seorang pendekar sahabatku, dan gadis ini tadi membantunya merobohkan semua penyerbu. Engkau tidak berterima kasih bahkan hendak menangkap mereka? Paman, sepatutnya engkau malu kepada mereka. Kalau tidak ada dua orang pendekar ini, mungkin kami celaka oleh para penyerbu dan engkaulah yang bertanggung-jawab! Ingin kami mengetahui, apa saja yang kau jaga sehingga ada begini banyak orang dapat menyelundup masuk dan menyerang kami tanpa kau ketahui sama sekali? Hayo jawab!"
Raja Muda Yung Lo sudah marah sekali kepada Jenderal besar itu. Biarpun dia tahu bahwa Jenderal ini, di samping Jenderal Shu Ta, sudah banyak berjasa kepada ayahnya, namun kelengahannya sekali ini sungguh membuat dia marah karena dianggapnya sudah keterlaluan.
Wajah Jenderal itu berubah merah.
"Harap paduka maafkan dan maklumi bahwa tadi hamba sibuk menghentikan pertempuran yang berkobar di luar dan hampir saja mengorbankan banyak perajurit, Yang Mulia."
"Pertempuran?" Pangeran Mahkota terkejut juga seperti Raja Muda Yung Lo.
"Apa yang terjadi, paman? Siapa yang bertempur?"
"Apa yang terjadi? Ceritakan!" kata pula Raja Muda Yung Lo tegas.
"Yang bertempur adalah pasukan kerajaan dari selatan melawan pasukan paduka yang melakukan baris pendam, Yang Mulia," kata Jenderal itu kepada Raja Muda Yung Lo.
"Apa? Bagaimana mungkin dua pasukan itu saling tempur sendiri?"
"Hamba meredakan dan menghentikan pertempuran itu dan melakukan penyelidikan yang menjadi sebabnya. Kiranya kedua pihak termakan desas-desus yang mengadu domba, Yang Mulia. Desas-desus yang diterima pasukan hamba adalah bahwa mereka dikepung oleh pasukan asing yang akan menyerbu ke dalam, sebaliknya desas-desus yang diterima pasukan paduka mengatakan bahwa mereka akan diserang oleh pasukan kerajaan dari dalam. Dimulai dengan bentrokan kecil yang menjalar semakin besar. Nah, agaknya pada saat hamba sibuk meredakan pertempuran itulah, para penjahat ini datang menyerbu, menggunakan saat terjadi keributan dan kekacauan."
Mendengar keterangan ini, kemarahan Raja Muda Yung Lo terhadap Jenderal itu mereda karena tidak bisa terlalu disalahkan kalau ada penyelundupan pada saat terjadi pertempuran seperti itu. Dia memandang Sin Wan dan bertanya,
"Sin Wan, bagaimana pendapatmu dengan terjadinya peristiwa pertempuran itu, dihubungkan dengan penyerbuan tujuhbelas orang ini?"
Sin Wan memandang kepada para perajurit yang sedang mengangkuti mayat-mayat itu keluar perahu,
"Yang Mulia, tidak dapat diragukan lagi bahwa kedua peristiwa itu ada hubungannya erat sekali. Saya hampir yakin bahwa pihak musuh sengaja merencanakan
"Nanti dulu, Sin Wan!'" Tiba-tiba Lili berseru dan mengangkat tangan ke atas menyetop perkataan Sin Wan.
"Saya kira sebaiknya kalau pembicaraan mengenai hal ini dilakukan di ruangan tertutup, bukan di tempat terbuka seperti ini. Siapa tahu di sini terdapat telinga musuh yang ikut mendengarkan!"
Berkata demikian, terang-terangan Lili mengerling dengan matanya yang lebar dan tajam ke arah Jenderal Yauw Ti! Tentu saja ia tidak mencurigai Jenderal itu, akan tetapi hal ini ia sengaja lakukan untuk menggoda Jenderal galak yang tidak disukainya itu.
Raja Muda Yung Lo mengangguk-angguk dan tersenyum, memandang kagum kepada Lili, lalu menoleh ke arah pengawalnya, Kui Siang. Pada saat itu, Kui Siang sedang saling pandang dengan Sin Wan. Dapat dibayangkan bagaimana perasaan kedua orang ini setelah kini bertemu dan saling berhadapan kembali, namun sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk saling bicara, apalagi saling menumpahkan perasaan rindu mereka. Hanya pandang mata mereka saja yang saling bertemu dengan tautan ketat dan mesra penuh kerinduan. Melihat ini, Raja Muda Yung Lo tersenyum.
"Kui Siang, bagaimana pendapatmu dengan usul nona penari ini?"
Kui Siang mengangguk.
"Hamba setuju, Yang Mulia. Memang usul itu baik sekali."
Raja Muda Yung Lo lalu mengajak Pangeran Mahkota untuk masuk ke dalam ruangan dalam, yang diperkenankan masuk hanyalah Kui Siang sebagai pengawal raja muda itu, Yauw Siucai sebagai pengawal sang pangeran mahkota sebagai kepercayaannya, kemudian Sin Wan dan Lili. Mereka duduk mengelilingi sebuah meja dan Sang Pangeran Mahkota yang masih nampak lemas dan lemah, duduk bersandar di kursinya, dijaga oleh Yauw Siucai. Karena pangeran itu seperti tidak bersemangat, maka Raja Muda Yung Lo yang mengambil alih pimpinan dalam percakapan itu.
"Sebelum kami mendengar pendapatmu, Sin Wan, ingin kami mengetahui dan mengenal siapa nona yang perkasa ini, dan harap kalian suka menanggalkan penyamaran kalian agar kami dapat mengenal wajah asli kalian."
Sin Wan dan Lili segera menanggalkan penyamaran pada muka dan rambut mereka. Sin Wan melepaskan kumis dan jenggot palsu, juga mengosok rambutnya sehingga berubah hitam kembali, menggosok kulit mukanya sehingga semua alat penyamarannya terlepas. Demikian pula Lili, ia menggosok-gosok mukanya dengan kain sehingga kini nampaklah wajah aslinya yang manis, mukanya yang bulat nampak putih kemerahan, matanya yang lebar memiliki sinar yang tajam, mulutnya yang manis selalu mengembangkan senyum dengan dihias lesung pipit di kanan kiri, hidungnya kecil mancung dan cupingnya dapat bergerak lucu.
"Yang Mulia, gadis ini bernama Lili, eh, nama lengkapnya Bwe Li, Bhok Bwe Li dan ia adalah puteri dari panglima Bhok Cun Ki di kota raja."
"Ahhh.....! Kiranya ayahmu adalah pendekar Bhok Cun Ki yang menjadi panglima terkenal di kota raja itu, nona? Senang sekali dapat bertemu dan berkenalan denganmu."
"Hamba merasa terhormat sekali, Yang Mulia," kata Lili dan pandang matanya tanpa disembunyikan lagi memandang wajah raja muda yang ganteng dan gagah perkasa itu.
"Nah, sekarang lanjutkan pendapatmu tadi," kata Raja Muda Yung Lo setelah tadi memandang penuh kagum kepada Lili, sambil menatap tajam wajah Sin Wan yang ditanyainya.
"Begini, Yang Mulia. Menurut pendapat hamba, hubungan antara dua peristiwa itu erat sekali. Kita boleh yakin bahwa pihak musuh memang sengaja merencanakan semua ini, dengan mengadu domba kedua pasukan agar perhatian ditujukan kepada pertempuran itu dan mereka dapat menyelundupkan para pembunuh dengan mudah ke atas perahu setelah mereka merobohkan beberapa orang penjaga di tangga perahu."
"Maaf, bolehkah hamba mengajukan pendapat hamba, Yang Mulia?" tiba-tiba Yauw Siucai yang sejak tadi menjaga Pangeran Mahkota, berkata dengan sikapnya yang hormat.
Mengingat bahwa sastrawan ini tadi juga mati-matian melindungi kakaknya, Raja Muda Yung Lo mengangguk.
"Bicaralah."
"MENGINGAT keadaan Pangeran Mahkota yang lemah dan agaknya perlu dirawat setelah mengalami kekagetan tadi, hamba mohon agar beliau ini dapat hamba antar kembali ke kota raja lebih dahulu. Membiarkan beliau mendengarkan tentang usaha pembunuhan itu yang menimbulkan kenangan menakutkan, hamba kira tidak baik untuk kesehatan beliau."
Raja Muda Yung Lo memandang kepada kakaknya yang masih nampak pucat, dan lemah, diapun mengangguk-angguk membenarkan.
"Memang sebaiknya begitu. Aturlah saja dengan Jenderal Yauw Ti agar kakanda pangeran dapat dikawal dengan ketat kembali lebih dahulu ke kota raja. Bukankah kakanda berpendapat lebih baik kalau kakanda pulang lebih dulu?"
Pangeran Mahkota itu mengangguk.
"Kurasa lebih baik begitu, aku masih bingung dan terkejut membayangkan peristiwa tadi." Pangeran ini memang merasa rikuh sekali bertemu dengan Lili di situ, teringat akan sikapnya yang hendak memaksa gadis itu menjadi selirnya.
"Kalau begitu, silakan, kakanda pangeran. Lain hari saya akan menjenguk kakanda di kota raja."
Pangeran Mahkota lalu dibantu oleh Yauw Siucai keluar dari dalam kamar itu, dan setelah menghubungi Jenderal Yauw Ti, sang pangeran dikawal ketat, kembali ke selatan menggunakan kereta besar.
Sementara itu, Raja Muda Yung Lo minta agar Sin Wan dan Lili jangan pergi dulu.
"Kami ingin membicarakan hal ini dengan kalian berdua," katanya.
Setelah mereka keluar dari perahu pesta dan kembali ke perkemahan pasukan Yung Lo, Raja muda itu mengajak Kui Siang, Sin Wan, dan Lili bicara dalam kemahnya. Mula-mula dia minta kepada Sin Wan dan Lili menceritakan tentang keadaan di kota raja. Dua orang muda itu bergantian menceritakan pengalaman mereka di kota raja, tentang jaringan mata-mata Mongol yang agaknya dipimpin oleh Si Kedok Hitam. Raja Muda Yung Lo mendengarkan dengan hati tertarik sekali.
"Kalau begitu, sungguh berbahaya sekali dan jaringan itu harus ditumpas segera. Apakah Pamanda Jenderal Shu Ta sudah tahu akan hal ini?"
"Tentu saja, Yang Mulia. Jenderal Shu Ta mengutus Paman Bhok Cun Ki untuk menangani penyelidikan dan pengejaran terhadap jaringan mata-mata musuh ini, dan saya sendiri mewakili suhu Ciu-sian untuk melakukan penyelidikan membantunya. Nona Lili ini juga mewakili ayahnya untuk melakukan penyelidikan," kata Sin Wan yang tentu saja tidak menceritakan peristiwa pribadinya atau peristiwa keluarga Bhok Cun Ki.
"Akan tetapi Si Kedok Hitam itu memang licin sekali, Yang Mulia. Ilmu kepandaiannya juga amat tinggi sehingga beberapa kali saya bentrok dengan dia, belum juga mampu menangkapnya atau membuka kedoknya."
"Hemm, saya berpendapat bahwa Jenderal galak itu perlu dicurigai, Yang Mulia!" tiba-tiba Lili berkata.
Raja Muda Yung Lo terbelalak dan mulutnya tersenyum. Gadis ini demikian bebas dan terus terang, juga pemberani, sungguh amat mengagumkan hatinya.
"Akan tetapi, nona. Jenderal Yauw Ti adalah seorang jenderal yang setia dan banyak jasanya terhadap ayahanda Sribaginda Kaisar. Dia tidak layak dicurigai! Bukankah tadipun sikapnya sudah jelas bahwa dia melindungi kakanda pangeran dan menentang para pembunuh?"
"Akan tetapi sikapnya sejak dahulu di kota raja amatlah mencurigakan, Yang Mulia," bantah Lili tanpa sungkan lagi.
"Sejak semula dia sudah memusuhi Sin Wan, bahkan hendak menangkap Sin Wan, pada hal dia tahu bahwa Sin Wan sedang melakukan penyelidikan dan mengejar-ngejar Si Kedok Hitam. Sikapnya itu jelas menunjukkan bahwa dia seperti melindungi Si Kedok Hitam. Tadipun, melihat betapa Sin Wan dan saya menentang para pembunuh, dia bersikap memusuhi kami. Saya sungguh curiga kepadanya!"
"Lili, kalau dia memusuhiku, hal itu adalah karena dia membenci orang Uighur," kata Sin Wan terus terang.
"Aih, benar juga!" tiba-tiba Raja Muda Yung Lo berseru.
"Dahulu, ketika dia membantu Jenderal Shu Ta yang memimpin pasukan mengejar orang-orang Mongol ke utara dengan berhasil, pada suatu hari Jenderal Yauw Ti tertawan oleh sekelompok orang Uighur. Dia mengalami penghinaan dan agaknya peristiwa itulah yang membuat dia membenci orang Uighur. Kalau dia tahu bahwa engkau keturunan Uighur dan membencimu, hal itu tidaklah terlalu mengherankan."
"Lili, kalau aku lebih condong mencurigai Yauw Siucai itu. Bagiku, dia penuh rahasia dan aneh, apalagi kalau aku teringat akan pengalamanku dahulu di kota raja ketika aku membayanginya, kemudian bertemu dengan Si Kedok Hitam...""""
"Sepanjang yang kuketahui, dia tidak berbahaya walaupun memang aneh dan penuh rahasia," kata Lili.
"Yang jelas, engkau memiliki tugas yang amat penting, Sin Wan. Oleh karena itu, engkau harus cepat kembali ke kota raja dan melanjutkan usaha melakukan penyelidikan sampai engkau dapat membongkar jaringan mata-mata Mongol yang berbahaya itu. Sebaiknya, beri laporan selengkapnya kepada Paman Jenderal Shu Ta tentang apa yang terjadi di sini."
"Baik, Yang Mulia. Memang saya tidak akan berhenti sebelum berhasil membongkar jaringan mata-mata itu, sebagai pelaksanaan tugas yang diberikan suhu kepada saya."
Sin Wan sudah bangkit dan hendak pamit. Hatinya merasa tidak enak sekali. Sudah sejak tadi dia bertemu Kui Siang dan seringkali bertukar pandang, namun tidak sepatah katapun keluar dari mulut sumoinya itu. Sumoinya itu agaknya masih membencinya, atau setidaknya, tidak mau berhubungan atau bahkan bicara dengan dia. Kenyataan ini amat pahit baginya, amat menyakitkan hati sehingga dia tidak tahan untuk tinggal di situ lebih lama lagi, berdekatan dengan sumoinya, akan tetapi sama sekali tidak diajak bicara.
"Nanti dulu, Sin Wan, masih banyak sekali hal yang perlu kami bicarakan dengan kalian bertiga. Akan tetapi sebelum itu, kami menghendaki Kui Siang menemani ke kota raja dan membantumu melakukan penyelidikan."
Sin Wan terbelalak dan dia memandang kepada sumoinya, akan tetapi gadis itu bahkan menundukkan muka tidak memandang kepadanya. Dia merasa kasihan kepada sumoinya.
"Akan tetapi, Yang Mulia, saya tidak.... tidak ingin merepotkan sumoi....."
Raja muda itu tersenyum lebar.
"Aku mengerti, memang usul kami ini terlalu tiba-tiba dan mengejutkan datangnya. Oleh karena itu, sudah sepatutnya kalau kalian berdua membicarakan lebih dulu. Kui Siang, Sin Wan, keluarlah kalian dari sini dan kalian bicaralah dulu tentang kerja sama itu, dan kami ingin bicara dengan nona Lili. Setelah selesai bicara, harap kalian masuk lagi karena percakapan kita belum selesai."
Kini Kui Siang mengangkat muka memandang. Dua pasang mata bertemu pandang, sesaat bertaut, kemudian Sin Wan memberi hormat kepada raja muda itu.
"Baiklah, Yang Mulia. Mari sumoi, kita bicara di luar."
Tanpa menjawab, Kui Siang bangkit, memberi hormat kepada raja muda itu lalu bersama Sin Wan ia keluar dari dalam tenda.
Para penjaga di luar menghormat ketika Kui Siang yang mereka kenal sebagai pengawal pribadi raja muda yang amat mereka kagumi dan hormati, keluar bersama Sin Wan.
Lili mengikuti mereka dengan pandang mata dan mulut tersenyum, bahkan terang-terangan gadis ini mengangguk-angguk.
Melihat ini, Raja Muda Yung Lo menegur,
"Nona, kenapa engkau mengangguk-angguk?"
"Saya senang melihat mereka berdua," kata Lili terus terang.
"Hemm, sejauh manakah hubunganmu dengan Sin Wan, nona?"
Lili mengangkat muka memandang dan pandang mata gadis itu sungguh terbuka dan jujur, penuh keberanian dan semangat sehingga kembali raja muda itu merasa kagum.
"Apa yang paduka maksudkan dengan kata-kata sejauh mana itu, Pangeran...... eh, paduka seorang raja muda dan...".."
Yung Lo menggerakkan tangan.
"Tidak mengapa, sebut saja pangeran karena akupun seorang pangeran, adik tiri Pangeran Mahkota Chu Hui San, namaku Pangeran Yen. Nah, kau belum menjawab pertanyaanku tadi. Yang kumaksud dengan sejauh mana hubunganmu dengan Sin Wan, apakah di antara kalian ada hubungan yang lebih erat, misalnya...".. kalian saling mencinta?"
Lili terbelalak dan tersenyum sehingga lesung pipitnya nampak jelas.
"Aih, saya senang sekali mendengar pertanyaan yang langsung dan jujur itu, Pangeran. Saya akan menjawab sejujurnya pula. Tidak saya sangkal bahwa pernah saya mengharapkan menjadi jodoh Sin Wan, akan tetapi ternyata dia tidak dapat mencinta gadis lain karena dia sudah jatuh cinta kepada seorang gadis. Sayapun mundur karena tak mungkin mencinta sebelah pihak, bukan? Dan sekarang saya tahu siapa gadis yang dicintanya itu. Tentu sumoinya itu."
Kini pangeran yang menjadi raja muda itu yang kagum. Benar-benar seorang gadis yang jujur dan terbuka, sikap yang amat disukainya karena dia sendiripun suka akan kejujuran.
"Dugaanmu benar. Mereka saling mencinta, akan tetapi karena kesalahpahaman mereka berpisah. Aku ingin agar mereka bersatu kembali maka aku sengaja menyuruh Kui Siang menemaninya ke kota raja. Akan tetapi, setelah Kui Siang pergi, aku akan merasa kehilangan sekali karena dia merupakan pengawal pribadiku yang gagah perkasa dan baik. Dan melihat engkau, timbul keinginanku untuk minta engkau menjadi pengganti Kui Siang, menjadi pengawal pribadiku. Maukah engkau, Lili?"
Kembali Lili tertegun dan memandang kepada raja muda itu dengan mata bulat dan mulut agak terbuka. Kemudian ia teringat ketika ia menjadi pengawal pribadi Pangeran Mahkota, maka ia memejamkan mata, menutup mulut dan menarik napas panjang melalui hidung sehingga cuping hidungnya berkembang kempis.
Geli juga hati raja muda itu melihat wajah yang manis dan lucu itu.
"Kenapa engkau menghela napas panjang, Lili? Kalau engkau tidak suka menerima, katakan saja terus terang, tak perlu berpura-pura."
"Pangeran, penawaran paduka agar saya menjadi pengawal pribadi paduka ini mengingatkan saya akan pengalaman saya ketika menjadi pengawal pribadi Sang Pangeran Mahkota."
Kini pangeran atau raja muda itu yang tertegun.
"Ehh? Engkau pernah menjadi pengawal pribadi kakanda Pangeran Mahkota?" Dia mengerutkan alisnya lalu menyambung.
"Akan tetapi...". kenapa sekarang tidak lagi dan pengawalnya adalah Yauw Siucai yang penuh rahasia itu? Apa yang telah terjadi?"
Dengan sejujurnya, tanpa ada yang disembunyikan, Lili menceritakan tentang pertemuan dan perkenalannya dengan Yauw Siucai, dan betapa ia dan Yauw Siucai kemudian bekerja pada Pangeran Mahkota.
"Oleh Pangeran Mahkota, saya ditarik menjadi pengawal pribadinya. Semula saya menyukai pekerjaan itu karena sang pangeran mahkota bersikap halus dan baik akan tetapi kemudian, pada suatu hari dia hendak memaksa saya menjadi selirnya. Saya tidak mau dan ketika hendak dipaksa, saya melarikan diri, bahkan pernah menjadi buronan yang dikejar-kejar. Untung, akhirnya Jenderal Shu Ta dapat menolong dan membujuk Pangeran Mahkota sehingga saya tidak dikejar-kejar lagi. Nah, itulah pengalaman yang membuat saya tadi ragu-ragu ketika paduka menawarkan pekerjaan pengawal kepada saya."
Mendengar ini, Pangeran Yen atau Raja Muda Yung Lo menghela napas panjang.
"Sudah lama aku mendengar akan prilaku kakanda pangeran yang tidak pantas itu. Akan tetapi, nona Lili, apakah engkau mengira aku akan bersikap seperti dia? Aku belum pernah selama hidupku memaksa seorang wanita!" Dia tertawa dan tawanya demikian bebas sehingga Lili juga ikut tertawa.
"Saya percaya, Pangeran. Biarpun paduka merupakan adik dari Pangeran Mahkota, akan tetapi saya telah mendengar banyak tentang paduka dari ayah."
"Berarti engkau suka menerima tawaranku untuk menjadi pengawal pribadiku menggantikan Kui Siang?"
Gadis itu mengangguk dan tersenyum.
"Saya mau, Pangeran, akan tetapi saya harus memberitahu kepada ayah dan ibu."
"Jangan khawatir, aku mengenal baik ayahmu itu. Aku akan mengirim surat kepada ayahmu, minta persetujuannya, sementara engkau ikut bersama ke utara, karena aku yakin bahwa Kui Siang tentu setuju untuk membantu Sin Wan sehingga aku tidak mempunyai seorang pengawal pribadi."
Lili tersenyum.
"Pangeran, paduka sendiri memiliki ilmu bela diri yang cukup tangguh, dan paduka merupakan raja muda yang mempunyai pasukan besar. Siapa berani mengganggu paduka? Tanpa pengawal pribadi sekalipun, paduka akan selalu dalam keadaan aman."
"Wah, engkau keliru, Lili. Buktinya, baru saja aku dan kakanda pangeran diserang dan hendak dibunuh musuh! Selain menjaga keselamatan, juga seorang pengawal pribadi kubutuhkan sebagai seorang sahabat yang setia dan baik, yang tidak segan-segan untuk menegur dan mengeritik kalau aku melakukan kesalahan."
Raja Muda Yung Lo lalu menceritakan keadaan dirinya dan penghuni istananya, juga tentang para pembantunya di utara untuk memperkenalkan keadaan di Peking kepada Lili yang mendengarkan dengan penuh perhatian. Jelas nampak perbedaan yang amat menyolok antara raja muda ini dan kakaknya, sang pangeran mahkota. Memang ada persamaan bentuk wajah, keduanya sama tampan dan berwibawa. Namun kalau pangeran mahkota nampak lemah dan kurang semangat, sebaliknya raja muda ini nampak kokoh kuat, gagah dan penuh semangat.
Mereka berdua meninggalkan perkemahan dan berjalan seiring tanpa bicara sedikitpun, namun keduanya seperti bersepakat saja, berjalan menuju ke tepi sungai yang sunyi dan akhirnya, masih tanpa bicara, mereka berdiri berhadapan di atas rumput tebal di tepi sungai, dalam cuaca yang remang-remang karena fajar mulai menyingsing dan malam itu terlewat tanpa terasa karena banyaknya peristiwa menegangkan terjadi. Sudah terdengar bunyi kokok ayam di kejauhan, akan tetapi di tepi sungai itu masih terdengar pula sisa bunyi binatang malam kerik jengkerik dan koak katak. Mereka hanya saling pandang, kemudian terdengar Sin Wan dahulu berkata.
"Sumoi...".." akan tetapi dia hanya mengeluarkan sepatah kata panggilan itu, tidak tahu harus bicara apa.
"Suheng..."" Kui Siang juga memanggil, suaranya lirih dan jelas bahwa suara itu gemetar. Kembali hening karena keduanya hanya saling pandang.
Sin Wan tidak berani lancang bicara karena dia belum tahu akan isi hati sumoinya, masih mengira bahwa sumoinya tetap membencinya dan enggan bicara dengannya.
Sebaliknya, Kui Siang juga merasa sulit untuk bicara. Selama ini ia merindukan suhengnya dan merasa bersalah kepada pemuda itu. Ingin ia minta maaf atas semua sikapnya yang tidak adil dan membenci suhengnya, satu-satunya pria yang selama ini dicintanya, akan tetapi setelah berhadapan, ia merasa sukar untuk mengeluarkan kata-kata. Hatinya dicekam keharuan yang membuat lehernya seperti dicekik rasanya.
"Sumoi, sudah bertahun-tahun kita tidak saling jumpa...." Suara Sin Wan tersendat.
"Ya, sudah lama sekali, suheng....." Kui Siang menyambung.
"Sumoi, bagaimana keadaanmu selama ini? Baik-baik sajakah? Suara Sin Wan mulai lancar ketika mendengar nada suara sumoinya tidak seperti orang marah.
Kui Siang menarik napas panjang dengan hati lega. Agaknya suhengnya ini tidak mendendam sakit hati oleh sikapnya dahulu.
"Aku baik-baik saja, suheng. Dan bagaimana dengan engkau?"
"Akupun dalam lindungan Allah Yang Maha Kasih, sumoi. Bagaimana pendapatmu dengan perintah Raja Muda Yung Lo tadi, sumoi? Aku..... aku tidak ingin melihat engkau repot dan tidak senang dengan pekerjaan itu..."...."
Hening sejenak, kemudian terdengar suara Kui Siang, suara yang lirih dan sukar sekali keluarnya, seperti bercampur isak.
"Suheng...".. apakah engkau tidak marah kepadaku......"
"Marah? Aku? Kenapa aku harus marah kepadamu, sumoi?"
Kui Siang menundukkan mukanya.
"Suheng...., dahulu aku telah menghinamu, aku memakimu anak penjahat, aku mengatakan.... bahwa aku membencimu..." suheng, aku.... aku......." Kui Siang menangis, suaranya terputus, terganti suara isak tangisnya.
Sin Wan tertegun, hampir ia melonjak kegirangan dan tanpa disadarinya, kedua kakinya bergerak menghampiri gadis itu sampai mereka berdiri dekat sekali.
"Sumoi, kalau begitu...".... engkau tidak lagi menganggap aku anak penjahat, engkau tidak lagi....... membenciku?"
Dia memegang kedua pundak gadis itu, mendorong gadis itu tegak dan memandangnya. Kui Siang mengangkat mukanya dan air matanya bercucuran membasahi kedua pipinya.
"Suheng, kau..... maafkan aku, suheng......" Gadis itu berkata di antara isak tangisnya.
"Sumoi...".." Sin Wan merangkul dan mendekap kepala itu yang kini bersandar ke dadanya "Ya Allah, terima kasih atas karuniaMu...... ah, sumoi, betapa rinduku kepadamu, betapa cintaku kepadamu......."
"Suheng, maafkan aku......." Gadis itu mengulang.
Sin Wan mendorong dengan lembut pundak gadis itu sehingga dia dapat melihat mukanya, muka yang basah air mata, mata yang mengandung penuh penyesalan dan diapun menggunakan jari-jari tangannya mengusap air mata yang membasahi kedua pipi itu.
"Sumoi, engkau tidak bersalah apa-apa kepadaku. Memang aku pernah menjadi anak tiri penjahat yang telah menghancurkan keluarga ayahmu. Sudah sepatutnya engkau membencinya, dan karena aku anak tlrinya, sudah sepantasnya pula engkau membenci aku. Jangan minta maaf kepadaku. Tuhan Allah Maha Pengampun, sumoi, marilah kita mohon ampun atas segala kesalahan kita kepadaNya."
"Suheng......," Kui Siang kembali merebahkan mukanya di dada pria yang selama ini dirindukannya, pria yang lebih dipilihnya dari pada Raja Muda Yung Lo!
Sampai beberapa lamanya mereka terbenam dalam suasana yang asyik masyuk ini, lupa diri lupa keadaan, seolah menjadi satu. Bersatunya dua buah hati yang saling mencinta. Setelah keharuan yang tadi melanda hati keduanya lewat, barulah Sin Wan melepaskan rangkulannya dan berkatalah dia dengan suara yang lembut.
"Sumoi, kita mengucap syukur kepada Tuhan Maha Pengasih yang mempertemukan kita dalam keadaan seperti ini. Aku merasa berbahagia sekali, sumoi. Sekarang, bagaimana pendapatmu tentang perintah Raja Muda Yung Lo agar engkau membantuku melakukan penyelidikan ke selatan?"
"Beliau mengeluarkan perintah itu memang sengaja agar kita dapat bersatu suheng."
"Ehh? Apa maksudmu?"
"Suheng, beliau pernah menyatakan cinta kepadaku dan ingin memperisteriku. Akan tetapi aku menolaknya dan mengatakan bahwa cintaku hanya kepadamu. Beliau dengan bijaksana dapat menerima alasan itu dan beliau berjanji untuk mempersatukan kita. Ternyata beliau memegang janjinya, suheng."
Sin Wan kembali mendekap gadis itu dengan penuh kasih sayang. Bukan main sumoinya ini, pikirnya. Menolak pinangan Raja Muda Yung Lo dan memilih dia! Betapa bangga dan besar rasa hatinya.
"Kalau begitu, engkau menerima perintah itu? Kita melakukan perjalanan bersama ke selatan?"
"Tentu saja, suheng. Mulai detik ini, aku tidak sudi lagi berpisah darimu, biar seharipun! Kita hidup dan mati bersama. Aku tidak ingin engkau melakukan perjalanan didampingi gadis lain seperti yang terjadi dengan Lili itu. Rasanya masih panas dadaku kalau mengingat betapa akrabnya engkau dengannya."
Sin Wan tertawa.
"Ihh, engkau cemburu? Bukankah sudah kukatakan bahwa aku tidak mencintanya, walaupun ia seorang gadis yang baik pula? Kautahu, sumoi, Lili adalah puteri kandung panglima Bhok Cun Ki."
Dengan singkat Sin Wan lalu bercerita tentang Lili dan Bhok Cun Ki. Kui Siang senang mendengarnya dan ia percaya sepenuhnya bahwa kekasihnya ini tidak pernah mencinta gadis lain kecuali ia seorang. Sambil bergandeng tangan, akhirnya mereka kembali ke perkemahan di mana Raja Muda Yung Lo masih nampak bercakap-cakap dengan Lili.
Melihat dua orang muda itu masuk ke dalam perkemahan sambil bergandeng tangan, Raja Muda Yung Lo tersenyum lebar dan bangkit menyambut mereka dengan sinar mata gembira.
"Selamat, selamat. Perpisahan telah berakhir, dua hati yang saling mencinta telah bertemu dan berkumpul kembali!" kata bangsawan itu dengan kegembiraan yang wajar.
"Akupun ikut bergembira, Sin Wan. Ternyata penolakanmu terhadap adikku Ci Hwa bukan alasan kosong karena memang engkau sudah mempunyai pilihan hati sendiri. Kionghi (selamat)!" kata pula Lili.
Sin Wan dan Kui Siang merasa terharu dan kagum bukan main. Sin Wan merasa kagum kepada Lili yang demikian jujur dan dapat menerima kenyataan, sedangkan Kui Siang juga kagum terhadap Raja Muda Yung Lo. Dua orang itu benar-benar merupakan orang-orang yang mempunyai pandangan luas dan kejujuran yang terbuka, bukan hanya membuta karena nafsu mementingkan diri sendiri belaka.
Sin Wan dan Kui Siang cepat memberi hormat dan mengucapkan terima kasih mereka.
"Yang Mulia, saja mohon diri untuk segera kembali ke kota raja dan melaksanakan tugas penyelidikan yang penting itu."
"Dan sayapun dengan senang hati mematuhi perintah paduka untuk membantu suheng membongkar rahasia jaringan mata-mata Mongol di kota raja, Yang Mulia."
Raja Muda Yung Lo mengangguk-angguk dan tersenyum ramah.
"Berita ini sungguh amat menggembirakan hati kami, dan memang sebaiknya kalau kalian cepat pergi ke selatan melaksanakan tugas itu. Akan tetapi ada berita lain yang juga amat menggembirakan, yaitu bahwa nona Lili telah menerima permintaanku untuk menggantikan kedudukan Kui Siang, menjadi pengawal pribadiku."
Sin Wan dan Kui Siang saling pandang dan tersenyum gembira.
"Sungguh, kiranya tidak ada lain orang yang lebih cocok untuk menjadi pengawal pribadi paduka kecuali Lili, Yang Mulia!" kata Sin Wan.
"Ucapan suheng benar sekali! Sayapun merasa gembira karena saya sudah mendengar dari suheng tentang adik Lili dan memang ia cocok sekali untuk menjadi pengawal pribadi paduka!" sambung Kui Siang.
"Nah, mengenai Lili, kami akan menitipkan surat ini kepadamu, Sin Wan, agar kau serahkan kepada Panglima Bhok Cun Ki, di mana kami minta persetujuannya agar puterinya bekerja sebagai pengawal pribadiku."
"Ada sebuah hal lagi yang amat menggelisahkan hati kami, dan hanya kepada kalian bertigalah aku mau membicarakannya karena aku percaya kepada kalian. Duduklah dan dengarkan baik-baik, akan tetapi jangan sampai kalian membocorkan kepada orang lain apa yang kalian dengar dari mulutku ini," kata Raja Muda Yung Lo dan melihat kesungguhan sikap, pandang mata dan suara raja muda itu, Sin Wan, Lili dan Kui Siang segera mengambil tempat duduk dan mendengarkan penuh perhatian.
"Telah terjadi perubahan besar sekali di kota raja, terutama perubahan atas diri ayahanda Sribaginda Kaisar dan Kakanda Pangeran Mahkota." Dia mulai bicara dengan pandang mata sedih.
"Sribaginda Kaisar yang dahulu dikenal sebagai seorang pemimpin besar, pendiri Kerajaan Beng dan pengusir penjajah Mongol, sekarang telah berubah dalam usia tuanya. Dahulu beliau seorang ayah yang mencinta putera-puteranya, akan tetapi sekarang? Beliau menjadi orang yang selalu gelisah, selalu curiga, bahkan terhadap para putera sendiri beliau tidak percaya. Beliau merasa seolah dikepung musuh-musuh dan hampir tidak ada orang yang beliau percaya lagi. Dan kecurigaan ini membuat beliau suka berbuat kejam dan tidak adil. Entah berapa banyaknya panglima dan pejabat yang dihukum mati hanya karena beliau menaruh curiga."
"Sesungguhnya, Paman Bhok Cun Ki pernah menyinggung keadaan itu dalam percakapannya berdua dengan saya, Yang Mulia. Ketika Sribaginda menghukum mati tiga orang panglimanya yang setia, kemudian menghukum mati pula seorang menteri yang mencoba mengingatkan beliau dan memprotes, maka para pejabat lainnya mundur dan tidak berani mencampuri. Juga Paman Bhok Cun Ki sendiri tidak berdaya. Bahkan dua orang Jenderal besar yang dipercaya Sribaginda, yaitu Jenderal Shu Ta dan Jenderal Yauw Ti, tidak mampu mengingatkan beliau," kata Sin Wan.
Raja Muda Yung Lo menghela napas panjang.
"Memang beliau telah berubah sama sekali. Aku ingat benar ketika aku masih kecil, ayahanda sering bercerita tentang masa lalunya. Beliau merasa bangga menceritakan ketika beliau masih muda, pernah menjadi penggembala kerbau, pernah menjadi kacung di kuil, pernah pula menjadi gelandangan yang tak berumah, menjadi anggauta kai-pang (perkumpulan pengemis) dan memimpin orang-orang kangouw. Semua itu diceritakan dengan gembira. Beliau bangga bahwa dari rakyat kecil biasa, beliau berhasil menjadi pemimpin besar menghalau penjajah dan mendirikan kerajaan baru. Akan tetapi sekarang menjadi sebaliknya, kalau ada yang bicara sedikit saja tentang masa lalu beliau, dianggap penghinaan dan orang itu akan dihukum mati!"
"Saya kira paduka tidak perlu terlalu menyusahkan keadaan Sribaginda itu, Pangeran. Mungkin beliau mempunyai alasan kuat untuk menjatuhkan hukuman," kata Lili.
Raja Muda Yung Lo tersenyum dan mengangguk.
"Engkau benar, Lili. Akupun sudah seringkali menghibur diri. Bagaimanapun juga, Sribaginda Kaisar adalah orang yang paling berjasa bagi tanah air dan bangsa."
"Dan perubahan apa yang terjadi pada diri Pangeran Mahkota, Pangeran?" Lili bertanya.
"Lili, tentu engkau tahu sendiri bagaimana sekarang ini kakanda pangeran hanya mengejar kesenangan, hanya mengumbar nafsu tidak memperdulikan akan pemerintahan. Padahal, beliau adalah pangeran mahkota yang kelak menggantikan ayahanda Kaisar. Engkau mengalami sendiri betapa untuk menuruti nafsunya, beliau sampai lupa diri dan melakukan hal-hal yang tidak patut, seperti yang coba beliau lakukan terhadap dirimu. Sungguh memprihatinkan sekali kalau aku ingat kepada ayahanda dan kakanda di kota raja."
"Lalu apa yang paduka ingin kami perbuat sehubungan dengan dua hal itu, Yang Mulia?" kata Kui Siang yang merasa kasihan kepada raja muda itu.
"Aku ingin agar kalian dalam penyelidikan kalian di kota raja, menyelidiki pula apa hubungan perubahan pada ayahanda dan kakanda itu dengan kegiatan jaringan mata-mata Mongol. Kami khawatir kalau-kalau perubahan itu akibat ulah para mata-mata yang tentu ingin menghancurkan Kerajaan Beng."
Sin Wan dan Kui Siang mengerti dan setelah menyanggupi, mereka lalu berangkat meninggalkan tempat itu. Pada hari itu juga, Raja Muda Yung Lo kembali pula di Peking bersama pasukannya.
"Aku harus membuat perhitungan dengan Si Kedok Hitam si jahanam itu!" Tung-hai-liong Ouwyang Cin mengepal tinju.
"Tidak saja dia hendak memperalat aku dengan menawanmu, akan tetapi juga dia kurang ajar sekali, menguasai orang-orang kangouw yang dahulu tunduk kepadaku. Kita harus menyelidiki dan menangkap dia!"
Datuk para bajak laut di timur ini marah bukan main karena hampir saja dia, muridnya, dan puterinya yang sudah tertawan Si Kedok Hitam, celaka di tangan pemimpin mata-mata Mongol itu.
"Akan tetapi, suhu. Bukankah mereka itu menjanjikan kedudukan raja muda kepada suhu kalau perjuangan mereka berhasil?" Maniyoko bertanya.
"Persetan! Belum apa-apa, dia hendak memaksa kita untuk melakukan pembunuhan terhadap dua orang pangeran, seolah kita ini anak buahnya saja. Lebih lagi, dia menawan Akim, itu bukan kerja-sama namanya. Siapa sih dia itu hendak memperalat aku?"
"Kita memang harus mencarinya dan menghajarnya, ayah," kata Akim marah.
"Kalau saja tidak ada Sin Wan, tentu kita celaka."
"Hemm, pemuda itu? Akim, bagaimana engkau bisa mengenal pemuda itu dan siapa dia?"
"Namanya Sin Wan, ayah. Memang aku telah mengenal dia sebelumnya, dia murid Sam-sian dan menjadi wakil gurunya melaksanakan tugas dari Kaisar untuk memerangi jaringan mata-mata Mongol."
"Hemm, agaknya sumoi akrab sekali dengan pemuda itu!" Maniyoko berkata dengan nada suara dingin.
Sepasang mata yang indah itu mencorong.
"Aku mau akrab dengan dia ataupun dengan siapa juga, apa sangkut pautnya denganmu!" bentaknya.
Dibentak begitu, Maniyoko terdiam dan mukanya berubah merah. Diam-diam dia merasa marah dan cemburu sekali. Teringat dia betapa dahulu pernah dia menawan Lili, akan tetapi pemuda itu pula yang menentangnya, merampas Lili yang telah ditawannya dan mengalahkan dia. Sekarang, pemuda itu agaknya akan merebut Akim darinya.
Mendengar ucapan puterinya itu, Tung-hai-liong bertanya,
"Akim, apakah engkau dan pemuda murid Sam-sian itu saling mencinta?"
"Kalau aku dan dia saling mencinta, apakah ayah hendak melarang?" Akim balas bertanya, sikapnya menantang.
Tung-hai-liong tertawa.
"Sebetulnya aku ingin melihat engkau menjadi isteri suhengmu, akan tetapi kalau engkau dan murid Sam-sian itu saling mencinta, akupun tidak keberatan engkau menjadi jodohnya asal Sam-sian sendiri yang mengajukan pinangan kepadaku."
"Tidak, ayah! Aku tidak mau menjadi isteri suheng, juga aku tidak sudi menjadi isteri laki-laki yang tidak mencintaku melainkan mencinta wanita lain seperti Sin Wan. Aku benci! Aku benci dia!" Gadis itu lalu lari meninggalkan ayahnya dan suhengnya.
Melihat muridnya seperti orang yang kecewa dan agaknya perasaannya terpukul oleh sikap Akim, Tung-hai-liong Ouwyang Cin menghiburnya.
"Maniyoko, engkau beruntung bahwa Akim tidak sudi menjadi jodoh Sin Wan, berarti ia masih bebas dan kelak dapat kubujuk untuk mau menjadi jodohmu. Sekarang, biarkan ia bertualang. Kita harus pulang karena setelah anak itu pergi, di rumah tidak ada orang."
"Kalau suhu mengijinkan, teecu (murid) ingin mencari sumoi dan diam-diam membayangi dan melindunginya. Jaringan mata-mata Mongol itu berbahaya, teecu khawatir sumoi akan terjebak dan tertawan lagi. Kalau suhu hendak pulang lebih dahulu, silakan."
Kakek itu mengangguk.
"Begitupun baik. Aku tidak sudi menjadi hamba dari orang-orang Mongol."
Guru dan murid inipun berpisah. Tung-hai-liong Ouwyang Cin kembali ke timur, sedangkan Maniyoko mencari sumoinya yang tadi lari ke selatan, tentu menuju ke kota raja.
Biarpun dia berhasil menyusul sumoinya, Maniyoko tetap tidak mau memperlihatkan diri. Sumoinya sedang kesal hatinya dan dia mengenal benar watak sumoinya. Kalau sedang dalam keadaan seperti itu, sumoinya amat sukar didekati dan kalau dia memperlihatkan diri, besar kemungkinan sumoinya akan menjadi semakin kesal dan marah. Maka diapun membayangi saja dari jauh sampai akhirnya mereka tiba di luar pintu gerbang kota raja Nan-king. Di Jalan raya itu, dia melihat rombongan Pangeran Mahkota yang dikawal ketat memasuki kota raja, dan nampak jelas Jenderal Yauw Ti dalam sebuah kereta yang mengiringkan di belakang, dikawal oleh pasukan berkuda.
Tiba-tiba, seorang yang mengenakan kedok biru menghampirinya. Maniyoko sudah siap siaga untuk menyerang orang itu, akan tetapi si kedok biru memberi isyarat kepadanya, lalu berkata singkat,
"Yang Mulia mengundang saudara Maniyoko untuk bertemu. Mari!"
Maniyoko tertarik. Dia teringat akan kunjungan utusan yang menyerahkan hadiah kepada gurunya dan utusan itupun mengatakan bahwa pimpinan mereka hanya dikenal dengan sebutan Yang Mulia. Dia masih kecewa akan penolakan gurunya bersekutu dengan orang-orang Mongol yang menjanjikan kedudukan mulia, maka kini dia ingin tahu apa yang akan dikatakan pimpinan mata-mata Mongol itu kepadanya. Dia mengikuti bayangan itu yang bergerak amat cepat memasuki hutan kecil di sebelah timur jalan.
Setelah tiba di tengah hutan, si kedok biru berhenti dan Maniyoko berhenti pula di belakangnya. Ternyata di situ telah berdiri dua orang yang aneh dan juga menyeramkan. Yang seorang adalah seorang pria yang usianya sudah enampuluh tahun akan tetapi masih nampak muda dan tampan, bertubuh tinggi tegap dengan muka yang merah sekali, seolah muka itu dilumuri darah.
Pakaiannya dari sutera putih yang halus mengkilap dan di punggungnya tergantung sebatang golok gergaji. Adapun orang ke dua, juga sedikit lebih muda namun masih ramping dan cantik, hanya warna kulit mukanya yang mengerikan karena pucat seperti muka mayat. Juga pakaian wanita ini terbuat dari sutera putih halus dan di pinggang yang ramping melingkar seekor ular yang sebetulnya senjata sabuk ular yang sudah mati.
Maniyoko tidak tahu bahwa dia berhadapan dengan dua orang datuk sakti yang lihai sekaii, yaitu Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli, sepasang iblis yang amat lihai dan kejam, yang kini telah menjadi kaki tangan Si Kedok Hitam, membantu gerakan para mata-mata Mongol. Akan tetapi karena di situ dia tidak melihat adanya Si Kedok Hitam, dia menduga bahwa dua orang ini tentulah pembantu pimpinan mata-mata itu, maka dia tidak berani bersikap angkuh dan tetap waspada karena dia belum tahu apa maksud mereka mengundangnya, padahal belum lama ini dia dan suhunya serta sumoinya menentang mereka dan bertempur dengan mereka di atas perahu.
"Apa maksudnya aku diundang ke sini?" tanya Maniyoko sambil menoleh kepada si kedok biru yang tadi mengajaknya ke tempat itu.
Ang-bin Moko tertawa.
"Engkau murid Tung-hai-liong dan namamu Maniyoko? Ingin tahu mengapa kami mengundangmu atas nama Yang Mulia? Lihatlah di sana itu!" Dia menuding ke arah belakangnya dan Maniyoko mengangkat muka memandang dan terkejutlah dia. Di sana, sekira seratus meter dari situ, nampak Ouwyang Kim berdiri terikat pada sebatang pohon dan melihat betapa kepala gadis itu terkulai, dia dapat menduga bahwa sumoinya tentu dalam keadaan pingsan atau tertotok lemas.
"Apa yang kalian lakukan kepada sumoi? Hayo cepat bebaskan sumoi!" katanya dan diapun sudah mencabut pedang samurainya dari punggung, siap untuk menerjang mereka.
"Tenanglah, orang muda dan simpan kembali pedangmu. Sejak semula, Yang Mulia menawarkan kerja sama dengan Tung-hai-liong, namun karena dia keras kepala, maka kerja sama itu gagal."
"Tapi kalian telah menawan sumoi di perahu itu, tentu saja kami menentang kalian! Dan sekarang, kalian kembali menawan sumoi!" kata Maniyoko marah.
Pria dan wanita yang aneh itu tertawa.
"Hi..hik, orang muda yang tampan. Kalau kami menawan puteri Tung-hai-liong, hal itu kami lakukan karena ia yang menyerang kami. Akan tetapi kami masih ingat akan persahabatan, maka kami tidak membunuhnya. Lihat, kami sekarang menawannyapun dengan maksud baik, agar ia berhutang budi kepadamu, agar engkau meningkat dalam pandangan sumoimu. Bukankah engkau menghendaki agar sumoimu itu kelak dapat membalas cintamu dan menjadi isterimu?"
Maniyoko terkejut. Kiranya wanita yang mukanya seperti mayat itu telah mengetahui isi hatinya. Tentu mereka itu telah mengintai dan mendengar percakapan antara dia dan gurunya.
"Apa maksud kalian? Sebenarnya, mau apa kalian menawan sumoi?"
Pek-bin Moli mendekati pemuda itu dan berbisik-bisik. Maniyoko mengangguk-angguk. Tak lama kemudian, sepasang iblis itu memberi isyarat dan muncullah enam orang laki-laki yang berpakaian seragam seperti perajurit kerajaan yang memang sudah menerima perintah dari sepasang iblis itu. Enam orang itu lalu menghampiri Akim yang terbelenggu pada pohon, sedangkan sepasang iblis itu menghilang di balik pohon-pohon. Maniyoko juga menyelinap di balik semak belukar dan mengintai.
Enam orang itu mengambil air dan menyiram kepala dan muka Akim dengan air. Gadis itu akhirnya siuman dan melihat betapa ia terbelenggu pada pohon dan ada enam orang perajurit kerajaan berdiri di depannya, ia berusaha meronta untuk melepaskan diri. Akan tetapi, enam orang itu sudah mencabut pedang dan menodongkan senjata mereka kepadanya.
"Aihhh, jangan mencoba untuk melepaskan diri, nona, atau pedang kami akan melumatkan tubuhmu."
Akim berhenti dan memandang kepada mereka dengan mata mendelik penuh kemarahan. Tadi, ketika ia berjalan hendak menuju ke pintu gerbang kota raja, ia mendengar suara orang memanggilnya dari hutan itu. Ia memasuki hutan dan diserang dua orang kakek dan nenek yang amat lihai. Ia melakukan perlawanan namun akhirnya ia roboh tertotok dan tidak sadar lagi, pingsan.
"Siapa kalian dan mau apa kalian menangkapku? Lepaskan aku!"
Seorang di antara mereka yang berkumis tebal menjawab sembar" tertawa,
"Ha..ha, engkau masih bertanya lagi? Lihat pakaian seragam kami. Kami adalah anak buah Panglima Bhok Cun Ki. Kami mendapat tugas menangkapmu dan menghukummu karena engkau telah berani menggoda calon mantu Bhok-ciangkun."
"Menggoda calon mantu Bhok-ciangkun? Kalian gila! Aku tidak mengenal calon mantu Bhok-ciangkun!" Akim membentak marah. Brarpun ia sudah terbelenggu dan ditodong pedang dalam keadaan tidak berdaya, namun sedikitpun ia tidak memperlihatkan rasa takut.
"Lepaskan aku!"
"Ha..ha..ha, Bhok-ciangkun telah mengijinkan kami untuk berbuat apa saja terhadap dirimu dan kami tidak akan melepaskanmu begitu saja, manis! Jangan berpura-pura. Calon mantu Bhok-ciangkun bernama Sin Wan, apakah engkau hendak menyangkal lagi?"
Sepasang mata itu terbelalak. Sin Wan? Dan dia calon mantu Bhok Cun Ki? Tentu saja ia tidak dapat menyangkal bahwa ia mencinta Sin Wan walau kini cintanya berubah menjadi perasaan sedih dan marah karena pemuda itu tidak membalas cintanya. Akan tetapi baru sekarang ia tahu bahwa Sin Wan adalah calon mantu Bhok Cun Ki. Ia teringat akan pembelaan pemuda itu terhadap keluarga Bhok.
"Nah, engkau tidak akan menyangkal, bukan? Itulah sebabnya maka kami disuruh menangkapmu dan membunuhmu. Akan tetapi kami akan mengajakmu bersenang-senang dulu sebelum membunuhmu. Ha..ha..ha!" Enam pasang tangan itu bergerak, agaknya hendak meraba tubuh Akim yang terbelenggu.
"Jahanam, jangan ganggu sumoi!" terdengar bentakan nyaring dan Maniyoko datang menyerbu dengan pedang samurai di tangan. Enam orang itu terkejut, menggerakkan pedang untuk mengeroyok Maniyoko. Akan tetapi pemuda itu mengamuk dengan pedang samurainya sehingga para pengeroyoknya menjadi gentar, apalagi setelah tiga orang dirobohkan oleh tendangan-tendangan Maniyoko dan yang tiga orang lagi terpaksa melepaskan pedangnya yang patah-patah ketika bertemu pedang samurai. Mereka berenam lalu melarikan diri dan Maniyoko tidak mengejarnya, melainkan cepat menghampiri sumoinya dan melepaskan tali pengikatnya.
Tentu saja Akim girang bukan main. Baru saja ia terlepas dari pada ancaman bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut sendiri.
"Terima kasih, suheng. Syukur engkau datang, kalau tidak...".."
"Sudahlah, sumoi. Siapakah mereka itu dan bagaimana engkau sampai dapat tertawan oleh orang-orang itu?"
Akim memungut pedangnya yang oleh para penawannya dilempar ke atas tanah, lalu mengikatkan lagi pedangnya di punggung dan iapun mengepal tinju.
"Kalau hanya mereka itu yang mengeroyokku, tak mungkin aku dapat mereka tawan. Akan tetapi yang mengeroyokku adalah dua orang kakek dan nenek yang lihai bukan main. Dan yang lebih menggemaskan, mereka itu disuruh oleh Bhok Cun Ki untuk menangkap, menghina dan membunuhku. Keparat Bhok Cun Ki! Aku harus membuat perhitungan dengan dia!"
"Siapakah Bhok Cun Ki dan mengapa pula dia menyuruh anak buahnya menawanmu, sumoi?"
"Dia seorang panglima di kota raja. Sombongnya bukan main! Baru aku ketahui bahwa dia adalah calon mertua Sin Wan, dan dia menangkapku karena aku dianggap menggoda Sin Wan. Keparat! Siapa ingin merebut mantu orang? Aku harus membuat perhitungan, sekarang juga!"
"Tenanglah, sumoi. Memang penghinaan ini harus dibalas, akan tetapi mengingat dia seorang panglima, kita harus berhati-hati dan menyerbu ke sana dengan diam-diam, jangan sampai kita dikepung ratusan orang perajurit. Aku akan membantumu, Akim."
"Baik, terima kasih suheng. Dan bagaimana suheng dapat berada di sini? Di mana ayah?".
"Suhu telah pulang dan suhu yang mengutus aku untuk menyusulmu dan agar dapat membantu dan menemanimu! Dua orang kakak beradik seperguruan ini dengan hati penuh dendam lalu melanjutkan perjalanan memasuki kota raja.
Tentu saja Maniyoko tidak menceritakan kepada sumoinya tentang pertemuannya dengan Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli, tidak menceritakan betapa dia kini telah bergabung dan bekerja sama dengan anak buah Yang Mulia dan bahwa tugasnya yang pertama adalah membantu Akim untuk membunuh Panglima Bhok Cun Ki yang dianggap berbahaya dan musuh besar Yang Mulia!
Bhok Cun Ki pulang dengan wajah pucat dan tubuh lesu. Baru saja dia dipanggil oleh Sribaginda Kaisar dan di persidangan itu, di mana hadir pula Jenderal Shu Ta dan para menteri, Kaisar marah-marah dan memaki-maki Bhok Cun Ki yang dianggap tidak mampu menjaga keamanan sehingga jaringan mata-mata semakin mengganas. Bahkan hampir saja Pangeran Yen atau Raja Muda Yung Lo dan Putera Mahkota terbunuh oleh penyerbuan anak buah jaringan mata-mata musuh. Berita yang sampai kepada Kaisar adalah berkat ketangkasan Jenderal Yauw Ti dan pasukannya, maka usaha pembunuhan itu dapat digagalkan!
"Bagaimana sih usahamu menghancurkan jaringan mata-mata di kota raja? Uhh, sampai kami tidak dapat tidur karena siapa lagi yang dapat kami percaya? Seolah-olah diri kami dikurung oleh mata-mata musuh, tidak tahu lagi kami siapa kawan siapa lawan!" demikian antara lain Sribaginda Kaisar Thai-cu yang kini selalu nampak gelisah itu memarahi Bhok Cun Ki.
"Bhok-ciangkun, kalau dalam waktu sebulan engkau belum juga mampu menghancurkan jaringan mata-mata di sini, kami mulai curiga jangan jangan engkau telah diperalat pula oleh mereka. Sebulan engkau harus mampu menghancurkan mereka, atau kau kami anggap pemberontak dan pengkhianat dan sekeluargamu akan kami suruh jatuhi hukuman mati!"
Ucapan Kaisar ini terasa bagaikan kilat menyambar di hari panas, amat mengejutkan, akan tetapi juga bagaikan ujung pedang menusuk jantung. Selama puluhan tahun dia mengabdi dengan penuh kesetiaan dan kesungguhan, sudah tak terhitung banyaknya jasa yang disumbangkan untuk negara dan sekarang dia menerima hadiah ancaman seberat itu dari Kaisar!
Memang dia tahu bahwa selama beberapa tahun ini terjadi perubahan hebat atas diri Kaisar, sikapnya dan perangainya berubah sama sekali. Pejuang besar Chu Goan Ciang yang kini menjadi Kaisar itu, yang pada mulanya memerintah dengan bijaksana dan baik, akhir-akhir ini berubah menjadi pemarah, selalu curiga, tidak mempercayai lagi orang-orang yang tadinya setia kepadanya, dan juga kejam bukan main, mudah menjatuhkan hukuman mati kepada orang-orang yang tadinya amat dekat dengannya, yang tadinya amat setia kepadanya.
Setelah tiba di rumah, Bhok Cun Ki tidak menceritakan ancaman Kaisar itu kepada keluarganya. Dia tahu bahwa terutama, sekali Cu Sui In yang baru saja menjadi isterinya yang sah dan tinggal di rumahnya sebagai isteri terkasih, tentu akan penasaran dan marah sekali kalau mendengar akan peristiwa di istana tadi. Cu Sui In tentu akan marah dan mungkin melakukan hal-hal yang bahkan akan membuat Kaisar semakin curiga kepadanya. Oleh karena itu, dia hanya menceritakan tentang peristiwa di luar kota Cin-an ketika Raja Muda Yung Lo dan Pangeran Mahkota mengadakan pesta pertemuan, tentang penyerbuan mata-mata yang dapat digagalkan.
"Kita tinggal menunggu pulangnya Lili. Pasti ia akan membawa keterangan yang lebih lengkap mengenai peristiwa itu," kata Bhok Cun Ki.
"Sebaiknya kalau mulai hari ini kalian berdua ikut waspada dan berjaga-jaga, karena agaknya gerombolan mata-mata semakin nekat dan mengganas," pesannya kepada Ci Han dan Ci Hwa.
Entah mengapa, setelah kembali dari istana, hati Bhok Cun Kl merasa tidak tenang dan tidak enak, seolah sikap Kaisar itu ada kaitannya dengan kegiatan jaringan mata-mata. Timbul kekhawatirannya bahwa mungkin saja semua ini sengaja diatur oleh musuh, dan bukan tidak mungkin musuh mengirim pembunuh ke rumahnya! Tentu saja dia tidak khawatir, karena selain dia sendiri dan dua orang anaknya yang memiliki kepandaian cukup untuk membela diri, di sampingnya kini terdapat pula isterinya, Cu Sui In yang boleh diandalkan, bahkan lebih lihai darinya.
Pada malam berikutnya, lewat tengah malam, Ci Han yang melakukan perondaan di sekitar rumah
JILID 16
keluarganya, menggantikan adiknya, Ci Hwa yang bertugas jaga sejak sore sampai tengah malam. Mereka hanya berjaga-jaga dan kadang meronda, kalau-kalau ada musuh yang menyusup ke dalam karena di luar pekarangan rumah mereka sudah terdapat pasukan penjaga yang siang malam menjaga keamanan rumah keluarga panglima itu.
Ketika Ci Han berkeliling sampai di taman keluarga yang berada di belakang rumah, tiba-tiba dia berhenti melangkah karena dia melihat bayangan orang berkelebat. Akan tetapi tidak terdengar suara apapun, maka dia meragu, mengira bahwa mungkin itu permainan bayangan pohon yang digerakkan angin malam. Biarpun demikian, dia memasuki taman untuk memeriksa. Taman itu cukup terang karena di sana sini terdapat lampu gantung. Akan tetapi udaranya dingin bukan main.
Dengan tangan kanan di gagang pedang yang tergantung di pinggang kiri, Ci Han melangkah dengan hati-hati ke dalam taman bunga itu. Tiba-tiba dia terkejut karena dari balik rumpun bunga yang tebal muncul dua bayangan orang yang gerakannya gesit sekali. Di bawah sinar lampu dia sempat melihat bahwa dua orang itu adalah seorang pemuda tampan dan seorang gadis cantik.
Dia merasa pernah mengenal wajah gadis cantik itu, akan tetapi belum sempat dia menegur, dua orang itu telah menyerangnya dengan gerakan yang amat cepat. Ci Han mencabut pedangnya, akan tetapi baru saja pedangnya tercabut, gadis itu telah berhasil menotok pundaknya dan diapun terpelanting. Pemuda itu menyambar tubuhnya, lalu memanggul tubuhnya yang lemas tak berdaya.
"Kita bawa dia keluar. Cepat!" kata si gadis dan pemuda itu lalu meloncat, mengikuti gadis itu yang bergerak cepat dan ringan seperti burung terbang saja.
Mereka adalah Ouwyang Kim dan suhengnya, Maniyoko. Seperti kita ketahui, Akim telah terkena siasat yang dilakukan secara cerdik oleh para pemberontak, yang menyamar perajurit anak buah Bhok Cun Ki yang menawannya dan mengancamnya hendak memperkosanya lalu membunuhnya. Sudah diatur oleh mereka yang berhasil memperalat Maniyoko sehingga pemuda inilah yang menyelamatkan sumoinya. Tentu saja Akim marah dan mendendam kepada Bhok Cun Ki dan Maniyoko beraksi membantunya, pada hal memang telah diatur agar Ouwyang Kim membunuh Bhok-ciangkun dibantu Maniyoko.
Kalau sampai usaha ini berhasil, tentu saja pihak musuh untung karena Bhok Cun Ki merupakan lawan dan penghalang yang berbahaya. Andaikata terbalik dan Ouwyang Kim dan Maniyoko yang tewas di tangan panglima yang lihai itu, pihak pemberontak juga untung karena tentu akan terjadi permusuhan antara Bhok-ciangkun dan Tung-hai-liong Ouwyang Cin!
Ci Han yang tak mampu bergerak lagi itu dilarikan ke dalam sebuah pondok di dalam hutan, di luar kota raja. Agaknya memang telah diatur sehingga Akim dan suhengnya, dengan Maniyoko sebagai penunjuk jalan, dapat lolos keluar dari kota raja dengan mudahnya. Mereka meloncati pagar tembok dan seolah-olah sengaja dibiarkan saja oleh para penjaga, atau memang mereka itu tidak melihat gerakan dua orang yang amat cepat itu.
Maniyoko melemparkan tubuh Ci Han ke atas sebuah dipan dan sekali dia menotok, Ci Han dapat bergerak. Pemuda ini menggosok-gosok kedua lengannya yang terasa masih lemas, matanya mencorong memandang kepada kedua orang itu di bawah sinar lampu yang cukup terang.
"Siapakah kalian dan mengapa pula kalian menawanku?" tanya Ci Han, sikapnya tenang dan gagah, sedikitpun tidak memperlihatkan perasaan takut.
"Keparat, sudah menjadi tawanan kami masih bersikap sombong? Engkau perlu dihajar sedikit agar tidak bersikap angkuh!" kata Maniyoko dan diapun menampar ke arah pipi Ci Han. Ci Han yang sudah terbebas dari totokan tentu saja tidak membiarkan dirinya di tampar begitu saja. Dia telah mempelajari ilmu dari ayahnya sejak kecil, maka cepat diapun menangkis dengan pengerahan tenaganya.
"Dukk!" Dua lengan bertemu dan akibatnya, Ci Han terjengkang saking kuatnya lengan lawannya sehingga dia terkejut bukan main. Kiranya kedua orang penawannya itu lihai bukan main. Tadipun demikian cepatnya gadis itu menotoknya roboh dan kini, sekali mengadu tenaga, diapun terjengkang oleh pemuda itu.
"Suheng, hentikan itu!" tiba-tiba gadis itu berseru dan Maniyoko yang sudah siap menghajar, menarik kembali tangannya dan hanya berdiri bersungut-sungut.
"Sumoi, menghadapi bocah bangsawan sombong ini tidak perlu memberi hati!" Maniyoko mengomel. Akan tetapi dia tidak bergerak lagi karena dia tidak berani menentang kehendak sumoinya.
Setelah Ci Han bangkit lagi dan berdiri tegak, biarpun terkejut namun dia sama sekali tidak takut, Ouwyang Kim menghampirinya dan sejenak mereka saling pandang dengan sinar mata penuh perhatian.
"Engkau tentu yang bernama. Bhok Ci Han, bukan?" tanyanya dengan sikap angkuh dan dingin.
"Benar, dan siapa engkau, nona? Apa pula artinya semua ini?"
"Hemm, aku menawanmu sehubungan dengan maksudku untuk membunuh Bhok Cun Ki."
Ci Han tidak merasa heran kalau ada orang-orang memusuhi ayahnya. Ayahnya, sebagai seorang panglima petugas keamanan yang telah membasmi banyak sekali gerombolan penjahat, tentu saja dimusuhi banyak orang kangouw. Akan tetapi kalau yang memusuhi seorang gadis secantik ini dan suhengnya yang juga gagah dan tampan, dia sungguh merasa amat heran.
"Nona, ayahku adalah seorang panglima pembasmi kejahatan, dia bukan orang jahat......" Dia memancing untuk mengetahui keadaan gadis itu.
"Tentu saja engkau sebagai anaknya tidak mengatakan dia jahat. Akan tetapi, baru kemarin dulu dia telah menghinaku, mengutus orang-orang untuk menangkapku dan membunuhku! Kau bilang perbuatan itu tidak jahat? Aku harus membalasnya, dan aku menangkapmu untuk memaksanya datang ke sini menyerahkan nyawanya kepadaku! Ayahmu seorang pengecut, mengirim orang-orang untuk mengeroyokku, menawanku, bahkan menyuruh orang-orang itu memperkosaku sebelum membunuhku!"
"Tidak mungkin! Tidak mungkin ayah berbuat seperti itu! Kalau dia menangkap gerombolan penjahat, tentu akan diadili dulu, dan tidak mungkin sama sama sekali dia menyuruh anak buahnya membunuh orang, apalagi memperkosa wanita, aku tidak percaya!" Ci Han membantah keras dan merasa penasaran sekali.
"Huh, ayahnya anjing, anaknya tentu anjing pula!" Maniyoko membentak.
"Tutup mulutmu yang kotor!" Ci Han balas membentak.
"Kami adalah keluarga terhormat, orang-orang yang setia kepada pemerintah, juga selalu menentang kejahatan, tidak mungkin kami sudi berbuat jahat. Ini tentu fitnah!"
"Bhok Ci Han, bagaimanapun engkau menyangkal, aku sendiri yang mengalaminya. Engkau percaya atau tidak terserah. Sekarang, engkau harus menulis surat kepada ayahmu, minta agar dia datang ke sini seorang diri. Kalau dia tidak mau datang, engkau akan kubunuh!"
"Aku tidak sudi!" bentak Ci Han dengan berani.
"Nona, pikir baik-baik. Apa yang kaulakukan ini adalah suatu kejahatan! Engkau telah ditipu orang, ayahku, kena difitnah. Aku berani bertaruh dengan nyawaku bahwa bukan ayah yang menyuruh orang-orang menawanmu."
"Mereka berpakaian seragam perajurit, mengaku disuruh ayahmu..."."
"Bisa saja penjahat memalsukannya. Buktinya, di Cin-an, para penyerbu yang hendak membunuh Pangeran Mahkota dan Raja Muda Yung Lo juga menyamar sebagai perajurit! Ingatlah, nona, sekali ini mungkin nona ditipu orang. Seorang yang berilmu tinggi seperti nona, sebaiknya waspada dan jangan sampai melakukan perbuatan jahat yang kelak hanya akan menimbulkan penyesalan dalam kehidupanmu."
"Sumoi, biar kuhajar mulut orang ini!" Maniyoko sudah bangkit berdiri dan menghampiri Ci Han yang masih berdiri tegak.
"Jangan, suheng!" Akim juga membentak suhengnya. Diam-diam Akim mulai mempertimbangkan ucapan pemuda yang tampan dan gagah itu. Rasanya tidak mungkin seorang yang bersalah bersikap seberani itu. Dan kemungkinan pemalsuan dan fitnah itu memang ada.
"Bhok Ci Han, katakan, bukankah Sin Wan merupakan calon mantu ayahmu?"
Mendengar pertanyaan ini, Ci Han tertegun dan tiba-tiba mendengar disebutnya nama Sin Wan, diapun teringat siapa gadis ini.
"Ah, sekarang aku ingat. Engkau tentu nona Ouwyang Kim yang dulu pernah datang ke rumah kami bersama Sin Wan!"
Akim tersenyum mengejek, hatinya semakin panas diingatkan peristiwa itu karena pada waktu itu, ia masih mencinta Sin Wan dan mengharapkan pemuda itu membalas cintanya.
"Memang aku Ouwyang Kim. Nah, jawablah pertanyaanku tadi. Bukankah Sin Wan calon mantu ayahmu?"
"Ya, dulunya memang begitu, akan tetapi...." Ci Han merasa ragu-ragu karena tidak perlu dia menceritakan urusan keluarganya kepada orang luar.
"Sumoi, sudah jelas bahwa para perajurit itu adalah anak buah Bhok Cun Ki. Perlu apa lagi bertanya-tanya? Paksa dia menulis surat. Biar aku yang menyiksanya dan memaksanya!" Maniyoko berkata.
Mendengar jawaban sepotong tadi, Akim merasa yakin bahwa tentu Bhok Cun Ki yang menyuruh anak buahnya menangkapnya karena mengira ia hendak menggoda Sin Wan. Hatinya menjadi panas sekali dan ia menatap wajah Ci Han dengan sinar mata mencorong.
"Katakan kepada ayahmu, aku tidak sudi menggoda calon suami orang! Aku tidak serendah itu. Tunggu saja, kuberi waktu sampai besok pagi. Kalau engkau belum juga mau menulis surat kepada ayahmu, aku akan menyerahkan engkau kepada suhengku ini dan jangan katakan bahwa aku kejam!"
Setelah berkata demikian, ia menoleh kepada suhengnya.
"Suheng, aku pusing dan hendak beristirahat. Jaga dia baik-baik, akan tetapi jangan ganggu, tunggu sampai besok pagi." Gadis itu lalu memasuki ruangan dalam pondok itu dan merebahkan diri di dipan yang sederhana.
Maniyoko memandang kepada Ci Han dan senyumnya membayangkan kekejaman.
"Aku akan senang sekali kalau engkau mencoba untuk melarikan diri agar aku mendapat alasan untuk menyiksa dan membunuhmu sekarang juga." Setelah berkata demikian, Maniyoko duduk bersila dan memejamkan mata, seolah memberi kesempatan kepada Ci Han untuk mencoba melarikan diri.
Ci Han bukan pemuda bodoh. Dari pertemuan tenaga tadi dia tahu bahwa pemuda ini kuat dan lihai sekali. Kalau dia nekat melarikan diri, berarti dia membunuh diri. Apalagi gadis yang lihai itupun berada dekat. Gadis itu adalah puteri Tung-hai-liong Ouwyang Cin, demikian keterangan yang pernah dia dengar dari Sin Wan. Dan tentu pemuda pendek ini murid datuk itu. Sungguh berbahaya, dan diapun menjadi gelisah memikirkan ayahnya. Ayahnya difitnah, ataukah kedua orang ini sengaja berpura-pura agar dapat memancing ayahnya di situ untuk mereka bunuh?
Sayang, dia menghela napas panjang. Gadis ini kelihatan demikian manis, bahkan dari sikapnya ketika melarang suhengnya bersikap kasar terhadap dirinya, dia tidak percaya bahwa gadis seperti itu berhati jahat. Dia maklum bahwa melarikan diri tidak ada gunanya, maka diapun duduk pula bersila untuk menghimpun tenaga yang mungkin dia perlukan pada hari esok.
Karena menderita tekanan batin, Akim gelisah di atas dipan. Diam-diam harus diakuinya bahwa pemuda tawanan itu amat menarik hatinya. Pemuda itu demikian tabah, pemberani dan gagah, terutama sekali pandang matanya yang demikian lembut namun mengandung keberanian luar biasa. Seorang yang jantan, pikirnya, dan hal ini membuat ia semakin gelisah.
Andaikata benar Bhok Cun Ki yang menyuruh anak buahnya menawannya karena panglima itu marah kepadanya, mengira ia menggoda Sin Wan, hal itu tidak ada sangkut-pautnya dengan Bhok Ci Han. Akhirnya, ia dapat jatuh pulas pula dan diganggu mimpi tentang seorang pemuda yang wajahnya berubah-ubah, seperti wajah Maniyoko, kemudian Sin Wan, dan akhirnya wajah Bhok Ci Han.
Tiba-tiba ia dikejutkan dan dibangunkan oleh suara ribut-ribut. Ketika ia membuka matanya, ia mendengar suara orang berkelahi di ruangan depan. Cepat ia meloncat turun dan keluar dari ruangan dalam. Dilihatnya Maniyoko sedang mendesak Bhok Ci Han dengan serangan-serangan maut yang membuat Ci Han repot sekali melindungi dirinya.
"Dukk!" Akhirnya, sebuah pukulan mengenai dada kanan Ci Han, membuat pemuda itu terpelanting.
"Suheng, tahan!" Akim membentak dan meloncat ke depan, melerai.
"Sumoi, biar kubunuh jahanam ini! Dia tetap tidak mau menulis surat. Biar kusiksa dia sampai dia mau menulisnya!"
Maniyoko melompat ke depan lagi hendak menghajar Ci Han yang sudah bangkit duduk sambil menekan dada kanannya yang terasa nyeri. Tangan Maniyoko sudah menyambar hendak mencengkeram rambut Ci Han, akan tetapi Akim cepat bergerak ke depan.
"Plakk!" tangan Maniyoko terpental oleh tangkisan Akim.
"Suheng, engkau hendak melawanku?" bentak Akim marah sekali. Maniyoko mengendur.
"Aihh, sumoi, bagaimana engkau masih mau melindungi pemuda ini? Dia adalah putera Bhok Cun Ki yang telah menghinamu!"
"Cukup, suheng! Ini adalah urusanku, engkau tidak berhak mencampuri. Kalau engkau tidak suka, pergilah dan biar kuselesaikan sendiri urusan ini!" Akim menantang dan Maniyoko bersungut-sungut.
"Baiklah, baiklah...... aku tidak akan mencampuri, sumoi......" katanya dan diapun berdiri di sudut sambil memandang kepada Ci Han dengan sinar mata penuh kemarahan.
Melihat Ci Han menyeringai kesakitan, Akim segera menghampiri dan membantunya bangkit, lalu membawanya duduk ke atas bangku.
"Parahkah lukamu?" tanyanya lembut sehingga membuat Ci Han merasa heran bukan main. Dia menggeleng kepalanya.
"Nah, Bhok Ci Han, engkau akan rugi sendiri kalau tidak mau memenuhi permintaanku. Aku tidak akan memusuhimu, aku hanya ingin berhadapan dengan Bhok Cun Ki untuk minta pertanggung jawabnya atas perbuatan anak buahnya kepadaku kemarin dulu. Tulislah surat itu, undang dia ke sini dan engkau tidak akan kuganggu lagi."
Melihat betapa kembali nona penawannya itu menyelamatkannya dari ancaman penyiksaan dan pembunuhan suheng nona itu, dan mendengar kata-katanya yang lembut, Ci Han menghela napas panjang.
"Nona Ouwyang, kalau aku disuruh menulis surat kepada ayah untuk memancing dan menjebaknya ke sini, biar aku disiksa sampai matipun tidak akan kulakukan. Kalau aku diharuskan menulis surat kepada ayah, akan kuceritakan semua yang telah kualami, dan kuperingatkan agar dia berhati-hati. Jadi, percuma saja. Kalau memang engkau hendak membunuhku, silakan, akan tetapi aku tidak mau mencelakai ayah."
"Bhok Ci Han, jangan dikira bahwa aku seorang pengecut yang curang! Aku ingin berhadapan dengan ayahmu sendiri, bukan menjebaknya."
"Sumoi, kalau kaubiarkan dia menulis surat seperti itu, tentu ayahnya akan datang membawa pasukan besar dan kita akan celaka," kata Maniyoko.
"Bhok Ci Han, aku tidak menjebaknya, hanya ingin dia datang seorang diri agar aku dan dia membuat perhitungan atas perbuatan anak buahnya!" kata lagi Akim.
Pada saat itu terdengar suara dari luar rumah.
"Nona, aku sudah datang seorang diri. Keluarlah kalau ingin bicara denganku!"
"Ayah..."! sudah datang!" kata Ci Han, gembira akan tetapi juga khawatir. Dia bangkit dan hendak keluar. Maniyoko bergerak hendak menangkapnya, akan tetapi dicegah Akim. Gadis ini lalu memegang lengan Ci Han dan berkata,
"Mari kita keluar, aku hanya tidak ingin ayahmu berbuat curang!"
Ketika mereka bertiga keluar, benar saja yang berdiri di situ adalah Bhok Cun Ki, seorang diri. Kiranya ketika Ci Han ditawan dan dilarikan Maniyoko dan Akim, ada seorang penjaga yang melihat bayangan mereka dan penjaga ini yang tidak sempat mengejar, segera melapor ke dalam. Mendengar ini, Bhok Cun Ki cepat melakukan pengejaran sendiri, demikian pula Cu Sui In. Ci Hwa dilarang melakukan pengejaran, disuruh menjaga dan melindungi ibunya di rumah. Bhok Cun Ki dan Cu Sui In melakukan pengejaran secara berpencar.
Setelah semalam itu berputar-putar mencari jejak orang-orang yang menculik puteranya, akhirnya Bhok Cun Ki pada keesokan harinya, melihat pondok di dalam hutan itu dan dia merasa curiga. Ketika dia menghampiri dan mengintai, dia sempat mendengarkan percakapan antara seorang gadis dan puteranya yang menjadi tawanan, maka diapun segera berteriak memanggil.
Melihat Ci Han keluar digandeng seorang gadis cantik dan diiringkan seorang pemuda tampan yang pendek, Bhokciangkun merasa lega melihat puteranya dalam keadaan selamat.
"Nona muda, aku Bhok Cun Ki telah datang dan berhadapan denganmu, kenapa engkau tidak segera melepaskan puteraku?" tanya Bhok Cun Ki, suaranya tenang dan berwibawa.
"Bhok Cun Ki, aku tidak akan melanggar janji. Setelah engkau berhadapan seorang diri denganku, tentu Bhok Ci Han ini akan kubebaskan. Akan tetapi aku belum yakin apakah orang seperti engkau ini dapat dipercaya. Siapa tahu engkau datang bersama pasukanmu dan begitu puteramu kubebaskan, pasukanmu akan datang menyerbu."
"Nona," Ci Han memprotes,
"kenapa nona memandang rendah ayahku seperti ini? Ayahku adalah seorang panglima, seorang pendekar, seorang gagah yang tidak sudi melakukan kecurangan!"
"Hemm, kita lihat saja nanti," kata Akim tanpa melepaskan tangannya yang memegang lengan pemuda itu sehingga nampaknya mereka seperti bergandengan dengan mesra.
"Bhok Cun Ki, kenapa engkau kemarin dulu mengutus seorang kakek dan seorang nenek berpakaian putih, dan enam orang perajurit, menangkap aku dan menyuruh mereka membunuhku setelah menghina dan menyiksaku lebih dahulu? Kalau tidak ada suhengku ini yang datang menolong, tentu sekarang aku telah menjadi korban kekejianmu!"
Bhok Cun Ki mengerutkan alisnya dan matanya mencorong.
"Nona, omongan apa yang kaukeluarkan ini? Aku Bhok Cun Ki selamanya tidak pernah melakukan perbuatan sehina itu! Aku selamanya tidak mengenalmu, mengapa aku harus melakukan hal seperti itu?"
"Ayah, ia adalah nona Ouwyang Kim, puteri Tung-hai-liong Ouwyang Cin dan dia itu murid Tung-hai-liong," kata Ci Han.
Bhok Cun Ki tertegun.
"Aih, kiranya puteri Ouwyang Cin. Sudah lama aku mengenal nama besar Ouwyang Cin dan biarpun dia seorang datuk sesat, namun belum pernah aku mendengar dia melakukan hal-hal yang kurang patut, apalagi menentang pemerintah. Di antara kami tidak pernah bermusuhan, kenapa aku harus melakukan perbuatan hina seperti itu kepada puterinya? Nona Ouwyang, tuduhanmu itu tidak berdasar."
"Tapi.... orang-orang yang menawanku itu, mereka berpakaian perajurit dan mengaku anak buahmu, suruhanmu......."
"Semua orang bisa saja mengaku demikian, nona."
"Sumoi, jangan percaya padanya! Mana ada maling teriak maling! Bhok Cun Ki, menyerahlah engkau kalau engkau tidak ingin melihat puteramu mati di ujung pedangku!" Maniyoko sudah mencabut samurainya dan menodongkan senjata itu di punggung Ci Han.
"Suheng, jangan...""!"
"Sumoi, jangan lemah. Mereka adalah musuh-musuh kita. Ingat betapa mereka telah menghinamu. Kalau tidak ada aku yang datang menolong, tentu engkau sudah diperkosa mereka beramai-ramai sebelum dibunuh!"
"Tapi.... tapi...." Akim menjadi bingung dan ragu. Kalau teringat akan apa yang dialaminya kemarin dulu, hatinya panas bukan main, akan tetapi melihat sikap Ci Han dan Bhok Cun Ki, timbul keraguan di dalam hatinya. Sikap ayah dan anak itu bukan sikap orang yang bersalah.
Maniyoko yang maklum sepenuhnya akan kelihaian Bhok-ciangkun, merasa khawatir sekali melihat keraguan sumoinya. Kalau sampai sumoinya tidak berpihak kepadanya dan panglima itu turun tangan, dia akan celaka. Dia sudah mendengar betapa panglima Bhok ini memiliki tingkat kepandaian yang seimbang dengan gurunya!
"Bhok Cun Ki, sekarang saatnya maut menjemputmu!" bentaknya dan ini merupakan isyarat kepada sekutunya untuk turun tangan.
Terdengar suara tawa ha..ha..ha..hi..hi dan muncullah Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli, juga enam orang yang pernah menyamar sebagai perajurit anak buah Bhok Cun Ki.
Melihat sepasang iblis itu, Bhok Cun Ki terkejut. Ang-bin Moko tertawa dan menudingkan golok gergajinya ke arah muka panglima itu.
"Bhok Cun Ki, saatnya tiba bagimu untuk membayar hutangmu kepada kami, ha..ha..ha!"
"Hem, kiranya Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli yang berdiri di belakang layar. Dua orang datuk besar, sepasang iblis yang pernah mengguncang dunia kang-ouw, kini agaknya telah menjadi anjing penjilat orang-orang Mongol! Betapa menjijikkan!"
Akim terbelalak memandang kepada delapan orang itu.
"Akan tetapi..." kalian.... kalian yang menawan aku dan mengaku disuruh Bhok Cun Ki...".."
Pek-bin Moli, wanita bermuka pucat itu terkekeh genit.
"Maniyoko, pemuda ganteng, cepat kaubunuh dulu putera panglima itu!"
Maniyoko menggerakkan pedang samurainya, membacok tubuh Ci Han dari belakang. Pemuda ini menggeser kaki mengelak dan Akim menggerakkan pedangnya.
"Trang..."!!" Pedang itu menangkis pedang samurai suhengnya dan sepasang mata Akim mencorong penuh kemarahan.
"Suheng! Kau.... kau bersekongkol dengan mereka??"
"Sumoi, aku hanya melanjutkan usaha suhu untuk bekerja sama dengan mereka!" Maniyoko membantah.
"Biarkan aku membunuh dia!" Maniyoko menyerang lagi ke arah Ci Han, akan tetapi pedang Akim menyambar dan terpaksa Maniyoko menyambut dan terjadilah perkelahian seru antara suheng dan sumoi ini.
"Bantu aku menangkapnya!" Maniyoko berteriak kepada sekutunya karena dia kewalahan menghadapi Goat-im-kiam yang mendatangkan hawa dingin itu. Enam orang anak buah sepasang iblis itu segera membantunya dan mengeroyok Akim
"Jangan bunuh, tangkap ia hidup-hidup!" seru Maniyoko yang merasa sayang kalau gadis yang membuatnya selama ini tergila-gila itu sampai terbunuh. Melihat Akim dikeroyok, Ci Han lalu membantu Akim.
"Ci Han, kau pergunakan pedang ini!" kata ayahnya dan Ci Han meloncat ke dekat ayahnya, menerima sebatang pedang.
Kiranya Bhok Cun Ki telah dipancing oleh sepasang iblis yang telah menduga bahwa Ci Han tentu tidak dapat dipaksa menulis surat. Oleh karena itu, mereka membuat surat kepada Bhok Cun Ki dan minta agar panglima itu datang sendiri ke situ. Akan tetapi malam itu, mereka melihat Bhok Cun Ki berkeliaran di hutan, maka mereka hanya mengintai dan menanti, untuk membantu Akim dan Maniyoko.
Ketika melakukan pengejaran terhadap para penculik puteranya, Bhok Cun Ki sengaja membawa pedang cadangan. Dia dapat menduga bahwa setelah dapat diculik, tentu puteranya itu tidak membawa senjata lagi, maka dia sengaja membawakan sebatang pedang untuk puteranya dan sekarang, benar saja puteranya membutuhkannya.
Dengan pedang di tangan, kini Ci Han membantu Akim mengamuk. Karena tingkat kepandaiannya masih jauh dibandingkan Maniyoko dan Akim, maka diapun hanya membendung pengeroyokan enam orang anak buah sepasang iblis sehingga Akim dapat mencurahkan tenaga untuk menghadapi suhengnya.
Sementara itu, melihat betapa Akim dan Ci Han sudah dikeroyok, sepasang iblis itu tertawa lagi.
"Bhok Cun Ki, belasan tahun yang lalu, kami pernah kalah olehmu, akan tetapi sekarang tibalah saat pembalasan kami. Juga, engkau harus mati karena engkau merupakan gangguan bagi gerakan Yang Mulia," kata Ang-bin Moko.
"Anjing penjilat Mongol!" Bhok Cun Ki membentak dan diapun sudah mencabut Ceng-kong-kiam. Nampak sinar kehijauan menyilaukan mata ketika pedangnya tercabut. Bhok Cun Ki adalah seorang ahli pedang Butong-pai yang telah memiliki tingkat tinggi. Selain mahir pedang Butong-pai, juga dia merupakan seorang ahli yang telah memiliki banyak sekali pengalaman bertanding sehingga gerakannya telah matang dan tangguh. Akan tetapi, yang dihadapi sekarang adalah sepasang iblis yang amat berbahaya. Tingkat kepandaian seorang di antara dua iblis itu saja sudah setingkat dengan dia, maka kini dikeroyok dua, apalagi kini sepasang iblis telah melatih diri dengan ilmu-ilmu keji, maka dia tahu bahwa dia terancam bahaya dan harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian untuk dapat mengimbangi mereka.
"Sing..sing..sing.....!" Golok gergaji di tangan Ang-bin Moko mulai menyerang bertubi-tubi, menyambar-nyambar bagaikan seekor burung elang mencari mangsa. Namun, Bhok Cun Ki pernah dijuluki Sin-kiam-eng (Pendekar Pedang Sakti), maka diapun mengelebatkan pedangnya, sambil mengelak pedangnya membabat ke arah pergelangan tangan yang memegang golok sehingga terpaksa lawannya menarik kembali serangannya dan mulai menyerang dengan jurus baru.
Sementara itu, bagaikan seekor ular yang hidup, sabuk ular di tangan Pek-bin Moli sudah menyambar-nyambar dan tercium bau amis ketika sabuk itu menyambar lewat dekat kepala Bhok Cun Ki. Seperti juga tadi, Bhok Cun Ki mengelak dan membalas dengan serangan ke arah lengan lawan.
"Syuuuuuuttt..."..!" Angin yang aneh menyambar dan cepat Bhok Cun Ki melempar tubuh ke samping, maklum bahwa yang menyambarnya adalah hawa pukulan beracun yang amat jahat. Itulah Toat-beng-tok-ciang, pukulan beracun jarak jauh yang amat berbahaya. Dan kini, sepasang iblis itu sambil menggerakkan senjata menyerang, juga menyelingi dengan pukulan tangan beracun jarak jauh, juga jari tangan kiri mereka kadang-kadang menyerang dengan totokan Touw-kut-ci (Jari Penembus Tulang).
Diam-diam Bhok Cun Ki terkejut. Pukulan beracun dan totokan jari itu tidak kalah bahayanya dibanding golok gergaji dan sabuk ular. Diapun memutar pedangnya sehingga terbentuklah gulungan sinar yang melingkar-lingkar melindungi tubuhnya dan kadang-kadang saja dari gulungan sinar itu mencuat ujung pedangnya untuk membalas. Namun, dia hanya mendapatkan kesempatan sedikit saja untuk dapat membalas hujan serangan lawan.
Sementara itu, Akim dan Ci Han terdesak hebat oleh Maniyoko dan enam orang anak buah sepasang iblis yang juga memiliki ilmu kepandaian yang cukup kuat. Akim sebetulnya lebih lihai dibanding suhengnya dan andaikata Maniyoko maju seorang diri, dia pasti akan kalah oleh sumoinya itu. Akan tetapi, Maniyoko dibantu dua orang yang cukup lihai, sedahgkan Ci Han dikeroyok empat orang yang membuat dia, terdesak pula.
Biarpun dirinya terdesak oleh suhengnya dan dua orang pengeroyok, namun Akim selalu memperhatikan keadaan Ci Han. Ketika ia melihat Ci Han terdesak hebat dan pemuda itu hanya dapat memutar pedang melindungi tubuhnya dari hujan senjata yang digerakkan empat orang pengeroyoknya, Akim merasa khawatir sekali dan beberapa kali ia menengok. Perhatiannya terpecah sehingga ketika sebatang pedang pengeroyoknya menyambar leher, ia terlambat mengelak sehingga ujung pedang itu masih melukai pundak kirinya. Ia terkejut, akan tetapi bukan karena pundaknya terluka, melainkan melihat Ci Han terkena tendangan sehingga tubuh pemuda itu terpelanting. Tanpa memperdulikan keadaan diri sendiri, Akim meloncat dan pedangnya bergerak cepat menerjang empat orang yang sudah hendak mengirim serangan susulan yang akan mematikan Ci Han.
"Trang-trang..."!"" Seorang pengeroyok terjungkal dengan dada terluka pedang Gwat-im-kiam. Ci Han yang sudah mengeluarkan keringat dingin karena tadi nyawanya terancam, kini meloncat lagi.
"Terima kasih..."..!" Ci Han berkata dan Akim merasa terharu. Ia sekarang melihat bahwa ia telah tertipu oleh Maniyoko yang bersekongkol dengan mata-mata Mongol. Tahulah ia bahwa ketika ia ditawan, lalu ditolong Maniyoko dan pengakuan para penculiknya bahwa mereka disuruh oleh Bhok Cun Ki, semua itu bohong belaka. Semua itu merupakan siasat yang sudah diatur Maniyoko dengan sekutunya sehingga ia kena dikelabui dan ia memusuhi keluarga Bhok. Ia bahkan telah bersama suhengnya itu menculik Ci Han! Dan pemuda itu agaknya sama sekali tidak, mendendam kepadanya!
"Cepat ke sini, kita saling melindungi!" katanya kepada Ci Han. Pemuda itu mengerti dan dia khawatir melihat pundak kiri gadis itu terluka. Bajunya telah berlumuran darah! Cepat dia meloncat dan berdiri saling membelakangi dengan Akim, dengan demikian, mereka dapat saling melindungi dan tidak dapat dibokong dari belakang. Mereka berdiri sambil memasang kuda-kuda, sedangkan Maniyoko bersama sisa anak buah sepasang iblis, yaitu tinggal lima orang karena yang seorang telah roboh oleh Akim, mengepung sambil bergerak perlahan mengitari dua orang muda itu.
"Bunuh pemuda ini, tangkap gadisnya," kata pula Maniyoko yang membuat Akim marah bukan main. Sejak kecil suhengnya ini dipelihara ayahnya, dididik dan disayang. Kiranya sekarang telah menjadi pengkhianat yang berniat buruk terhadap dirinya.
"Maniyoko, engkau manusia berhati binatang, tak mengenal budi!" bentak Akim akan tetapi segera ia bersama Ci Han harus memutar senjata untuk melindungi diri dan menangkis sambaran senjata enam orang pengeroyok itu.
Pada saat itu, terdengar bentakan nyaring dan serangkum hawa menyambar ke arah enam orang pengeroyok. Lima orang anak buah itu terjengkang, sedangkan Maniyoko sendiri terhuyung kebelakang. Bukan main kagetnya ketika pemuda Jepang ini melihat bahwa yang muncul dan menyerang dengan dorongan jarak jauh itu bukan lain adalah gurunya sendiri, Tung-hai-liong Ouwyang Cin!
Sebaliknya, Akim girang bukan main melihat ayahnya. Tak disangkanya bahwa ayahnya akan muncul, dan tahulah ia bahwa diam-diam ayahnya agaknya merasa tidak enak dan menyusulnya ke kota raja. Iapun teringat akan keadaan Bhok Cun Ki yang kini didesak hebat oleh kakek dan nenek mengerikan itu.
"Ayah, Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli itu hampir saja berhasil menyiksa dan membunuhku. Ayah, aku telah dihina mereka, balaskan, ayah. Mereka bahkan menghina dan mencemooh ayah, menganggap ayah takut kepadanya. Dan Maniyoko binatang tak mengenal budi ini bersekongkol dengan mereka!"
Mendengar ucapan puterinya itu, merah wajah kakek gendut itu. Takut merupakan pantangan baginya dan dikatakan takut merupakan penghinaan yang paling besar. Maka, mendengar ucapan Akim, mukanya merah dan seluruh tubuhnya gemetar, tanda bahwa ia sedang mengerahkan tenaga sin-kang, siap untuk bertempur. Kemudian, setelah mengeluarkan pekik seperti para pendekar samurai Jepang kalau berlagak, Tung-hai-liong Ouwyang Cin menyerbu ke dalam pertempuran antara Bhok Cun Ki yang dikeroyok dua.
"Ouwyang Cin, bajak Jepang rendah, jangan banyak lagak di sini!" bentak Ang-bin Moko yang cepat menyambut kakek gendut itu. Pada saat itu, Ouwyang Cin menyambar dengan pukulan tamparan yang amat kuat, dan Ang-bin Moko cepat mengerahkan Toat-beng-tok-ciang untuk menyambut.
"Dessss...".!!" Dua telapak tangan bertemu dan akibatnya, tubuh Ang-bin Moko terdorong mundur sampai tujuh langkah. Ouwyang Cin sendiri terkejut karena biarpun dia lebih kuat dan tubuhnya tetap tegak, namun telapak tangannya yang tadi bertemu dengan telapak tangan Ang-bin Moko terasa panas dan gatal! Tahulah dia bahwa lawan menggunakan pukulan beracun yang amat berbahaya sehingga telapak tangannya yang sudah kebal terhadap senjata tajam dan terhadap racun itu kini tetap saja tertembus.
Setelah mengerahkan sin-kang untuk menahan pengaruh hawa beracun yang menyusup ke telapak tangan kanannya itu. Tung-hai-liong Ouwyang Cin mencabut pedangnya dan nampak sinar yang menyilaukan mata. Pedang Jit-ong-kiam (Raja Matahari) telah tercabut dan pedang ini memang mengkilat dengan cahaya yang berkilauan. Akan tetapi Ang-bin Moko juga sudah memegang golok gergajinya, maka tanpa banyak cakap lagi, kedua orang datuk ini sudah saling terjang dengan ganasnya.
Karena kini Ang-bin Moko mendapat lawan tangguh, Bhok Cun Ki terbebas dari pengeroyokan dan pertandingan antara dia dan Pek-bin Moli berjalan dengan seru dan seimbang. Sabuk ular di tangan Pek-bin Moli menyambar-nyambar, namun dapat diimbangi gulungan sinar pedang di tangan Bhok Cun Ki. Tingkat kepandaian mereka memang seimbang maka masing-masing harus mengerahkan seluruh tenaga dan menguras semua kepandaian untuk dapat mengalahkan lawan.
Yang paling hebat adalah perkelahian antara Tung-hai-liong Ouwyang Cin melawan Ang-bin Moko. Keduanya mengeluarkan jurus-jurus paling ampuh dan keduanya bernafsu besar untuk saling membunuh. Karena maklum bahwa lawan amat berbahaya, maka keduanya ingin saling mendahului.
Berkali-kali Jit-kong-kiam beradu dengan golok gergaji. Demikian kerasnya pertemuan kedua senjata ini sehingga nampak bunga api berpijar dan berhamburan, disertai suara nyaring yang menusuk telinga. Namun, kedua senjata itu tidak menjadi rusak. Agaknya kedua senjata itu memang merupakan senjata ampuh yang kuat dan keras.
"Singgg..."..!" Kembali kedua senjata itu menyambar dengan gerakan amat kuat, didorong tenaga sin-kang yang memenuhi kedua tangan yang memegangnya. Di udara, kedua senjata itu bertemu lagi untuk ke sekian puluh kalinya.
"Trakkkk!!" Sekali ini, pertemuan kedua senjata itu sedemikian kuatnya seolah terjadi ledakan kilat dan keduanya terkejut karena melihat betapa senjata andalan masing-masing telah patah-patah! Dua buah senjata itu akhirnya tidak kuat menahan hantaman yang dilandasi tenaga sin-kang itu dan patah.
Keduanya terkejut dan marah bukan main.
"Keparat!" bentak Tung-hai Liong Ouwyang Cin.
"Jahanam!" Ang-bin Moko juga membentak dan keduanya lalu menggerakkan kaki maju dan saling terjang dengan nekat.
"Plakk...""!!" Kedua telapak tangan mereka saling bertemu dengan kuatnya dan seperti melekat! Kini mereka, dua orang datuk itu, mengadu tenaga dengan nekat, cara bertanding yang hanya diakhiri dengan salah seorang di antara mereka putus nyawa! Mereka saling serang melalui penyaluran tenaga lewat tangan mereka, saling dorong. Keduanya saling tatap dengan mata mendelik, seluruh tenaga dari pusar mendorong lawan melalui kedua telapak tangan. Demikian hebat mereka mengerahkan tenaga sampai uap perlahan mengepul keluar dari kepala mereka!
Setelah kini mengadu sin-kang, Ouwyang Cin kembali merasa betapa hawa beracun yang amat kuat menyerangnya melalui telapak tangan. Dia tahu akan bahayanya hal ini, namun kini dia tidak dapat mundur lagi. Siapa mundur tentu akan binasa!
Dalam keadaan seperti itu, tidak ada seorangpun yang akan mampu memisahkan mereka tanpa menghadapi bahaya maut bagi dirinya sendiri. Maka, tidak ada jalan lain kecuali mengerahkan lagi seluruh tenaganya untuk merobohkan lawan sebelum hawa beracun itu menyusup semakin dalam ke tubuhnya.
Dia melihat betapa kedua tangannya, sampai ke pergelangan, mulai berubah menghitam. Itu tandanya bahwa dia telah keracunan secara hebat! Dan hawa beracun yang menimbulkan panas dan gatal itu dengan kuatnya hendak menyusup terus ke dalam. Hanya dengan sinkangnya yang kuat saja maka hawa beracun itu dapat tertahan.
Sementara itu, Ang-bin Moko juga terkejut bukan main. Tak disangkanya ada orang di dunia ini yang sanggup menerima Toat-beng-tok-ciang, ilmunya yang mengandung racun mematikan itu. Bahkan dia mulai terdorong dan ketika dia mempertahankan, perlahan-lahan, senti demi senti, kedua kakinya amblas ke dalam tanah yang diinjaknya. Demikian kuatnya tenaga lawan mendorongnya! Dia mencoba untuk mempertahankan, namun dia kalah kuat.
Uap putih semakin tebal mengepul di atas kepalanya, napasnya mulai memburu dan matanya mendelik, mukanya yang biasanya berwarna merah itu kini mulai berkurang merahnya, berubah pucat. Dia berusaha mengerahkan lagi tenaganya, akan tetapi seperti bendungan pecah, dia muntahkan darah segar dan kedua kakinya kini amblas sampai sebatas lututnya. Akhirnya, dia mengeluarkan teriakan melengking dan tubuhnya seperti terjengkang, roboh telentang di atas tanah dengan kedua kaki terjepit tanah sampai di lutut. Akan tetapi, ketika dua pasang telapak tangan itu terlepas, tubuh Ouwyang Cin juga terhuyung ke belakang dan hampir saja dia roboh.
Dia masih mampu bertahan, dan memandang kepada kedua lengannya yang sudah menghitam sampai ke atas siku! Sebagai seorang datuk yang berilmu tinggi, maklumlah Ouwyang Cin bahwa maut sudah berada di ambang pintu. Maka, diapun menguatkan dirinya, lalu memandang ke arah puterinya yang bersama seorang pemuda yang gagah dikeroyok oleh Maniyoko dan lima orang lain. Pemuda yang saling melindungi dengan puterinya itu cukup indah gerakan pedangnya, ilmu pedang Butong-pai, akan tetapi masih kalah jauh dibandingkan Maniyoko sehingga keadaan puterinya terancam.
"Maniyoko, keparat engkau!" Ouwyang Cin melompat dan sekali menggerakkan kedua tangan yang menghitam itu, Maniyoko terhuyung dan dua orang pengeroyok roboh dan tewas!
"Suhu, aku hanya melanjutkan cita-cita suhu! Aku ingin menjadi raja muda kelak!" Maniyoko membantah ketika melihat suhunya melangkah menghampirinya, sedangkan tiga orang sisa pembantunya masih mengeroyok Akim dan Ci Han.
"Setan kau! Kenapa engkau mengeroyok Akim?"
"Bukankah suhu sudah memberikan ia untukku? Bukankah suhu sudah setuju kalau ia menjadi jodohku?" kembali Maniyoko membantah.
"Setuju berjodoh denganmu bukan berarti setuju engkau mempermainkannya! Apalagi engkau bersekongkol dengan iblis itu untuk mencelakainya. Engkau tidak berhak hidup lagi!" Setelah berkata demikian, Ouwyang Cin yang sudah mulai lemah itu bergerak menyerang muridnya sendiri.
"Suhu! Suhu ingin membunuh murid sendiri, bangsa sendiri? Suhu tidak melihat senjata pusaka bangsa kita ini?" Maniyoko memperlihatkan pedang samurai di tangannya dan sejenak Ouwyang Cin tertegun memandang kepada senjata yang merupakan senjata mustika yang dihormati dan dikeramatkan bangsa Jepang itu. Pada saat dia tertegun dan terpukau di depan muridnya memandang pedang samurai, tiba-tiba dengan kedua tangannya, Maniyoko menyerang dengan menusukkan pedang samurai itu sekuat tenaga ke perut gurunya.
Serangan itu terlalu cepat datangnya, terlalu dekat dan pada saat itu tubuh Ouwyang Cin memang sudah lemah oleh hawa beracun, maka tanpa dapat dihindarkan lagi, pedang samurai itu menusuk perut Tung-hai-liong Ouwyang Cin dan tembus sampai ke punggung! Ouwyang Cin terbelalak, kedua lengannya menyambar dari kanan kiri dan sepuluh buah jarinya mencengkeram kedua pundak Maniyoko dekat leher.
Pemuda Jepang itu terbelalak, tidak mampu bergerak karena seluruh tubuhnya terasa kaku dan nyeri seperti ditusuki seribu batang jarum. Lehernya berubah menghitam yang menjalar terus ke mukanya dan diapun terkulai, roboh bersama gurunya yang masih mencengkeram kedua pundaknya. Guru dan murid itu tewas dalam waktu yang bersamaan.
Karena kini hanya menghadapi tiga orang pengeroyok, dan melihat betapa ayahnya tadi terluka ketika melawan Ang-bin Moko, Akim menjadi khawatir sekali. Bersama Ci Han, ia mengamuk dan dalam waktu singkat saja ia merobohkan dua orang penyeroyok, sedangkan orang ke tiga roboh oleh tusukan pedang Ci Han.
Pada saat itu, perkelahian antara Bhok Cun Ki dan Pek-bin Moli masih berlangsung seru karena memang tingkat kedua orang ini seimbang. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring,
"Siluman betina, jangan menjual lagak di sini!"
Bentakan itu keluar dari mulut Bi-coa Sianli Cu Sui In! Wanita ini juga mencari jejak para penculik putera tirinya dan berpencar dari suaminya. Karena ia mencari ke lain jurusan, maka sampai semalam itu ia tidak dapat menemukan Ci Han, bahkan tidak bertemu dengan suaminya.
Akhirnya, menjelang pagi ia mengubah arah pencariannya sambil menyusul suaminya dan pada pagi hari itu, ia melihat suaminya sedang bertanding mati-matian melawan seorang wanita tua yang masih cantik, yang berpakaian serba putih dan bermuka pucat seperti mayat. Sebagai bekas tokoh kangouw, tentu saja ia segera mengenal bahwa wanita itu adalah Pek-bin Moli (Iblis Betina Muka Putih) yang merupakan seorang datuk sesat, maka ia membentak dan segera terjun membantu suaminya.
Gulungan sinar hitam menyambar dan Pek-bin Moli terkejut bukan main. Iapun mengenal Si Dewi Ular Cantik dengan pedang yang bersinar hitam itu, dan mukanya yang sudah pucat menjadi semakin pucat. Melawan Bhok Cun Ki saja sudah amat sukar mencapai kemenangan, kini muncul tokoh wanita dari Bukit Ular yang lebih lihai lagi ini. Ia mencoba untuk melawan dengan sabuk ularnya, namun karena hatinya sudah gentar, dalam beberapa jurus saja sabuk ularnya putus menjadi tiga potong oleh Hek-coa-kiam (Pedang Ular Hitam) di tangan Cu Sui In.
Apalagi Bhok Cun Ki juga mengurung dengan sinar pedangnya yang indah dan ampuh, maka kini Pek-bin Moli terdesak hebat. Ia masih mencoba untuk menggunakan pukulan beracunnya, yaitu Toat-beng-tok-ciang dan juga totokan Touw-kut-ci, namun kedua orang lawannya terlalu kuat dan sudah menduga bahwa pukulannya itu mengandung racun yang berbahaya. Mereka menghindar sambil menghujankan serangan, dan akhirnya, pedang Hek-coa-kiam menyambar dahsyat dan membabat leher Pek-bin Moli sehingga iblis betina itu roboh dengan leher hampir putus, tewas seketika.
Suami isteri itu cepat menghampiri Ci Han yang berdiri seperti patung memandang Akim yang berlutut dan menangis di dekat mayat ayahnya dan suhengnya. Guru dan murid itu tewas dalam keadaan yang mengerikan. Kedua tangan Ouwyang Cin yang menghitam sampai ke pundak, masih mencengkeram kedua pundak Maniyoko yang tewas dengan mata mendelik dan dari pundak ke kepala berubah menghitam. Sebatang pedang samurai menembus perut Ouwyang Cin, seperti gambaran seorang pendekar samurai yang tewas membunuh diri.
Melihat wajah Tung-hai-liong Ouw yang Cin, berkerut sepasang alis Cu Sui In, ia segera mengenal datuk itu.
"Bukankah dia datuk bajak laut dari timur Ouwyang Cin?"
Bhok Cun Ki mengangguk sambil menghela napas. Peristiwa yang baru terjadi terlalu hebat, dan dia merasa beruntung sekali bahwa puteranya tidak sampai tewas atau cedera dalam peristiwa itu.
"Dan siapa pemuda yang dicekiknya itu?" tanya pula Cu Sui In.
Kini Ci Han yang menjawab.
"Dia bernama Maniyoko muridnya, ibu."
"Hemm, jadi yang menculikmu adalah keluarga bajak laut ini, Ci Han?" tanya pula Cu Sui In.
Akim yang masih bercucuran air mata itu tiba-tiba bangkit berdiri. Bajunya berdarah dari luka di pundak kirinya.
"Akulah yang menculik Bhok Ci Han. Aku dan mendiang suheng Maniyoko. Aku siap menerima hukuman!"
Sikapnya tegas dan tabah, akan tetapi suaranya gemetar dan tubuhnya lemas karena ia memang telah banyak darah mengalir keluar dari lukanya dan iapun lelah sekali menghadapi pengeroyokan tadi.
"Siapa gadis ini?" tanya Cu Sui ln, suaranya dingin dan marah.
"Ia bernama Ouwyang Kim, puterinya, ibu."
"Bagus, kalau begitu memang sepantasnya dibunuh sekali agar tidak mengotori dunia!" Cu Sui In mengangkat pedangnya, akan tetapi sebelum pedang itu menyambar, Ci Han melompat ke depan Akim yang berdiri tegak dan tidak berkedip menanti datangnya serangan.
"Ibu, jangan..."!!" teriak Ci Han.
Cu Sui In mengerutkan lagi alisnya dan memandang heran. Juga Bhok Cun Ki memandang puteranya, akan tetapi dia lalu berkata lirih kepada isterinya.
"Sui In, tenang dulu, biar aku yang mengurusnya."
Sui In mengangguk, dan kini Bhok Cun Ki memandang kepada puteranya yang bersikap melindungi Akim, juga kepada gadis itu yang dengan gagahnya siap menerima hukuman!
"Ci Han, kenapa engkau membela puteri Ouwyang Cin? Bukankah ia dan suhengnya yang menculikmu?"
"Ayah, nona Ouwyang Kim adalah seorang gadis yang baik, seorang gadis yang gagah perkasa dan kalau tidak ada ia yang melindungiku, tentu sudah lama aku tewas di tangan Maniyoko itu. Bagaimanapun juga, aku tidak membolehkan siapapun mengganggunya, apa lagi membunuhnya. Biarlah aku yang dibunuh dulu kalau ibu hendak membunuhnya!"
Melihat sikap ini, Bhok Cun Ki saling pandang penuh arti dengan isterinya. Diapun masih hendak menyelami perasaan puteranya,
"Kami tidak akan membunuhnya. Akan tetapi, aku harus melaporkannya karena agaknya keluarganya bersekutu dengan gerombolan pemberontak dan mata-mata Mongol."
"Tidak, ayah! Harap ayah jangan tangkap Ouwyang Kim. Aku yang menanggung bahwa ia tidak bersalah......"
Tiba tiba terdengar rintihan Akim dan Ci Han cepat membalik dan merangkul gadis itu yang terkulai dan roboh.
"Nona.... engkau..." kenapakah? Engkau.... tidak apa-apakah engkau......?" tanyanya sambil mengguncang tubuh gadis yang telah memejamkan matanya dan nampak pucat itu.
"Aku..... Ci Han.... biarkan..... mereka menghukumku..... biar aku menebus dosa ayah dan suheng...".."
"Tidak, Akim. Tidak! Aku yang akan melindungimu!" teriak Ci Han dan gadis itu mengeluh lalu pingsan dalam rangkulan Ci Han.
"Jangan khawatir, Ci Han. Ia hanya pingsan karena kelelahan dan mungkin terlalu banyak darah keluar dari lukanya. Mari kita bawa ia pulang dan kita rawat di rumah."
Ci Han memandang ayahnya, lalu ibu tirinya.
"Ayah dan ibu..... tidak..." tidak akan membunuh atau menawannya...".? Tidak, bukan...".?"
Bhok Cun Ki tersenyum. Kini dia merasa yakin bahwa puteranya telah jatuh cinta kepada penculiknya sendiri. Juga Cu Sui In tersenyum karena ia maklum bagaimana rasanya orang jatuh cinta dan tersiksa oleh perasaan cinta itu.
Pada saat itu, beberapa orang perajurit anak buah Bhok Cun Ki yang tadi ikut pula mencari, datang dan Bhok-ciangkun segera memberi pesan kepada mereka agar mereka mengurus semua jenazah baik-baik, bahkan memberi peti mati yang selayaknya kepada dua jenazah Ouwyang Cin dan Maniyoko dan menyediakan meja sembahyang untuk jenazah guru dan murid itu, di dalam pondok yang terdapat di situ.
Enam mayat yang lain dapat segera dikubur tanpa diadakan upacara sembahyang karena tidak diketahui siapa keluarga mereka. Kemudian, dia, Sui In dan Ci Han membawa Akim yang pingsan dan lemah itu masuk ke kota raja, ke rumah keluarga Bhok.
Bhok Cun Ki dan Cu Sui In memeriksa Akim dan mendapat kenyataan bahwa seperti yang mereka duga, gadis itu pingsan karena lemah, juga karena tekanan batin melihat kematian ayahnya. Setelah memberi obat dan gadis itu jatuh pulas, mereka tidak mengganggunya, membiarkannya tidur dan memulihkan tenaga, kemudian di kamar itu juga, mereka mendengarkan keterangan Ci Han. Ci Hwa juga berada di situ dan ikut mendengarkan, bersama ibunya.
Ci Han lalu menceritakan betapa dia diculik oleh Akim dan Maniyoko dan betapa Akim hendak membalas dendam karena gadis itu kemarin dulu ditawan oleh Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli bersama enam orang yang menyamar perajurit dan mengaku disuruh oleh Bhok-ciangkun. Baru kemudian Akim mengetahui bahwa yang melakukan sandiwara untuk melakukan fitnah terhadap Bhok-ciangkun itu bukan lain adalah Maniyoko sendiri yang telah bersekongkol dengan sepasang iblis bersama enam orang anak buahnya itu. Betapa Akim mati-matian membela dan melindunginya ketika dia akan dibunuh Maniyoko.
"Setelah tahu bahwa ia dikelabui suhengnya sendiri, Akim lalu memihak ayah dan aku, melawan Maniyoko dan orang-orangnya, sedangkan ayah dikeroyok sepasang iblis itu. Lalu muncul ayah Akim yang segera membantu puterinya, kemudian bertanding melawan Ang-bin Moko yang dapat dibunuhnya, akan tetapi agaknya dia keracunan dan tewas ditusuk samurai oleh Maniyoko yang juga dapat dibunuhnya.
"Nah, bukankah Akim sama sekali tidak bersalah, ayah? Juga Tung-hai-liong Ouwyang Cin itu datang-datang memihak kita dan menyerang Ang-bin Moko. Tidak sepatutnya kalau kita sekarang membikin susah Akim yang sudah kehilangan ayah dan suheng. Yang bersalah adalah Maniyoko, akan tetapi suhengnya itu telah menebus dosa dan tewas di tangan gurunya sendiri."
Semua orang mengangguk-angguk dan bahkan Cu Sui In tidak lagi menyalahkan Akim yang tadinya menculik Ci Han.
"Tidak, kami memang bersalah.... keluarga kami memang tidak benar...".."
Semua orang menengok dan yang bicara adalah Akim. Ci Han segera menghampiri dan duduk di tepi pembaringan. Dari sikapnya yang tidak sungkan lagi ini saja mudah diketahui bahwa pemuda ini memang jatuh cinta kepada Akim. Sikapnya yang lembut dan tidak sungkan sama dengan pengakuannya terhadap semua keluarganya bahwa dia telah menemukan pilihan hatinya.
"Akim, engkau masih lemah, tidak perlu banyak bicara. Beristirahatlah dulu..."." Ci Han membujuk.
Akim tersenyum penuh keharuan. Ia sendiri dapat melihat dengan jelas sinar mata pemuda itu ketika memandang kepadanya, dapat merasakan getaran dalam suara itu dan ia terharu. Bagaimana mungkin seorang pemuda seperti ini dapat jatuh cinta kepada seorang gadis liar seperti dirinya?
"Aku harus memperkenalkan diriku agar semua tahu siapa aku sebenarnya. Kalau tidak, aku akan selalu merasa sungkan dan tidak enak. Dan pengakuan ini akan saya berikan kepada Paman Bhok....... eh, maksudku Panglima Bhok......."
"Engkau boleh menyebutku paman, Akim, aku lebih senang dengan sebutan itu," kata Bhok Cun Ki dengan lembut dan Akim mengangguk dengan pandang mata berterima kasih.
"Begini, Paman Bhok. Belum lama ini, ayah kedatangan Bu-tek Kiam-ong, seorang di antara Bu-tek Cap-sha-kwi yang membawa barang-barang berharga hadiah dari yang dia sebut Yang Mulia, yaitu pimpinan orang-orang Mongol yang hendak memberontak dan membangun kembali Kerajaan Mongol. Ayah diajak bekerja sama dan dijanjikan kelak kalau berhasil akan dijadikan raja muda. Ayah kena terbujuk dan bersedia memenuhi panggilan pimpinan mata-mata, berangkat bersama mendiang suheng, yaitu Maniyoko."
Ia berhenti sebentar, menghela napas. Mendengar ini, hati Ci Han merasa tidak enak sekali. Tidak senang dia mendengar gadis yang dicintanya menceritakan keburukan keluarganya sendiri. Hal ini akan menimbulkan perasaan tidak senang dalam hati orang tuanya!
"Akim perlukah engkau ceritakan semua itu? Ayahmu dan suhengmu telah meninggal dunia, tidak perlu diceritakan lagi.....
" kata Ci Han.
"Biarlah, Ci Han. Biar semua orang mengetahui dan mengenal siapa diriku," kata Akim berkeras, lalu melanjutkan,
"Ibu dan aku sendiri tidak senang mendengar ayah dapat terbujuk oleh orang-orang Mongol. lalu mengutus aku untuk menyusul ayah dan Maniyoko yang sudah berangkat ke kota raja, dan ibu minta agar aku berkeras membujuk ayah jangan sampai melibatkan diri dengan orang-orang Mongol. Maka berangkatlah aku. Aku selalu menentang para pemberontak yang dipimpin orang yang disebut Yang Mulia, yang selalu mengenakan kedok hitam."
Ia lalu menceritakan semua pengalamannya ketika ia menolong Sin Wan yang hampir terbunuh oleh Si Kedok Hitam, kemudian tentang penawanan atas dirinya yang dilakukan Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli yang ternyata bekerja sama dengan suhengnya sendiri, Maniyoko yang menggantikan gurunya bersekutu dengan orang-orang Mongol. Betapa ia pernah ditawan pula oleh gerombolan mata-mata itu dan dijadikan sandera untuk memaksa ayahnya dan suhengnya untuk membunuh Raja Muda Yung Lo dan Pangeran Mahkota yang sedang mengadakan pesta di perahu dekat Cin-an.
"Mulai saat itu juga, ayah sudah berbalik sikap, tidak sudi bekerja sama dengan orang-orang Mongol,
JILID 17
bahkan menentang mereka. Biarpun demikian, terus terang kuakui bahwa tadinya ayahku memang terkena bujukan orang Mongol. Ayah bercita-cita besar dan akhirnya..."." Akim memejamkan kedua matanya dan beberapa titik air mata menetes turun ke atas kedua pipinya.
"Sudahlah, Akim. Semua itu sudah berlalu, kami sekeluarga tidak ada yang menyalahkanmu atau mendiang ayahmu," kata Ci Han menghibur.
"Dan mulai sekarang, engkau dapat hidup tenang dan damai di sini, di sampingku........"
Akim terbelalak, memandang pemuda itu, lalu menoleh dan memandang kepada Bhok-ciangkun dan kedua isterinya, juga kepada Ci Hwa yang sejak tadi hanya ikut mendengarkan saja. Ia melihat betapa semua wajah itu tersenyum cerah, bahkan Sui In mengangguk kepadanya.
"Ci Han, apa.... apa artinya ucapanmu itu...".?"
Ci Han yang sudah jatuh cinta itu, dengan jujur dan tanpa sungkan lagi mengaku,
"Artinya, Akim, bahwa aku cinta padamu dan aku akan minta kepada orang tuaku untuk meminangmu."
"Aihhh..."!" Akim benar-benar terkejut dan juga kagum melihat kejujuran pemuda bangsawan ini. Iapun harus bersikap jujur, kalau tidak, kelak hal yang disembunyikannya itu hanya akan menjadi gangguan bagi batinnya.
"Bagaimana mungkin..."."
"Kenapa tidak mungkin, Akim?" Sui In berkata dengan lembut.
"Kalau kalian saling mencinta, dan pihak keluarga menyetujui, mengapa tidak mungkin? Ci Han mencintamu dan kami sekeluarga juga menyetujui, tinggal terserah apakah engkau juga mencintanya dan apakah ibumu akan menyetujuinya."
Mendengar ini, Bhok Cun Ki dan isterinya juga mengangguk. Seperti biasa, Cu Sui In memang lancang dan terus-terang, akan tetapi juga cerdik sehingga sebelum bicara, ia sudah merasa yakin bahwa suaminya dan madunya akan cukup bijaksana untuk menyetujui pilihan hati Ci Han.
"Aku..."? Aku kagum dan suka kepada Ci Han. Akan tetapi, aku merasa tidak pantas menjadi jodohnya. Bahkan aku pernah jatuh cinta kepada seseorang dan dia menolak cintaku. Terus terang saja, Ci Han, aku pernah jatuh cinta kepada Sin Wan."
Semua orang mengerutkan alisnya, dan Ci Hwa yang ikut mendengarkan menjadi merah sekali mukanya.
"Dan sekarang engkau masih cinta padanya?" tanya Ci Hwa karena ia ingin tahu sekali. Biarpun dia tidak ikut bertanya, namun pandang mata Ci Han kepada Akim juga menuntut penjelasan.
Akim tersenyum dan menggeleng kepalanya.
"Kurasa tidak. Aku memang mengaku cinta padanya, akan tetapi dia juga berterus terang bahwa dia tidak dapat mencinta gadis lain kecuali sumoinya. Aku lalu sadar. Cinta tidak mungkin dipaksakan. Perjodohan tidak mungkin ditunjang cinta sepihak. Aku bahkan kagum kepadanya Sin Wan seorang yang setia kepada kekasihnya."
Keluarga itu kecuali Nyonya Bhok, adalah keluarga orang gagah yang menghargai kejujuran. Sikap Akim yang terus terang itu mengagumkan hati mereka. Bahkan kini Ci Hwa memandang kepada Akim dengan wajah berseri dan tiba-tiba iapun merangkul Akim.
"Engkau hebat, enci Akim, aku suka sekali mempunyai kakak ipar sepertimu ini!"
Semua orang tersenyum, juga Ci Han tersenyum karena mereka semua tahu dengan hati lega bahwa mendengar ucapan Akim tadi, Ci Hwa menyadari perasaan hatinya yang lemah dan tidak benar. Ia mencinta Sin Wan, akan tetapi kalau Sin Wan mencinta gadis lain, perlu apa ia harus menyesali diri? Cinta tidak dapat dipaksakan, dan perjodohan tidak mungkin ditunjang cinta sepihak, seperti sebuah bangku tidak mungkin hanya berkaki sebelah. Seketika Ci Hwa menyadari bahwa perasaan masgul dan duka yang dirasakannya selama ini karena penolakan Sin Wan adalah suatu kebodohan dan kelemahan!
"Eh, kalian tidak membenciku karena itu? Ci Han, engkau tidak marah karena aku pernah mencinta pemuda lain?"
"Kenapa marah? Kenapa menyesal, Akim? Cinta adalah suatu perasaan hati yang amat pribadi. Jatuh cinta berarti tertarik kepada seseorang. Kalau kita mau jujur, aku sendiri mungkin sudah puluhan kali jatuh cinta, tertarik kepada seorang wanita, akan tetapi semua itu hanya menjadi rahasia hatiku sendiri. Itulah bedanya antara engkau dan aku, kalau aku hanya merahasiakan perasaan hatiku, engkau berterus terang. Engkau jujur dan terbuka, Akim. Yang penting, sekarang kita saling tertarik dan saling jatuh cinta. Benarkah dugaanku bahwa engkaupun cinta padaku?"
Akim tersenyum dan mengangguk.
"Kalau begitu, engkau setuju kalau kami mengajukan pinangan kepada ibumu?" kini Bhok-ciangkun bertanya.
"Tentu saja aku setuju, paman. Akan tetapi, sebelum itu, aku harus membalaskan kematian ayah lebih dulu!" Akim mengepal tinju.
"Hemm, pembunuh ayahmu adalah Ang-bin Moko dan suhengmu Maniyoko. Kedua orang itu sudah tewas, kenapa engkau masih ingin membalas dendam? Kepada siapa?" tanya Bhok Cun Ki.
"Tidak, paman. Yang menjadi biang keladinya adalah Si Kedok Hitam. Aku harus mencarinya dan membunuhnya!" Akim berkata gemas.
"Ah, kalau begitu engkau dapat membantu kami, Akim. Kamipun sedang berusaha keras untuk membasmi jarinqan mata-mata Mongol yang dipimpin oleh Si Kedok Hitam itu. Dia amat lihai jaringannya amat kuat. Berbahaya sekali kalau kita bekerja sendiri-sendiri."
Panglima itu teringat akan ancaman Kaisar yang akan menghukum mati seluruh keluarganya kalau dalam waktu sebulan, dia tidak mampu membasmi jaringan mata-mata Mongol itu!
"Ketahuilah kalian semua bahwa aku diharuskan Sribaginda Kaisar untuk membasmi jaringan mata-mata itu dalam waktu sebulan. Nah, kita harus mengerahkan seluruh tenaga untuk menemukan Si Kedok Hitam. Sayang Lili tidak segera pulang, karena tenaganya amat kita butuhkan, juga Sin Wan......"
Pada saat itu, seorang pengawal masuk dan melaporkan kedatangan Sin Wan dan Kui Siang.
Bhok Cun Ki girang sekali. Tadinya dia mengira bahwa pemuda itu sudah tidak akan mau dan berani lagi datang ke rumahnya, dan dia sekeluarga mulai merasa menyesal telah pernah memaksa pemuda itu untuk mengawini Ci Hwa. Mereka hendak memaksakan sebuah pernikahan dengan cinta sepihak! Biarpun mukanya berubah merah, namun sekali ini Ci Hwa tidak lari bersembunyi, melainkan bersama Akim dan yang lain keluar menyambut kunjungan Sin Wan.
Sin Wan dan Kui Siang berdiri memberi hormat kepada keluarga tuan rumah dan diam-diam dia terkejut melihat Akim berada di situ, bergandeng tangan dengan Ci Hwa. Kalau tadinya Sin Wan merasa tegang hatinya dan juga amat sungkan untuk datang ke rumah ini dan bertemu dengan keluarga yang marah kepadanya itu, kini dia merasa heran dan lega hatinya. Bukan saja Ci Hwa memandang kepadanya dengan sinar mata biasa dan senyum di bibir, juga Cu Sui In sendiri yang begitu marah kepadanya, kini menyambutnya dengan senyum di bibir!
Bahkan Akim, yang pernah marah dan merasa terhina karena dia tidak dapat membalas cintanya, kini memandang kepadanya tanpa perasaan marah dan benci.
"Paman Bhok, harap maafkan kami kalau kedatangan kami ini mengganggu paman sekeluarga," kata Sin Wan setelah bersama Kui Siang memberi hormat.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan dan engkau sama sekali tidak mengganggu, Sin Wan. Bahkan kebetulan sekali engkau datang karena kami memang memerlukan kehadiranmu untuk membicarakan tentang jaringan mata-mata Mongol," Kata Bhok-ciangkun.
"Dan nona ini, siapakah ia?"
"Ini adalah sumoiku Liem Kui Siang, paman. Ia adalah puteri mendiang bangsawan Liem Cun, pengurus gudang pusaka istana...".."
"Ahhhh! Aku adalah sahabat baik mendiang ayahmu, nona Liem!" kata Bhok Cun Ki dengan gembira.
"Mari, silakan masuk, kita bicara di dalam."
Mereka semua masuk dan duduk di ruangan dalam. Setelah duduk mengelilingi, sebuah meja besar, Akim yang kebetulan saling pandang dengan Sin Wan lalu bertanya,
"Sin Wan, inikah sumoimu yang menjadi calon jodohmu itu?"
Semua orang tidak kaget lagi mendengar pertanyaan yang demikian jujur dan terbuka dari Akim karena sudah mengenal wataknya. Betapapun juga, pandang mata mereka yang ditujukan kepada Sin Wan nampak rikuh.
Sin Wan tersenyum dan mengangguk "Benar sekali, Akim. Dan engkau sendiri, bagaimana dapat berada di antara keluarga Paman Bhok?"
"Twako, Akim adalah tunanganku. Kami saling mencinta dan akan menikah!" kata Ci Han.
Sin Wan terkejut akan tetapi juga merasa gembira bukan main. Cepat dia berdiri, diikuti Kui Siang dan memberi selamat kepada mereka. Dengan gembira Ci Han membalas ucapan selamat dengan berterima kasih, akan tetapi Akim duduk dan nampak berduka. Sin Wan yang mengenal benar watak gadis itu, tanpa ragu bertanya,
"Akim, kenapa engkau kelihatan berduka, padahal sepatutnya engkau bergembira seperti tunanganmu?"
Akim cemberut.
"Engkau tidak tahu, Sin Wan. Baru saja ayahku tewas..."."
"Ahhh....? Apa yang telah terjadi? Paman Bhok, apa yang terjadi di sini?" Sin Wan bertanya dan sikapnya kini serius, tidak berani bergurau mengingat bahwa Akim sedang berkabung.
Bhok Cun Ki lalu menceritakan semua yang terjadi, tentang kematian Ouwyang Cin, juga tentang kematian Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli dua orang pembantu utama Si Kedok Hitam, juga kematian Maniyoko yang bersekutu dengan para jagoan Mongol.
"Dengan kegagalan mereka di Cin-an, kemudian disusul tewasnya Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli, maka kekuatan jaringan mata-mata semakin kecil. Sribaginda Kaisar memanggilku dan memberi waktu satu bulan agar aku dapat membasmi jaringan mata-mata itu. Sekarang di sini terdapat Ouwyang Kim yang membantu, juga engkau dan nona Lim datang sehingga kedudukan kita semakin kuat. Sayang Lili belum juga pulang. Apakah engkau bertemu dengannya di utara, Sin Wan?" Bhok-ciangkun menutup ceritanya.
"Kunjungan kami memang ada hubungannya dengan Lili, paman."
"Wan-twako, kenapa enci Lili tidak pulang bersama-sama dengan engkau dan enci Kui Siang?" Ci Hwa bertanya dan melihat sikap gadis itu yang sudah biasa terhadap dirinya, seolah-olah tidak ada bekas apa-apa di antara mereka, Sin Wan merasa heran akan tetapi juga girang sekali. Juga keluarga gadis itu merasa lega dan girang. Kiranya kemunculan Akim membawa perubahan kepada Ci Hwa, mendatangkan kesadaran kepada gadis itu.
"Lili tinggal di utara dan ia menitipkan salam kepada seluruh anggauta keluarga Bhok. Ia selamat dan sehat saja, dan sementara ini ia tidak akan pulang ke selatan karena, ia ikut dengan Raja Muda Yung Lo ke Peking."
"Ehhh? Apa artinya ini, Sin Wan? Cu Sui In bertanya sambil mengerutkan alisnya mendengar bahwa puterinya pergi mengikuti Raja Muda Yung Lo Ke Peking.
"Lili menggantikan kedudukan sumoi Liem Kui Siang, menjadi pengawal pribadi Raja Muda Yung Lo karena Kui Siang akan membantuku di sini menghadapi jaringan mata-mata Mongol. Mengenai diri Lili, Raja Muda Yung Lo menitipkan surat kepada kami untuk dihaturkan kepada Paman Bhok."
Sin Wan mengeluarkan surat dari Raja Muda Yung Lo dan menyerahkannya kepada Bhok Cun Ki. Ketika dia membaca surat itu, kedua isterinya menghampiri dan ikut membaca dari belakang kedua pundaknya.
Wajah ketiganya penuh ketegangan, akan tetapi berubah cerah setelah mereka membaca habis surat. Kiranya Raja Muda Yung Lo mengagumi kegagahan Lili, dan karena raja muda itu merasa kehilangan karena Kui Siang harus membantu calon suaminya membasmi jaringan mata-mata Mongol di kota raja, maka raja muda itu mohon persetujuan keluarga Bhok agar Lili, yang juga sudah setuju, untuk menjadi pengawal pribadinya.
"Nona Liem, selama engkau menjadi pengawal pribadi Raja Muda Yung Lo atau Pangeran Yen, bagaimana sikap dan wataknya? Apakah dia seorang penguasa yang baik, jujur dan adil?" Pertanyaan Bhok-ciangkun ini mewakili pertanyaan seluruh keluarganya.
Liem Kui Siang memejamkan matanya sejenak, membayangkan kejantanan dan kegagahan Raja Muda Yung Lo, juga betapa raja muda itu jatuh hati kepadanya dan pernah menawarkan untuk menarik ia menjadi isteri raja muda itu. Kemudian dengan suara bersungguh-sungguh ia berkata,
"Paman Bhok, kalau aku boleh mengatakan, di dunia ini, kecuali koko Sin Wan, dialah pria yang paling hebat, paling bijaksana, keras dan adil, akan tetapi juga bersusila dan berbudi mulia. Harap paman jangan khawatir. Adik Lili berada di tangan yang baik dan boleh dipercaya sepenuhnya."
Sin Wan tersenyum mendengar jawaban kekasihnya itu, maklum apa yang dipikirkan kekasihnya tentang raja muda itu. Juga dia mengerti akan kekhawatiran hati keluarga itu mendengar Lili menjadi pengawal pribadi raja muda di Peking itu.
"Apa yang diterangkan Siang-moi memang benar sekali. Sudah lama aku mengenal raja muda itu dan mengagumi kegagahannya. Harap paman sekalian tidak merasa khawatir. Raja Muda Yung Lo tidak dapat disamakan dengan Pangeran Mahkota, di sana Lili tidak akan mengalami hal-hal yang buruk seperti ketika menjadi pengawal Pangeran Mahkota."
"Syukurlah, lega hati kami setelah mendengar penjelasan kalian. Sekarang kita bicara tentang tugas kita. Bagaimana menurut pendapatmu, Sin Wan? Dari mana kita akan memulai penyelidikan kita dan siapa kiranya orang yang dapat dicurigai dan tahu di mana Si Kedok Hitam bersembunyi?"
"Aku sudah membicarakan urusan ini dengan Lili dan kami sependapat bahwa kita harus mencurigai Yauw Siucai, sastrawan yang kini menjadi penasihat dan tangan kanan Pangeran Mahkota," kata Sin Wan.
Bhok Cun Ki mengangguk-angguk.
"Aku sudah menyebar penyelidik dan memang orang itu patut dicurigai. Kemunculannya di istana Pangeran Mahkota itu mendatangkan perubahan besar pada diri sang pangeran. Kalau dulu, pangeran mahkota sudah terkenal sebagai seorang yang selalu mengejar kesenangan, sekarang, setelah ada sastrawan itu, keadaannya menjadi lebih parah lagi. Bukan saja dia selalu berfoya-foya, bahkan suka mengganggu anak isteri orang, dan selain suka mabok-mabokan, juga dia kini suka menghisap candu!"
"Memang mencurigakan," kata Cu Sui In membenarkan suaminya.
"Menurut cerita kemunculan sastrawan itu di istana pangeran juga cukup mencurigakan. Lili bertemu dengan orang she Yauw itu dalam perjalanan, dan sikap sastrawan itu mencurigakan sekali. Lili sama sekali tidak mengenal asal usulnya, dan biarpun penampilannya seperti sastrawan dan bekerja sebagai guru sastra untuk putera Pahgeran Mahkota, namun menurut Lili, sastrawan itu memiliki ilmu silat yang tinggi."
"Memang dia patut dicurigai, akan tetapi bagaimana mungkin dapat membuat dia membuka kedoknya dan bagaimana kita dapat menyelidiki siapa sebetulnya dia? Dia kini dekat sekali dengan Pangeran Mahkota, menjadi orang kepercayaannya maka sukarlah bagi kita untuk mendesaknya," kata Bhok Cun Ki,
"Yang ke dua adalah Si Kedok Hitam. Kalau saja kita mampu menemukan orang itu, kiranya semua rahasia jaringan mata-mata akan dapat terbongkar. Akan tetapi ke mana kita mencari orang tinggl besar yang berperut gendut itu? Ilmu silatnya juga tinggi sekali."
"Nanti dulu..."!!" tiba-tiba Akim berseru nyaring sehingga mengejutkan Ci Han yang duduk di sampingnya karena pemuda itu mengira bahwa kekasihnya itu diserang rasa nyeri pada pundak yang terluka. Ternyata tidak demikian. Luka di pundak Akim itu sudah sembuh berkat obat yang mujarab dari Cu Sui In.
"Aku teringat sesuatu ketika paman Bhok menyebut Si Kedok Hitam yang berperut gendut. Perut gendut.......? Perut gendut""".??"
Tentu saja semua orang merasa heran, bahkan merasa geli mendengar gadis itu berulang kali menyebut perut gendut. Tiba-tiba Akim menoleh dan memandang kepada Sin Wan.
"Eh, Sin Wan, masih ingatkah engkau ketika kita berdua menyerang Si Kedok Hitam, kemudian datang anak buahnya sehingga aku tertawan olehnya?"
Sin Wan mengangguk dan memejamkan mata untuk membayangkan kembali peristiwa itu.
"Ya, aku ingat. Dia lihai sekali, akan tetapi kalau tidak datang kawan-kawannya pada waktu itu, agaknya kita berdua akan dapat merobohkannya."
"Bukan itu, Sin Wan, akan tetapi perut gendutnya!" kata pula Akim dan kini ia nampak tegang. Semua orang tertegun heran karena kembali Akim menyebut tentang perut gendut.
"Memang Si Kedok Hitam itu berperut gendut, Akim, lalu kenapa?"
"Sin Wan, kita sungguh bodoh sekali mengapa baru sekarang sadar akan itu. Lupakah engkau ketika kita menyerangnya? Ketika itu, pedangmu yang tumpul tapi ampuh itu membuat dia terkejut dan pedang di tangannya rusak oleh pedang tumpulmu. Dan pedangku ini"....." Tiba-tiba Akim mencabut pedangnya yang tak pernah terpisah darinya dan semua orang terkejut melihat sinar pedang yang mengandung hawa dingin itu.
"Paman Bhok, pedang pemberian mendiang ayah ini adalah pedang pusaka. Coba paman lihat keampuhannya!" Gadis itu lalu meloncat ke sudut ruangan itu di mana terdapat sebuah rak besi dan sekali pedangnya menyambar, ujung rak besi itu putus seperti terbuat dari kayu lunak saja!
Ketika semua orang memandang masih kaget dan heran, Akim sudah menghampiri Bhok Cun Ki dan menyerahkan pedangnya.
"Maaf kalau aku merusak rak itu, paman, akan tetapi coba paman periksa, apakah kiranya di dunia ini ada ahli silat yang kebal terhadap pedangku ini?"
Biarpun dia sendiri, juga kaget dan heran, Bhok Cun Ki menerima pedang itu dan memeriksanya. Dia menggeleng kepalanya.
"Pedangmu ini merupakan pusaka ampuh, Akim. Senjata besi biasa saja tidak akan mampu bertahan kalau bertemu pedang ini, apalagi kulit daging manusia. Betapapun kebalnya, sukarlah untuk dapat menahan kekebalan kulit terhadap pedangmu ini."
"Nah, sekarang tentu engkau ingat, Sin Wan?"
Sin Wan tiba-tiba berseru sambil bangkit berdiri.
"Benar! Perut gendutnya! Perut gendutnya!"
Tentu saja semua orang semakin heran dan juga geli. Seolah-olah Sin Wan ketularan penyakit Akim dan menyebut-nyebut perut gendut! Akan tetapi dia melanjutkan,
"Ketika kami mengeroyoknya, dan Si Kedok Hitam terkejut karena pedangnya rusak oleh pedangku, saat itu Akim menyerangnya dengan tusukan pedangnya. Serangan Akim itu cepat sekali dan dilakukan pada detik si Kedok Hitam tertegun sehingga pedangnya tepat memasuki perut gendutnya. Aku melihat dengan jelas, akan tetapi Si Kedok Hitam tidak roboh, bahkan tidak ada darah keluar dari perutnya yang tertusuk pedang!"
Mendengar ini, Bhok Cun Ki memukul meja di depannya.
"Brakk!" Dan dia pun bangkit berdiri, matanya berkilat-kilat.
"Ah, kalau begitu, perut gendutnya adalah palsu!"
"Benar sekali, Paman Bhok. Akim telah menemukan rahasia yang amat penting bagi kita! Kini tidak dapat diragukan lagi, Si Kedok Hitam yang disebut Yang Mulia oleh anak buahnya, pemimpin jaringan mata-mata Mongol, adalah seorang pria yang sama sekali tidak gendut perutnya, melainkan tinggi besar dan amat lihai."
Mereka duduk kembali dan nampak betapa Bhok Cun Ki dan Sin Wan saling pandang. Seolah keduanya dapat saling menjenguk isi hati masing-masing dan akhirnya Bhok Cun Ki berkata,
"Sin Wan apakah engkau juga menduga seperti yang menjadi dugaanku?"
Pemuda itu mengangguk.
"Sikapnya selama ini selalu menentang dan memusuhi aku, paman, seolah-olah secara tidak langsung dia memihak kepada para mata-mata Mongol. Biarpun kita belum dapat memastikannya, akan tetapi dia patut sekali dicurigai, paman, di samping Yauw Siucai itu."
Bhok Cun Ki mengangguk-angguk.
"Ih, kalian berdua bicara seperti dalam rahasia saja! Siapa sih orangnya yang kalian sangka menjadi Si Kedok Hitam itu?" tanya Cu Sui In tak sabar.
Suaminya menghela napas panjang.
"Hal ini kalau diketahui orang luar, tentu akan menimbulkan kegemparan. Berbahaya sekali kalau dugaan kita itu keliru, dan berbahaya pula kalau sebelum kita menemukan buktinya, dia telah mendengar akan dugaan kita."
"Akan tetapi, siapakah dia?" Sui In mendesak.
Bhok Cun Ki menengok ke kiri kanan. Ruangan itu tertutup dan tidak nampak seorangpun pembantu keluarga, juga tidak terdengar ada orang di luar ruangan itu. Namun, tetap saja dia berkata dengan bisik-bisik,
"Jenderal Besar Yauw Ti."
"Ihh..."".!!" Nyonya Bhok menahan jeritnya dengan menutupi mulutnya.
"Bagaimana mungkin? Dia seorang jenderal besar yang amat besar jasanya kepada kerajaan!"
Suaminya memberi tanda agar isterinya itu tetap tenang.
"Kalian semua tahu bahwa dugaan ini harus kita rahasiakan. Aku, dibantu Sin Wan, Akim engkau sendiri, Sui In dan nona Liem Kui Siang, akan cari bukti-buktinya.
Bahkan secara rahasia aku akan bicara dengan Jenderal Shu Ta, karena hanya Jenderal Shu Ta yang akan mampu mengendalikan dan mengatasi kalau-kalau benar dia orangnya dan hendak mempergunakan kekuatan pasukannya."
"Wah, kalau terjadi demikian, tentu akan geger dan terjadi perang saudara yang hebat!" seru Ci Han penuh kekhawatiran.
Memang dapat dibayangkan betapa akan hebatnya kalau yang menjadi pemberontak itu seorang jenderal besar seperti Jenderal Yauw Ti yang mengepalai ratusan ribu orang pasukan!
"Karena itulah kita harus bekerja secara rahasia. Jangan sampai dia mengetahui lebih dahulu bahwa dia dicurigai karena hal itu akan membahayakan sekali," kata Bhok Cun Ki.
"Dan aku memiliki pula sebuah bukti yang akan membongkar rahasia pimpinan mata-mata itu."
Dia memasuki kamarnya dan kembali ke ruangan itu, membawa sebuah benda kecil yang dibungkus dengan kain. Setelah bungkusan itu dibuka, ternyata isinya sebatang paku menghitam.
"Inilah paku yang dahulu melukai pundak Lili ketika ia bertanding denganku. Paku ini dilepas seseorang dengan maksud membantu Lili dan membunuhku, akan tetapi paku ini dapat tertangkis pedangku. Paku-paku runtuh dan sebuah di antaranya, yaitu yang ini, mengenai pundak Lili."
"Paku itu beracun," Cu Sui In membantu suaminya karena ia sudah mendengar kisah itu dan melihat senjata rahasia itu dengan teliti,
"Akan tetapi tidak ada tanda-tanda siapa pemiliknya."
"Kalau kita dapat menyelidiki tempat tinggal orang-orang yang kita curigai dan kita mendapatkan senjata rahasia yang serupa dengan ini, berarti dia yang melepas senjata beracun itu, membuktikan bahwa dia terlibat dalam jaringan mata-mata musuh."
Mereka mengadakan perundingan sampai lama dan pada malam hari itu, Sin Wan dan Kui Siang diterima sebagai tamu agung, bahkan sebagai anggauta keluarga sendiri. Kui Siang segera akrab dengan Akim dan Ci Hwa, dan malam itu mereka bertiga tinggal sekamar. Akim yang memiliki watak jujur terbuka itu tanpa malu-malu lagi menceritakan tentang hubungannya dengan Sin Wan, dan dalam kesempatan ini pula, Ci Hwa yang ketularan sikap terbuka itu, mengaku kepada Kui Siang tentang urusannya dengan Sin Wan, betapa ia pernah mencinta Sin Wan namun tidak dibalas oleh pemuda itu.
Mendengar pengakuan dua orang gadis yang pernah mencinta Sin Wan ini, Kui Siang bukan merasa cemburu atau panas hatinya, bahkan ia merasa bersyukur sekali karena terbukti bahwa suhengnya itu amat mencintanya dan tidak dapat membalas cinta gadis-gadis lain, padahal Akim dan Ci Hwa adalah dua orang gadis yang cantik jelita, bahkan Akim memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, mungkin lebih tinggi dibandingkan ia sendiri. Namun, suhengnya itu tetap setia kepadanya, walaupun ia sendiri pernah marah kepada suhengnya, menyatakan benci dan tidak ingin bertemu lagi!
Panglima Bhok Cun Ki yang cerdik itu diam-diam telah menghubungi Jenderal Shu Ta. Tentu saja Jenderal Besar ini terkejut setengah mati mendengar laporan pembantunya. Hampir dia marah-marah karena tidak percaya bahwa pembantunya yang berjasa besar, Jenderal Yauw Ti, dicurigai sebagai pemimpin jaringan mata-mata Mongol. Mustahil, katanya. Akan tetapi, dengan tenang dan sabar Bhok-ciangkun memberi penjelasan secara terperinci, mengumpulkan semua hasil penyelidikan anak buahnya dan hasil penyelidikan Sin Wan, Lili dan juga Akim.
Mendengar keterangan terperinci itu, Jenderal Shu Ta berdiam diri, termenung dengan alis berkerut. Akan tetapi, dia harus yakin pikirnya. Menuduh Jenderal Yauw Ti sebagai pemimpin mata-mata Mongol, tanpa adanya bukti-bukti yang meyakinkan, amat berbahaya. Jenderal Yauw Ti memiliki kekuasaan yang cukup besar, bahkan Kaisar amat percaya kepada jenderal yang tinggi besar itu. Pendeknya, Jenderal Yauw Ti merupakan orang kedua sesudah dia yang dekat dan dipercaya Kaisar. Dia sendiri adalah sute (adik seperguruan) Kaisar, tentu saja hubungannya amat dekat. Akan tetapi Jenderal Yauw Ti juga telah melakukan banyak jasa dan selama ini membuktikan dirinya sebagai seorang jenderal yang cakap dan setia.
"Bhok-ciangkun, dugaanmu ini berbahaya sekali. Engkau harus mampu memperlihatkan bukti, barulah aku berani turun tangan dan berani melapor kepada Sribaginda," akhirnya dia berkata.
"Tentu saja, Shu-goanswe (Jenderal Shu). Saya hanya mohon bantuan paduka, karena tanpa bantuan paduka, bagaimana mungkin saya berani menyelidiki ke dalam rumah dan kantor Jenderal Yauw? Sribaginda telah memberi waktu kepada saya, dan kalau dalam sebulan saya tidak mampu membongkar jaringan mata-mata ini, seluruh keluarga saya akan menerima hukuman. Saya mohon bantuan paduka."
Jenderal Shu Ta menghela napas panjang. Seringkali dia menghela napas panjang melihat perubahan yang terjadi pada diri suhengnya yang kini menjadi Kaisar itu. Sekarang, Kaisar berubah menjadi seorang yang teramat kejam. Bahkan seorang pembantu terbaik dan paling setia sekalipun, dengan mudah akan dijatuhi hukuman mati karena melakukan kesalahan sedikit saja! Kaisar begitu dipenuhi kecurigaan dan kebencian.
"Baik, aku akan membantumu, ciangkun," kata Jenderal Shu Ta dan mereka lalu bicara dengan sikap serius mengatur langkah-langkah untuk membongkar rahasia yang amat membahayakan negara itu.
Sebagai hasil dari rencana siasat mereka itu, pada suatu hari, Jenderal Shu Ta dan Jenderal Yauw Ti dipanggil menghadap Kaisar bersama para panglima tinggi lainnya untuk membicarakan tentang keamanan negara. Kaisar melakukan panggilan ini tentu saja sebagai hasil dorongan Jenderal Shu Ta yang bermaksud agar Jenderal Yauw dapat mengemukakan pendapat-pendapatnya tentang jaringan mata-mata Mongol yang membahayakan negara, dan terutama sekali untuk memancing jenderal itu keluar agar Bhok Cun Ki dan para pembantunya mendapatkan kesempatan untuk melakukan penyelidikan ke tempat tinggal dan kantor jenderal yang dicurigai itu. Kaisar tidak mencurigai bujukan Jenderal Shu Ta ini karena memang Kaisar ingin membicarakan tentang penyerangan terhadap kedua orang puteranya, yaitu Raja Muda Yung Lo dan Pangeran Chu Hui San.
Kesempatan itu dipergunakan dengan baik oleh Bhok Cun Ki yang segera menugaskan kepada Sin Wan dan Kui Siang untuk melakukan penyelidikan ke rumah keluarga Jenderal Yauw Ti.
Bagi orang biasa, tentu tidak akan mudah memasuki gedung keluarga Jenderal Yauw Ti tanpa ijin. Namun, Sin Wan dan Kui Siang mempergunakan ilmu kepandaian mereka dan berhasil melompati pagar tembok di bagian belakang ketika pasukan pengawal yang melakukan perondaan siang malam itu lewat dan mereka berdua sudah menyelinap ke dalam taman bunga milik keluarga itu.
Sebelumnya, mereka berdua sudah mendapat penggambaran yang jelas tentang keadaan gedung itu dan juga tentang keadaan keluarga Yauw Ti, jenderal yang mereka curigai. Jendral itu mempunyai seorang isteri dan tiga orang selir di gedung itu, dan hanya mempunyai dua orang anak dari para selirnya, dua orang anak laki-laki yang masih kecil, belum sepuluh tahun usianya.
Sin Wan dan Kui Siang menyelinap di antara pohon-pohon dan semak-semak, mendekati bangunan besar. Dua orang tukang taman yang sedang bekerja, tidak melihat gerakan mereka dan akhirnya dua orang pendekar itu berhasil meloncat ke atas atap dapur bangunan itu, bersembunyi di balik wuwungan dan bergerak bagaikan dua ekor kucing tanpa mengeluarkan suara apapun.
Karena sudah mempelajari keadaan dalam bangunan gedung itu, Sin Wan dan Kui Siang dapat berada di atas kamar besar milik keluarga itu melihat betapa kamar itu yang amat mewah, dalam keadaan kosong dan sunyi, Sin Wan berbisik-bisik dengan kekasihnya, mengatur siasat kalau sampai mereka ketahuan orang selagi dalam kamar itu, merencanakan jalan keluar dari kamar tanpa diketahui orang. Kemudian, mereka membuka atap dan bagaikan dua ekor burung rajawali, mereka melayang turun dari atas, masuk ke dalam kamar tanpa mengeluarkan suara.
Begitu tiba dalam kamar, dua orang pendekar muda yang sejak tadi menutupi muka mereka dengan kedok coklat dan biru, kedok yang sengaja dibuat mirip dengan kedok yang dipergunakan anak buah Si Kedok Hitam, segera bekerja dengan cepat. Mereka menggeledah dan mencari-cari apa saja yang dapat merupakan bukti bahwa dugaan mereka benar, yaitu bahwa Jenderal Yauw Ti merupakan pemimpin, atau setidaknya mempunyai hubungan dengan jaringan mata-mata Mongol.
Sampai kurang lebih satu jam mereka menggeledah, membukai almari dan laci-laci, memeriksa seluruh ruangan namun mereka tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan. Memang mereka sudah menduga bahwa agaknya, andaikata benar bahwa Jenderal Yauw Ti menjadi pemimpin jaringan mata-mata Mongol, pasti keluarganya tidak ada yang mengetahui dan hal itu merupakan rahasia pribadi. Hal ini untuk mencegah terjadinya kebocoran dan kalau dia menyimpan sesuatu yang dapat membuka rahasianya, tentu barang itu disimpan di lain tempat.
"Ke kantornya," bisik Sin Wan dan mereka berdua segera meloncat lagi keluar dari kamar itu, membetulkan letak atap yang mereka buka dan tak lama kemudian mereka sudah keluar lagi melalui taman dan pagar tembok di belakang tanpa diketahui orang.
Tak lama kemudian, dengan bekerja cepat agar jangan sampai kedahuluan Jenderal Yauw Ti, dan hal ini sudan diatur oleh Jenderal Shu Ta agar Jenderal Yauw Ti agak lama berada di istana, Sin Wan dan Kui Siang sudah berada di kamar kerja Jenderal Yauw Ti yang terletak di dalam markas pasukan. Tentu saja mereka berdua tidak begitu ceroboh untuk memasuki benteng seperti yang mereka lakukan di rumah kediaman Jenderal Yauw tadi.
Mereka sudah membawa bekal surat perintah dan surat kuasa dari Jenderal Shu Ta untuk memasuki kamar kerja Jenderal Yauw Ti dan mengambil barang-barang yang diperlukan dalam persidangan di istana. Dengan bekal surat ini, para petugas jaga di markas itu tentu saja tidak berani menghalangi.
Surat perintah dari Jenderal Shu Ta sebagai panglima tertinggi oleh pasukan di situ lebih ditaati dari pada surat dari Kaisar sendiri sekalipun. Maka, mereka mempersilakan Sin Wan dan Kui Siang masuk dan tak lama kemudian dua orang muda perkasa ini sudah melakukan penggeledahan di dalam kamar kerja Jenderal Yauw Ti setelah mereka berdua menggunakan tenaga untuk membuka daun pintu kamar itu secara paksa.
Begitu masuk, mereka berdua mengenakan lagi kedok mereka untuk menjaga segala kemungkinan, walaupun tadi mereka masuk sebagai utusan Jenderal Shu Ta. Bahkan surat itupun dibuat oleh Jenderal Shu Ta mempergunakan tanda tangan dan cap palsu. Hal ini untuk menjaga kemungkinan Jenderal Yauw Ti tidak bersalah sehingga dia tidak akan terlibat dalam penggeledahan itu dan kedua orang muda itu yang akan dianggap sebagai penanggung jawab.
Di kamar kerja inipun Sin Wan dan Kui Siang tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan. Mereka hampir putus asa ketika tiba-tiba pintu kamar terbuka dan sesosok bayangan berkelebat masuk. Ternyata dia adalah seorang yang mengenakan kedok abu-abu!
"Mau apa kalian di sini?" bentak si kedok abu-abu dengan suara bengis.
"Ah, kami sedang sibuk hendak membersihkan tanda-tanda yang terdapat di sini karena sebentar lagi tempat ini akan digeledah oleh pasukan istana. Kaisar telah mencurigai Yang Mulia. Di mana Yang Mulia? Apakah belum pulang dari istana?" kata Sin Wan.
Mendengar ucapan itu, si kedok kelabu nampak terkejut. Sepasang mata di balik kedok itu berkilat.
"Kalau begitu, aku harus cepat memberi kabar. kepada Pangeran!"
"Siapa Pangeran....?" Sin Wan menghentikan ucapannya, memaki diri sendiri yang terlanjur bicara. Dan benar saja, mendengar Sin Wan tidak mengenal siapa pangeran yang dia maksudkan, si kedok abu-abu segera mencabut pedangnya.
"Kalian palsu!" Dan pedangnya sudah menyambar dengan ganas ke arah Sin Wan.
Sin Wan yang menyadari kesalahannya, mengelak dan dari samping, Kui Siang sudah bergerak ke depan, tangannya menyambar dengan totokan dan si kedok abu-abu itupun terkulai lemas. Sin Wan merampas pedangnya dan menyambut tubuh itu agar tidak menimbulkan suara gaduh.
"Inilah bukti yang paling baik," bisiknya kepada Kui Siang. Tak lama kemudian, Sin Wan dan Kui Siang keluar dari kamar kerja Jenderal Yauw Ti, dan Sin Wan menggendong sebuah karung yang penuh, melangkah dengan tenang keluar dari kamar kerja itu.
Ketika para petugas jaga di luar melihat Sin Wan menggendong sebuah karung, mereka memandang heran, tidak dapat menduga apa isi karung itu, juga tidak berani bertanya.
"Kami telah menemukan barang yang dibutuhkan Jenderal Shu Ta dan Jenderal Yauw Ti," kata Sin Wan tenang dan para penjaga itupun tidak berani bertanya. Mereka semua mengenal Jenderal Shu Ta sebagai seorang jenderal yang tegas dan berdisiplin, maka mereka tentu saja tidak berani melanggar surat perintahnya.
Tentu saja isi karung itu adalah si kedok abu-abu yang telah ditangkap oleh Sin Wan dan Kui Siang. Mereka cepat membawa tawanan dalam karung itu ke rumah Bhok Cun Ki.
Semua berkumpul di situ. Bhok Cun Ki sendiri, Sui In dan Akim yang belum berhasil membongkar rahasia Yauw Siucai yang selalu berdekatan dengan Pangeran Mahkota, Ci Han dan Ci Hwa. Hanya nyonya Bhok yang berada di dalam, tidak mau mencampuri urusan yang menggunakan kekerasan dan membutuhkan kepandaian silat itu.
Ketika tawanan itu dikeluarkan dari karung dan berlutut di atas lantai, dengan kedok terbuka, ternyata dia adalah seorang laki-laki berusia empatpuluh tahun. Dia seorang Han, bukan orang Mongol, bahkan dia seorang anggauta pasukan di bawah Jenderal Yauw Ti.
"Dengar baik-baik," kata Bhok Cun Ki yang memimpin pemeriksaan itu.
"Kalau engkau mau mengaku terus terang, hukumanmu akan diperingan. Akan tetapi kalau engkau berbohong dan tidak mau mengaku, akan kusuruh tangkap seluruh keluargamu dan kusuruh siksa mereka di depan matamu. Nah, jawab yang sebenarnya. Siapa namamu?"
Wajah orang itu menjadi pucat. Tadinya dia bersikap keras dan masa bodoh, akan tetapi ancaman terhadap keluarganya itu mengingatkan dia akan isterinya, tiga orang anaknya yang masih kecil, dan ibunya yang sudah tua dan luluh kekerasan hatinya.
"Nama saya Siauw Jin, ciangkun."
"Katakan, siapa sebenarnya pemimpin para orang berkedok, anggauta jaringan mata-mata Mongol itu. Jawab!"
"Saya...". saya tidak tahu..."....."
"Engkau menyebutnya Yang Mulia, bukan?"
Siauw Jin mengangguk.
"Kami semua hanya mengenal dia sebagai Yang Mulia, akan tetapi tak seorangpun di antara kami yang pernah melihat wajahnya. Kami semua tidak tahu siapa sebenarnya Yang Mulia."
"Dan siapa yang kau sebut pangeran itu?" tanya pula Bhok Cun Ki. Wajah orang itu berubah pucat sekali, matanya terbelalak dan dia menggeleng kepala.
"Saya..." saya tidak berani....!"
Pada saat itu, Sui In menjulurkan tangannya dan jari tangannya sudah menekan tengkuk tawanan itu. Wajah tawanan itu berkerut-kerut dan rintihan keluar dari mulutnya karena dia merasa betapa tubuhnya seperti ditusuki ratusan batang jarum yang panas, nyerinya tak tertahan lagi. Sui In melepaskan tangannya dan orang itu basah oleh keringat dingin.
"Hayo katakan, siapa pangeran itu!" kini Sui In membentak.
"Atau kau ingin kusuruh tangkap dan seret ke sini seluruh keluargamu!" Bhok Cun Ki menambahkan.
"Dia...". dia murid Yang Mulia...".."
"Hemm, siapa namanya? Di mana?" bentak Bhok-ciangkun lagi.
"Dia adalah Pangeran Yaluta...."
"Pangeran Mongol?"
Tawanan itu mengangguk dan tiba-tiba dia menjerit dan terkulai. Ternyata sebatang paku telah menancap di punggungnya. Sui In cepat mencabut paku itu dan diapun berkata kepada suaminya.
"Dia bagian kami! Hayo, Akim!" Dan wanita perkasa itu meloncat pergi, diikuti Akim karena memang Pangeran Yaluta merupakan bagian mereka. Mereka yakin bahwa yang disebut Pangeran Yaluta itu bukan lain adalah yang menyamar sebagai Yauw Siucai! Begitu mencabut paku itu dari punggung tawanan yang diserang secara menggelap, tahulah Sui In bahwa yang dahulu melukai pundak puterinya dengan paku merupakan orang yang sama, yaitu si penyambit tadi. Masih nampak tadi bayang biru putih berkelebat dan dengan cepat iapun melakukan pengejaran bersama Akim. Akan tetapi, bayangan itu sudah lenyap.
"Hayo, kita langsung saja ke istana Pangeran Mahkota! kata Sui In. Untuk keperluan ini ia sudah dibekali surat penggeledahan yang ditulis sendiri oleh Jenderal Shu Ta.
Dengan surat perintah jenderal Shu Ta itu, benar saja Su In dan Akim tidak menemui kesulitan untuk menerobos masuk ke dalam istana sang pangeran, walaupun para penjaga menjadi bingung dan tak tahu harus berbuat apa. Mereka mengenal tanda tangan dan cap kebesaran Jenderal Shu Ta, dan kedua orang wanita itu tadi mengatakan bahwa mereka hendak bertemu dengan Yauw Siucai. Entah ada urusan apa maka Jenderal Shu Ta sampai memberi kuasa kepada dua orang wanita itu untuk menemui Yauw Siucai dan melakukan penggeledahan!
Karena merasa tidak enak hati walaupun tidak berani menghalangi, kepala jaga lalu memimpin pasukan kecil untuk masuk ke dalam, hendak melihat apa yang akan terjadi dan berjaga-jaga melindungi sang pangeran.
Sui In dan Akim juga sudah mendapat gambaran yang cukup jelas tentang keadaan istana sang pangeran, dan mereka tahu di mana letak kamar pangeran mahkota, di mana pula letak kamar puteranya dan kamar Yauw Siucai. Akan tetapi, ketika mereka lewat di kamar pangeran dan kamar Yauw Siucai, sunyi saja di situ. Seorang pengawal yang berjaga di situ memandang penuh curiga dan melintangkan tombaknya.
Sui In memperlihatkan surat kuasa dari Jenderal Shu Ta, membuat pengawal itu berdiri tertegun.
"Cepat katakan, di mana Yauw Siucai dan Sang Pangeran?"
Pengawal itu masih tertegun dan tidak mampu menjawab, hanya menunjuk ke arah taman. Sui In menggerakkan tangan menotoknya agar pengawal itu tidak membuat banyak ribut. Lalu bersama Akim ia lari ke dalam taman yang luas dan indah itu.
Berindah-indap mereka menghampiri Pangeran Mahkota yang kelihatan sedang duduk di atas bangku menghadapi Yauw Siucai yang kelihatan marah-marah "Sekali, kalau paduka menolak, terpaksa aku akan membunuhmu!" katanya kacau dan kadang kasar.
"Pangeran, cepat buatkan surat kuasa untukku dan aku tidak akan membunuhmu!"
Biarpun wajahnya pucat, pangeran yang nampak lemah dan tidak bersemangat itu kini mengangkat kepala membusungkan dadanya.
"Orang she Yauw! Baru sekarang aku menyadari bahwa engkau bukanlah orang baik-baik. Entah siapa engkau, akan tetapi jelas engkau menyusup ke sini untuk menguasai aku!"
"Ahhh, pangeran tolol! Kau sudah bosan hidup agaknya!" Yauw Siucai mengangkat tangan kanan ke atas dan memukul ke arah kepala Pangeran Mahkota untuk membunuhnya.
"Jahanam busuk!" Tiba-tiba terdengar teriakan nyaring dan Akim sudah meloncat dan langsung saja memukul ke arah dada Yauw Siucai. Yauw Siucai atau Pangeran Yaluta itu terkejut merasakan sambaran angin, dia lalu menggerakkan tangan kirinya menangkis.
"Dukk! Plakk..."!" Baik Pangeran Yaluta maupun Akim terdorong mundur, akan tetapi pukulan Yaluta ke arah kepala pangeran mahkota tadi meleset dan mengenai ujung pundak kirinya. Walaupun pukulan itu tidak telak dan hanya menyerempet saja, namun cukup membuat pangeran itu terpelanting.
Yaluta kini berdiri berhadapan dengan dua orang wanita itu. Wajahnya agak pucat, mulutnya cemberut dan matanya mencorong. Dia segera mengenal dua orang itu. Dia tersenyum mengejek.
"Kiranya Bi-coa Sianli yang datang! Hemm, dahulu ketika bersama ayahmu dan puterimu engkau melarikan diri dikejar-kejar pasukan, aku yang menyelamatkan kalian dan...".."
"Tutup mulutmu, jahanam palsu! Kiranya engkau yang dahulu melukai pundak Lili! Nih, kukembalikan paku-pakumu yang dahulu melukai Lili dan tadi membunuh anak buahmu sendiri!" Tangan Sui In bergerak dan dua batang paku itu menjadi dua sinar hitam menyambar ke arah dada dan leher Yaluta! Akan tetapi tentu saja pangeran Mongol ini tidak sudi senjatanya makan dirinya sendiri. Sekali dia bergerak, dia sudah mengelak dan dua batang paku itu meluncur lewat.
"Pangeran, lihat baik-baik. Dua orang wanita ini datang untuk membunuh paduka! Bi-coa Sianli ini adalah ibu dari Lili, tentu ia datang untuk membunuh paduka. Dan gadis ini adalah pengawal pribadi Raja Muda Yung Lo, agaknya adik paduka itu memang hendak membunuh paduka maka mengirimnya ke sini. Awas, mereka akan membunuh paduka. Pengawal, cepat kurung dan tangkap dua orang pembunuh ini. Mereka hendak membunuh sang pangeran!"
Belasan orang pengawal yang sudah tiba di taman itu, menjadi bingung, akan tetapi mereka sudah siap dengan senjata di tangan, menanti perintah sang pangeran karena perintah dari Yauw Siucai kurang meyakinkan hati mereka.
Akim berkata kepada Pangeran Mahkota.
"Maaf, pangeran, apakah paduka masih belum menyadari benar? Orang ini hampir saja tadi membunuh paduka. Dia ini adalah seorang mata-mata, dia adalah Pangeran Yaluta, pangeran dari Mongol yang sengaja menyelundup ke sini untuk memimpin jaringan mata-mata Mongol."
Mendengar ucapan ini, pangeran yang kini sudah sadar benar itu mengangguk dan berkata kepada para pengawal.
"Tangkap sastrawan gadungan ini!"
"Jangan!" teriak Sui In.
"Biarkan kami berdua yang menangkapnya. Kalian jaga saja keselamatan pangeran!"
Yaluta tak dapat mengelak lagi, akan tetapi masih mencoba untuk membela diri.
"Alangkah lucunya. Kalau benar aku ini mata-mata dan memusuhi sang pangeran mahkota, tentu sudah lama aku menyerang atau membunuhnya karena setiap hari aku berdekatan dengannya. Itu hanya fitnah keji!"
"Yaluta, engkau orang Mongol licik! Engkau mendekati sang pangeran untuk menguasainya, bahkan engkau mengadu domba beliau dengan Raja Muda Yung Lo, engkau bahkan hampir membunuh kedua orang pangeran itu di Cin-an!" Kini Akim berkata dengan lantang.
"Engkau hendak membuat keluarga kerajaan menjadi lemah dan saling bermusuhan!"
"Sudahlah Yaluta, tidak perlu engkau berpura-pura lagi. Engkau bekerja sama dengan Yang Mulia memimpin jaringan mata-mata Mongol!"
Mendengar ini, pucatlah wajah Yaluta. Dia menyangka bahwa gurunya telah terbongkar rahasianya dan tertangkap. Dia menjadi nekat dan dia tertawa bergelak.
"Ha..ha..ha, benar aku adalah, Pangeran Yaluta! Aku hendak membangun kembali Kerajaan Mongol yang jaya! Ha..ha..ha, Kerajaan Beng akan hancur, pangeran mahkotanyapun hanya sekor kura-kura yang lemah, ha..ha..ha!"
Semua orang kini merasa yakin dan selagi pangeran Mongol itu masih tertawa, tiba-tiba saja dia sudah menerjang dan menyerang ke arah Pangeran Mahkota yang sudah dikepung dan dijaga oleh para pengawal. Para pengawal melindungi, dan tiga orang di antara mereka roboh disambar kipas yang digerakkan secara ganas dan dahsyat oleh pangeran Mongol itu. Akan tetapi, Akim dan Sui In segera menerjang maju dan sudah mencabut senjata pedang mereka. Ouwyang Kim sudah memegang Goat-im-kiam, sedangkan Cu Sui In sudah memegang Hek-coa-kiam yang bersinar hitam.
Sambil tertawa-tawa seperti orang gila, suara ketawa yang menyembunyikan kekecewaan hatinya karena siasatnya telah gagal dan hancur, Yaluta mengamuk dengan kipasnya. Ilmu silat pangeran Mongol ini cukup hebat karena sejak kecil dia sudah mempelajari segala macam ilmu berkelahi, gulat dan silat, dan akhir-akhir ini dia menjadi murid Yang Mulia.
Andai kata Akim seorang yang maju menandinginya, tentu tidak akan mudah bagi gadis itu untuk mengalahkan Yaluta. Akan tetapi, di situ terdapat Cu Sui In yang kedudukannya dalam dunia persilatan sudah tinggi, sebagai datuk. Maka, menghadapi sambaran sinar pedang hitam yang bergulung-gulung, segera Yaluta terdesak hebat.
"Kita tangkap dia hidup-hidup," kata Cu Sui In kepada Akim. Akim maklum bahwa calon ibu mertua tirinya ini hendak menangkap sang pangeran Mongol hidup-hidup agar dapat diseret ke depan suaminya dan agar seluruh jaringan mata-mata itu dapat dibongkar. Maka, Akim lalu mendesak dengan pedangnya, membuat pangeran itu sibuk menangkis dan tidak sempat menyerang lagi sehingga Akim memberi kesempatan kepada calon ibu mertuanya untuk merobohkan lawan. Dan memang usahanya berhasil baik karena dengan gerakan lengan kirinya yang seperti ular Cu Sui In berhasil menotok roboh Yaluta!
Akan tetapi, ketika ia dan Akim hendak meringkus pangeran Mongol itu, tiba-tiba Yaluta mengeluarkan jeritan dan mukanya berubah menghitam. Dia tewas seketika! Sui In cepat memeriksanya dengan menekan gerahamnya sehingga mulutnya terbuka dan nampak betapa mulut itu penuh dengan cairan menghitam. Tahulah ia bahwa sejak tadi, pangeran Mongol itu sudah mempersiapkan diri, sudah memasukkan semacam pel di mulutnya sehingga kalau dia menghendaki, setiap saat dia dapat menggigit pecah pil itu dan diapun membunuh diri tanpa dapat dicegah lagi. Dia sudah memperhitungkan agar jangan sampai tertawan hidup-hidup, karena hal itu berarti suatu penghinaan baginya. Selain tak mungkin dia diampuni, juga dia tidak ingin kaki tangannya terbasmi semua.
Pangeran Mahkota jatuh pingsan dan digotong oleh para pengawal ke dalam. Sejak itu dia jatuh sakit. Pangeran Mahkota ini sejak di Cin-an mengalami guncangan batin, dan kini dia bahkan menyadari betapa selama ini dia telah memperhamba seorang pangeran Mongol, seorang pemimpin mata-mata yang hendak menghancurkan kerajaan ayahnya! Inilah tekanan yang paling berat, yang membuat dia tidak dapat bangkit kembali.
Setelah memesan kepada para pengawal agar menjaga jenazah Pangeran Yaluta dan memasukkan dalam peti agar jangan sampai ada anak buah orang Mongol itu yang mencoba untuk mencuri mayat, Sui In dan Akim lalu bergegas pulang ke rumah keluarga Bhok.
Setiba di rumah, mereka melihat Sin Wan dan Kui Siang sudah menanti mereka dan menceritakan bahwa Bhok-ciangkun menemukan sebuah buku catatan di saku dalam tawanan tadi di mana terdapat catatan tentang sarang-sarang yang dipergunakan oleh jaringan mata-mata Mongol. Bhok-ciangkun sedang keluar untuk bekerja sama dengan para panglima lainnya, menyerbu sarang-sarang itu.
Tak lama kemudian Bhok Cun Ki datang dan mengajak Cu Sui In, Akim, Sin Wan, dan Kui Siang untuk ikut bersama dia, siap membantu kalau diperlukan dan mereka pergi ke rumah Jenderal Shu Ta. Kiranya Bhok-ciangkun memang sudah mengirim berita rahasia kepada Jenderal Shu Ta tentang hasil penyelidikannya dan para pembantunya, tentang tewasnya Yauw Siucai yang bukan lain adalah Pangeran Yaluta dari Mongol, tentang jaringan mata-mata yang kini sedang diserbu oleh para panglima, kemudian tentang kecurigaannya yang mendalam bahwa Jenderal Yauw Ti terlibat, bahkan mungkin menjadi pemimpin besar jaringan mata-mata Mongol!
Jenderal Shu Ta yang baru keluar dari persidangan, menerima berita rahasia ini dari seorang perwira pengawal istana. Tentu saja jadi terkejut dan girang, akan tetapi tidak diperlihatkannya kepada rekan-rekannya, di antaranya Jenderal Yauw Ti yang bersama-sama dia baru keluar dari istana. Bahkan dia lalu mendekati Jenderal Yauw Ti, menggandeng lengannya dan berkata.
"Yauw-goanswe, mari singgah ke rumahku sebentar sebelum kau pulang. Ada hal penting sekali mengenai tugas kita yang ingin kurundingkan denganmu sehubungan dengan pertemuan di istana tadi."
Jenderal Yauw Ti yang merupakan pembantu utama Jenderal Shu Ta, menerima undangan itu tanpa curiga sedikitpun. Kedua orang jenderal besar ini naik ke sebuah kereta milik Jenderal Shu Ta, lalu keduanya menuju ke rumah panglima besar itu.
Tidak terjadi sesuatu ketika mereka tiba di pekarangan rumah sang jenderal dan keduanya sambil bicara turun dari kereta dan memasuki gedung itu. Jenderal Shu Ta mengajak tamunya memasuki ruangan tamu yang luas. Setelah mempersilakan tamunya duduk, Jenderal Shu Ta berkata, suaranya tenang namun tegas.
"Nah, setelah kita duduk, mari kita bicara secara terbuka, Yang Mulia."
Tentu saja Jenderal Yauw Ti terkejut bukan main. Dia mengerutkan alisnya, lalu memandang kepada Shu-goanswe dan bertanya,
"Apa maksudmu, Jenderal Shu?"
"Maksudku sudah jelas, Yang Mulia. Bukankah engkau sudah terbiasa disebut Yang Mulia?"
Yauw Ti bangkit berdiri, juga Shu Ta bangkit berdiri. Kedua orang jenderal yang selama bertahun-tahun menjadi rekan seperjuangan itu, yang bersama-sama membantu Chu Goan Ciang yang kini menjadi Kaisar Thai-cu mengusir penjajah Mongol dan mendirikan Kerajaan Beng, bahkan keduanya pula yang memimpin pasukan mengejar sisa pasukan Mongol sampai ke utara, menaklukkan seluruh kota Mongol, kini berdiri saling berhadapan dan saling pandang dengan sinar mata penuh selidik.
"Jenderal Shu Ta, jelaskan, apa maksudmu dengan ucapan itu? Kata-katanya juga tegas dan keras.
"Masih kurang jelaskah? Engkau, yang kukenal sebagai Jenderal Yauw Ti yang gagah perkasa, rekan seperjuanganku yang biasa kuhormati, yang sudah menerima banyak anugerah dari Sribaginda Kaisar, setelah menjadi tua telah berubah menjadi pengkhianat bangsa! Engkau telah bersekongkol dengan orang-orang Mongol, memimpin jaringan mata-mata Mongol di sini dan engkau menyamar sebagai Si Kedok Hitam yang disebut Yang Mulia! Engkau menyelundupkan Pangeran Yaluta dari Mongol ke dalam istana Pangeran Mahkota untuk meracuni dan merusak sang pangeran. Engkau pula yang mengusahakan adu domba antara Pangeran Mahkota dan Raja Muda Yung Lo, bahkan mengirim pembunuh-pembunuh untuk membunuh mereka berdua. Masih kurang jelaskah?"
Sepasang mata itu mencorong dan mulut itu tersenyum mengejek. Memang luar biasa sekali kekerasan hati Jenderal Yauw Ti. Menghadapi tuduhan sehebat itu, wajahnya tidak berubah sama sekali!
"Hemm, Jenderal Shu Ta. Betapa mudahnya menuduh orang lain dengan fitnah. Akan tetapi, kalau engkau tidak dapat menunjukkan bukti-bukti yang memperkuat tuduhanmu itu, aku sebaliknya yang akan melapor kepada Sribaginda Kaisar bahwa engkau melakukan fitnah keji kepadaku! Bahkan aku tidak segan untuk membunuhmu sekarang juga kalau fitnah itu tidak berbukti, karena itu berarti bahwa engkau telah menghinaku!"
Sikapnya tenang, namun matanya yang mencorong menunjukkan bahwa dia marah bukan main.
Jenderal Shu Ta adalah su-te (adik seperguruan) Sribaginda Kaisar, biarpun pernah menjadi murid perguruan Siauwlim-pai, namun tingkat ilmu silatnya tentu saja jauh dibandingkan dengan Yauw Ti yang dahulu ketika memasuki perjuangan memang sudah seorang jagoan tingkat tinggi. Maka, Jenderal Shu Ta tertawa dan ini merupakan isyarat bagi para pembantunya.
Nampak bayangan banyak orang berkelebat memasuki ruangan itu dan ketika Yauw Ti memandang, diam-diam dia terkejut bukan main. Dia melihat Bhok Cun Ki, Cu Sui In, Sin Wan, Liem Kui Siang, dan Ouwyang Kim berdiri di situ sambil memandang kepadanya dengan sinar mata menyatakan kemarahan mereka.
JILID 18
"Jenderal Shu Ta! Apa artinya semua ini?" bentaknya marah.
"Yauw Ti, bukankah engkau tadi minta bukti untuk memperkuat tuduhanku? Nah, bukan hanya bukti, melainkan banyak saksi yang akan memperkuat tuduhanku," jawab Shu Ta.
Tiba-tiba Jenderal Yauw Ti tertawa.
"Ha..ha..ha, siapa yang tidak tahu mereka ini semua adalah antek-antek dan kaki tanganmu? Jenderal Shu Ta, bukan aku yang pengkhianat, akan tetapi engkau sendiri yang mengumpulkan kekuatan dan agaknya engkau yang hendak memberontak. Bhok Cun Ki ini memang sejak dahulu menjadi anak buahmu, dia orang yang licik dan curang! Dan siapakah Cu Sui In ini? Bukankah ia seorang datuk sesat berjuluk Bi-coa Sianli, puteri datuk besar See-thian Coa-ong? Dan gadis ini, bukankah ia bernama Ouwyang Kim, puteri datuk sesat Tung-hai-liong Ouwyang Cin, datuk segala bajak laut? Gadis yang seorang inipun mencurigakan. Pernah menjadi pengawal pribadi Raja Muda Yung Lo dan sekarang berada di sini, siapa tahu engkau yang mengirim ia ke utara untuk memata-matai raja muda itu! Dan akhirnya pemuda ini. Hah, siapa dia? Seorang biadab bangsa Uighur, putera Si Tangan Api Se Jit Kong, datuk penjahat kelas satu! Engkaulah yang mengumpulkan orang-orang jahat untuk memberontak, dan engkau hendak menuduh aku, dengan mengajukan saksi orang-orang jahat ini?"
"Jenderal Yauw Ti," kata Liem Kui Siang,
"engkau tidak dapat mengelabui aku! Ketika terjadi penyerangan atas diri Raja Muda Yung Lo dan Pangeran Mahkota, engkau yang mendalangi. Hanya ketika melihat munculnya suheng Sin Wan dan adik Lili, dan melihat betapa penyerangan itu gagal, engkau berbalik dan engkau pura-pura sibuk mengatur pertempuran antara pasukanmu dan pasukan Raja Muda Yung Lo. Engkaulah yang mengatur sehingga terjadi bentrokan itu, untuk memancing para pengawal agar sibuk bertempur sehingga anak buahmu dapat menyusup dengan mengenakan pakaian seragam, lalu mencoba untuk membunuh kedua orang pangeran itu."
"Huh, fitnah. Dugaan yang tidak berdasar dan berbukti!" kata Yauw Ti mengejek.
"Yauw Ti, jangan kira aku dapat melupakan saat ketika engkau dan orang-orangmu menawanku. Engkau boleh berkedok dan mengubah suaramu, akan tetapi ketika aku dan Sin Wan mengeroyokmu, mestinya engkau mampus di ujung pedangku. Akan tetapi, perut gendutmu itu palsu! Si Kedok Hitam yang berperut gendut itu adalah engkau yang menyamar, dengan membuat perut palsu sehingga tidak terluka ketika tertusuk pedangku! Engkau berani menyangkal?" kata Akim.
"Huh, menggelikan! Pedangmu itu yang agaknya pedang rombengan sehingga tidak dapat melukai musuhmu, lalu engkau menuduh yang bukan-bukan. Itu bukan merupakan bukti tuduhanmu bahwa aku adalah Si Kedok Hitam!"
"Hemm, Yauw Ti alias Si Kedok Hitam, tak perlu engkau bersilat lidah! Muridmu, Pangeran Yaluta dari Mongol yang menyamar sebagai Yauw Siucai itu telah mengaku.
"Tak mungkin!" Kini Jenderal Yauw Ti menjadi pucat dan dia memotong ucapan Cu Sui In diluar kesadarannya saking kagetnya mendengar ucapan itu.
"Hemm, teriakanmu itu sudah membuka kedokmu, Si Kedok Hitam! Pangeran Yaluta bukan saja sudah mengaku, akan tetapi diapun sudah tewas! Ketika kami merobohkannya dan hendak menawannya, dia membunuh diri dengan mengunyah pil racun hitam."
Kini Yauw Ti tidak ragu-ragu lagi dan habislah kesabarannya. Agaknya semua siasatnya yang telah berjalan sedemikian baik dan mulusnya, hari ini telah mengalami kehancuran total!
"Bukan itu saja, Yauw Ti. Juga semua anak buahmu, jaringan mata-mata yang kau pimpin sudah hancur. Para perwira yang kaulibatkan dalam jaringan itu telah kami serbu dan kami tangkap, di antaranya adalah Perwira Lu, Song, Kui, Gak...""
Jelas nampak betapa semangat Yauw Ti terkulai. Dia tidak ragu lagi bahwa semua itu bukan gertak. Habislah sudah.
"Shu Ta, sekarang kita berdiri sebagai laki-laki. Tak perlu kupungkiri lagi bahwa akulah Si Kedok Hitam. Nah, Shu Ta, kalau memang engkau laki-laki dan jantan, mari kita selesaikan perhitungan ini di ujung senjata!" dan bekas jenderal besar itu meraba gagang pedangnya yang tergantung di pinggang.
Shu Ta maklum bahwa tantangan itu merupakan akal pula dari Yauw Ti yang tahu bahwa dalam hal ilmu silat, pasti pemberontak dan pengkhianat itu akan menang.
Kini Sin Wan yang maju.
"Yauw Ti atau Si Kedok Hitam, akulah lawanmu. Sudah banyak perhitungan di antara kita yang bertumpuk, dan saat ini tiba waktunya bagi kita membuat perhitungan. Shu-goanswe adalah seorang jenderal yang setia kepada kerajaan, kalau beliau yang bertindak, maka beliau akan mengerahkan pasukan untuk menangkap pengkhianat sepertimu ini. Kalau engkau menghendaki mengadu kepandaian satu lawan satu, akulah lawanmu!"
Kui Siang juga melompat ke depan, ke dekat Sin Wan.
"Atas nama Raja Muda Yung Lo yang hampir menjadi korban kecuranganmu, aku juga akan maju menangkapmu, Yauw Ti!"
Bekas jenderal itu tertawa bergelak.
"Ha..ha..ha, engkau hendak mewakili Raja Muda Yung Lo, nona? Katakan saja engkau hendak membantu Sin Wan mengeroyokku!"
"Aku membantunya sudah cukup pantas. Dia adalah suhengku, juga calon suamiku."
"Ha..ha..ha, bukankah engkau puteri mendiang bangsawan Liem Cun, nona? Puteri seorang bangsawan bangsa Han, bangsa pribumi asli hendak menjadi isteri seorang keturunan Uighur yang biadab, putera datuk sesat keji Si Tangan Api, bahkan agamanyapun asing? Memalukan sekali!"
Asmara Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bekas jenderal yang sudah kehilangan harapan itu kini menyebar penghinaan ke mana-mana untuk melampiaskan kedukaan, kekecewaan dan keputus-asaan.
Sin Wan tersenyum saja, sama sekali tidak merasa terhina.
"Yauw Ti, menilai seorang manusia tidak dapat didasarkan kepada kebangsaannya, agamanya, kedudukannya, kekayaannya atau kepintarannya, melainkan kelakuan dan sepak terjangnya dalam hidup ini. Engkau boleh jadi bangsa pribumi asli, beragama peninggalan nenek moyang, berkedudukan tinggi sebagai panglima besar, pintar, kaya raya dan terhormat. Akan tetapi kalau engkau menjadi pengkhianat, kalau engkau berkelakuan curang dan licik, kalau sepak terjangmu dalam hidup penuh kekejian dan kepalsuan, tetap saja engkau seorang manusia yang rendah budi!"
"Singggg...""..!" Nampak sinar terang menyilaukan mata ketika bekas jenderal itu mencabut pedangnya.
"Sin Wan dan engkau nona, majulah kalau ingin mati di tanganku!" tantangnya, dan memang dia selain lihai, juga cerdik dan curang karena tanpa menanti kedua orang lawannya mencabut pedang, dia sudah menggerakkan pedangnya dan menyerang dengan dahsyat ke arah kedua orang muda itu.
Sin Wan dan Kui Siang, biarpun belum mencabut pedang, namun sejak tadi sudah siap siaga dan waspada, maka begitu pedang menyambar, mereka sudah meloncat ke tengah ruangan itu yang luas.
"Kalian maju, dan tangkaplah pengkhianat itu!" teriak Jenderal Shu Ta yang khawatir kalau-kalau bekas pembantunya yang dia tahu amat lihai itu dapat meloloskan diri.
Mendengar ini, Yauw Ti tertawa bergelak.
"Ha..ha..ha, boleh, boleh! Kalian semua majulah dan biarpun aku akan mati di tangan kalian, aku mati sebagai seorang gagah perkasa yang dikeroyok banyak orang. Sebaliknya, biarpun kalian akan menang, nama kalian akan tetapi dijadikan bahan ejekan karena sebagai tokoh-tokoh persilatan besar, kalian hanyalah pengecut-pengecut yang mengandalkan pengeroyokan untuk mencapai kemenangan, ha..ha..ha!"
"Tidak perlu, Shu-goanswe. Sin Wan dan Kui Siang sudah lebih dari cukup untuk mengalahkan pengkhianat itu," kata Cu Sui In.
"Benar, Shu-goanswe, harap tidak khawatir. Sin Wan dan Kui Siang pasti akan mampu menundukkannya," sambung Bhok Cun Ki sehingga legalah hati Jenderal Shu Ta. Mereka semua menonton dan para pengawal sudah mengepung ruangan itu.
Karena maklum bahwa dia tidak mungkin dapat meloloskan diri, dan menyerahpun tidak akan diampuni Kaisar, Yauw Ti menjadi nekat. Dia segera memainkan ilmu silatnya yang aneh, yaitu tubuhnya berpusing, seperti gasing, pedangnya mencuat dari pusingan itu menjadi sinar yang menyilaukan seperti kilat menyambar, dan juga tangan kirinya bergerak mengirim serangan dengan totokan It-tok-ci (Satu Jari Beracun) yang tidak kalah ampuhnya dibandingkan pedangnya.
Akan tetapi sekali ini dia menghadapi pengeroyokan sepasang orang muda yang amat lihai. Sin Wan dan Kui Siang tahu pula betapa lihainya maka begitu mereka mencabut pedang, mereka berdua segera memainkan ilmu mereka yang paling ampuh, yaitu Sam-sian Sin-ciang. Pedang Tumpul di tangan Sin Wan nampaknya tidak berbahaya, akan tetapi justeru Yauw Ti amat gentar menghadapi pedang buntut itu karena dia pernah terkejut ketika pedangnya rusak oleh pedang itu.
Sedangkan pedang Jit-kong-kiam di tangan Kui Siang mengeluarkan cahaya gemilang sesuai dengan nama pedang itu, yaitu pedang Sinar Matahari. Karena kedua orang muda ini memainkan ilmu pedang yang sama, maka mereka dapat saling dukung, baik dalam penyerangan maupun dalam pertahanan, bahkan tenaga mereka berdua seperti tergabung dalam gerakan mereka itu.
"Awas, moi-moi, itu It-tok-ci !" kata Sin Wan memperingatkan kekasihnya akan bahayanya jari beracun lawan itu.
"Baik, koko," kata Kui Siang dan pedangnya membuat gerakan menyambut jari yang menotok ke arah tubuhnya. Kalau totokan itu dilanjutkan, jari itu akan bertemu pedangnya dan tentu jari itu akan terbabat buntung!"
Serang menyerang terjadi dan benar seperti pendapat Bhok Cun Ki dan Cu Sui In, sebentar saja, tidak sampai tigapuluh jurus, bekas jenderal itu sudah terhimpit dan terkurung dua gulungan sinar pedang lawan. Kalau jenderal itu tidak menjadi nekat, tentu dia sudah tidak akan mampu membalas dan hanya bertahan melindungi diri saja.
Akan tetapi, dia sudah nekat. Biar dia mati, dia harus dapat menjatuhkan lawan, keduanya atau seorang di antaranya. Oleh karena itu, gerakannya membabi buta dan napasnya terengah-engah karena dia terlalu banyak mengerahkan tenaga dalam dorongan nafsunya untuk membunuh lawan.
Kalau Sin Wan dan Kui Siang berniat membunuh Yauw Ti, kiranya mereka sudah dapat melakukannya sejak tadi. Ilmu silat mereka Sam-sian Sin-ciang memang hebat bukan main, apalagi dimainkan oleh mereka berdua yang mewarisi ilmu ciptaan Tiga Dewa itu. Akan tetapi mereka maklum bahwa perlu sekali pengkhianat ini ditangkap hidup-hidup agar dapat diseret ke pengadilan.
Oleh karena itu, terpaksa mereka membatasi penyerangan mereka hanya untuk merobohkan tanpa membunuh. Agaknya, sikap kedua orang lawannya ini diketahui Yauw Ti, maka dia mempergunakan kesempatan itu untuk keuntungannya dan dia bahkan yang lebih banyak menyerang mati-matian dengan jurus-jurus maut yang dikuasainya.
"Hyaatttt..."..!!" Ketika mendapat kesempatan, pedang di tangan Yauw Ti menyambar dari atas ke arah kepala Sin Wan. Jenderal ini amat benci karena Sin Wan, bukan hanya karena pemuda ini adalah keturunan bangsa Uighur yang dibencinya, melainkan juga semenjak pertama kali, pemuda ini selalu menghalangi dan mengacaukan siasatnya. Dengan sepenuh tenaga dia membacokkan pedangnya. Melihat ini, Sin Wan cepat mengangkat pedangnya menangkis dan sekaligus mengerahkan sin-kang untuk disalurkan melalui pedangnya.
"Trakkk!" Dua batang pedang bertemu di udara dan bekas jenderal itu terkejut karena pedangnya itu seperti menempel pada besi semberani, seperti ada tenaga menyedot yang membuat pedangnya melekat pada Pedang Tumpul. Dia marah sekali dan jari tangan kirinya meluncur, menotok ke arah leher Sin Wan. Pemuda ini sudah memperhitungkan dan melihat kesempatan baik untuk mengalahkan Yauw Ti. Melihat tangan itu menyambar, diapun memutar tubuh, tangan kirinya bergerak melintang dan dia berhasil menangkap pergelangan tangan jenderal Yauw Ti.
"Cepat, moi-moi!" katanya dan Kui Siang memang sudah melihat kesempatan ini! Pedangnya menyambar bagaikan kilat dan menyambar jari telunjuk yang warnanya hijau menghitam itu.
"Crokk!" Jari telunjuk yang berbahaya itu terbabat pedang dan putus! Yauw Ti berteriak keras, dan pada saat itu, Sin Wan sudah menarik pedangnya dan sekali pedangnya meluncur ke depan, pedang yang tumpul itu kini dia pergunakan sebagai tongkat dan menotok jalan darah di dada dan pundak lawan. Bekas jenderal itu roboh terkulai dan tak mampu bergerak lagi, hanya matanya melotot dan mulutnya mendesis menahan rasa nyeri di tangannya yang kehilangan jari telunjuk.
Jenderal Shu Ta merasa terharu juga melihat bekas rekan terbaik ini menggeletak tak berdaya. Dia menghampiri dan setelah saling pandang dengan bekas rekannya itu, Jenderal Shu Ta berkata,
"Yauw Ti, sungguh aku tidak mengerti. Engkau telah diberi banyak anugerah oleh Sribaginda, diberi kedudukan yang hanya berada di bawah kedudukanku, dipercaya dan dihormati. Kenapa engkau memilih jalan sesat dan menjadi pengkhianat, rela diperhamba orang-orang Mongol?"
Yauw Ti tersenyum mengejek.
"Huh Kaisar yang tolol dan tidak adil. Jasaku jauh lebih besar darimu, juga kepandaianku jauh lebih tinggi darimu, akan tetapi dia yang mengangkat engkau menjadi panglima tertinggi, bukan aku! Dia pilih kasih dan mengangkat engkau, sutenya, di atasku. Orang Mongol memberi harapan lebih banyak, kalau berhasil, aku sedikitnya menjadi panglima tertinggi, atau raja muda, bahkan Kaisar!"
Jenderal Shu Ta menghela napas panjang. Kemudian, setelah bekas jenderal yang berkhianat itu dibawa ke tahanan, Jenderal Shu Ta mengerahkan pasukan untuk dipimpin Bhok-ciangkun membikin pembersihan, menangkapi semua pembantu Jenderal Yauw Ti.
Semua pendekar berkumpul di rumah Bhok Cun Ki, merayakan kemenangan karena kalau sampai sebulan lewat para pemberontak itu tidak dapat dihancurkan, tentu Kaisar akan menghukum keluarga Bhok.
Kaisar sendiri yang mengadili bekas Jenderal Yauw Ti. Bukan main marahnya Kaisar, apalagi melihat sikap bekas jenderal itu yang kini tidak mau tunduk kepadanya.
"Seret dia dan seluruh keluarganya, semua isterinya dan anaknya, juga semua pelayan dan penghuni rumahnya, hukum mati mereka semua tanpa kecuali perintahnya.
Semua pejabat tinggi terkejut mendengar keputusan hukuman yang berat itu. Seorang di antara mereka, seorang menteri yang usianya sudah enampuluh tahun dan yang sejak Kaisar masih menjadi pemimpin rakyat Chu Goan Ciang sudah membantu perjuangan melawan orang Mongol, yaitu Menteri Coa, maju berlutut.
"Mohon ampun, Sribaginda. Hamba mohon agar paduka mengingat akan jasa-jasa bekas Jenderal Yauw Ti. Memang dia telah berdosa besar, akan tetapi keluarganya tidak tahu menahu akan dosanya itu. Maka, hamba mohon agar paduka mengampuni keluarganya dan hanya menjatuhkan hukuman mati kepada dia seorang."
Kaisar membelalakkan matanya dan memukul meja di depannya.
"Brakk!" dia melotot.
"Menteri Coa, jelas engkau membela pemberontak. Seret dia dan hukum mati, biar dia tetap menjadi pembela si pemberontak di neraka! Dan siapa pun yang berani membela pemberontak, akan menemani keluarga pemberontak memasuki neraka!"
Tentu saja semua orang terkejut. Bahkan Jenderal Shu Ta sendiri lalu menjatuhkan diri berlutut,
"Mohon ampun, Sribaginda..."""."
"Jenderal Shu Ta! Engkau suteku, aku akan merasa menyesal sekali kalau harus menjatuhkan hukuman mati kepadamu dan seluruh keluargamu!" bentak Kaisar sehingga Jenderal Shu Ta tidak berani bicara lagi. Kaisar lalu membubarkan persidangan itu.
Bekas Jenderal Yauw Ti, berikut seluruh keluarganya, tidak ada kecualinya, sampai semua hamba sahayanya, dijatuhi hukuman mati. Kaisar memang telah berubah menjadi seorang yang teramat kejam dan tak mengenal ampun, apa lagi kalau dia mencurigai seseorang. Biar orang itu bekas teman seperjuangan sekalipun, seperti menteri Coa, akan dihukum mati agar hatinya menjadi tenang."
Tak lama kemudian setelah peristiwa itu, Pangeran Chu Hui San, yaitu Pangeran Mahkota, meninggal dunia. Simpang siur berita tentang kematiannya. Secara resminya, dia dikabarkan meninggal dunia karena menderita penyakit, akan tetapi desas-desus menyiarkan berita bahwa dia sengaja dihukum mati secara rahasia oleh Kaisar, ayahnya sendiri, dengan disuruh minum racun!
Kedua berita itu mungkin saja, karena Kaisar menganggap puteranya telah berkhianat dengan bergaul bahkan menarik Pangeran Yaluta sebagai penasihat, dan kedua, mungkin dia mati karena penyakit karena badannya sudah lemah sekali oleh candu, arak dan pelesir yang tak mengenal batas.
Bhok Cun Ki sendiri juga merasa tidak senang dengan sikap yang amat kejam dari Kaisar. Tak lama kemudian, dia menerima utusan Raja Muda Yung Lo yang melamar Lili untuk menjadi isteri pangeran di utara itu. Karena Lili sendiri sudah setuju, maka pinangan itu diterima dengan gembira dan kedudukan Lili sebagai isteri Raja Muda Yung Lo itu memungkinkan keluarga Bhok untuk pindah sekeluarga ke Peking, dengan alasan Raja Muda Yung Lo yang menjadi mantunya yang menghendaki agar mereka diboyong semua ke utara. Di Peking, Bhok Cun Ki membantu mantunya dan menjadi seorang panglima yang disegani karena kepandaian dan kecerdikannya.
Mengingat jasa Sin Wan dan hubungannya yang amat dekat dengan keluarga Bhok, maka Bhok Cun Ki dengan senang hati menjadi wali pemuda itu dan dia yang mengirim utusan kepada keluarga Liem, yaitu para paman dan bibi Kui Siang, untuk meminang Kui Siang secara resmi. Karena yang mengirim lamaran adalah Bhok Cun Ki, tentu saja keluarga Kui Siang yang mata duitan itu menerima dengan senang hati.
Pernikahan antara Si Pedang Tumpul Sin Wan dengan sumoinya, Liem Kui Siang, dirayakan berbareng dengah pernikahan antara Bhok Ci Han dan Ouwyang Kim, yang dihadiri pula oleh ibunya yang telah menjadi janda. Perayaan pernikahan rangkap itu dirayakan dengan meriah, bahkan Raja Muda Yung Lo dan Lili datang pula menghadiri perayaan.
Tak lama kemudian, seluruh keluarga itu, termasuk pula Sin Wan dan Kui Siang, berbondong pindah ke utara! Jenderal Shu Ta maklum akan perasaan mereka yang tidak puas akan sikap Kaisar, akan tetapi dia sendiri adalah seorang yang amat setia kepada Kaisarnya, atau suhengnya, maka bagaimanapun juga, Jenderal ini tetap tidak pernah meninggalkan Nan-king sampai matinya.
Kaisar Thai-cu yang selalu curiga kepada siapa saja yang dikira akan menjatuhkannya, mengangkat Pangeran Chu Hong, yaitu putera mendiang Pangeran Chu Hui San, yang masih kanak-kanak, menjadi pangeran mahkota menggantikan ayahnya. Hal ini kelak mendatangkan bencana dan terjadi perang saudara yang amat hebat, karena Raja Muda Yung Lo tidak dapat menerima keputusan ayahnya itu.
Menurut pendapatnya, setelah Pangeran Chu Hui San meninggal dunia, sepantasnya dia yang menjadi pengganti kakaknya, menjadi pangeran mahkota, bukan keponakannya, Pangeran Chu Hong yang masih kecil itu. Namun, keputusan Kaisar Thai-cu sudah resmi, bahkan Pangeran Chu Hong yang masih kecil itu sudah diberi nama kebesaran Hui Ti!
Dengan bantuan para pendekar, di utara Raja Muda Yung Lo menyusun kekuatan, sedangkan di selatan, di Nan-king, keadaan Kerajaan Beng menjadi semakin lemah karena para pejabat merasa tidak puas dan takut kepada Kaisar yang berubah menjadi kejam dan lalim.
Sampai di sini, selesailah sudah kisah ini disertai harapan pengarang, semoga ada manfaatnya bagi para pembaca. Sampai jumpa di lain kisah.
TAMAT
Komentar
Posting Komentar